Fajar menyapa pagi hari yang cerah. Menghangatkan hari, mencairkan embun yang dingin. Kicauan burung menyapa sang fajar dengan nyaring suaranya. Menyempurnakan harmoni alam yang indah. Angin bertiup menerpa pohon kelapa yang tinggi. Terasa sejuk menyentuh kulit. Simfoni alam yang indah penuh dengan keajaiban.
Sebening embun pagi, nampak seorang perempuan berwajah cantik nan putih. Kecantikan alami yang dimiliki gadis desa. Seorang gadis yang tinggal jauh dari hiruk pikuk kota yang ramai. Hidup bersanding dengan alam yang indah. Embun Khafifah Fauziah, putri salah satu pemuka agama di desa. Putri kebanggaan desa, bunga desa yang membanggakan dengan iman yang dipegang teguh olehnya.
"Embun!" Teriak Nur, Embun menoleh ke arah Nur.
Tangan Embun penuh dengan lumpur. Sebuah parang erat digenggamnya. Embun berdiri menanti Nur menghampirinya. Tepat di ladang milik sang abah, Embun berjibaku memanen singkong. Tanah pegunungan yang keras dan tandus. Hanya bisa ditanami singkong atau tumbuhan umbi lainnya. Ada sebagian tanah yang mampu ditanami palawija lainnya. Namun sebagian besar, ditanami sayuran yang bisa tumbuh di dataran tinggi.
Sejak padi Embun sudah berada di ladang milik abah. Dia selalu membantu abah saat musim panen. Meski abah selalu melarang Embun, tapi sikap keras kepala Embun yang akhirnya membuat Abah kalah. Embun mungkin seorang perempuan, tapi hidup di pedesaan telah membuatnya kuat layaknya laki-laki. Walau begitu, kecantikan Embun dan kelembutannya. Mampu menghipnotis mata kaum Adam.
"Ada apa?"
"Kenapa kamu malah di sini? Hari ini akan ada seminar, kita harus segera berangkat. Balai desa sangat jauh!" Cerocos Nur dengan napas yang tersengal-sengal.
"Harus aku?" Sahut Embun acuh, sembari mengusap keringat yang jatuh di pelipisnya.
Sontak kedua mata Nur terbelalak. Dia tidak percaya, Embun lupa akan tanggungjawabnya sebagai kader desa. Lebih tepatnya calon kepala desa, sekaligus ketua karang taruna desa. Embun selalu berada fd
Embun semakin tak peduli dengan celoteh Nur yang penuh kekesalan. Embun berjalan menuju pondok yang ada di tepi ladang. Nampak beberapa pekerja tengah sibuk memanen singkong. Ladang milik orang tua Embun tidaklah luas, tapi cukup untuk membantu perekonomian keluarga dan warga sekitar. Keluarga Embun tak pernah menjual seluruh hasil panen. Sebagian hasil panen akan dibagikan ke beberapa warga yang tak memiliki lahan. Abah Embun tak pernah melarang atau marah. Jika singkong atau hasil panen pemberiannya dijual, selama itu mendapatkan manfaat. Layaknya para pekerja hari ini, mereka akan mendapatkan jatah dari hasil panen.
"Kalau bukan kamu, lalu siapa? Tidak mungkin aku datang sendirian. Wanita secantik aku, berangkat sendirian. Nanti kalau ada yang menculikku, gimana?" Cerocos Nur dengan gaya bicaranya yang berlebihan. Embun hanya bisa menggelengkan kepalanya lemah.
"Aku masih sibuk, sebentar lagi para pengepul datang. Kalau aku pergi, siapa yang akan mengawasi mereka? Kamu juga tahu, kalau mereka sering membodohi petani yang lain!"
"Jadi kamu tidak pergi!" Ujar Nur dingin, Embun diam termenung. Seolah dia sedang memikirkan jalan terbaik dari dua masalah yang berbeda.
Embun melihat jam di tangannya. Waktu masih sangat pagi. Jika tidak salah, acara akan dimulai 2 jam dari sekarang. Namun perjalanan menuju balai, tidaklah mudah. Butuh waktu yang cukup lama, karena jalan berliku dan menurun tajam. Embun seakan menemui jalan buntu. Dia harus tetap berada di ladang. Namun di sisi lain, dia harus datang di acara seminar.
