NovelToon NovelToon

Aku (Bukan) Wanita Murahan

Melamar

Pesan-pesan masuk kembali menumpuk di WhatsApp Annisa Nadhira. Menanti untuk dibaca oleh perempuan berusia 25 tahun tersebut.

Namun jemarinya masih enggan untuk membuka satu demi satu pesan yang masuk ke gawainya. Hingga tekadnya berubah ketika sebuah pesan yang dinanti-nantinya sejak kemarin menyapa.

“Sorry baru kasih kabar. Kemarin saya sibuk ekspansi ke Makassar.”

Membaca rentetan kata dari teman sekolahnya kala SMA itu, rupanya tak kunjung mencerahkan wajahnya yang muram.

“Di kantor lagi butuh staff di Divisi Regional. Cepat daftar kalau minat! Peminatnya banyak soalnya,” imbuh Athira. Emot semangat tak lupa Athira sisipkan di akhir chat-nya.

Nisa menarik kedua sudut bibirnya kala mengetik di board ponselnya. “Thanks untuk informasinya sist.”

Ia pun meletakkan benda berbentuk persegi panjang yang tiap hari menemaninya itu setelahnya. Pikirannya kini memutar episode saat ia berjuang menuntut ilmu di sekolah dulu.

Diingat-ingatnya lagi, Athira bukanlah siapa-siapa jika dibandingkan dengan dirinya yang selalu mendapatkan nilai bagus kala itu.

Tapi siapa sangka, Athira yang dulu hanya termasuk kasta IQ menengah di kelas, justru melambung tinggi ke atas setelah lulus.

Sekarang, Athira sungguh memiliki karier yang didamba-dambakan para alumnus gagal seperti Nisa.

Beberapa menit kemudian, Nisa menarik diri dari lamunan tentang masa-masa sekolahnya. Sebayanya yang telah membantunya saat ekonominya terpuruk di seberang sana, rupanya kembali membalas chat.

“Sama-sama sist.”

Seberes kemudian, Nisa menghapus butiran bening yang masih saja lolos keluar dari matanya yang lebam. Mata itu memang selalu menghiasi wajahnya, usai menumpahkan kekesalan pada keadaan.

Kemarin, pemilik kontrakan datang. Seperti biasa, perempuan berusia senja itu menagih uang sewa. Namun keluarga Nisa tak mampu bayar.

Mau tak mau pemilik kontrakan itu pulang dengan tatapan kosong, juga kantong kosong. Jangankan separuh bayaran, bahkan sepeser pun uang tak diberikan oleh keluarga Nisa padanya.

Bukannya tak ingin membayar, tapi keluarga Nisa memang tengah berada di titik terendah ekonomi.

Kanza, Adik Nisa, masih sekolah. Belum bisa diandalkan untuk memperkuat pundi-pundi rupiah keluarga.

Faridah, ibu Nisa, hanya seorang tukang cuci pakaian. Gajinya tidak akan cukup untuk membiayai kebutuhan keluarga dan membayar kontrakan di saat yang bersamaan.

Nugroho, ayah Nisa, tengah berbaring lemah. Rematik akut yang menyerang, terkadang membuatnya tak mampu berjalan. Seperti yang tengah ia alami saat ini. Otomatis ia tidak bisa mencari upah di luar rumah.

Adapun Nisa, ia belum juga mendapatkan pekerjaan usai di-PHK kala pandemi. Karena itulah ia meminta bantuan pada Athira. Memohon agar sahabatnya itu segera memberikan informasi jika ada lowongan kerja yang terbuka, di kantor tempatnya bekerja.

Dan hari ini, tibalah saat yang sangat dinanti-nantikan Nisa. Hari dimana ia akhirnya bisa berharap perjuangannya selama ini mencari kerja, berakhir dengan kemenangan (diterima bekerja).

