Nuri masih betah duduk didepan laptop. Tangannya menari indah diatas keyboard. Rangkaian kata indah tercipta dan teroampang jelas pada layar.
Tak ada orang lain lagi di sana. Detik terus bergulir bahkan cakrawala pun sudah menampakan wujud. Akan tetapi tak ada tanda-tanda Nuri akan beranjak dari sana.
Beberapa saat kemudian suara gebrakan pada pintu menglihkan fokus Nuri. Terlihat Nena-mamanya Nuri berkacak pinggang saat pintu sudah terbuka.
"Mama," desis Nuri.
"Kerja, kerja, kerja lagi dikira kaya nyatanya malah kena tipes,"
Hati yang sempat ketar-ketir kini berubah. Senyum simpul nampak di bibir Nuri.
"Kamu tuh kerja mulu Nuri, ini jam berapa? tuh lihat jam!" Nuri mengikuti arah telunjuk mama. "Makan sana!"
"Ya Allah Nuri kira mama akan marah, taunya cuma nyuruh makan," kekeh Nuri.
"Iya makan dulu biar ada tenaga nanti buat dengar ocehan mama," sahut mama sembari meninggalkan ruang yang tadi ditinggali oleh Nuri.
Perempuan itu segera beranjak mengikuti sang mama. Menurut jauh lebih baik dari pada singa betina itu lebih dulu mengeluarkan taringnya. Bisa tujuh hari tujuh malam Nuri mendapat ceramah gratis dari mama.
"Disuruh makan lagi?" Hamka adik paling bungsu Nuri berbisik. Nuri hanya menjawab sembari menaikan alis.
***
Papa melambaikan tangan saat melihat Nuri keluar dari ruang makan. "Tadi papa sudah pesan kain 15 rol pada pemasok tapi papa melupakan sesuatu." Papa menggaruk pelipisnya.
"Sesuatu? pembayaran?" Tebakan Nuri tepat sasaran, papa tersenyum malu-malu seperti seorang gadis yang baru saja bertemu dengan gadis gebetannya.
"Kebiasaan ah papa mah." Nuri memasang ekspresi kesal meski hanya sekedar pura-pura. Dia segera membuka bank online dan mengirimkan uang sebagai pembayaran. Dia sudah hafal lagi no rek perusahaan pemasok.
"Oh ya besok kamu kemana?"
"Gak kemana-mana, papa mau nyuruh aku ke luar?"
"Deadline novel kamu gimana?"
"Ya harus secepatnya kelar." Nuri melirik pada adik bungsunya.
"Apa, mau nyuruh aku?" tebak Hamka, "gak bisa aku mau bikin konten di atas."
"Ayolah, Ham! nanti teteh tambah uang jajan," rayu Nuri.
Ahmad melirik sebentar kemudian kembali fokus pada laptop yang dia pegang. "Sory gak tertarik." Ahmad mencebikan bibir.
Terjadilah tawar menawar antara kakak beradik itu. Danterjadilah kesepakatan tabah uang jajan dua kali lipat. "Gitu dong, kan teteh mah paling baik sedunia." Ahmad menyeringai penuh kemenangan.
"Au ah."
Papa yang memeriksa pesanan barang dari ponsel haya menggelengkan kepala melihat polah kedua anaknya. Untung anaknya yang tinggal bersama hanya dua orang. Andai semua anak papa kumpul sudah pasti rumah ini seperti pasar. Mereka saling melepas rindu dengan canda meski berupa ejekan. Beruntungnya papa tidak sampai kena tekanan darah tinggi.
***
Pagi-pagi pintu kamar Nuri sudah terdengar diketuk. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Ahmad si bungsu mata duitan.
Nuri yang paham langsung bangun dan mengambil sejumlah uang perjanjian kemarin malam. "nih..." Nuri menyodorkan uang. "Dasar mata duitan."
"Eh aku mah takut nanti teteh ingkar."
"Tapi ini masih subuh Hamka."
"Lupa ni si teteh. Kan rezeki itu harus dijemput dari subuh biar cepat kaya."
Nuri memutar bola mata karena merasa jengah. Adiknya yang satu ini kadang bikin dia pusing tujuh keliling tapi yang satu ini juga dia paling bisa diandalkan saat darurat.
Papa dan yang lain sudah ada di ruang makan saat Nuri turun dan bergabung. Dia menyapa lebih dulu sebelum duduk.
Selesai sarapan Nuri kembali ke ruang kerja sedangkan papa katanya mau mengawasi pengiriman barang. Memang Nuri membeli rumah di sebelahnya untuk ia jadikan tempat kerja. Dari mulai pemotongan bahan, pengepakan sampai bagian pemasaran melalui media. Sementara bagian jahit dibawa ke rumah masing-masing pekerja.
Entah sudah berapa lama Nuri bekerja. Dia baru beralih dari laptop saat Nia orang yang bekerja dengan dia memberi tau kedatangan seorang tamu.
