Minggu pagi, matahari tersenyum begitu indah menyapa warga bumi. Ya, hari libur ini waktunya untuk berkumpul dan bercanda dengan keluarga tercinta setelah rutinitas sehari-hari yang melelahkan.
Namun, pagi ini tak secerah hati Varrel yang terpaksa menyaksikan kejadian menyakitkan hatinya.
Kedua orang tuanya bertengkar sangat hebat, sehingga ibunya memilih meninggalkan dirinya dan kedua adiknya.
Buliran kristal lolos begitu saja dari bola matanya yang hitam.
"Rani, aku mohon jangan tinggalkan aku dan anak-anak," Alka menahan langkah istrinya.
"Aku harus pergi, Mas!"
"Apa kamu tidak sayang dengan anak-anak kita?"
"Justru aku menyayangi mereka, Mas. Ini pekerjaan dengan gaji yang cukup besar. Penghasilanmu selama ini tak cukup membiayai kebutuhan kami!" Rani berkata sembari menyeret kopernya.
"Ibu, mau kemana?" Varrel yang melihat perdebatan orang tuanya memeluk Rani dengan menangis.
Wanita itu hanya menatap lalu mendorong putra sulungnya secara pelan tanpa berkata apapun. Ia melanjutkan melangkahkan kakinya keluar rumah.
Varrel mengejarnya, "Ibu, jangan tinggalkan aku!"
Alka dengan cepat menarik putranya dan menggendong tubuh laki-laki berusia 6 tahun itu.
Tangisan bayi berumur 7 bulan menyadarkan Alka, ia berlari ke kamar untuk mendiamkan putra bungsunya. Ia menurunkan Varrel dan mengambil alih menggendongnya.
Alka tampak berusaha mendiamkan bayinya yang terus menangis. Ia sangat kebingungan, apa yang harus dilakukannya.
"Ayah, mungkin Sean haus," ujar Varrel.
"Haus?"
Varrel mengangguk.
Alka meletakkan bayinya, lalu ke dapur untuk membuatkan susu untuk Sean.
Pria berusia 33 tahun itu menuangkan isi bubuk susu yang tersisa di dalam kaleng ke dalam botol minum bayi, menuangkan air hangat dan mengaduknya. Melangkah cepat ke arah putranya yang tak berhenti menangis.
Meraih tubuh mungil tersebut dan menggendongnya lalu menyodorkan botol susu ke dalam mulut si bungsu.
Tak sampai 5 menit, susu yang diberikan pun habis. Sean masih menangis, Alka semakin stress. Tak terasa air matanya mulai menetes, ketika menggendong putranya.
Karena terus menangis, Alka menyuruh Varrel mengisi botol bayi dengan air putih.
Varrel dengan cekatan berlari ke dapur menuangkan air putih ke dalam botol lalu memberikannya kepada ayahnya.
Dan benar saja, Sean berhenti menangis ketika rasa dahaganya telah hilang. Bayi itu pun kembali tertidur.
Mendengar sang adik menangis, Raline terbangun. Ia memanggil Rani, "Ibu!"
Alka yang mendengar suara putrinya, berjalan ke kamar gadis kecil berusia 4 tahun. Tersenyum menyapanya, "Anak Ayah sudah bangun!"
Raline mengucek matanya mengedarkan pandangannya. "Di mana Ibu, Yah?" tanyanya dengan suara belum terlalu jelas.
"Ibu sedang keluar, sebentar lagi dia juga akan pulang," jawab Alka berbohong.
Varrel yang mendengar jawaban ayahnya berbohong memilih pergi ke kamarnya. Anak seusia itu belum mengerti masalah yang dihadapi kedua orang tuanya.
-
Jarum jam menunjukkan pukul 12 siang, perut Varrel terasa lapar apalagi dari tadi pagi dirinya belum juga makan. "Ayah, aku lapar!" menarik baju Alka saat menjemur pakaian.
"Ayah akan membuatkan makanan untukmu, setelah selesai ini," ujar Alka.
Varrel mengangguk.
