NovelToon NovelToon

Red Dress

A Hug

Adakah bisa yang menggambarkan perasaan Jessy saat ini? Oh ya Tuhan, ambil saja nyawa pria dihadapannya saat ini. Pria yang tengah menusuk-nusuk telur balado buatannya tadi dengan sangat tidak berselera. Apa yang salah dengan masakannya? Dia bahkan menyesal karena tidak mencampur masakannya dengan racun. Biar tewas sekalian pria ini. Demi ibunya yang hebat memasak, kemarin pria itu memuji masakannya, sekarang? Pria itu malah menangkupkan wajahnya diatas meja makan, terlihat sama sekali tidak tertarik dengan makanan dihadapannya yang seolah-olah berteriak "makan aku, aku sangatlah lezat."

Haruskah Jessy menceritakan semuanya dari awal? Menceritakan hal yang membuat sahabatnya, Alfred Rescew untuk pertama kalinya menolak masakan yang sudah dibuat Jessy. Ditambah keadaan kamarnya yang sangat tidak terurus ini-yang mana sangat bertolak belakang dengan sifat ¬perfectsionist dari seorang Alfred-membuat Jessy hanya bisa menghembuskan nafasnya pasrah.

Baiklah, kau harus memperhatikannya, membaca dengan teliti setiap kata-kata selanjutnya.

Alfred sedang patah hati. Sekali lagi Jessy ulangi, PATAH HATI. Dan tahu apa artinya? Neraka bagi Jessy. Mengapa? Karena disaat seorang Alfred sakit hati, Jessy harus benar-benar siap dengan semua tingkah laku yang hanya bisa Jessy mengerti, lebih tepatnya terpaksa untuk Jessy mengerti.

Patah hati karena gadis impiannya lebih memilih untuk menjalin hubungan dengan kawan sekantornya. Sedih memang, saat semalam Jessy dan pria itu begadang demi memikirkan pendekatan-pendekatan yang akan diluncurkan, esoknya kabar bahwa Mary dan Ronnie berpacaran tersebar disetiap sudut kantor tempatnya bekerja.

Terakhir kali sahabatnya itu patah hati adalah 2 tahun lalu, disaat ia putus dengan Melani. Apa? Kau tidak salah membacanya. Benar, SANGAT BENAR. Melani Andriani, lebih jelasnya penyanyi Indonesia yang cantiknya sangat meneduhkan. Alasannya? Beda negara. Mereka pernah mencoba untuk membina sebuah hubungan jarak jauh, dan demi apapun itu sangat mengganggu Jessy! Ia dijadikan pelampiasan oleh sahabat yang waktu itu tidak mau ia akui sebagai sahabat. Dia menyita hampir seluruh waktu Jessy, tidak di kampus, ditempat kerja paruh waktunya, bahkan di apartemen minimalis Jessy. Gadis itu bahkan tidak bisa menjalankan aksi pendekatannya dengan senior tampan yang sering memerhatikannya karena keberadaan pria tidak tahu malu itu-begitu Jessy menyebutnya saat kesalnya sedang berada dipuncak-dan saat Jessy memanggilnya seperti itu, Alfred akan mengedip-ngedip matanya yang sangat menjijikan bagi Jessy.

Dan karena itu pula mereka putus, karena Alfred terlalu dekat dengan Jessy, sahabatnya. Jika Jessy berada diposisi gadis cantik itu pun ia pasti akan salah sangka. Meskipun Jessy dan Alfred benar-benar tidak memiliki hubungan yang lebih dari sahabat. Namun, meskipun Alfred sudah menjelaskan sampai hampir mau mati saja rasanya, Melani tetap saja tidak percaya. Hingga keputusan akhir yang diambil gadis cantik itu adalah putus. Bahkan saat mereka putus pun Jessy disana, melihat drama yang menyakitkan penglihatannya karena ada adegan dimana pria bule yang menjadi sahabatnya saat pertama kali menginjak University of Australia menangis tersedu-sedu, dan lebih parahnya itu terjadi di bandara yang niat awalnya untuk mengantar kepulangan kekasihnya ke tanah air. Demi celana bunga Patrick, Jessy tidak mau mengakui Alfred sebagai sahabatnya saat itu. Namun pada akhirnya, atas nama persahabatan ia menemani pria bersurai kuning keemasan itu seharian, merelakan kaos oblong hitam yang ia kenakan basah karena tangisan tiada henti milik Alfred. Omong-omong tentang kaos oblong, setidaknya ia bersyukur karena kaos oblong itu milik adik laki-lakinya yang Jessy pinjam tanpa pemberitahuan.

*

Jessy memutar bola matanya kesal, apa pria ini tidak lapar? Ini tidak bisa dibiarkan. Jessy mengerutkan kening, berpikir sejenak. Apa yang harus dia lakukan agar pria ini tertarik dengan hidangannya?

Setelah beberapa saat berkutat dengan pikirannya, Jessy menyeringai, ia tahu apa yang harus ia perbuat sekarang. Well, mari kita lihat. Apakah Alfred akan kembali berselara dengan sandwich tuna ala Jessy.

Setelah kemarin diabaikan oleh Alfred karena berkas-berkas dimeja kerja pria itu lebih menarik dari Jessy, maka Jessy menarik kesimpulan bahwa sahabatnya itu mencintai pekerjaannya.

Jadi, apa yang akan dilakukan oleh Alfred saat melihat tumpukan berkasnya dibayangi oleh kobaran api? Apakah pria itu akan histeris? Oh, Jessy sangat tidak sabar untuk melihat reaksi Alfred.