"Lebih baik kamu berangkat dulu. Setelah para pengepul datang. Aku langsung menyusul!" Ujar Embun final, Nur menggelengkan kepalanya pelan.
"Kamu tidak akan datang!"
"Aku akan datang, walau terlambat!" Ujar Embun tegas, sebuah janji yang terucap begitu saja dari bibir Embun. Nur diam, tak berapa lama nampak Nur menganggukkan kepala. Tanda Nur setuju dengan perkataan Embun.
"Awas kalau kamu tidak datang!"
"Aku akan datang!" Sahut Embun lantang, Nur mengangguk pelan. Dia percaya, jika Embun akan datang menemuinya.
Embun pribadi yang hangat, tapi jauh dalam tenanganya. Tersimpan ketegasan dan keberanian yang tak nampak. Embun selalu memegang teguh janjinya. Tak pernah sekalipun dia mengingkari janjinya sendiri. Bahkan setelah dia lulus sekolah menengah atas. Embun tidak pernah berpikir ingin kuliah di kota. Embun ingin membangun desanya, terutama dalam hal pendidikan. Agar tak ada lagi kebodohan di desanya.
"Embun, pulanglah sekarang. Abah akan menunggu para pengepul. Seminar hari ini jauh lebih penting. Jangan buat orang lain kecewa!" Ujar Abah Iman, ayah kandung Embun.
"Tapi!"
"Embun harus menyusul Nur. Ingat Embun janji adalah hutang dan harus Embun bayar!"
"Abah, panen belum selesai!" Sahut Embun ramah.
"Jika kamu merasa berat pergi, kenapa tadi berjanji pada Nur? Sekarang lebih baik kamu pulang. Tidak perlu pamit kemari, pesan Abah cuma satu. Hati-hati bersepeda!" Ujar Abah Iman final. Embun mengangguk, tanpa bisa menolak permintaan abahnya.
Embun berjalan perlahan dihamparan ladang singkong milik Abahnya. Embun merasa gagal menjadi seorang anak. Namun tanggungjawabnya pada desa. Tidak bisa dilupakan begitu saja. Embun harus menjadi garda terdepan kemajuan desa. Sebab itu dia harus datang, agar Embun mendapatkan ilmu yang bisa disalurkan pada warga desa.
"Embun!"
"Kamu, kenapa belum berangkat?" Sahut Embun, Ilham menggelengkan kepalanya lemah.
Ilham pemuda tampan, idola kaum hawa di desa. Namun mata hati Ilham buta akan kekaguman para gadis di desanya. Embun menjadi wanita yang nampak baginya. Putra kepala desa, sekaligus sahabat Embun dan Nur. Persahabatan yang mulai diartikan berbeda oleh Ilham. Namun tidak bagi Embun yang hanya menganggap Ilham sahabat, tidak lebih.
"Aku menunggumu!"
"Dimana Nur?"
"Itu!" Ujar Ilham sembari menunjuk ke arah mobilnya.
"Aku akan berangkat sendiri, kalian pergi terlebih dahulu. Kalau kita terlambat, sangat tidak sopan. Kita tamu malah datang terlambat!" Ujar Embun tegas, Ilham terdiam.
"Tapi!"
"Kamu putra kepala desa, sudah tugasmu datang. Aku akan menyusul, tapi setelah sholat dhuha!" Ujar Embun lantang, lalu masuk ke dalam rumahnya. Embun tak peduli dengan keberadaan Ilham.
"Padahal aku berharap pergi bersamamu!" Batin Ilham pilu, seraya menatap punggung Embun yang hilang di dalam rumahnya.
Braakkk
"Kenapa marah? Embun memintamu pergi bersamaku!" Goda Nur, Ilham menoleh dengan tatapan tajam. Nur tersenyum, seolah tatapan Ilham tidak membuatnya takut.
"Embun hanya menganggapmu sahabat, kecuali kamu berani memintanya pada Abah!"
"Diam kamu!" Bentak Ilham, Nur menggelengkan kepalanya tidak percaya.