Sepuluh menit kemudian, Alka selesai menjemur lalu lanjut ke dapur menyiapkan makan siang untuk buah hatinya.
Karena pengetahuan tentang memasak dirinya tak terlalu paham dan mengerti, Alka membuat makanan yang gampang dan cepat. Telur ceplok dan sosis goreng menjadi pilihan menu untuk makan siang mereka.
Raline yang sedari tadi sedang menonton televisi menghampiri ayah dan kakaknya di dapur. "Kenapa Ibu lama sekali pulangnya?"
Varrel tak bisa menjawab.
"Mungkin urusan Ibu masih banyak," Alka lagi-lagi berbohong.
Raline mengangguk paham.
"Sekarang kita makan saja dulu," ajaknya.
"Iya, Yah!" ajak kedua anaknya.
Alka berjalan ke ruang tamu mengambil putra bungsunya untuk diajak makan bersama.
Keempatnya duduk di meja yang sama menikmati lauk seadanya.
Alka duduk sembari memangku Sean, ia menyuapkan beberapa butir nasi ke dalam mulut putranya itu.
"Ayah, kenapa telurnya asin sekali?" protes Varrel.
"Benarkah? Kalau begitu Ayah minta maaf," ujar Alka.
"Kenapa tidak ada sayur, Yah?" Raline bertanya dengan kata-kata tak terlalu jelas.
"Ayah tak pandai memasak menu sayuran," jawab Alka.
"Ayah harus belajar memasak lagi," nasehat Varrel.
"Ya, Ayah akan belajar memasak lagi untuk kalian," ujar Alka tersenyum.
Selesai makan siang bersama, Alka membereskan pekerjaan di dapur mencuci piring.
Sean kembali menangis, ia mencari ibunya.
Alka menghampiri putranya lalu menggendongnya.
Varrel yang sedang memainkan mainannya berkata, "Sean biasanya tidur dikeloni ibu, Yah."
"Baiklah kalau begitu Ayah akan menidurkan kamu," ujar Alka menatap putra bungsunya.
"Ayah, mainan aku rusak. Tolong perbaiki!" Raline menyodorkan aneka peralatan dokter-dokteran.
"Ayah akan perbaiki tapi tunggu Sean tidur, ya!" Alka berkata lembut.
"Ibu ke mana, sih? Kenapa pergi saja lama sekali? Padahal Ibu kalau keluar selalu mengajak aku, Kak Varrel dan Sean," ocehnya.
"Raline, ayo tidur biar adik Sean ada temannya," ajak Alka agar putrinya tidak selalu bertanya tentang ibunya.
"Aku mau tidur bareng ibu," ujar Raline.
"Ibu takkan pulang lagi, Raline!" sentak Varrel.
"Kenapa Ibu tak pulang?" tanyanya.
"Varrel.." Alka memanggil nama putranya agar ia tak keceplosan.
"Ayah, Ibu pulang lagi atau tidak? Kenapa tadi pagi membawa tas besar?" Tanya Varrel.
"Tas besar? Ibu mau tempat nenek, ya?" Raline kini yang bertanya.
Alka menarik nafas lalu menghembuskannya perlahan.
"Ayah!" panggil Varrel. "Ibu akan pulang, kan?" Menatap dengan tatapan penuh harap.
"Ya, Ibu akan pulang. Kalian tenang saja," ujar Alka berusaha tersenyum.
Varrel dan Raline tersenyum girang, mereka akan bertemu ibunya lagi.
Alka ke kamar dan menidurkan Sean, tanpa terasa air matanya kembali menetes ia berusaha menyekanya.
...**...
Sehari sebelumnya...
"Mas, aku ingin kita pisah!" ucap Rani kala keduanya berada di atas ranjang.
Alka mendengarnya terkejut. "Kenapa kamu berbicara seperti itu, Rani?"
"Aku lelah terus hidup seperti ini, setiap hari mengurus anak dan rumah tanpa istirahat," ujarnya.
"Rani, aku minta maaf kalau belum bisa memberikan kamu asisten rumah tangga," ucap Alka.