Maka Jessy meraih kertas-kertas yang bertebaran dimeja kerja Alfred, dan Jessy tidak perduli apakah kertas-kertas penting atau tidak, membawa kehadapan Alred yang masih setia berciuman dengan meja makan lalu berseru dengan lantang, "Alfred! Makan makanan itu, atau kamu harus say goodbye sama kertas-kertas ini?"

Oh ya, tentu saja Alfred mengerti dengan apa yang dikatakan Jessy, pria itu sangat hebat berbahasa Indonesia, yang tentu saja Jessy harus mengajarinya jatuh bangun demi pendekatannya dengan Melani berjalan lancar.

Alfred mengangkat kepalanya melihat Jessy yang sedang berkacak pinggang sambil memegang kertas, sontak ia membulatkan matanya kaget. Dan Jessy tersenyum menang melihat ekspresi ketakutan yang terbit diwajah Alfred.

"No! No! Don't you dare!" tatapan menghunus yang dilayangkan Alfred seolah sama sekali tidak memberikan efek apapun untuk Jessy, ia bahkan balik menantang dengan lebih berani, dagu yang terangkat dan tatapan yang lebih tajam dari pria itu.

Alfred bahkan sampai membuat kursi yang tadi ia duduki terbalik.

"Berani kamu maju selangkah, kertas-kertas ini akan berubah jadi butiran debu!" seruan dengan suara keras milik Jessy menggelagar saat ia menangkap pergerakan dari Alfred. Alfred yang tadi sudah berdiri terduduk kembali dengan lemas, setelah sebelumnya mengembalikan kursi yang tadi terbalik kembali pada posisi semula. Perhatiannya tidak luput sedetikpun dari Jessy.

"Good boy," Jessy tersenyum bangga, ancamannya berhasil.

"Sekarang makan sandwich itu. Habiskan! Aku tidak terima penolakan." Ya Tuhan, Jessy bisa lihat keinginan Alfred untuk mencekiknya sampai mati saat ini juga.

Alfred akhirnya mengikuti perkataan gadis itu, menciptakan senyum kemenangan diwajahnya, ia mulai mengambil sandwich tuna dihadapannya dengan perlahan, matanya sesekali melirik kearah Jessy yang masih setia menggenggam berkas-berkas pentingnya.

Jessy tersenyum senang, bahagia karena ia sukses membuat Alfred melahap habis semua hidangan yang dimasaknya. Dan Alfred sangat manis jika sepenurut ini, seandainya Alfred seekor anak anjing pasti Jessy sudah memberikan kecupan-kecupan manis di kepalanya.

Jessy kembali kesal melihat tingkah Alfred, seharian ini dia terlihat uring-uringan. Ya Tuhan, Jessy benar-benar ikhlas jika saat ini Engkau mencabut nyawanya. Demi apapun yang ada dibumi ini, pria ini mengganggu pekerjaannya! Dimana tatapan tajamnya tadi? Dimana tatapan dinginnya kemarin yang ia layangkan pada gadis penggoda dibar? Dimana? Siapa yang sudah mencurinya, cepat kembalikan! Sebelum Jessy gila menghadapi pria yang tengah berbaring di lantai. Demi kekesalannya saat ini, apa Alfred sudah gila? Kasurnya terlihat berjuta-juta lebih nyaman daripada lantai yang saat ini ingin ia bersihkan.

Oke, Jessy. Abaikan seonggok daging yang tengah meringkuk saat ini, lanjutkan kegiatanmu dan anggap dia sampah yang harus dibersihkan dari muka bumi.

Alfred yang merasa sentuhan dingin dikakinya langsung terduduk, matanya bisa menangkap kain pel yang basah ditelapak kakinya.

"Ups! Sorry, aku pikir tadi sampah yang harus dibersihin," Alfred menatap kesal, hanya sedetik sebelum matanya terlihat sendu. Oh, Jessy merasa bersalah sekarang.

Oh, bukan. Jessy bukan pembantu diapartemen pria yang sedang melakukan aksi anehnya saat ini. Jessy itu pecinta kebersihan, dan saat ia memasuki apartemen Alfred yang sangat-apa yah Jessy menganalogikannnya?-berantakan, pikirannya secara otomatis ingin mengambil sapu dan kain pel.

"Need a hug?" Jessy merentangkan tangannya lebar sambil menaik-turunkan alisnya.

Alfred menatap gadis itu sejenak, kemudian mengangguk pelan yang langsung dibalas dengan pelukan oleh Jessy. Ia mengelus lembut punggung lebar pria itu.

"Uh, big baby with big problem."

Jessy menyodorkan mug dengan motif hati yang langsung diterima oleh Alfred kemudian menyesapnya sedikit.

Aroma teh Chamomile buatan gadis yang sudah bersandar didinding dekat jendela itu selalu bisa membuatnya tenang.

Ada jeda semenit yang tercipta, hanya bunyi detik dan hembusan nafas yang mengisi kekosongan.

Sampai akhirnya suara Jessy membongkar keheningan diantara mereka, yang mana sukses membuat perhatian Alfred sepenuhnya terpusat pada gadis yang sudah menyeringai.

"Mau kencan denganku?"

Menanggapi perkataan Jessy yang terdengar begitu aneh di telinga Alfred, ia menaikkan sebelah alisnya yang dibalas dengan bahu terangkat oleh Jessy.

"Seriously?" Alfred sudah memindahkan mug berisi teh Chamomile ke atas meja bundar disebelahnya.