Ia kini terlalu sibuk dengan urusan-urusannya. Dimulai dari menonton cara membuat Surat Lamaran Kerja yang baik di YouTube. Tentunya surat lamaran yang ia buat adalah yang tidak seragam seperti buatan kebanyakan orang.

Dilanjutkan dengan mengedit Curriculum Vitae lama menjadi lebih menarik. Ia mencantumkan beberapa kemampuan dan kompetensi yang mumpuni agar pihak perusahaan mau melirik berkasnya.

Tak lupa juga ia menyiapkan Fotocopy ijazah dan transkip nilai, Fotocopy KTP, dan selembar pas foto berukuran 3x4 dengan latar merah.

Semua berkas yang sudah siap itu ia susun dengan rapi, menyatukannya dengan penjepit kertas. Lalu memasukkannya ke dalam map berwarna jingga.

***

Pagi menyingsing, tatkala mentari berhasil membakar habis kesedihan kemarin. Hingga yang tersisa hanyalah kebahagiaan baru yang siap untuk diburu.

Kemarin, demi mendapatkan pekerjaan, Nisa menjual anting emas satu-satunya yang dipasangkan ibunya sejak ia balita.

Meski harganya tak seberapa, setidaknya hasil penjualan emas itu bisa ia gunakan selama mendaftar kerja. Yup, seperti sekarang ini. Uang itu akan ia gunakan untuk membayar sewa angkutan umum nantinya.

Nisa naik, duduk di dekat jendela. Kendaraan itu lalu melaju, dan berhenti setelah beberapa menit, tepat di depan perusahaan tempat Athira bekerja.

Nisa bergegas memberikan uang pada kernet yang berdiri di dekat pintu. Dan langsung saja melangkah menuju lobby perusahaan.

Di sana, sudah ada Athira yang sejak tadi menunggunya. Nisa segera menghampiri gadis yang tengah mengenakan dress selutut itu. Mereka saling menyapa, kemudian berjalan bersebelahan. Bersama-sama, mereka memasuki lift.

Di dalam, tangan mulus Thira menekan angka 5. Setibanya di lantai 5, Thira berjalan ke suatu ruangan, masih dengan diikuti Nisa.

“Maaf ya, kamu terpaksa saya tinggal. Banyak pekerjaan yang harus saya selesaikan soalnya. Kumpul saja berkasmu di dalam,” ujarnya sebelum pergi.

Nisa mengangguk. Lalu berkata, “Thanks a lot, Thira.”

“Most welcome.”

Seperginya Thira dari hadapannya, Nisa memasuki ruangan yang ditunjukkan. Tatapan bak elang milik Qanita, yang tengah duduk di kursi kebesarannya, berhasil menghancurkan separuh semangat Nisa yang baru saja masuk ke ruangan.

Terlebih ketika perempuan cantik berbibir tebal itu mulai membuka mulut. “Pakai hijab terus?” tanyanya dengan sorot mata yang begitu fokus ke arah depan.

“Iya,” balas Nisa cepat.

“Kami tidak pernah menerima perempuan berhijab sebelumnya.” Nita memberi jeda. “Tapi keputusan final ada di tangan direktur. Berdoa saja supaya kamu diloloskan.”

“Iya, aamiin.” Hanya kata itu yang bisa Nisa katakan, sebelum ia terdiam agak lama.

“Anda boleh keluar sekarang. Kami akan mengirimkan pesan nanti malam kalau Anda lolos.”

Nisa tersenyum. “Baik, terima kasih sebelumnya.”

“Sama-sama.” Wajah Nita tetap saja datar, sama sekali tak berniat untuk membalas senyum hangat pelamar di hadapannya.

Seperginya Nisa dari situ. Seorang lelaki berpostur tinggi, bermata sayu menghampiri Nita. Ia adalah Farel, lelaki berusia 25 tahun, yang merupakan sepupu dari pemilik perusahaan tersebut. Satu-satunya lelaki yang mampu merundukkan sikap angkuh Nita.