"Mas, aku bukan cuma mau asisten rumah tangga saja. Tapi, ku ingin kembali bekerja lagi, apalagi perusahaan tempat ku bekerja masih menerimaku," ujar Rani.
"Jika kamu bekerjasama bagaimana dengan anak-anak?"
"Kamu yang urus, pekerjaanmu juga tidak memakan waktu," jawab Rani.
"Tidak mungkin aku selalu pulang ke rumah, butuh waktu setengah jam dari sini ke bengkel," ujar Alka.
"Aku tidak peduli, Mas. Aku ingin punya penghasilan, gajimu saja tak cukup untuk kebutuhan sehari-hari kita," ucap Rani.
"Rani, usahaku memang saat ini sedang sulit," ujar Alka.
"Justru itu, aku ingin membantumu, Mas!"
"Rani, aku tidak mengizinkan kamu bekerja lagi di luar," Alka berkata tegas.
"Kamu memang tidak pernah mengerti apa yang ku mau," Rani marah dan memilih tidur memunggungi suaminya.
Senin pagi...
Alka bangun 2 jam lebih awal dari biasanya, pagi ini ia harus menyiapkan semua kebutuhan dirinya dan anak-anaknya.
Memasak, menyiapkan pakaian untuk Varrel yang akan sekolah.
Belum lagi cucian piring yang menumpuk karena semalam tak sempat membersihkannya.
Pakaian kotor nanti akan kirim ke laundry terdekat dari rumahnya.
Susu buat Sean juga sudah ia siapkan, semalam ia membawa semua anaknya berbelanja di minimarket terdekat dari rumahnya.
Pukul 6 pagi lewat 15 menit, Alka membangunkan putra sulungnya.
Varrel masih terlelap tertidur, Alka menggendong putranya dan membawanya ke kamar mandi. Biasanya, Rani melakukan hal seperti itu terkadang membangunkan dirinya agar menolongnya untuk mengangkat tubuh anak pertamanya itu.
Suara tangisan Sean terdengar, Alka menyuruh putranya untuk mandi sendiri dan Varrel mengiyakan.
Sean mencari sosok ibunya dan terus menangis, Alka menggendongnya dan memberikan susu yang sudah ia siapkan.
Tak lama kemudian, Raline terbangun dan mencari ibunya di dapur. "Ibu!"
"Raline, kamu sudah bangun juga," Alka melemparkan senyumnya.
"Ayah, di mana Ibu? Kenapa belum juga pulang?" Tanyanya.
"Ibu masih ada urusan, Nak."
"Urusan apa?"
"Ayah juga tidak tahu," jawabnya.
"Aku mau sama ibu, Yah!" Rengeknya.
"Iya, nanti kita akan bertemu dengan ibu," ujar Alka. "Kamu mandi dan sarapan, Ayah akan membawamu dan Sean ke tempat nenek," lanjutnya.
"Kenapa kita ke tempat nenek, Yah?"
"Karena tidak ada yang menjaga kalian, Ayah mau bekerja lagi," jawab Alka.
"Tapi, nanti ibu pulang 'kan?"
"Ya," jawab Alka berbohong.
Raline akhirnya mau mandi, selesai membersihkan diri Alka memakaikan pakaian untuknya.
"Ayah, ikat rambutku!" Pintanya.
"Ayah tak bisa, Raline." Alka berkata lembut
"Ibu bisa, kenapa Ayah tidak?"
"Baiklah, Ayah akan coba mengikatnya," Alka berusaha.
Raline diam dan membiarkan ayahnya mengobrak-abrik rambutnya, lalu ia bercermin.
"Bagaimana? Cantik, kan?"
"Tak sebagus ibu," jawabnya jujur.
"Besok-besok, Ayah akan belajar lagi untuk membuat rambutmu semakin cantik," ujar Alka.
Raline tersenyum tipis.
-
Selesai sarapan Alka membonceng ketiga anaknya. Pertama ia mengantarkan Raline dan Sean ke rumah nenek kandungnya.
Wanita paruh baya itu tersenyum kala melihat cucunya datang, ia menyambut dengan hati gembira.