"Ilham, sampai kapan kamu menyimpannya? Jangan sampai kamu menangis, melihat Embun bersama laki-laki lain. Ingat jodoh tidak ada yang tahu kapan datangnya!"
"Embun tidak peka!"
"Bukan Embun tidak peka, hati Embun terlalu suci. Dia tidak ingin mengotori hatinya dengan cinta semu. Selama ini kita bertiga selalu bersama. Seharusnya kamu menyadari, siapa Embun yang sebenarnya? Dia tidak akan peduli akan bahagia. Satu kata Abah Iman, akan membuatnya terdiam!" Tutur Nur tegas, Ilham menunduk dengan kepala bersandar pada setir mobil miliknya.
"Haruskah aku jujur!"
"Entahlah, tapi belajarlah membuka hati. Jangan larut dalam cinta Embun yang tak bertepi!" Ujar Nur tegas, ssmbari menepuk pundak Ulham.
"Ada apa? Kenapa semua orang berkumpul?" Ujar Nur penasaran, Embun mengangkat kedua bahunya pelan. Tanda Embun juga tidak tahu alasan warga desa berkumpul.
Embun dan Nur menghentikan laju sepeda motor matic yang mereka tumpangi. Embun sejenak mengamati, beberapa warga yang berkumpul di depan pabrik tua. Sebuah bangunan tua peninggalan zaman Belanda yang masih berdiri kokoh. Meski nampak beberapa bagian bangunan yang mulai tua dan berlumut. Namun tak bisa diragukan lagi, pabrik itu tetap kokoh tak lapuk di makan zaman.
Embun berjalan mendekat, dia merasa perlu mengetahui masalah yang terjadi. Tak seperti biasanya para warga berkumpul. Embun juga melihat, beberapa pemuda desa, baik laki-laki dan perempuan berkumpul. Mereka tak lain buruh pabrik yang mungkin terlibat masalah. Embun semakin penasaran, ketika tepat di depan pabrik. Embun melihat beberapa alat berat terparkir manis. Nampak beberapa excavator berhenti tepat di depan pintu masuk pabrik. Rasa penasaran Embun berubah menjadi kepedulian. Dia merasa ada masalah yang tengah dihadapi oleh warga desa.
Embun terus berjalan maju, dia berdiri paling depan. Embun mencoba mencari tahu dari beberapa warga yang dikenalnya. Sepintas Embun mengerti masalah yang tengah dihadapi warga desa. Sebagai orang yang ingin melihat desanya maju. Embun merasa harus ikut campur, tidak peduli resiko yang akan diterimanya.
"Kenapa kalian ingin membongkar pabrik? Selama ini warga desa bergantung pada operasional pabrik!" Ujar Ilham lantang penuh emosi, Embun tersentak kaget. Saat dia melihat Ilham tengah berdebat dengan salah satu manager pabrik. Beberapa aparat juga hadir menjaga keamanan.
Embun menghampiri Ilham, sedangkan Nur masih berjalan jauh di belakang. Nur nampak kesulitan menerobos kerumunan warga desa. Embun gadis lembut, bisa berubah menjadi kuat. Saat dia harus melawan atau menolong orang lain. Embun berdiri tepat di samping Ilham. Tanpa banyak bertanya, Embun merebut berkas yang ada di tangan Ilham. Sejenak Embun fokus membaca tulisan dalam berkas yang ada di tangannya. Embun mencoba mencerna masalah yang sedang terjadi. Mencari solusi tanpa otot atau perdebatan yang hanya bisa menghancurkan.
"Maaf sebelumnya, saya bicara dengan siapa?" Ujar Embun ramah, sang manager tersenyum ke arah Embun. Ilham terkejut melihat keramahan Embun yang seharusnya menjadi amarah. Namun tatapan penuh amarah Ilham, tak lantas membuat Embun berubah kasar.
"Saya Fahmi Antara, asisten pribadi yang ditunjuk langsung pemilik pabrik!" Ujar Fahmi, sembari mengulurkan tangan. Seketika Embun menangkupkan tangan.
"Embun!" Ujar Embun ramah, Fahmi mengangguk mengerti.