"Of course. I'll be yours tonight." Melihat tatapan menggoda yang diberikan, Alfred terbahak dengan keras. Selama 4 tahun persahabatannya dengan Jessy, untuk pertama kalinya ia melihat tatapan menggoda seperti itu.

Jessy ikut tertawa.

"No, I'm serious." Alfred tersenyum.

"Ah, jika kau tidak mau berkencan kita bisa mencuci mata di taman. Taruhan, di sana pasti banyak gadis bahenol yang bisa kau rayu." Jessy kembali menyeringai.

Sekali lagi Alfred terbahak. "Oh my God, Jessy. Thank you so much. You make me laugh." Alfred merentangkan kedua tangannya, hendak memeluk Jessy namun gadis itu mengangkat kedua tangannya sebatas bahu.

"No, don't you dare. You haven't shower since yesterday. Stay away from me!"

Buru-buru Jessy langsung berlari menuju kamar Alfred, mengambil handuk kemudian membuangnya tepat diwajah Alfred.

"Mandi sana!"

Oh, tentu saja ia tidak akan menuruti perintah itu. Ia perlu membagi aroma tubuhnya yang belum mandi sejak kemarin dengan Jessy.

Itu kan yang namanya sahabat?

*

TBC

Sleep Tight

Jessi berkenalan dengan Alfred saat kuliah, sebagai seorang migran dengan beasiswa Jessi membutuhkan pekerjaan supaya bisa memenuhi kebutuhan hidupnya di negeri orang. Hampir semua pekerjaan paruh waktu Jessi

lakukan di waktu senggang, bekerja di restoran, cafe, pusat perbelanjaan, bahkan sampai di stasiun pengisian bahan bakar. Pertama kali bertemu Alfred adalah saat mereka satu kelompok di mata kuliah yang sama, Pekerjaan Sosial. Mereka diharuskan mengunjungi Panti Jompo dan melakukan analisa perilaku lansia. Sebenarnya Alfred memilih jurusan bisnis namun ia memilih mata kuliah sosial untuk menyeimbangkan pemikirannya sebagai manusia yang membutuhkan orang lain. Pertemuan kedua mereka adalah di cafe, Jessi saat itu mengantar pesanan pria itu, Ice Americano. Pria berkacamata itu langsung menjadi pusat perhatian semua pengunjung, aura dan kharismanya sungguh kuat sehingga tidak mungkin tidak memalingkan wajah untuk melihat pria tinggi itu. Alfred langsung mengenali Jessi, entah itu berkat atau kutuk karena setelah itu hampir semua pengunjung wanita mewawancarai Jessi.

Kilas balik pertemuan mereka berlarian di kepala Jessi. Tidak menyangka bahwa akhirnya mereka menjadi sahabat seperti ini. Jessi bersyukur karena Alfred selalu membantunya, ia mendapatkan pekerjaan untuk membersihkan apartemen dan menyediakan makanan untuk Alfred. Jessi mau melakukan itu karena gaji yang ditawarkan tidak main-main. Di satu sisi, Jessi juga senang bersih-bersih dan masak. Hobi yang dibayar, siapa yang tidak mau?

Jessi menyesap teh yang hangat, ia melemparkan pandang lewat jendela kaca. Kerlap-kerlip Kota New York memberikannya ketenangan. Ia jarang menginap di apartemen Alfred, ini adalah kali ketiganya. Kali pertama adalah saat mereka harus membuat laporan, kali kedua saat Jessi mabuk di pesta ulang tahun mantan pacar Alfred yang diselenggarakan di apartemen besar ini, dan ia bekerja keras untuk membersihkan ruangan dari sisa-sisa pesta.

Jessi sedang berpikir keras, bagaimana pun juga Alfred adalah seorang CEO dari perusahaan media yang sangat terkenal dan Jessi adalah sekretarisnya. Lika-liku dan jatuh bangun perusahaan dilalui bersama Alfred. Jessi pernah membaca kalimat bahwa laki-laki dan perempuan tidak bisa bersahabat karena pasti salah satu diantaranya akan jatuh cinta. Tapi ia ingin membantah kalimat tersebut karena sampai sekarang pun tidak pernah ada perasaan lebih untuk pria 29 tahun itu. Jessi percaya demikian pula dengan Alfred.

"Jessi, dengar. Jangan pernah berharap aku menganggapmu lebih dari sahabat. Aku merasa nyaman dengan kamu karena tahu bahwa kamu tidak menyukaiku. Berbeda dengan perempuan lainnya di universitas yang selalu mengejarku." Itu lah ungkapan Alfred saat ditanya mengapa ia selalu menghampiri Jessi di tempat kerja bahkan sering mengajaknya makan. Alasan lain yang diungkapkan adalah karena Jessi bisa berdiskusi dengan baik dan mampu menyamai pemikiran Alfred yang kritis, nilai tambahnya adalah Jessi tidak pernah mengeluh dan selalu bisa melakukan apapun asalkan di bayar, kecuali menjual dirinya. Jessi adalah orang Asia yang menganut paham no *** before marriage. Dia tidak masalah menjadi mahasiswa yang aneh karena berbeda dengan teman-teman wanitanya. Alfred adalah pria yang tidak peduli dengan asmara saat kuliah, berbeda saat ia sudah sukses seperti ini. Sampai saat ini pun hubungan mereka masih sama, mungkin ada peningkatan karena dari sekedar teman menjadi sahabat.