"Mana Rani?" Tanya Lilis.
"Nanti aku akan ceritakan, Ma," jawabnya. "Aku titip mereka di sini sampai sore, tidak apa-apa 'kan, Ma?" lanjutnya.
"Tidak masalah, Alka. Mama senang mereka di sini," ujar Lilis.
"Terima kasih, Ma. Kalau begitu aku mau pamit kerja sekalian mengantar Varrel ke sekolah," ucapnya.
"Ya, hati-hati," Lilis menggendong Sean.
Alka dan Varrel pun berlalu.
Lilis yang penasaran ke mana menantunya lantas bertanya kepada Raline. "Ibumu kenapa tidak ikut?"
"Kata ayah, ibu pergi, Nek."
"Pergi ke mana?"
Raline menjawabnya dengan menaikkan bahunya.
"Tidak biasanya, Rani pergi tanpa membawa anak-anaknya," Lilis membatin.
-
Setelah mengantar putra sulungnya, Alka bergegas ke rumah mertuanya yang perjalanannya membutuhkan waktu 90 menit dengan mengendarai sepeda motor yang dia beli 7 tahun lalu.
Tepat pukul 9 pagi, Alka tiba di rumah orang tua dari istrinya. Turun dari sepeda motornya yang ia parkir di halaman.
Alka berjalan memasuki rumah besar berlantai 3, dahulunya bangunan itu sangat mewah di antara para tetangga.
Mengetuk pintu dan mengucapkan salam.
Seorang wanita paruh baya keluar dengan wajah ketus. "Aku sudah menduga kalau kamu akan ke sini!"
"Ma, aku ingin menjemput Rani," ujarnya.
"Rani tidak mau pulang bersamamu!"
"Ma, anak-anak membutuhkan dia," ungkap Alka.
"Kamu dan ibumu bisa mengurus mereka," ujar Rita.
"Ma, aku mohon bujuk Rani agar kembali lagi kepada kami," pinta Alka.
"Mama akan membujuk Rani, jika kamu memberikan pada kami sebesar tiga juta sebulan," ujar Rita.
"Ma, jika aku ada uang pasti ku akan memberikan mama dan papa sebesar itu bahkan lebih," ucap Alka.
"Kapan kamu akan memberikan kami uang sebanyak itu?" tanya Rita. "Sejak kalian menikah, kamu hanya memberikan kami satu juta itu pun hari raya saja," ungkapnya.
"Ma, aku minta maaf jika belum bisa menjadi menantu yang baik untuk kalian. Tapi, sebagai seorang suami ku berusaha membahagiakannya," tutur Alka.
"Kalian sudah tujuh tahun menikah tapi mama belum pernah melihat dia jalan-jalan ke luar negeri," ujar Rita. "Ingat, Alka. Rani adalah putri bungsuku. Banyak pria kaya raya yang ingin mempersuntingnya tapi dia memilih dirimu yang hanya memiliki bengkel kecil," cacinya.
Alka diam tak mampu membantah.
"Lebih baik kamu pulang, urus anak-anakmu dan bengkel kecilmu itu!"
"Ma, izinkan aku bertemu dengan Rani sekali saja. Ku ingin berbicara sebentar," ujar Alka.
"Mama hanya beri waktu sepuluh menit untuk kalian mengobrol," Rita berdiri lalu ke kamar putrinya.
Tak lama Rani muncul menghampiri suaminya.
Alka tersenyum senang melihat wajah istrinya yang ia kenal 8 tahun lalu.
"Ada apa, Mas?" Rani memasang wajah ketus.
"Sean membutuhkan kamu, dia sangat terlalu kecil untuk mengetahui ibunya pergi," tutur Alka.
"Mas, aku sudah sangat lelah mengurus mereka. Aku ingin bekerja dan menghasilkan uang yang banyak," ujar Rani.
"Kamu sudah berjanji padaku, mau menjalankan bahtera rumah tangga berdua tak memperdulikan pekerjaan dan penghasilanku," Alka mengingatkan istrinya.
