"Aku akan menikahimu segera!" Elang mengusap air mata Nindya yang mulai menetes dan membasahi pipi. "Aku akan tetap bertanggung jawab meski janinmu sudah tidak ada."
Nindya menggeleng berat, "Tapi aku … aku sudah tidak hamil, El! Kamu tidak perlu bertanggung jawab. Aku akan menikah dengan Daniel."
Benarkah? Apa itu cara menghindar terbaik dari seorang Nindya?
Rasa percayanya pada Elang belum tumbuh. Nindya butuh perasaan itu untuk bersama Elang di masa depan. Bagaimanapun Elang baru ada untuknya dalam hitungan hari, jauh jika dibandingkan dengan Daniel, tunangannya.
Semua sikap manis Elang bisa saja berubah, Elang masih muda dan tidak stabil. Nindya tidak bisa menggadaikan seluruh hidupnya pada pemuda yang belum dikenalnya dengan baik. Dia butuh waktu untuk mengenal Elang lebih jauh.
Pernikahan bukan hal main-main untuk Nindya, sekali dalam seumur hidup dia tidak ingin mengambil keputusan yang salah. Kisah tragis kedua orang tuanya sudah cukup memberikan banyak pelajaran.
Dengan memilih Daniel, artinya Nindya tidak hidup bersama playboy seperti Elang, yang mungkin akan menyakiti hatinya di kemudian hari.
"Aku serius ingin bertanggung jawab atas kekacauan yang terjadi pada hidupmu, Nindya! Menikahlah denganku!" Elang mengulangi permintaannya.
"Jangan, El! Biarkan aku menikah dengan Daniel! Kita sudahi saja affair kita sekarang, jangan lagi dilanjutkan demi kebaikan kita!" Nindya menatap Elang dengan kemantapan hati. Keputusannya sudah tepat hari ini.
Affair? Sial, bagaimana bisa Nindya masih menganggap hubungan mereka hanya sebatas itu?!
"Daniel? Baiklah, terserah kamu! Tapi aku tidak yakin Daniel tidak akan membawa-bawa masa lalumu dalam pernikahan kalian nanti." Elang menarik tangannya, membiarkan Nindya menimbang ulang keputusannya. Hatinya meradang seketika.
"Maafkan aku, El! Aku tetap pada keputusanku!" kata Nindya pelan. Bibirnya bergetar mengucapkan kata yang pasti menyakiti mahasiswanya itu. "Terimalah cinta Mayra, dia perempuan baik!"
Elang berdiri, dadanya sesak mendengar alasan Nindya yang tidak masuk akal baginya. Pemuda itu berjalan keluar dengan langkah gontai. Sebelum benar-benar meninggalkan ruangan untuk mencari angin, Elang berdiri di tengah pintu dan berucap serius.
"Aku mencintaimu, Nindya! Sangat mencintaimu." Elang hanya menggerakkan kepala sedikit saat mengucapkan itu, hanya melihat sampai bahu. Lalu keluar ruangan tanpa menoleh ke arah Nindya lagi.
Air mata Nindya tak terbendung, dia tidak bisa mencegah Elang pergi dari ruangannya. Jawaban yang keluar dari bibirnya hanya serupa bisikan yang bisa didengarnya sendiri, "Aku juga mencintaimu, El!"
Tidak lagi hamil anak Elang sudah cukup untuk menjadi alasan Nindya menjauh. Dia yakin kehidupannya yang normal akan kembali. Bagi Nindya, cinta saja tidak cukup kuat menjadi pondasi sebuah hubungan serius dalam rumah tangga. Ada hal-hal dasar lain yang harus mengikutinya, seperti sebuah komitmen dan kepercayaan.
Akhirnya Nindya memejamkan mata setelah menguras air matanya. Pikirannya lelah, terlebih hatinya. Dalam situasi seperti ini Daniel tidak kelihatan batang hidungnya. Dari sejak perdebatan mereka mengenai kehamilannya, Daniel bahkan belum sekalipun menanyakan kabarnya.