Jessi tidak pernah pacaran atau memiliki hubungan khusus lainnya dengan laki-laki. Ah, sebenarnya pernah ia berpacaran satu kali saat masih di Sekolah Menengah Atas. Hubungan yang hanya bertahan dua minggu karena Jessi begitu kaku dan dingin dengan pacarnya saat itu. Jessi hanya coba-coba, ingin merasakan perasaan berbunga-bunga saat di tembak atau perut yang dipenuhi kupu-kupu karena jatuh cinta. Hanya saja Jessi tidak merasakan itu dengan pacar pertamanya. Ia lebih berbunga-bunga kala melihat aktor dan idol Korea Selatan

dan juga perut sixpack Taylor Lautner atau wajah pucat Robert Pattinson. Terkadang Jessi sampai saat ini masih berkhayal tentang vampir yang datang menggigitnya sehingga ia pun bisa menjalani kisah cinta se-romantis pasangan Bella dan Edward.

"Kau tidak tidur?" Suara Alfred menggema di keheningan malam. Ia menengadah untuk melihat Alfred yang berdiri di belakang sofa.

"Oh, maaf. Apa aku membangunkanmu?" Jessi menaruh cangkir teh di atas meja kecil didepannya.

"Tidak, aku tiba-tiba lapar." Wajah memelas Alfred membuat Jessi tertawa kecil. Segera bangkit dari duduknya, ia mengikat rapi rambut keriting sebahu sambil melangkah ke dapur, membuka kulkas dan mengambil dua butir telur. Dari dalam kabinet ia mengambil ramen dan mulai merebus air.

"Aku sudah malas masak, kita makan ramen saja." Jemarinya sudah bergerak memotong daun bawang dan cabai rawit. Sebagai orang Indonesia, cabai rawit dan sambal wajib tersedia.

"Apapun itu, tapi kau tahu aku tidak makan pedas." Mendengar itu Jessi hanya menatap Alfred datar.

"Aku tahu, ini untukku." Alfred diam, tidak lagi berkata apapun dan menaruh kepalanya di atas meja makan. Matanya memperhatikan setiap gerakan Jessi.

"Apakah kau mau minum teh dulu?" Alfred menggelengkan kepala. Jessi menganggukkan kepala.

"Sesedih apapun kamu, besok harus ke kantor karena akan ada pertemuan dengan para direksi." Jelas Jessi. Alfred menghembuskan napasnya berat.

"Hah, bisa kah rapatnya di tunda?" Jessi berdecak. Alfred sudah tahu artinya.

"Baik, aku mengerti." Aroma masakan tercium, bau bumbu ramen membuat Alfred semakin lapar. Segera ia menyiapkan mangkuk, sumpit dan garpu. Garpu itu untuk Jessi, sampai sekarang Jessi masih kesulitan menggunakan sumpit. Alfred tahu akan hal itu. Panci berisi ramen di angkat dan dengan langkah cepat, Jessi menaruhnya di atas meja.

Alfred sudah siap dengan mangkuk dan sumpit di tangan, saat hendak mengambil mie dari panci, tangannya di tepuk Jessi. Matanya melotot.

"Kebiasaan, doa dulu." Suara Jessi terdengar mengancam. Seperti akan terjadi sesuatu jika ia tidak melakukan perintah. Jemarinya melepas sumpit dan menyatukan tangan untuk berdoa. Jessi tersenyum kecil lalu mengambil sikap doa.

"Kepada pemilik hidup ini, terimakasih untuk makanan ini. Berkati lah Jessi yang sudah menyiapkannya. Amin." Tanpa aba-aba, Alfred langsung mengambil mie dan memakannya, tidak lagi peduli itu panas. Berbeda dengan Jessi yang menyeruput kuahnya pelan. Ramen tengah malam adalah pilihan tepat untuk perut yang lapar. Mereka

makan dengan tenang. Mungkin ini lebih baik daripada berbicara tentang pekerjaan atau kisah cinta Alfred.

"Bagaimana dengan Ronan?" Suara Alfred memecah keheningan.

"Memangnya dia kenapa?" Sebelah alisnya terangkat.

"Kan sudah ku bilang dia menyukai mu." Ada rasa tidak puas dari Alfred.

"Ya, aku tahu. Lalu?" Alfred berdecak tidak percaya. Kebiasaan Jessi sebenarnya saat kesal yang ternyata tertular pada pria ini.

"Seharusnya kamu memberi dia kesempatan."

"Dia tidak mengungkapkan perasaannya padaku, bos. Jika iya, saat ini aku tidak bersama kamu. Aku pun tidak ingin jika kekasihku cemburu atau salah paham walaupun dia tahu kita sahabat. Mengerti maksudku. Aku tidak suka masalah, masalah yang selalu datang padaku." Alfred terdiam.

"Sepertinya dia hanya ingin bermain-main denganku." Lanjut Jessi.

"Tapi kenapa?" Kali ini Alfred menyeruput kuah ramen.

"Kau tahu sendiri, ego laki-laki. Selama ini tidak pernah ada yang mengabaikannya, aku melakukannya. Dia penasaran dan berharap aku jatuh di tangannya."

"Kadang aku heran, kamu tidak pernah pacaran. Maksudku, masa SMA tidak perlu di hitung. Tapi kenapa paham sekali dengan sifat pria." Alfred menggelengkan kepala, menyatakan keheranannya itu. Dengan senyum angkuhnya, Jessi menjawab.

"Life lesson from people." Diiringi dengan tertawa setan dari Jessi.