"Iya, aku pikir kamu akan mendapatkan warisan dari ayahmu yang seorang pengusaha penginapan ternyata tidak. Aku juga iri pada teman-teman ku yang selalu memposting kegiatan jalan-jalan mereka keliling negeri ini bahkan ke luar negeri," ungkap Rani.
Alka mendengar perkataan istrinya dengan mata berkaca-kaca. "Kamu tidak tulus mencintaiku, Rani?"
"Aku sangat mencintaimu, Mas. Tapi, aku butuh uang. Kamu tidak pernah mengizinkan aku bekerja, apa salahnya?"
"Aku tidak mau perhatian kamu kepada anak-anak kita berkurang, Rani."
Wanita itu tak memperdulikan ucapan suaminya.
"Rani, aku mohon pulanglah!" Pinta Alka.
"Aku tidak mau, Mas. Sebelum kamu mengizinkanku bekerja," ujar Rani.
Alka menarik nafas dalam-dalam lalu ia hembuskan. "Baiklah, kamu boleh bekerja!"
Rani tersenyum senang mendengarnya.
Alka melakukannya demi keutuhan rumah tangganya.
"Baiklah kalau begitu aku akan pulang bersamamu," Rani tampak semangat.
Alka tersenyum memaksa.
Rani pergi ke kamarnya, tak lama kemudian ia muncul bersama Rita.
"Kamu yakin akan kembali bersama dia?" Tanya Rita pada putrinya.
"Iya, Ma. Mas Alka mengizinkan aku bekerja," jawabnya.
"Baguslah kalau begitu, mama senang kamu bekerja dan bisa memberikan kami uang lagi," Rita melirik menantunya sekaligus menyindirnya.
"Iya, Ma," jawab Rani.
-
Keduanya pun tiba di kediaman mereka yang telah dihuni selama 7 tahun ini. Alka bergegas menjemput anak-anaknya di rumah mamanya.
Sesampainya di sana Raline melihatnya lalu berlari menghampiri Alka dan tersenyum.
"Mana Kak Varrel dan Sean?" Tanya Alka.
"Mereka sedang di dalam menonton," jawab Raline.
"Ayo kita pulang!" ajaknya.
"Ibu sudah pulang, Yah?" tanya Raline.
Alka mengangguk.
Lilis menggendong Sean muncul dari dalam rumah bersama Varrel.
"Kakak, Ibu sudah pulang," ungkap Raline girang pada Varrel.
"Benar, Yah?" tanya anak laki-laki itu.
"Iya, Nak," jawab Alka.
Varrel tersenyum bahagia.
Lilis mendekati putranya, "Kamu masih utang penjelasan pada Mama, Alka!"
Varrel dan Raline berlari penuh semangat ke dalam rumah, ia berteriak memanggil ibunya.
Begitu Rani muncul dari arah dapur, keduanya lantas memeluk dengan wajah ceria.
"Aku senang Ibu sudah pulang," ujar Varrel.
"Ibu dari mana saja, aku mencarimu?" tanya Raline.
"Ibu pergi ke rumah Oma," jawab Rani.
"Kenapa tidak membawa kami ke sana?" tanya Varrel.
"Ibu buru-buru dan ada urusan jadi tak bisa mengajak kalian pergi ke sana," jawab Rani berbohong.
"Ibu jangan pergi lagi, aku sangat rindu," ucap Raline.
Alka dapat merasakan bagaimana kangennya anak-anaknya pada sosok ibunya, ia tak bisa bayangkan jika mereka berpisah.
"Ibu tak bisa janji, Nak!" Rani berucap sembari melirik suaminya.
"Ibu harus janji!" pinta Varrel.
"Ya," Rani tersenyum memaksa. "Kalian pergilah mandi, Ibu lagi siapkan makan malam untuk kita," lanjutnya.
"Iya, Bu." Varrel dan Raline begitu gembira.
Rani mengambil Sean dari gendongan suaminya.
"Kenapa kamu tidak bisa berjanji pada mereka?"