Terlalu sibukkah? Atau Daniel memendam kemarahan yang dalam padanya? Yang diam-diam menakuti Nindya di masa depan. Bisa jadi Elang benar, sekarang mungkin Daniel bisa menerimanya dengan legawa, tapi siapa yang tau badai di depan akan sebesar apa?
Nindya dalam dilema. Jika saja Elang bisa bersikap lebih serius, jika saja Elang tidak hanya bicara, jika saja Elang bukan mahasiswanya, jika saja Elang lebih dewasa, jika saja … Nindya pun terlelap dalam harapan berbentuk 'jika saja' dan 'andai saja'.
Kuretase. Siapa yang salah dalam hal ini? Nindya yang tidak jujur kalau dia hamil anak Elang karena insiden malam salah paha di tenda, atau salah Elang yang tidak peka dengan kondisi Nindya yang lemah dan sering merasa lelah karena hamil muda?
Yang jelas, rasa kecewa atas penolakan Nindya membuat Elang sakit hati. Dia berencana pulang ke Yogya setelah Ibu Nindya datang dari Semarang kota. Toh dia tidak meninggalkan Nindya sendirian di rumah sakit. Nindya akan aman bersama ibunya.
Awalnya Elang ingin bertemu Ibu Nindya dan memberi penjelasan, sekalian minta restu dan melamar Nindya. Tapi wanita itu terlalu keras kepala dengan pendiriannya, hingga Elang mengurungkan niatnya.
Elang kesal, sedikitpun Nindya tidak menghargai usahanya untuk bertanggung jawab. Lebih kesal lagi karena Nindya tidak membalas cintanya. Jauh lebih menyakitkan lagi, Nindya memilih Daniel daripada dirinya untuk jadi pendamping di masa depan!
Enam bulan, ya enam bulan lagi dosen pembimbingnya itu berencana menikah dengan Daniel. Tidak! Elang tidak akan membiarkan itu terjadi. Elang harus punya rencana untuk menggagalkan pernikahan Nindya dengan tunangannya. Elang ingin wanita itu menjadi miliknya pribadi, seutuhnya.
Tidak boleh ada yang menyentuh Nindya selain dirinya. Menjadi yang pertama artinya menjadi yang terakhir. Jika cinta bisa berubah menjadi sebuah obsesi, anggap saja kasus Elang adalah salah satunya. Dan dia tidak peduli disebut demikian. Elang hanya ingin membuktikan kalau dirinya tidak salah menilai perasaan Nindya. Elang yakin Nindya memiliki perasaan cinta padanya, walaupun hanya sepuluh persen.
Jadi, sekali lagi Elang harus berjuang, jika sebelumnya untuk benih yang tidak sengaja dilepaskan dan tumbuh di dalam rahim Nindya, kali ini Elang berjuang untuk dirinya sendiri. Untuk cinta. Bagaimanapun caranya.
***
...**Bad Boy in Love musim kedua udah dimulai ya teman-teman,...
...absen dulu yuk! - Al**...
Seminggu penuh Elang tidak melihat Nindya, dia juga menahan diri untuk tidak menghubungi sekedar bertanya kabar. Elang membiarkan Nindya beristirahat total di Semarang, di rumahnya. Tidak ada sedikitpun niat Elang untuk mengganggu wanita yang sedang berduka itu.
Bukan Elang tidak peduli, Elang hanya takut Nindya semakin terbebani karena chat atau teleponnya. Nindya sudah memutuskan untuk tidak memiliki hubungan khusus dengannya. Jadi mereka benar-benar akan normal sebagai mahasiswa dan dosen pembimbing.
Elang setuju saja demi untuk menenangkan Nindya. Elang tau Nindya butuh waktu untuk sendiri, jadi seminggu ini Elang berusaha untuk tidak menjadi gangguan bagi Nindya. Untuk sementara.