Farel memeriksa berkas pelamar yang masuk. Tangannya berhenti di salah satu CV. Ketertarikan timbul ketika ia membaca kemampuan dan kompetensi yang tertera di atas kertas itu.

“Well, perempuan ini saja yang jadi staff baru kita.” Ia menyodorkan CV-nya pada Nita.

“What? Keputusanmu itu terkesan kurang ajar, Rel. Pak Arka pasti marah kalau kita meloloskan perempuan berhijab ini.” Saking speechlessnya, Nita spontan memijat kedua alisnya dengan kasar.

“Tenang saja. Kalau masalah itu, bisa saya bicarakan baik-baik dengan Arka. Yang terpenting itu, kita sudah dapat calon staff baru yang berkompeten.”

Bibir Farel yang tadinya berbentuk horizontal, kini berubah menjadi bentuk perahu. Rona merah juga bertaburan di pipinya. Seberapa keras pun ia menutupi, rona itu tetap tampak jelas.

Ditambah lagi matanya yang tidak bisa diajak kompromi. Mata sayu itu bahkan membulat kala melihat foto Nisa. Tak bisa berpaling barang sedetik pun. Arghhh, sungguh tak dapat ia tahan gejolak cinta di hatinya.

“Masih banyak berkas lain yang belum kamu baca. Jangan mentang-mentang karena perempuan itu cantik, kamu langsung pilih dia. Dasar buaya!” Nita langsung menarik paksa CV milik Nisa dari tangan Farel.

“Aish, Nita. Kamu kebiasaan sekali mengganggu orang yang sedang kasmaran. Makanya jatuh cinta juga, biar hidupmu lebih berwarna. Jangan bisanya cuman marah-marah terus.” Farel terkekeh kemudian.

“Saya sudah lama jatuh cinta, Rel. Kamunya saja yang tidak peka,” monolog Nita dalam hati.

“Lebih baik single keles. Daripada kamu, PDKT, pacaran, terus patah hati. Ujung-ujungnya curhat ke saya. Semua cewek sama saja, buaya betina. Begitu kan?”

“Saya yakin, perempuan ini beda Nit. Lihat saja mukanya, auranya, uhhh positive vibes sekali.”

“Terserah kamu lah Rel mau bicara apa. Minggir sana! Saya lapar, mau makan.” Nita mendorong pelan tubuh Farel yang menghalangi jalan keluarnya.

Farel menyusulnya. “Berhubung hari ini saya senang, saya traktir kamu makan. Gimana? Mau kan?”

“Tidak usah, saya masih punya uang untuk bayar makanan sendiri.”

“Okay, terserah kamu saja. Jangan menyesal ya!”

“Iyyuhhh, will never Farel.”

Pengagum Rahasia

Nisa tengah berada di kamarnya, mencermati banyaknya bintang di langit sana.

Di saaat yang sama, terdengar suara ketukan di pintu. Dimintalah Kanza, manusia paling minor di keluarga untuk membukakan pintu.

“Eh, ada Tante. Silakan masuk Tante!” ucapnya kala melihat tamunya adalah pemilik kontrakan.

Ia pun mengedarkan tangannya pada tikar yang berada di ruang tengah rumah. Seakan meminta sang pemilik kontrakan untuk duduk di sana.

To the point, ibu pemilik kontrakan langsung memberikan komando. “Panggilkan mamamu, Nak. Bilang, tante mau bicara.”

Kanza bergegas ke kamar.

“Siapa yang datang?” tanya ibunya padanya yang baru saja akan menginformasikan identitas si tamu.

“Tante Salwa, Ma.”

Bu Faridah mengernyitkan dahi. “Ini pasti mau menagih lagi. Ya Allah, bagaimana cara bayarnya? Kami kan belum punya uang,” batinnya pilu.

Wanita yang tengah kalut itu menyegerakan diri ke ruang tengah. Mendudukkan dirinya yang hampir ringkih di samping si empunya kontrakan. “Ada apa yah, Bu?” tanyanya sambil tangan kanan menggaruk kepala.