"Maaf pak Fahmi, saya tidak mengerti kenapa kalian harus meruntuhkan pabrik? Selama ini pabrik ini menjadi tempat bertumpu warga desa. Jika tidak keberatan, bisakah anda mengatakan alasan yang sebenarnya!" Tutur Embun lirih, Fahmi mengangguk seraya mengutas senyum. Sebaliknya Ilham semakin kesal melihat keramahan Embun. Ilham merasa cemburu melihat kedekatan yang tiba-tiba tercipta diantara Embun dan Fahmi.
"Seharusnya anda!" Ujar Fahmi, tapi perpotong ketika melihat gelengan kepala Embun.
"Panggil saja Embun, saya hanya warga desa biasa!"
"Baiklah kalau begitu, aku akan memanggilmu Embun!"
"Tidak perlu kamu berbaik hati. Mereka datang untuk meruntuhkan pabrik ini. Mereka ingin membuat warga desa sengsara!" Ujar Ilham emosi, Embun langsung menoleh. Dia menatap Ilham tajam, seolah Embun tak menyukai sikap kasar Ilham. Seketika pula, Ilham menunduk. Dia tidak ingin melihat tatapan kebencian Embun. Setidaknya saat cintanya tak terbalas, Ilham masih bisa menatap wajah Embun.
"Embun, berkas yang ada di tanganmu sudah bisa menjelaskan alasan kami meruntuhkan pabrik tua ini!" Ujar Fahmi ramah, Embun menggelengkan kepalanya pelan.
"Pak Fahmi, tulisan yang ada di dalam berkas ini tak sepenuhnya aku pahami. Satu hal yang aku pahami, kalian datang ingin meruntuhkan tempat kami mencari nafkah. Pabrik tua yang kalian anggap tak berharga. Ibarat sumber air di gersang desa kami. Jika anda meruntuhkan pabrik ini, artinya anda mengambil sumber mata air kami!"
"Maafkan aku Embun, kebijakan meruntuhkan pabrik ada di tangan pemimpin kami. Beliau merasa pabrik ini sudah tak layak untuk beroperasi. Kuantintas hasil produksi pabrik, tak mampu memenuhi kebutuhan pabrik pusat. Namun pengeluaran untuk operasional terus membengkak. Sebab itu, pabrik harus ditutup. Agar tak terjadi kerugian yang semakin besar!" Tutur Fahmi menerangkan, Embun menunduk lesu.
Embun tak pernah mengenal bangku kuliah. Namun memahami penjelasan Fahmi, Embun mengerti arah masalah yang terjadi. Pabrik tua penggilingan singkong sudah berdiri sejak puluhan tahun yang lalu. Embun mengingat benar, saat dia masih SD. Pabrik ini sudah berdiri kokoh, pabrik yang menjadi tumpuan warga desa. Pabrik penghasil tepung tapioka terbaik di kota ini. Bahkan mungkin di negara ini. Namun sejak beberapa tahun belakangan. Pabrik mulai jarang beroperasi, hasil panen yang menurun serta alat-alat pabrik yang mulai menua menjadi alasan pabrik sering berhenti beroperasi.
"Tidak bisakah pak Fahmi memberi kebijakan yang baru. Setidaknya biarkan pabrik beroperasi semampunya. Kemana warga desa menjual hasil panen? Jika selama ini, pabrik ini yang menjadi tempat kami menjual singkong dengan harga yang tinggi. Kemana mereka bekerja? Jika selama ini, pabrik tua ini tempat mereka mengais rejeki. Setidaknya pak Fahmi mempertimbangkan kehidupan warga desa!"
"Seandainya aku mampu!"
"Maksud pak Fahmi!" Ujar Embun tak mengerti.
Fahmi menoleh ke arah sebuah mobil mewah berwarna hitam. Nampak duduk seseorang dengan penampilan yang begitu rapi. Embun melihat sosok yang seolah ingin ditunjukkan Fahmi. Dengan mudah Embun memahami maksud perkataan Fahmi.
"Dia pewaris tunggal pabrik ini. Beliau baru kembali dari luar negeri. Hanya dia yang mampu merubah segalanya. Namun sejauh aku mengenalnya, dia tidak akan peduli akan rintihanmu. Pengusaha berhati dingin yang takkan peduli dengan air mata siapapun?" Ujar Fahmi lirih, Embun menunduk semakin dalam.