Untung bagi Elang, jadwal latihannya padat karena mendekati waktu lomba. Dia juga memburu waktu menyelesaikan pengujian sampel penelitian dan laporan kejar tayang untuk ketua jurusan, sehingga bisa membantu mengaburkan rasa rindunya pada Nindya.
Siksaan bukan hanya dari Nindya, Elang juga dijauhi Vivian. Gadisnya merajuk karena dia terlalu sibuk dan tidak bisa menyisihkan waktu untuk berkencan.
Selama seminggu, Vivian sudah berusaha untuk mengekori Elang yang diduganya berpaling pada cewek lain. Memantau kemana Elang pergi berkegiatan setiap hari.
Namun, gosip panas yang beredar di kampus belum bisa dibuktikan. Vivian tidak pernah mendapati Elang jalan dengan Nindya. Vivian bahkan tidak sekalipun melihat Nindya ada di kampus selama enam hari terakhir.
Vivian putus asa, tapi perasaannya pada Elang membuatnya tak berhenti berusaha. Dia harus menurunkan egonya jika ingin mendapatkan hati Elang. Playboy sialan itu benar-benar tidak mencarinya meski sudah berusaha protes dengan cara menghilang.
Hari ini, dengan setia, Vivian menunggu Elang yang sedang latihan bouldering. Dua jam yang membosankan demi mendapatkan perhatian lagi dari Sang Pujaan.
Uh … bukankah seharusnya Elang yang mengejarnya, bukan sebaliknya seperti ini? Bukankah yang berminat pada Vivian jumlahnya tidak sedikit? Entahlah, Vivian juga tidak mengerti kenapa Elang yang harus jadi sasaran untuk ditaklukkan?
Elang melepas sepatu panjat dan chalk bag yang ada di belakang punggungnya. Menyimpannya dalam tas sebelum mendekati Vivian. "Yuk!"
"Udah?" tanya Vivian cemberut tapi tetap memasang senyum manis.
"Bosen ya?" Elang merangkul bahu Vivian, mengajaknya pergi dari arena latihan setelah pamit sekedarnya pada yang lain.
"Bukan bosen, tapi kelaparan!" jawab Vivian bersungut-sungut.
"Mau makan apa?"
Vivian mencibir, "Ish … udah kesorean, Vivi nggak makan lagi kalau udah jam segini. Bikin gendut!"
"Astaga, baru jam lima ini, Vi!" Elang meregangkan tubuh Vivian, mengamati dari atas ke bawah lalu menaikkan satu alis. "Kamu nggak gendut, tapi seksi!"
Wajah Vivian sumringah mendengar pujian Elang. Bisa terlihat seksi bukan tanpa usaha, Vivian tau bagaimana memelihara aset pentingnya. "Aku temani kalau kakak mau makan!"
"Kalau kamu nggak makan aku anter pulang sekarang aja biar nggak kemaleman!"
"Dih, apaan sih orang masih sore kok dianter pulang!" Vivian merengut lagi, dia menunggu Elang latihan selama dua jam dengan harapan bisa berkencan. Bukannya langsung pulang! "Nggak peka bener jadi cowok!"
Elang seketika terkekeh, "Ya udah aku mandi dulu ya sebentar, kamu mau ditemani jalan kemana?"
"Mall," jawab Vivin singkat. Idenya muncul saat ingat gosip yang sedang panas di kampus soal Elang dan Nindya yang terlihat belanja bersama di toko pakaian dalam wanita.
Vivian mengeratkan pelukan saat ikut motor Elang, merapatkan dadanya hingga bagian tubuh yang jadi kebanggaannya menempel ketat di punggung Elang. Ya ampun!
Dalam hati, Vivian bernyanyi kecil, mana ada pria yang tahan godaan seperti itu? Tak terkecuali Elang. Dia yakin seratus persen kalau Elang sedang memikirkan hal panas yang akan terjadi pada mereka nanti.