"Kau tahu kan, aku ini pendengar sejati. Aku lebih senang mendengar dan memperhatikan, lalu menganalisisnya didalam otakku dan kesimpulannya aku simpan sendiri. Akan aku buka di saat tertentu, sangat berguna seperti sekarang ini." Alfred tercengang, di satu sisi ia penasaran juga.

"Lalu menurutmu, aku seperti apa?" Tatapan Alfred tidak sabar, sementara Jessi menaruh kembali suapan mie. Matanya memperhatikan Alfred.

"Tipe budak cinta." Tidak ada lanjutan. Tapi Alfred paham dan kepalanya berputar dengan kejadian dalam kisah percintaannya. Sedetik kemudian, ia menganga. Tidak percaya dengan apa yang baru saja di ucapkan.

"Inilah yang menjadi masalahmu, bos. Bahkan sebelum diminta kau sudah memberikan segalanya untuk wanita yang kau kejar. Apa kamu pernah bermain tarik ulur? Tidak usah menjawab, aku tahu jawabannya tidak." Itu membuat Alfred menutupnya kembali. Jessi sedang dalam mode sarkas. Ia lebih memilih diam.

"Kau tahu, kamu perlu melihat dari sisi perempuan juga. Ada alasan juga kenapa perempuan lebih menyukai pria dengan tipe buruk. Mereka merasa tertantang. Tapi bukan berarti kamu berubah menjadi pria yang buruk. Menurutku, sebagai pria kamu sudah sangat luar bisa. Hanya saja kamu perlu melakukan sesuatu yang membuat perempuan tertantang." Jessi kembali menyuap ramen yang hangat. Ia harus menghabiskan ramen ini segara jika tidak ingin mie-nya mengembang. Alfred menganggukan kepalanya, paham dengan ucapan Jessi.

"Sepertinya Catherina menyukaimu." Alfred terbatuk.

"Kenapa? Aku bisa melihat tatapan memujanya untuk mu." Jessi tertawa kecil dengan reaksi Alfred yang kaget.

"Ini juga masalahmu. Tidak pernah peka dengan orang yang menyukaimu." Ucapan Jessi di lanjutkan decakan.

"Sudahlah, aku akan membersihkan ini. Kamu lanjutkan tidur. Besok pagi akan ada pertemuan klien." Jessi membereskan peralatan makan dari atas meja dan menaruhnya di westafel. Hendak mencucinya namun diambil alih oleh Alfred. Jessi diam menatap hal tersebut, lalu mengambil gelas air dan minumnya.

"Menginaplah disini. Kita berangkat bersama besok." Aliran air menjadi pengisi keheningan di antara mereka.

"Baiklah. Kalau begitu aku tidur duluan." Jessi berbaring diatas sofa ruang tamu, tempat istirahatnya jika menginap di apartemen Alfred. Namun, entah apa yang merasuki Alfred saat ini hingga ia meminta Jessi untuk berbaring di tempat tidurnya.

"Aku hanya ingin kamu merasa nyaman." Ucapnya sambil lalu. Tapi bagi Jessi seolah melihat psikopat yang menemukan mangsanya.

"Hei, kalau kau tidak mau tidak masalah. Jangan menatapku seperti itu. Aku hanya, hanya ingin tidur sambil memeluk seseorang. Itu saja." Ada nada lirih di akhir kalimatnya. Memang dasar Jessi adalah wanita berhati lemah. Meskipun ada decakan yang keluar dari mulutnya, ia tetap melangkahkan kaki menuju tempat tidur, menyibak selimut lalu berbaring disitu.

Alfred tersenyum, senang karena sekali lagi Jessi mau mendengarkan permintaannya. Sosok keras kepala itu sudah nyaman tertidur. Alfred mengambil langkah seribu dan segara masuk dalam selimut. Lengan kokohnya

memeluk Jessi erat, ia bahkan bisa merasakan perut yang sedikit buncit itu. Tak lama, Jessi merasakan nafas pria itu yang mulai teratur. Dalam tidurnya Jessi tersenyum. Setidaknya rasa kesepian itu tidak ia rasakan seorang diri.

Tidur dini hari ternyaman yang pernah Jessi rasakan.

Important Person

Jessi mengambil sedikit sup tahu yang ia buat pagi ini. Aktivitasnya sudah di mulai dari pukul lima. Alfred

masih lelap dalam balutan selimut. Sebagai seorang sekretaris yang merangkap jadi asisten pribadi Alfred, tentu sudah menjadi tugas Jessi untuk menyiapkan makan dan juga membersihkan apartemen pria itu. Gaji seorang sekretaris lebih dari cukup bagi Jessi. Hanya saja Jessi adalah sosok pekerja keras yang menaruh hidup seutuhnya mencari uang. Itulah mengapa ia belum mau berhubungan dengan pria. Bagi Jessi saat ia sudah memutuskan untuk memiliki suami maka ia akan melepas pekerjaannya sebagai sekretaris juga asisten Alfred. Saat ini hidupnya

dicurahkan seutuhnya untuk melakukan pekerjaannya.

Alfred menghampiri Jessi dengan wajah mengantuk. Ia mengucak mata pelan dan mendapati Jessi bernyanyi

kecil. Ia sedang mencuci piring. Sup yang sudah matang di taruh dalam mangkuk. Sarapan sudah sedia dan Alfred memilih untuk membersihkan diri dan bersiap untuk ke kantor. Hari ini ada pertemuan dengan klien. Sebenarnya bisa dilakulan oleh bawahannya, namun klien ini sangat penting.