Embun menangkupkan kedua tangan tepat di depan dadanya. Ilham yang sejak tadi diam, langsung menarik tangan Embun turun. Ilham lupa akan batasan dirinya dengan Embun. Ilham hanya tak ingin melihat Embun menghiba. Apalagi pada orang-orang berhati dingin di depannya.
"Embun, tak perlu kamu memohon. Biarkan mereka meruntuhkan pabrik. Kita akan melawan!"
"Diam kamu!" Bentak Embun, Fahmi terkejut mendengar suara keras Embun. Ketegasan yang tiba-tiba muncul. Fahmi tak percaya, dalam lembut Embun ada kekuatan yang tersembunyi.
"Tapi Embun!"
"Biarkan aku melakukan tugasku. Aku siap mempertaruhkan segalanya. Asalkan desaku tak menangis!" Ujar Embun tegas, Ilham seketika diam. Dia mengenal Embun, tak mudah merubah pemikiran Embun.
"Apa yang kamu harapkan dariku Embun?"
"Pak Fahmi, biarkan aku menemui tuanmu. Aku akan bicara dengannya, akan kubuat dia yakin. Jika pabrik tidak perlu ditutup. Aku akan berusaha keras mengembalikan pabrik seperti dulu. Namun jangan pernah menutup pabrik, warga desa butuh pabrik tua ini!" Ujar Embun menghiba, tangannya terus menangkup. Fahmi diam, lalu menoleh ke arah mobil. Dengan isyarat mata, Fahmi mengirim pesan pada tuannya.
"Dia bersedia bertemu denganmu, tapi tidak di tempat ini. Beri aku nomer ponselmu, aku akan membuat janji denganmu!"
"Kenapa tidak sekarang?" Ujar Embun menawar, Fahmi menggelengkan kepalanya pelan.
"Semua tergantung dirimu, menemui tuanku atau detik ini akan kami runtuhkan pabrik!" Ujar Fahmi tegas, sontak Embun menggelengkan kepalanya.
"Jangan runtuhkan pabrik, aku akan menemui tuan anda. Kapanpun dan dimanapun?" Ujar Embun final, lalu memberikan nomer ponselnya pada Fahmi.
"Embun!" Sapa Fahmi, Embun mendongak menatap Fahmi yang sudah berdiri sedikit jauh darinya.
"Tuanku tidak mudah dihadapi, tapi persetujuannya menemuimu. Satu kesempatan langkah yang tak mungkin didapatkan orang lain!" Ujar Fahmi lalu melangkah menjauh.
"Embun lupakan pertemuan itu!" Ujar Ilham.
"Apa aku juga harus melupakan kegelisahan warga desa?" Sahut Embun dingin, jawaban yang nyata membuat Ilham terdiam. Embun berjalan lunglai menuju sepeda motornya. Hatinya gelisah dan bimbang. Tak pernah Embun menemui laki-laki tanpa kedua orang tuanya.
"Ilham, cemburu membuatmu semakin jauh dengan Embun. Jaga sikapmu, jika tidak ingin melihat Embun melangkah menjauh darimu!" Bisik Nur lirih, Ilham langsung menunduk.
Malam semakin larut, tapi kedua mata Embun seakan tak ingin terpejam. Kejadian yang terjadi hari ini, mengusik ketenangan hatinya. Ada rasa takut akan pertemuannya dengan pemilik pabrik. Ketakutan akan sebuah janji pertemuan yang entah kapan terlaksana? Embun benar-benar gelisah, dia mulai menyadari keberaniannya telah membuatnya jatuh dalam ketakutan yang luar biasa.
Lama Embun berbaring, tapi mata dan hatinya enggan terpejam. Dengan lesu, Embun menoleh ke arah jam dinding. Nampak jam menunjukkan tengah malam. Sontak Embun menghela napas panjang. Tanda Embun lelah dengan tubuh yang tak ingin istirahat. Lalu dengan langkah gontai, Embun turun dari tempat tidurnya.