Senandung Vivian semakin riang ketika kontrakan Elang tidak ada orang lain. Arga dan Komang belum pulang. "Kok sepi, Kak?"
"Belum pada pulang kayaknya," jawab Elang apa adanya. Mencabut kunci setelah menutup pintu ruang tamu. "Mau ke kamar apa nunggu di sini? Aku nggak lama kok!"
Vivian tak menjawab, tapi membuntuti Elang naik tangga ke lantai dua. Menuju kamar Elang. Mulutnya bergumam pelan sesaat setelah masuk kamar dengan aroma maskulin itu, "Ngeri juga kalau sepi begini!"
"Ngeri sama siapa? Nggak ada hantu di sini," tukas Elang sembari keluar kamar untuk mandi.
Vivian mengamati kamar Elang, masih seperti biasanya. Hanya ada satu foto yang terpajang di atas meja belajar. Foto Elang dengan seragam SMA bersama sang mama.
Sebenarnya apa yang dicari Vivian?
Dengan hati-hati Vivian membuka laci meja belajar Elang, hanya berisi alat tulis dan kertas, tidak ada foto atau memo romantis atau apapun yang disembunyikan. Vivian juga membuka lemari, mencari apa ada pakaian wanita yang mungkin tertinggal dan di simpan Elang di sana.
Nihil. Tidak ada apapun yang bisa membuktikan kalau Elang memiliki hubungan istimewa dengan gadis lain. Termasuk Nindya.
Ponsel Elang yang ada di dalam tasnya juga bergambar pemanjat di layar utamanya. Bukan fotonya atau gadis lain. Untuk melihat isinya, Vivian tidak memiliki keberanian. Vivian agak frustasi mendapati fakta terbalik dari apa yang didengarnya.
Akhirnya dia hanya duduk di tepi ranjang, menyalakan televisi sambil membuka pesan balasan yang dikirim Arga padanya. Informasi yang diberikan Arga juga tidak membantu rasa penasaran Vivian. Entah mengapa sahabat Elang itu juga sulit didekati, seperti menutupi semua kelakuan buruk Elang.
"Kenapa, Vi?" tanya Elang heran melihat ekspresi Vivian. Dia masuk kamar bertelanjang dada. Berbicara sambil membuka lemari dan memakai kaos oblong warna hitam bergambar single rafter yang sedang mendayung di atas perahu kayak.
Vivian mematikan ponsel, "Bang Arga pulang jam berapa?"
"Kamu kangen sama Arga? Antara jam tujuh sampai jam sembilan pulangnya! Kalau mau kepastian ya telepon aja yang bersangkutan!"
"Ish … aku kangennya sama kamu, tapi kamu pasti nggak kangen sama aku, nggak pernah dikit aja nyariin Vivi apa tanya kabar, ngeselin!" jawab Vivian merajuk. Bibirnya yang seksi sengaja dibuat-buat manyun agar Elang memperhatikan.
Elang tertawa ringan, "Kangen kok!"
"Mana buktinya kalau kangen? Nggak ada, cuma mau bikin aku gede rasa aja, iya, kan?" Vivian berdiri di depan Elang yang baru berbalik dari depan lemari, dengan pandangan kangen … maksudnya lapar!
Seandainya saja yang mengatakan itu Nindya! Kangen, lalu lapar akan dirinya karena seminggu tidak berjumpa dan mereka ada di dalam kamar seperti sekarang ini ….
Elang pasti akan langsung membopong Nindya ke atas ranjang dan mengungkapkan rasa kangennya dengan cara yang tidak biasa.
***
Elang tertawa kecil melihat Vivian mendekatkan tubuhnya, mendongak dan menatapnya dengan ekspresi meminta. "Kirain kamu serius kangen sama Arga! Dia cerita kalau kamu …."