“Jadi begini Bu Faridah. Ibu kan tahu sendiri, dari dulu kontrakan ini banyak yang meminati. Tapi tidak saya berikan karena ibu duluan yang sudah menyewa.”

Bu Salwa berhenti sejenak.

“Tapi kalau Ibu tidak sanggup lagi untuk bayar. Kontrakan ini saya sewakan saja ke orang lain.”

Dengan cekatan, bu Faridah meraih tangan bu Salwa. Ia menundukkan kepala, setunduk-tunduknya pengharapan. “Tolong kasihani kami Bu. Suami saya sedang sakit, belum bisa bekerja. Saya janji segera melunasi sewa kontrakan ini kalau sudah punya uang, Bu.”

“Penghasilan saya juga cuman dari uang sewa kontrakan ini Bu Faridah. Kalau semua penyewa saya kasihani, saya tidak dapat uang. Mau dikasih makan apa anak-anak saya nanti?”

Bu Faridah terdiam. Bu Salwa juga.

“Begini saja. Saya kasih Ibu waktu sepekan. Kalau belum juga dilunasi, dengan berat hati kontrakan ini akan saya sewakan ke orang lain,” tutur bu Salwa setelah beberapa menit terdiam. Tanpa menunggu balasan dari lawan bicaranya lagi, ia keluar.

Tak lama kemudian, suara mesin motor terdengar di luar. Dan perlahan, raungan kendaraan beroda dua itu pun tak terdengar lagi. Yang berarti, sang pemilik kontrakan sudah pergi.

***

Di kamar, Nisa memandang lekat-lekat layar gawainya. Ada pesan masuk dari nomor yang tak ia kenali. Pikirannya langsung terkoneksi pada ucapan perempuan berbibir tebal di kantor, tadi siang.

“Jangan senang dulu, Nisa. Bisa saja kan ini orang iseng.”

Meski begitu, ia masih tetap bersemangat untuk membuka pesan tersebut.

Hal : Pengumuman Lolos Berkas & Jadwal Interview NaturalSkin Indonesia.

Kepada

Yth. Peserta Seleksi Rekrutmen Calon Staff NaturalSkin Indonesia

Di tempat,

Sehubungan dengan proses rekrutmen calon staff NaturalSkin Indonesia, dengan ini kami nyatakan:

Memenuhi persyaratan untuk mengikuti tahapan seleksi Tes Interview yang akan diadakan sesuai dengan jadwal.

Tempat : Kantor NaturalSkin Indonesia

Hari & Tanggal : 22 September 2022

Jam : 08.00 – selesai

Mengingat pentingnya tahapan tersebut di atas, maka calon staff tidak boleh diwakili siapapun. Apabila tidak mengikuti tahapan tersebut sesuai jadwal yang sudah ditentukan, maka dinyatakan gugur atau mengundurkan diri. Demikian kiranya penyampaian ini kami buat, atas perhatian dan kerjasamanya kami ucapkan terima kasih.

Spontan, Nisa bersimpuh. Haru memenuhi kalbunya, melahirkan bulir-bulir bening, yang kemudian menggelinding di paras ayunya.

***

Tak terasa, malam yang mencekam telah berlalu. Nisa terbangun dengan semangat yang terus baru. Ia langsung melirik jam di dinding kamarnya.

Jarum jam mendekat ke angka 5. Sudah saatnya untuk melaksanakan shalat subuh. Pun membaca beberapa ayat Al-Qur’an setelahnya.

Di angka setelah 6, Nisa menyalami kedua orang tuanya. Mengecup punggung tangan mereka seraya berkata, “Doakan Nisa yah Pa, Ma. Semoga Nisa diterima kerja di perusahaan itu. Biar bisa bantu Mama dan Papa menghidupi keluarga kita.”

Pak Nugroho mereply. “Pasti, Nak. Kami selalu mendoakan yang terbaik buat kamu.”