"Memangnya aku punya janji tamu, Ni?"
"Kalau lihat di jadwal memang gak ada, Teh. Tapi tamu itu memaksa ingin bertemu sama Teteh."
Nuri mengerutkan kening. Setelah beberapa kejadian menimpa dia di masala lalu, Nuri sangat tertutup pada orang baru.
"Orangnya sedikit memaksa Teh, tadi pak Amran juga sudah dikasih tau tapi kata beliau suruh ngasih tau Teteh." Pak Amran adalah papanya Nuri.
"Baiklah, tunggu sebenar."
Sebenar Nuri merapikan diri dan dia pun segera menemui tamu yang dimaksud. Seorang laki-laki tengah duduk di ruang tunggu. Penampilannya sungguh rapi, rambut tetap dan tubuhnya terlihat proposional apalagi dibalut dengan jas yang sepertinya mahal. Terlihat dari jenis bahan.
Nuri berdehem sebelum akhirnya duduk dan memperkanlakan diri. "Sebenarnya saya tidak menerima tamu yang sebelumnya tidak membuat janji. Katakan ada keperluan apa Anda kemari!"
Lelaki itu menyunggingkan senyum kemudian menperkenalkan diri. 'Benar-bebar menantang' batin lelaki yang diketahui namanya adalah Irsya.
"Tentu saja saya datang kemari dengan tujuan bisnis. Kalau bukan untuk itu Memangnya untuk apa lagi, mendekati anda? itu tidak mungkin," Irsya membalas dengan nada tenang." Lelaki itu pun menjelaskan tujuannya yang bersangkutan dengan pekerjaan Nuri. Dia meminta Nuri memperoduksi model pakaian yang dia bawa.
"Saya hanya meminta agar Anda tidak menjual model kepada suplier lain. Berapa pun yang anda produksi berikan saja pada perusahaan saya. Kami sanggup membayarnya."
Tawar menawar harga pun akhirnya deal. Nuri menyanggupi permintaan klien dadakannya itu.
"Terima kasih sudah percaya pada kami." Kalimat yang dikumpulkan Nuri sebagai bentuk penutup pertemuan itu.
Nuri segera meminta Nia mempersiapkan apa yang di minta Irsya tadi. Dia punya deadline satu minggu untuk memenuhi permintaan Irsya.
Sedangkan Isya yang baru saja masuk mobil tersenyum menngingat satu langkah niatnya berjalan tanpa hambatan. Dia tidak sabar untuk melanjutkan rencana kedua. "Kita lihat sejauh mana kekuatan tembok yang dia bangun."
***
Pukul tiga sore barang yang dipesan papa pun datang. Beberapa pegawai lelaki menurunkan kain bahan itu. Nuri memperhatikan serta menghitung bahan yang dia terima.
"Sudah sesuaikan, Bu?" seorang laki-laki daribpihak pengirim menyodorkan nota belanja pada Nuri.
"Sesuai," Nuri memberikan senyum tipis setipis jembatan sirrotolmustaqiim. Julukam perempuan judes pen menjadi gelar dadakan di belakang nama Nuri.
Setiap orang yang membicarakan Nuri pasti akan mengatakan Nuri si perempuan judes itu kan. Lucu memang jika hanya mengurus mulut mereka tapi kita tidak punya Kewajiban untuk itu. Berkarya dan bekerja jauh lebih bermanfaat.
"Yang ini tolong langsung dipotong aja pak Nif." Nuri menunjuk tiga rol bahan yang berbeda motif. "Polanya sudah dibuat 'kan?"
"Buat berapa ratus potong, Neng?" tanya Pak Hanif memang jauh lebih tua dibandingkan atasannya itu.
"Permintaan pertama hanya enam kodi. Nanti potong yang motif itu untuk model yang ini ya." Nuri menunjukan satu model lagi.
"Kerja, kerja, kerja Jon. Setoran numpuk," canda pak Hanif pada Jono si kernet berbadan subur. Yang di ajak bercanda hanya nyengir sambil mengacungkan tangan.
Pak Hanif dan Jono mulai mengerjakan tugasnya. Nia masih sibuk membalas pesan dari customer. Yang lain pun sama sibuknya. Nuri memperhatikan bagian pengepakan dan ikut berbaur bersama mereka. Dia hanya sesekali menarik sudut bibirnya saat candaan para karyawan menyenggol dirinya.
"Nanti pas teteh nikah kita seragamnya gak usah pesan di yang lain ya teh."
Pukul lima sore, sebagian pekerja sudah pulang. Hanya beberapa pekerja yang tersisa. Mereka memilih lembur untuk menambal kebutuhan yang semakin mahal. Hidup di jaman sekarang uang sepuluh ribu rupiah kadang nilainya dianggap sangat rendah.