Jessi buru-buru melepas celemek lalu segera masuk ke kamar Alfred. Pria itu sedang memilih dasi yang cocok

untuk di pakai. Jessi melirik sekilas lalu menghampiri Alfred. Kemeja putih itu cocok dengan dasi biru dongker.

"Biru dongker, pakai itu. Setelah itu langsung makan dan jangan masuk ke kamar sampai aku keluar dari kamarmu." Petuah yang selalu diingat oleh Alfred tiap kali Jessi mempersiapkan diri ke kantor jika menginap di tempatnya. Hal yang tidak pernah di langgar oleh Alfred karena ia sangat menghargai wanita kecil itu.

"Aku akan menunggumu sarapan." Balas Alfred. Berharap teriakannya masuk ke telinga Jessi karena ia sudah di kamar mandi. Alfred melangkah ke dapur dan membuat kopi untuknya dan Jessi. Mereka berdua memang selalu akur, lebih kepada Jessi yang mengalah dengan segala tingkah laku Alfred namun untuk urusan kopi mereka berada pada level yang berbeda seperti pasangan lansia yang tidak perlu banyak bicara dan hanya duduk diam untuk menikmati pekatnya kopi.

"Wow, kamu memakai rok." Alfred terpengarah melihat rok pinsil yang di pakai Jessi. Baru kali ini ia melihat Jessi tampil begitu formal dengan rok dan kemeja. Selama ini ia selalu nyaman dengan celana panjang. Menjadi sekretaris sekaligus asisten Alfred membuat Jessi lebih menyukai memakai celana karena dengan begitu ia bebas bergerak.

"Catharina sudah mengatur makan siang di salah satu restoran Cina. Ini berkas-berkas yang perlu kamu pelajari." Jessi menyerahkan beberapa map lalu menyesap sedikit kopi yang masih mengepul.

"Terimakasih untuk kopinya." Tidak ada balasan dari Alfred tapi Jessi bisa melihat senyuman pria yang sibuk membaca dokumen.

"Lanjutkan di mobil. Makanlah dulu." Alfred menutup kembali map itu dan menaruhnya di samping. Menuruti setiap perkataan Jessi seolah sedang di mantrai. Ia pernah sekali melawan dengan Jessi dan berakhir dengan Alfred yang menangis lalu meminta maaf karena tidak sanggup dengan tatapan dingin Jessi. Bagi Alfred, ia lebih memilih di benci oleh banyak orang daripada dibenci oleh perempuan berkulit coklat itu.

Di mobil mereka diam, hanya suara radio yang membahas cuaca hari ini yang di putar oleh supir pribadi Alfred. Jessi suka mendengarkan radio di pagi hari, kadang di waktu senggangnya ia mengirimkan beberapa cerita dan dibaca oleh penyiar. Nama samaran yang ia pakai menunjukkan kecintaannya pada anjing, secara khusus pada Siberian Husky. Jika saja Alfred tidak memiliki alergi terhadap bulu, di pastikan ia akan merayu Alfred memelihara anjing. Jessi tidak keberatan sama sekali jika pekerjaannya bertambah menjadi pengasuh husky. Justru ia akan sangat berterimakasih dan melakukannya dengan sungguh-sungguh.

Tiba di kantor, suasana terlihat sibuk dan padat. Beberapa ada yang menyapa Alfred dan Jessi. Sisanya lebih mementingkan pekerjaan hingga tidak ambil pusing dengan keadaan sekitar.

Catharina sudah menunggu di ruang tunggu, menyambut Alfred dengan mencium pipi kiri dan kanan dari Alfred.

'Seharusnya Alfred menyukai  wanita ini saja. Mereka bisa jadi pasangan serasi dan luar biasa.' Gumaman Jessi dalam hati. Alfred terlihat nyaman-nyaman saja. Catharina sangat baik juga sangat cantik, hanya saja ia selalu menganggap Jessi sebagai saingan cintanya. Bisa di pahami karena Jessi seperti perangko yang menempel dengan Alfred. Tapi itu bukan maunya Jessi, Alfred hanya cocok bekerja dengannya. Ia pernah merekrut beberapa menjadi sekretaris Alfred, baik pria maupun wanita. Itu hanya bertahan paling lama selama tiga bulan. Selanjutnya mereka angkat tangan dengan sifat pria itu. Memangnya siapa yang bertahan jika setiap tengah malam di telepon dan menanyakan dokumen-dokumen yang bahkan tidak diingat lagi oleh mereka. Atau mungkin hanya Jessi yang bisa bertahan dengan Alfred yang workaholic. Jessi juga sama workaholicnya dengan Alfred. Mereka adalah partner

kerja yang serasi dan juga menjadi teman baik selain urusan pekerjaan.

Catharina membicarakan tentang persyaratan yang diajukan oleh klien. Jessi membuatkan teh untuk Catharina dan membiarkan mereka berbicara di ruangan Alfred. Ia akan melanjutkan pekerjaan di mejanya.

Dua jam berlalu, Catharina masih bertahan di ruangan Alfred. Entah apa yang dibicarakan, rasanya terlalu lama jika hanya berbicara urusan bisnis. Jessi baru saja hendak mengantarkan teh berikutnya saat Catharina keluar dari ruangan Alfred terburu-buru dengan mata sembab. Selang beberapa detik, Alfred memanggilnya, meminta Jessi untuk masuk ke ruangannya.

"Kenapa?" Jessi hanya pura-pura bertanya. Ia sudah tahu apa yang akan di bahas oleh Alfred.

"Catharina mengungkapkan perasaannya." Ada jeda lima detik.