“Jangan lupa baca bismillah sebelum wawancara ya,” sahut Bu Faridah.

“Siap Ma!”

Nisa kembali terjebak pada rutinitas kemarin. Menaiki angkutan umum yang sama, dengan kernet yang sama.

Tak ada keheningan di perjalanan menuju kantor itu, walau sejenak. Ibu-ibu bercengkrama tentang harga bahan pokok, saban hari saban melonjak, katanya. Bapak-bapak membanding-bandingkan kualitas rokok. Dan nenek-nenek yang mengeluh akan sikap anak muda zaman now, yang katanya kian bobrok.

Otak Nisa juga sangat berisik. Mengalahkan rinai yang ditimbulkan rintik. Mengalahkan sahutan segerombolan jangkrik saat menjelang terik.

“Apa penampilan saya sudah menarik? Apa jawaban untuk kisi-kisi pertanyaan saat wawancara yang saya siapkan sudah baik? Apa wawancara nanti tidak akan terasa kikuk?”

Aish, dua tiga kalimat tanya itu benar-benar mengotori hampir seluruh pikirannya. Hingga tak terasa, tibalah angkutan umum itu di depan perusahaan yang ia tuju.

Nisa, yang tengah memakai atasan motif bunga itu pun turun. Dirogohnya kantong, diambilnya uang kertas, diberikannya pada kernet.

Lagi, ia memasuki kantor, lift, dan berakhir ruangan kemarin.

Kali ini, perempuan yang duduk di kursi kebesaran itu adalah sosok cantik yang Nisa kenal. Wajah perempuan itu memancarkan keramahan, yang tak Nisa dapatkan di wajah perempuan berbibir tebal kemarin.

“Silakan duduk!” pinta seniornya di SMA tersebut dengan lembut.

Ia adalah Adara Pramudita, sang idol di SMA 1 pada masanya. Terkenal dengan paras yang cantik, hati yang baik, dan otak yang cerdik.

Berbeda dengan perempuan kebanyakan yang berlomba-lomba untuk terlihat putih, Dara justru tampil percaya diri dengan kulit sawo matangnya.

Damn, she’s the real definition of highly class woman.

Ruangan jadi kian pekat akan aroma Ecocare Aerosol LCD, tatkala Dara mulai membuka berkas-berkas milik Nisa.

Membacanya dengan seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Harus, karena masih banyak pelamar yang harus ia tanya-tanya nantinya.

“Kamu dari SMA 1 ya?” tanyanya dengan senyum yang terpatri.

“Iya Bu,” balas Nisa. Ia memperlihatkan geliginya yang rapi.

“Kita satu sekolah dong?” Senyuman Dara kian meluluhkan saat menanyakan itu.

“Iya, Ibu senior saya dulu.”

“Daebak, jadi kamu kenal saya?”

“Siapa sih yang tidak kenal perempuan berbakat seperti Ibu.” Ucapan Nisa mengalir begitu saja, tanpa niat untuk menjilat sedikit pun.

“Omo. Kamu sedikit berlebihan. Saya jadi penasaran, seberapa berbakat sih saya waktu itu?”

“Dulu, Ibu waketos. Pacaran dengan ketos, yang digilai perempuan satu sekolah.”

“Hahaha, ternyata semua orang tahu hubungan kami. Sebentar lagi kami akan menikah. Kamu datang ya nanti.”

“Wah, congrats yah Bu. In Syaa Allah Bu.”

“Oh ya, Arka pemilik perusahaan ini loh.”

Nisa menelan salivanya. Mendengar nama lelaki yang ia kagumi secara rahasia disebutkan, membuatnya sedikit nervous.

“Biasanya dia tidak meloloskan pelamar yang berhijab. But, don’t worry! Nanti saya yang lobi.”

Untaian kalimat itu berasa memberi nutrisi pada harapan Nisa yang sempat layu kemarin. Hatinya kini serasa ditumbuhi bunga-bunga indah yang disambangi ribuan kupu-kupu elok.