Wajah Vivian memucat, "Bang Arga cerita apa, Kak?"
Arrgghh … Vivian terlalu semangat untuk membuat Elang cemburu hingga menggoda Arga sebagai umpan, dan tidak hanya dilakukan satu kali. Saat sarapan bersama di kamar Arga beberapa waktu lalu, Vivian bertingkah seperti perempuan yang sedang tertarik dengan pesona Arga. Menggodanya dengan sedikit kenakalan kata.
Kedua, saat Vivian mengantarkan makanan untuk Elang dan pemuda itu tidak ada, Vivian memberikan makanan itu pada Arga dengan bonus beberapa ciuman. Memang hanya di pipi, dengan tujuan memancing Arga agar merespon balik dan bisa diajak ini itu untuk memanasi Elang.
Sayangnya kedua usaha itu gagal total. Arga dingin-dingin saja menanggapi sikap gatalnya. Bahkan cenderung menertawakan keagresifannya.
Elang semakin terkekeh menyadari Vivian panik dan pias, "Dia bilang makanan yang kamu bawa enak-enak, nggak nolak kalau misal dikasih lagi! Maklum anak kost!"
"Cuma cerita itu, yang lain apalagi?" Vivian mengerjap tak percaya. Makanan yang dimaksud Arga enak semoga bukan dirinya.
"Udah nggak usah dibahas," kata Elang santai. Tangannya merangkul bahu Vivian agar ikut duduk di depan televisi. "Kamu serius nggak mau makan? Ada nasi kok di bawah, masakan sederhana ala anak kost. Ayo makan dibawah!"
"Diet, Kak El!" Vivin menggeleng ringan lalu menyandarkan kepalanya di bahu Elang, "Kamu sahabatan dekat sama Bang Arga ya, Kak?"
Elang menoleh, mengambil dagu Vivian dan memberinya kecupan singkat. "Ya, kami berteman baik, bisa dibilang bersaudara. Dalam keluarga mapala ada hal-hal yang tidak dilakukan untuk menjaga hubungan sehat dua orang sahabat agar tetap terjaga. Salah satunya umum disebut dengan 'tidak makan tulang kawan'."
Vivian tercekat, kalimat Elang memberikan jawaban dari pertanyaannya mengenai sikap Arga padanya. "Maksudnya gimana itu, Kak?"
Elang memperhatikan Vivian yang hanya berjarak satu jengkal dari wajahnya, "Maksudnya … selama aku belum mengumumkan kalau status kamu ada di zona hijau, Arga atau siapapun yang tergabung dalam satu organisasi, tidak akan mau mendekati kamu atau kamu dekati."
"Oh jadi selama aku masih jalan sama kamu, aku nggak mungkin berhasil menggoda Arga?" tanya Vivian keceplosan. Wajahnya semakin runyam karena merasa ketauan.
"Ya, bisa dibilang begitu. Tapi kalau kamu memang mau sama Arga ya nggak masalah juga, Vi. Santai aja sama aku!"
Ditinggalkan pacar itu sudah biasa bagi Elang. Bukan sesuatu yang menakutkan atau membuatnya sakit hati. Elang menanggapi hal seperti itu dengan mencari lagi yang baru. Tidak sulit, toh hubungan yang terjalin selama ini hanya berdasar suka dan sayang. Jauh dari kata cinta.
Vivian mendekatkan tubuhnya lebih rapat, tangannya merangkul leher Elang agar kembali menciumnya "Vivi sayangnya sama Kak Elang! Vivi dekat-dekat Bang Arga cuma mau bikin kamu cemburu!"
Mendengar ungkapan Vivian, Elang teringat Nindya. Perempuan keras kepala itu sedikit pun tidak mau mengakui perasaannya. Tidak seperti Vivian dan semua mantan pacarnya yang dengan mudah mengatakan suka, sayang dan cinta padanya.