"Aku menolaknya."

"Kenapa?"

"Perasaanku untuknya tidak lebih dari teman."

"Cinta bisa tumbuh karena terbiasa."

Alfred menatapnya dalam.

"Kau benar."

"Lalu?"

"Cinta bisa ada karena terbiasa. Dan karena terbiasa sampai tidak menyadari itu cinta."

Jessi semakin tidak mengerti. Alisnya naik sebelah.

"Kamu akan terbiasa dengan Catharina. Itu artinya kamu bisa mencintai dia. Itu kesempatan

untukmu." Alfred hanya diam. Kadang dia heran dengan Jessi yang tidak peka dengan sikapnya itu. Padahal Alfred sudah mulai pergerakannya. Tapi di satu sisi ia tidak mau Jessi menjadi histeris.

"Keluarlah." Jessi menggelengkan kepala, semakin tidak mengerti. Baru saja hendak membuka pintu, Jessi kembali terpaku dengan perkataan Alfred.

"Makan malam di tempatku. Aku ingin makan spagheti buatanmu."

Jessi melihat Alfred dengan bingung. Dalam hati ia berteriak karena tingkah pria ini yang sulit di tebak. Ia keluar tanpa berbicara sepatah kata pun. Menuju meja kerja dan melanjutkan pekerjaannya. Ia memasang headphones dan mulai memutar musik rock. Wajahnya tanpa ekspresi.

Dari jendela kaca, Alfred melihat itu. Pertanda bahwa Jessi tidak bisa di ganggu, ia sadar bahwa Jessi kesal dengan perkataannya tadi. Ia sama sekali tidak bermaksud untuk menaikkan nada satu oktaf saat meminta Jessi keluar tadi. Ia tidak bisa menahan perasaanya. Tapi dia lebih kesal lagi karena Jessi yang mengabaikannya. Rasanya ia ingin mencubit pipi bulat wanita itu dan memintanya untuk tidak mendiamkannya. Ia menahannya karena memang ini ada kesalahannya.

Alfred tidak pernah membeli hadiah sebelumnya. Di layar komputernya ia melihat beberapa perhiasan. Yang ia tahu wanita menyukai perhiasan. Jessi juga pasti demikian. Ia melihat kalung, cincin dan gelang sambil membayangkan  Jessi memakainya. Ini adalah cara meminta maaf yang pria itu berharap ampuh dan Jessi bisa memaafkannya. Sedangkan Jessi masih menatap layar yang menampilkan jadwal kerja bossnya. Sampai getaran dari gawai mengalihkan perhatian. Satu pesan masuk dari Catharina, memintanya untuk meluangkan waktu sebentar dan bertemu di cafe depan kantor.

Jessi tidak bisa sekarang karena ia harus menemani Alfred bertemu dengan investor. Patah hati mungkin membuat Catharina tidak fokus. Padahal pertemuan ini juga harus di hadiri olehnya. Balasan selanjutnya yang didapat Jessi adalah bertemu di salah satu klub terkenal di New York. Cukup jauh dari tempat tinggal Alfred. Dan ia teringat bahwa Alfred memintanya untuk membuatkan spagheti. Jessi masih belum bersuara, ia hanya merespon pertanyaan yang berkaitan dengan pekerjaan. Alfred seolah tidak ambil pusing namun dalam hati nya ia ketar ketir. Tidak tahu harus bagaimana dengan Jessi dalam mode marah seperti ini.

Penandatanganan perjanjian kerja dengan klien yang mereka temui berjalan dengan lancar. Dari pandangan Jessi,

Catharina sudah lebih baik. Ia menutupi kesedihannya dengan lipstik merah menyala. Dan dia terlihat semakin cantik. Jessi duduk dalam diam, Catharina menatapnya dalam. Siap menumpahkan isi hatinya.

"Aku mengungkapkan perasaan pada Alfred dan dia menolakku."

Ada tarikan napas dari Jessi. Hal yang sudah ia duga terjadi. Dia perlu mempersiapkan kata-kata penghibur untuk wanita ini. Terkadang Jessi menjadi tempat pelampiasan amarah dari wanita-wanita yang di tolak Alfred. Tapi Jessi bersyukur karena kali ini tidak ada siraman air seperti biasanya. Catharina terlalu baik, Jessi rasa wanita itu

tidak mampu berbuat hal jahat seperti itu.

"Kau akan baik-baik saja. Suatu saat kamu akan bertemu dengan pria yang mencintaimu dengan sungguh-sungguh. Yang akan melakukan apa saja untuk bisa membuatmu bahagia. Pria yang akan meminta maaf terlebih dulu meskipun bukan dia yang bersalah. Pria yang akan merajuk jika kamu tidak memberi kabar dan pria yang akan menjadi gila jika kamu meninggalkan dia. Pria yang akan melakukanmu seperti seorang dewi. Pria itu bukan Alfred. Aku meminta maaf tapi kenyataannya Alfred tidak menganggapmu lebih daripada seorang teman."

Miris memang, Catharina tersenyum. Jessi selalu bisa memberikannya ketenangan, memberikannya harapan dan juga nasihat. Bagi Catharina, Jessi adalah tempat terbaik untuk mengeluarkan perasaan dan isi hatinya. Juga tempat terbaik yang akan memberikan solusi tanpa harus menjilat. Mungkin itulah sebabnya Alfred menyukai Jessi. Jessi ikut tersenyum. Ia menggenggam jemari Catharina.