"Ya, aku memang tak bisa, Mas. Kalau kamu tidak mampu menuruti keinginanku," jawab Rani.
"Aku sudah mengizinkanmu bekerja diluar selama kamu tahu tugasmu sebagai seorang istri dan ibu," ujar Alka.
"Ya, kamu sudah mengizinkan aku. Tapi, ku tak mau jika dirimu menuntutku menjadi ibu seutuhnya," ucap Rani.
"Rani, ini alasan aku melarangmu bekerja diluar agar dirimu fokus mengurusku dan anak-anak," ujar Alka.
"Mas, cukup 'ya. Jangan ajak aku berdebat lagi, lusa ku akan melamar pekerjaan di perusahaan lama," ucap Rani menggendong putra bungsunya ke dalam kamar.
...----------------...
Keesokan paginya, Rani bersiap melamar pekerjaan di perusahaan yang lama. Ya, dia harus membuatnya lagi karena ia pernah resign.
"Ibu mau ke mana?" tanya Raline yang terbangun dan melihat Rani sedang berdandan.
"Ibu ada urusan sebentar," ucapnya.
"Jangan lama-lama, ya!" mohon Raline.
"Ya," Rani tersenyum singkat.
Rani keluar dari kamar duduk bersama suami dan putra sulungnya.
"Kamu tidak tunggu Sean bangun lalu berangkat ke sana?" tanya Alka.
"Tidak, Mas." Menyuapkan nasi goreng ke mulutnya.
"Lalu nanti mereka dengan siapa?" tanya Alka lagi.
"Mas, bisa mengantarkan mereka ke tempat mama. Aku juga tidak terlalu lama," jawabnya santai.
Alka menghela nafas.
Rani beranjak berdiri lalu meraih tas tak lupa mencium punggung tangan suaminya dan berpamitan.
Varrel hanya melihat dan tak banyak bicara. Ia berangkat ke sekolah bersama sang ibu.
Alka terpaksa menunda keberangkatannya ke bengkel, ia harus mengurus kedua anaknya yang belum mandi dan sarapan.
Tepat jam 8 pagi, Alka berangkat kerja sekaligus mengantarkan kedua anaknya ke rumah mamanya.
Sesampainya di rumah Mama Lilis, ketiganya turun dari motor.
"Ma, aku titip Raline dan Sean, ya."
"Memangnya Rani ke mana?"
"Dia lagi mengantar lamaran pekerjaan, Ma."
"Kamu mengizinkan Rani bekerja?"
"Aku tidak punya pilihan lagi, Ma. Aku hanya ingin menyelamatkan rumah tanggaku," jawab Alka.
"Kasihan anak-anakmu harus di tinggal bekerja olehnya," ujar Lilis.
"Aku tidak tahu harus bagaimana lagi, Ma." Alka begitu pasrah.
Lilis pun tak bisa berkata-kata.
"Aku pamit kerja, Ma. Nanti mereka di jemput Rani," ujar Alka.
Lilis mengiyakan.
-
Alka yang sedang memperbaiki motor pelanggan mendapatkan telepon dari sekolah jika Varrel belum dijemput.
Alka menutup panggilan teleponnya lalu melihat jam di ponselnya. "Ke mana dia? Ini sudah jam sebelas," batinnya.
Alka lantas menghubungi istrinya dan diangkat.
"Halo, Mas!"
"Kamu di mana, Rani?"
"Aku baru saja interview pekerjaan, Mas. Ini lagi kumpul dengan teman-teman sekolahku. Kebetulan bertemu dengan mereka," jawabnya.
"Rani, kamu belum menjemput Varrel di sekolah," ucap Alka.
"Mas saja yang menjemputnya, aku jarang bertemu dengan temanku," ujar Rani santai.
"Aku masih sibuk, Rani. Bengkel lagi ramai, karyawan ku satu orang sedang izin sakit," jelas Alka.
"Apa salahnya Mas pulang sebentar lalu titipkan mereka ke tempat mama?"
"Aku tidak bisa, Rani," jawab Alka berusaha sabar.
"Suruh mama saja yang menjemputnya," saran Rani.