"Bukan sayang sama Arga?" sindir Elang dengan wajah mengejek jenaka.
Bagaimana Elang tidak tertawa mendengar cerita Arga kalau Vivian coba-coba menggodanya? Vivian terlalu percaya diri jika bisa mendapatkan keduanya. Vivian tidak tau, bagi Elang dan Arga, memakan buah segar milik temannya itu haram hukumnya.
Vivian mencium bibir Elang sekilas sebelum menjawab, "Nggak, Vivi nggak bohong, aku lovenya sama kakak, serius. I love you …."
Elang membiarkan Vivian menciumnya, tidak menolak tapi membalas dengan malas. Hatinya tidak bergetar seperti saat dia berciuman dengan Nindya. Dan entah mengapa Elang sulit tersulut birahi kali ini. Buah segar kualitas super di depannya kurang membangkitkan minat bercintanya.
Elang merindukan Nindya, merindukan getaran dan gelenyar yang terjadi di seluruh tubuhnya saat bersentuhan dengan wanita itu. Elang masih mengingat rasa manis dan malu yang ditunjukkan Nindya padanya ketika ciuman diperdalam olehnya. Ah ya, Elang juga ingin sekali mendengar nafas Nindya yang terengah, bercampur d*sah gairah yang terpercik dari tiap tautan bibir mereka.
Vivian memperdalam ciumannya dengan cepat, dan Elang larut dalam bayang-bayang dosen pembimbingnya. Elang memilih ikut memejamkan mata agar Nindya hadir lebih nyata dalam fantasinya. Dan memang nyata, bermodalkan pikiran kotor bersama Nindya, darah Elang terbakar dengan cepat.
Elang membalas kecupan Vivian dengan panas, liar dan penuh godaan nakal. Undangan yang disambut Vivian dengan senyum tertahan. Bangga karena bisa meluluhkan Elang yang semula malas meladeninya.
Benarkah? Sepertinya Vivian salah paham dengan perubahan sikap Elang yang mendadak menginginkannya.
Vivian mengarahkan tangan Elang ke dadanya, seirama dengan bibir Elang yang sudah berpindah ke leher bawah telinga. Membawa mereka satu tingkat lebih jauh dari sekedar ciuman.
Elang suka atraksi necking, apalagi jika itu dilakukan untuk menggoda Nindya. Ya ampun, Nindya lagi yang ada di kepala Elang. Betapa Nindya memiliki tingkat sensitif yang tinggi di leher bagian belakang hingga bawah telinga, dan dosennya itu akan memekik lirih jika Elang menggigit pelan di area sensitifnya itu.
Berapa kali Elang meninggalkan cap bibirnya di sana? Hanya sekali, tapi Elang ingat betul tempatnya dimana. Iya sekali, dan memang hanya satu di leher karena Elang lebih banyak meninggalkan bekas gigitannya di dada Nindya. Leher terlalu terbuka, tidak aman bagi Nindya dan profesinya jika sampai terlihat oleh mahasiswanya.
Oh Shi* … Elang tidak berhenti membayangkan sedang bercumbu dengan Nindya, dengan hangat, romantis dan penuh hasrat.
"Hm … Vivi love you, Kak!" Rintihan manja keluar dari bibir Vivian. Nikmat dan bangga Elang memuja puncak-puncak tubuhnya.
Elang sadar bahwa yang sedang dipermainkan olehnya bukan Nindya, tapi semua sudah kepalang tanggung. Hasratnya ada dalam titik tertinggi, dan sakitnya berfantasi bersama Nindya harus dilepaskan agar kepala atas bawahnya tidak semakin tersiksa.
Dalam satu gerakan cepat, Elang membuka semua pakaian Vivian, memasang lateks pengaman dan dengan liar mengubur dirinya pada kedalaman gadis itu, Afrodit yang ternyata sudah tidak perawan.
Peduli setan, yang penting hasrat tersalurkan!
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!