Mulutnya yang mengatup dan mengerucut lantaran menahan tangis beberapa saat, kini terbuka kecil. “Terima kasih banyak Bu,” ujarnya dengan mata berkaca-kaca.

Dara menyodorkan kertas. “Silakan kamu baca dulu. Kalau setuju, boleh tanda tangan sekarang. Kamu juga bisa berpikir dulu, tapi cuman sampai nanti malam.”

Nisa bergegas membaca poin demi poin yang tertulis. Tanpa menunggu malam, ia langsung menanda tangani kontrak kerja itu.

“Selamat! Kamu sudah bisa bekerja besok.”

Direktur utama nan cantik tersebut mengulurkan tangannya pada Nisa. Begitu pula dengan Nisa. Mereka kini saling berjabat tangan.

Kebencian Arkana Pradipta

Untuk pertama kali, Nisa menginjakkan kakinya sebagai staff di kantor. Di dalam gedung menjulang tinggi itu, hanya ia seorang yang mengenakan hijab.

Keganjilan itu menyebabkan mata seluruh karyawan lain tertuju padanya. Membuatnya yang berhijab seakan bersalah telah bekerja di situ.

Awkward-nya bertambah ketika salah satu dari mereka yang menatapnya, berbicara setengah berbisik.

“Kok bisa sih perempuan berhijab diloloskan kerja di sini? Bukannya pak Arka benci tampilan begitu ya?”

“Pak Arka mungkin belum lihat dia di sini,” balas karyawan lain yang berhasil membuat Nisa bergidik mendengarnya.

Sekeluarnya dari lift, mereka berpapasan dengan Arka. Jantung Nisa berdetak tidak karuan saat melihatnya.

Terakhir kali ia melihat senior dambaannya itu di hari kelulusan kelas tiga. Lama tak bertemu, Arka jadi semakin gagah saja di matanya.

Arka menatap sekilas pada Nisa, sebelum akhirnya melangkah dengan cepat ke ruangan Farel.

Geram bukan main yang ia rasakan. Baru saja beberapa hari ia keluar negeri, rules yang ia berikan sejak lama dilanggar oleh bawahannya dalam sekejap mata.

Saking kesalnya, ia masuk tanpa memberi salam, pun mengetuk pintu ruangan Farel. “Siapa yang membiarkan perempuan berhijab bekerja di kantor ini?” tanyanya dengan nada berapi-api.

Farel berdiri dari duduknya. “Duduk dulu, bro. Mari, kita bicarakan masalah ini baik-baik.”

“Seharusnya kamu menjawab, karena saya bertanya, bukan meminta duduk. Cepat jelaskan kenapa sampai ada perempuan berhijab yang bekerja di kantor ini!”

“Itu.. anu bro... berkasnya memenuhi syarat.”

Arka mendekat ke arah Farel, menarik dengan keras kera kemeja sepupunya itu. “Karena berkasnya memenuhi syarat katamu? Sudah lupa sama rules yang saya kasih selama ini?”

“Okay, biar saya jelaskan. Tapi lepaskan dulu tanganmu ini. Saya bisa kehabisan nyawa kalau terus-terusan kamu cekik.”

Arka pun dengan terpaksa melepaskan tangannya.

Farel langsung menghirup udara ke segala penjuru. Ia sungguh kehabisan nafas karena cekikan sepupunya yang temperamen itu.

“Well, jadi begini ya sepupu yang paling ganteng sejagat raya. Saya cuman meloloskan berkasnya. Selebihnya itu atas kehendak pacarmu yang super cantik itu. So, kalau mau protes, protes saja ke dia.”

Beberapa detik kemudian, Farel menunduk sejenak. Membenarkan kemejanya yang berantakan karena sentuhan Arka.

Saat mendongak, lelaki yang penuh amarah di hadapannya tadi ternyata sudah tidak di tempat lagi.

“Sana, marahi pacarmu kalau berani.” Ia cekikikan membayangkan betapa tidak berdayanya Arka di hadapan Dara.