Alka lantas menutup teleponnya dengan cepat dan berdecak kesal.
Alka lalu menghubungi Mama Lilis untuk menjemput putra pertamanya itu.
-
-
Jam 2 siang, Mama Lilis menelepon Alka dan mengatakan kalau Rani belum juga menjemput anak-anaknya.
Hal itu membuat Alka semakin kesal dan marah, ia lantas menghubungi istrinya. Tak menunggu lama wanita itu menjawabnya. "Ada apa, Mas?"
"Kenapa kamu belum juga pulang, Rani?"
"Mas, aku lupa mengabarimu. Salah satu temanku mengajak kami berkaraoke, kebetulan sekali 'kan. Apalagi aku tidak pernah pergi ke tempat seperti ini lagi sekarang," jawabnya.
"Rani, kamu boleh bersenang-senang tapi ingat dengan tanggung jawabmu sebagai seorang ibu," ujar Alka.
"Mas, aku pergi bukan tiap hari. Kenapa kamu malah menganggapku seperti ibu yang tak bertanggung jawab?"
"Rani, bukan maksudku begitu," jelas Alka.
"Sejam lagi aku akan pulang," Rani pun menutup teleponnya.
Alka menarik nafasnya berusaha menahan rasa jengkelnya.
-
Pukul 4 sore, Rani tiba di rumah mertuanya tak lupa ia mencium punggung tangan wanita paruh baya itu.
"Aku mau menjemput mereka, Ma."
"Mereka di kamar, Sean sedang tidur," ujar Lilis.
Rani berjalan ke kamar, Raline yang melihat kehadirannya berlari dan menghampirinya.
Rani memeluk dan mencium putrinya. "Ayo kita pulang!" ajaknya.
"Ya, Ma," Raline tersenyum senang.
Rani mengambil Sean yang tertidur di ranjang lalu menggendongnya.
Lilis tak mau bertanya apa alasan menantunya itu lama menjemput cucunya.
"Ma, kami pamit pulang," ujar Rani.
"Ya," ucap Lilis.
Kedua cucunya menyalim tangannya. "Kami pulang 'ya, Nek!"
"Ya, hati-hati," ujar Lilis.
-
-
Alka tiba di rumahnya 2 jam kemudian. Ia memasuki rumah tampak istrinya sedang bertelepon namun buru-buru mematikannya karena melihat Alka pulang kerja.
Sean merangkak menghampiri Alka dengan senyuman menggemaskannya.
"Ayah, mau mandi. Nanti kita main, ya!" Alka tersenyum hangat lalu berjalan ke kamarnya tanpa menghiraukan istrinya.
Sean berusaha mengejar Alka namun Rani mengambil dan menggendongnya.
"Kamu mau ke mana, Sean?" Rani mencium putra bungsunya.
Sean menunjuk-nunjuk ke arah Alka.
"Selesai Ayah mandi kamu nanti digendongnya," ujar Rani.
Sean akhirnya diam dan mendengarkan penjelasan ibunya.
Selesai membersihkan diri, Alka keluar dari kamar lantas menggendong Sean yang sedang bermain dengan mainannya.
Rani sibuk menyiapkan makan malam.
Jam 7 malam, mereka berkumpul di meja dan menikmati makan bersama.
Raline dan Varrel begitu semangat memakannya.
Namun, tidak bagi Alka ia hanya mengambil makanan sekedarnya.
Rani merasakan jika suaminya sedang marah apalagi pria itu sempat menghubunginya 2 kali dan berdebat.
"Varrel, Raline temani Sean bermain di kamar, ya!" ucap Alka dengan suara lembut.
"Ayah mau ke mana?" tanya Raline dengan kata-kata tidak terlalu jelas.
"Ayah mau bicara dengan Ibu," jawab Alka sembari melirik putrinya.
"Baik, Yah," sahut Varrel dengan cepat. "Ayo Raline kita bermain di kamar saja!" ajaknya.
Balita perempuan itu pun mengiyakan.
Alka lalu mengantarkan Sean ke kamar anak-anaknya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!