Sunyi malam terasa mencekam, tak ada suara yang terdengar. Hanya hewan malam yang bersahutan, suara burung hantu menambah kesunyian malam. Suasana sepi yang menjadi ciri khas sebuah pedesaan tanpa kemajuan. Walau listrik sudah masuk desa, tak serta merta membuat suasana desa ramai. Kebanyakan warga memilih istirahat lebih awal. Jadi tidak ada aktivitas warga di atas jam 20.00 malam.
Tap Tap Tap
Langkah kaki Embun menggema dalam sunyi malam. Kamar Embun yang terletak di lantai dua, membuatnya harus turun ke lantai pertama. Jika Embun ingin pergi ke dapur atau mushola yang ada di dalam rumah. Embun terus melangkah menuju mushola, dia memilih bangun dari tidur. Embun ingin menyerahkan gelisah hatinya pada sang pemilik hidup.
"Amiiin!" Ujar Embun lirih, sembari mengusapkan kedua tangan di wajahnya.
Embun memilih melakukan sholat malam. Kegelisahan hatinya benar-benar membuatnya Embun tidak tenang. Sholat malam sedikit membuatnya lupa akan masalah yang sedang mengusiknya. Sebuah janji yang tak pernah Embun bayangkan hasilnya. Bukan tanpa alasan Embun gelisah, namun janji bertemu seorang laki-laki tanpa izin abah. Baru pertama kali dilakukan oleh Embun.
"Apa yang membuatmu gelisah? Sampai kamu terjaga selarut ini!"
"Abah!" Sahut Embun kaget, lalu mencium punggung tangan ayah kandungnya.
"Kamu belum menjawab pertanyaan Abah!" Ujar Abah Iman lirih, Embun menunduk pelan. Dia bingung harus menjawab apa? Ketakutan akan amarah abah, terbayang dalam benaknya. Beban janji yang terlanjur terucap dari bibir mungilnya.
"Embun terlanjur janji pada seseorang!"
"Lalu, apa yang membuatmu gelisah? Janji yang terucap harus ditepati. Abah sudah katakan, jangan mudah mengucapkan janji. Jika kamu belum tentu bisa menepatinya!" Tutur Abah Iman hangat, Embun mengangguk mengerti akan kesalahannya.
Embun berani mengatakan janji, semua demi kesejahteraan warga desa. Namun saat Embun sadar, janji yang dia ucapkan akan mematik amarah Abah. Pertemuan yang tak tentu kapan dan dimana tempatnya. Membuat Embun harus siap kapanpun? Artinya dia harus berangkat, saat mereka menghendakinya.
"Jujurlah Embun, jangan takut pada Abah. Jika memang janjimu salah, Abah hanya akan mengingatkanmu. Abah tidak akan marah, bila kamu melakukan semua itu demi kebaikan. Abah selalu percaya, kamu sudah dewasa. Bisa memilih yang salah dan benar!"
"Tadi ada masalah di pabrik penggilingan singkong. Kebetulan Embun dan Nur lewat. Tanpa berpikir panjang, Embun ikut dalam kerumunun. Lama akhirnya Embun tahu, jika pabrik akan ditutup. Secara otomatis, banyak warga yang mengalami dampak akibat penutupan pabrik. Mungkin kita juga akan mengalami dampak penutupan pabrik!" Tutur Embun menjelaskan awal masalah yang terjadi.
"Lalu!" Sahut Abah Iman memperhatikan penjelasan Embun. Kehangatan seorang ayah yang mencoba mengerti masalah putrinya.
"Embun mencoba memberi pengertian pada pemilik pabrik!"
"Tuan Abimata!" Sahut Abah Iman, Embun langsung menoleh. Dia terkejut mendengar Abahnya mengenal pemilik pabrik. Tak berapa lama, Embun mengangkat pundaknya pelan. Mengisyaratkan dia tak mengenal, siapa pemilik pabrik yang akan ditemuinya?
"Kamu tidak mengenal pemilik pabrik itu!" Ujar Abah Iman, Embun menggelengkan kepalanya pelan.
"Embun belum bertemu pemilik pabrik. Alasan kegelisahan Embun saat ini!"
"Kenapa?"