Setibanya di ruangan Dara.

“Sayang.”

Panggilan Arka membuat Dara yang sedang memandangi hiruk pikuk kota dari sudut jendela, berbalik. “Chagiya,” ujarnya kemudian berlari untuk memeluk kekasihnya yang jangkung.

“Tumben pulang nggak bilang-bilang,” tambahnya sambil terus mempererat dekapannya.

Perlahan tapi pasti, amarah Arka mereda lantaran pelukan hangat dari sang pujaan hati. Ia turut memberi pelukan itu dan berkata, “Sengaja. Mau kasih suprise ke kamu.”

Arka membelai rambut panjang Dara. “Tadi saya lihat ada perempuan berhijab yang bekerja di kantor kita. Kata Farel, kamu yang loloskan di. Is it right darling?” imbuhnya.

Dara melepaskan rangkulannya. Kemudian menjawab, “Ne.”

Arka bersikeras membalas ucapan Dara dengan lembut. Menekan sekuat tenaga perang batinnya yang timbul sejak berpapasan dengan Nisa tadi.

“Kenapa diloloskan sayang? Kamu kan tahu saya paling benci melihat perempuan yang berhijab.”

“Tidak semua perempuan berhijab seperti mantanmu. Mereka berhijab kan juga karena perintah agama. Lagian, staff baru itu junior kita dulu di SMA.”

“Tapi dia bermutu kan? Jangan sampai cuman bisa bikin onar seperti Alisha.”

“Pasti, haha. Jangan pernah meragukan kualitas alumni sekolah kita. Oh ya, ada satu hal yang menarik dari wawancara dengan dia kemarin.” Dara menggantung ucapannya.

“Apa itu, sayang?”

“Ternyata kita seterkenal itu ya ...”

Arka menaikkan satu alisnya. “Terkenal bagaimana?”

“Tentang jabatan kita dan hubungan kita dulu. Dia tahu loh kita ketos dan waketos. Dia juga tahu kita sepasang kekasih.”

“Wow, amazing.”

Di sisi lain.

Nisa tiba di ruangan khusus staff Divisi Regional. Orang-orang di dalam amat jarang berbincang. Mereka begitu sibuk memencet huruf-huruf di keyboard komputer.

Ia, sebagai staff baru tak lepas dari dampak senioritas di tempat kerja. Di antaranya melakukan semua yang diperintahkan oleh staff lain yang telah lebih dulu berkecimpung di kantor itu.

Raganya kesana kemari, namun jiwanya stuck in uang sewa kontrakan. “Saya baru bekerja. Bagaimana mau gajian? Kalau tidak gajian, bagaimana cara bayar kontrakan? Ya Allah, rumit sekali,” pikirnya.

Hingga tiba-tiba, Athira masuk ke ruangan. Senyum Nisa jadi lebih lebar dari sebelumnya melihat atasannya datang. “Athira mungkin punya uang. Saya pinjam di dia saja,” batinnya lagi.

Jarum jam terus berputar.

Tepat di jam 12, semua karyawan di divisi Nisa berhamburan ke Cafetaria kantor. Kecuali Athira, ia masih berkutat di tempat duduknya.

Nisa mendekatinya. “Thira, bisa bicara sebentar?”

Thira berhenti mengetik. “Iya, silakan say. Kamu kayak ke orang lain saja.”

“Saya boleh pinjam uang kamu?”

Thira menggigit bibirnya sebentar. “Maaf yah Nisa, saya belum gajian. Uang sisa gajian kemarin juga tinggal sedikit. Cuman cukup untuk biaya transportasi dan makan saya bulan ini.”

“Oh, iya. Nanti saya cari pinjaman ke orang lain saja.”

“Sekali lagi maaf yah, Nisa.”

“It is okay Thira. Seharusnya saya yang minta maaf. Sudah dikasih info kerja, masih juga mau meminjam uang.”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!