“Aku tahu. Aku hanya mencoba peruntungan saja. Tapi memang tidak ada harapan. Aku sedikit sensitive tadi sehingga ya, kau tahu sendiri kan perempuan memang selalu sensitive.”

"Semuanya akan baik-baik saja." Catharina mengangguk. Disesapnya sedikit minuman yang hampir dingin. Sesungguhnya ia sudah hampir satu jam duduk termenung di cafe ini sebelum Jessi datang.

"Jessi, jika suatu hari aku mendengar kabar bahwa kau menjalin hubungan dengan Alfred. Aku tidak akan kaget." Jessi yang sedang minum tersedak mendengar hal itu. Air sampai keluar dari hidungnya. Catharina juga kaget, tisu diambil dan membantu Jessi membersihkan hidung dan mulutnya.

"Itu tidak akan pernah terjadi." Tegas Jessi.

"Aku menganggapnya sebagai teman, sahabat dan saudara." Lanjut Jessi.

"Kalau begitu kau harus merubah pandanganmu tentang Alfred. Tatapannya terlalu dalam jika hanya menganggapmu sebagai teman, sahabat dan saudara." Seringai di wajah perempuan itu membuat Jessi bergidik ngeri.

"Oke, ku beritahu satu hal. Alfred dekat denganku, mau berteman denganku karena aku tidak menyukainya. Juga, ia pasti tidak menyukaiku. Kita menjaga hubungan baik kita dengan tidak melibatkan perasaan lebih."

"Jessi, apa kamu pernah pacaran?" Jessi mengangguk.

"Ya, satu kali. Tapi hanya bertahan dua minggu karena aku tidak selalu memberinya kabar."

"Lalu, apakah kamu mencintai pria itu?"

"Ya, aku mencintainya. Di kesibukanku, aku selalu berusaha memberikanku waktu untuk dia. Aku selalu berusaha yang terbaik. Tapi ternyata itu tidak cukup baginya. Pria itu punya sifat posesif yang membuatku gerah."

Jessi berapi-api dengan ceritanya. Berharap Catharina mendukung pemikirannya. Pacaran bukan berarti harus berkabar setiap saat atau harus dua puluh empat jam bersama.

"Hanya sekali saja? Lalu setelah itu tidak lagi?" Jessi sekali lagi mengangguk. Kali ini dengan rasa bangga yang terlihat jelas diwajahnya.

"Lalu bagaimana dengan Alfred? Apa kamu selalu memberinya kabar?"

"Ya, bahkan saat aku marah dengannya pun aku selalu mengiriminya pesan. Alfred pun selalu begitu."

"Kau lihat perbedaannya?"

"Tidak. Aku tidak mengerti."

"Kau tanpa beban akan mengabari Alfred. Alfred juga demikian."

"Itu karena urusan pekerjaan. Aku bekerja tidak hanya menjadi sekretaris tapi juga menjadi asisten rumah tangga. Aku harus selalu mengabarinya, dia juga harus begitu. Agar semuanya sesuai."

"Lalu apa perasaanmu jika Alfred tidak memberi kabar atau apa yang akan Alfred lakukan jika kamu tidak memberinya kabar."

"Aku akan baik-baik saja. Karena aku bisa menanyakannya pada teman kantor yang lain."

"Bagaimana dengan Alfred."

"Umm… Dia akan khawatir dan panik mencari keberadaanku."

Jessi ingat saat ia lupa memberikan kabar pada Alfred bahwa ia harus mengunjungi temannya melahirkan di rumah sakit. Gawainya dalam mode diam. Dan saat urusan selesai, setelah suami temannya datang dan keluarga temannya berkunjung ke rumah sakit, ia mendapat ratusan missed call dan pesan dari Alfred. Padahal waktu itu Jessi sudah mengambil cuti. Hanya sekali itu saja, setelahnya ia selalu memberi kabar pada Alfred.

"Oleh karena itu aku tidak pernah berhenti memberinya kabar. Meskipun tanpa balasan."

"Kalau begitu, cobalah beberapa kali tidak memberikannya kabar."

"Kenapa?"

"Aku hanya ingin kamu sadar berapa berharganya kamu untuk Alfred. Lebih dari teman, sahabat bahkan saudara sekalipun."

Jessi terdiam. Catharina menyesap habis minumannya lalu pamit. Jessi melambaikan tangannya ketika Catharina melaju dengan mobilnya.

Ia berbalik pelan, hendak kembali ke kantor saat ia melihat Alfred yang bersandar di mobilnya.

"Aku menjemputmu." Tidak ada respon dari Jessi. Sebenarnya Jessi sudah tidak lagi kesal dengan Alfred. Emosinya memang hanya sesaat, ia sadar bahwa perasaan tidak bisa di paksakan. Tapi kali ini Jessi ingin mengerjai Alfred. Ia melanjutkan kakinya melangkah hendak meninggalkan Alfred. Disitulah ia merasakan Alfred menarik tangannya lembut.

"Aku akan memasak untukmu." Memang dasar Jessi lemah terhadap makanan, ia bahkan tidak bisa menahan senyum lebar. Dengan senang hati ia masuk ke dalam mobil.

"Jangan lupa buat makanan yang super pedas." Ada senandung pelan dari Jessi. Alfred menghembuskan napasnya lega. Rencananya ia ingin membeli kalung mahal untuk Jessi, tapi ia sadar bahwa itu tidak akan mempan untuk wanita itu. Makanan adalah satu-satunya pembangkit mood Jessi.

Wanita ini, bagi Alfred, adalah salah orang terpenting dalam hidupnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!