"Embun berjanji bertemu dengan pewaris pabrik, untuk menjelaskan masalah yang terjadi. Agar pabrik tidak jadi ditutup. Jangankan namanya, wajahnya saja aku belum melihatnya. Embun takut Abah marah, karena berjanji bertemu dengannya. Saat itu Embun hanya memikirkan kesejahteraan warga desa. Embun ingin membantu semampunya!"
"Keluarga tuan Abimata sangat baik, tapi pewaris yang akan kamu temui. Abah tidak pernah mengenalnya. Namun percayalah, jika kita melakukan hal yang baik. Tentu akan mendapat perlindungan dari-NYA. Abah tidak melarang Embun bertemu dengan pemilik. Selama Embun bisa menjaga diri dan mengerti batasan diantara yang bukan mukhrim!"
"Abah mengizinkan!" Ujar Embun tak percaya. Abah Iman mengangguk sembari tersenyum. Dengan lembut Abah Iman mengelus kepala Embun. Kasih sayang seorang ayah yang mulai gelisah melihat putrinya semakin dewasa.
"Kamu harus menemuinya, demi harapan warga desa. Abah akan mendoakanmu, agar keinginanmu tercapai. Kamu memiliki hati yang bening. Abah bangga padamu!" Ujar Abah Iman tegas, lalu berdiri meninggalkan Embun sendirian.
Sepeninggal sang Abah, Embun mengaji ayat suci Al-Quran. Suara merdu Embun, meggema di sepi malam yang pekat. Abah Iman bangga akan putri yang dibesarkannya. Embun bukan hanya cantik wajahnya. D8a memiliki hati yang bersih dan suci. Demi membantu orang lain. Embun tak pernah takut atau peduli pada dirinya sendiri. Rasa kemanusiaan yang suci dan sebening Embun, sesuai nama indahnya.
"Embun, sudah saatnya kamu bertemu dengan keluarga Abimata. Keluarga yang pernah membantu Abah. Sekaligus keluarga yang terikat janji dengan Abah. Maafkan Abah Embun, jika kelak janji itu harus ditepati. Dulu Abah tak memiliki pilihan dan sekarangpun Abah tak berdaya. Namun percayalah Embun, apapun yang terjadi padamu. Merupakan yang terbaik diantara yang baik. Doa dan restu Abah akan selalu bersama langkahmu!" Batin Abah Iman sembari menatap punggung Embun.
"Alhamdulillah!" Ujar Embun lantang, sembari menutup Al-Quran yang tengah dipegangnya.
Embun kembali menuju kamarnya. Dia merasa tenang, setelah mengatakan semua masalahnya pada sang pemilik hidup. Bahkan Embun mendapatkan restu dari sang Abah. Izin yang akan membuat langkahnya lebih ringan. Embun masuk ke dalam kamarnya. Saat Embun hendak membaringkan tubuhnya. Terdengar ponselnya berbunyi, secepat kilat Embun mengambilnya.
"Dia kehilangan akal, jam berapa sekarang? Sampai hati dia memintaku datang. Kalau dia laki-laki, tak masalah baginya keluar. Sedangkan aku seorang perempuan, di samping tak baik bagiku keluar. Aku juga tidak berani keluar di malam yang gelap!" Gerutu Embun, sesaat setelah membaca pesan dari nomer yang tidak dikenalnya.
"Aku tidak akan datang!" Ujar Embun tegas, lalu meletakkan ponselnya.
Drrrtt Drrrtt Drrrtt
"Kenapa dia memaksa?" Ujar Embun kesal, sembari tangannya mengambil ponselnya kembali. Bukan pesan yang sekarang diterima Embun. Melainkan panggilan telpon, seolah Embun harus pergi sekarang juga.
"Assalammualaikum!" Ujar Embun lirih, tepat setelah dia mengangkat ponselnya.
"Kamu datang sekarang atau kuruntuhkan pabrik tua ini sekarang!" Ujar suara yang di seberang sana.
"Tapi ini masih malam!" Sahut Embun, tapi sang penelpon mematikan ponselnya cepat.
Tut Tut Tut Tut Tut
"Dimatikan!" Ujar Embun kesal.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!