Sepertinya rumah kedatangan tamu. Terdengar gelak tawa saat Nuri baru saja keluar dari rumah tempat kerja.
"Via!" Nuri terkejut ternyata yang bersama mamanya adalah teman lama dia. Entah berapa purnama mereka tidak bersua yang jelas mereka saling merindukan.
"Nuriii!" Via bangkit dan segera memeluk Nuri begitu erat.
"Kok datang gak ngabarin, Vi," Nuri mengurai pelukan dan ikut duduk di sebelah Via.
"Surprise dong, sekalian mau berangkat bareng ke acaranya Hani. Datang 'kan?"
Nuri baru ingat kalau dia diundang oleh Hani. Akan tetapi Nuri memilih tidak berangkat. Selain tidak ada teman yang bisa diajak ke sana dia juga tidak terbiasa keluar malam. Kejadian itu sungguh takut terulang lagi.
"Ayolah Nuri, aku sengaja datang kesini biar bisa berangkat bareng kamu. Nanti malam aku nginep deh di sini biar kamu gak khawatir pulang sendiri." Via paham dengan kondisi Nuri. Tapi acara seperti ini kan tidak terjadi setiap hari. Lagi pula acara ini bisa juga mereka gunakan untuk menyambung silaturahmi sesama alumnus.
Nuri menatap mama. "Mama rasa itu bukan ide buruk. Lawanlah ketakutanmu! Agar kamu tak selamanya terkurung di sana."
Via mengangguk membenarkan ucapan mama dari sahabatnya. Nuri butuh suasana luar, dia harus berdiri lagi dan tidak merasa rendah diri. Tak ada yang menginginkan musibah tapi semua terjadi pun tidak begitu saja. Tuhan sebaik-baiknya pembuat rencana.
"Baiklah tunggu sebentar aku akan bersiap," ucap Nuri sambil berdiri dan meninggalkan mereka di ruang tamu.
***
Sebuah kafe menjadi tempat acara Hani berlangsung. Nuri dan Via turun dari mobil yang sama. Via menitipkan mobilnya di rumah Nuri.
Mereka masuk dan langsung berbaur, saling betegur sapa dan bernostalgia. Si empu hajat belum terlihat, rupanya ia belum datang.
Di tempat yang sama tapi berbeda ruang pak Irsya tengah menikmati secangkir kopi. Lelaki itu tersenyum melihat serentetan chat dari seseorang.
"Aku tidak bodoh, tenang saja aku akan keluar kalau waktunya tiba," balas lelaki itu. Separuh kopi sudah masuk ke lambungnya.
Pukul sepuluh malam, acara yang didatangi Nuri dan Via berakhir. Mereka bersiap untuk pulang.
"Nuri, kapan-kapan aku mampir ke rumahmu ya," ucap salah seorang teman lama.
"Aku akan datang ke tempatmu memenuhi undanganmu saat kamu menikah," timpal yang lain.
Dari satu kelas dan satu geng semasa sekolah, memang hanya Nuri perempuan yang tersisa dan masih betah dengan kesendirian. Yang mereka tahu Nuri ingin menikah dengan duda beranak dua. Akan tetapi bukan itu penyebab yang sebenarnya.
Nuri mengangguk diikuti tawa kecil sembari menunggu Via yang tengah melakukan panggilan.
"Nuri maaf sekali aku gak bisa nginep di rumahmu," sesal Via. Perempuan itu menunjukan chat dari salah satu kerabatnya yang mengabarkan salah satu anggota keluarga mereka terkena musibah.
"Tenang Vi, aku bisa pulang sendiri." Nuri berbicara terlihat tenang padahal hatinya dipenuhi rasa cemas dan ketakutan.
Diwaktu yang sama pak Irsya keluar dari kafe. "Anda di sini Bu Nuri?" sapa lelaki itu.
"Iya baru saja kami akan pulang."
"Mas Irsya boleh aku minta tolong?" Kali ini Via yang bicara sedangkan Nuri mengerutkan kening. Tak menyangka kalau Via mengenal lelaki yang tadi siang memaksa bertemu dengannya.
"Tolong apa?"
"Antarkan Nuri pulang, ..."
"Vi..." Nuri menyela dan merasa tidak enak hati harus minta tolong pada lelaki itu.
"Tadi aku sudah janji akan menginap di rumah dia. Tapi salah satu saudaraku masuk rumah sakit. Aku gak enak hati sama tante karena mengingkari janji," lanjut Via.
"Tidak papa pak Irsya saya bisa pulang sendiri." Nuri keuekeuh menolak. Demi apa pun dia harus bisa pulang sendiri. Tuhan akan selalu melindungi, Nuri berusaha meyakinkan diri untuk menepis rasa takut yang kian menggerogoti.
"Baiklah, mari saya antar." Pak Irsya benar-benar membuat Nuri semakin merasa tidak enak hati.
"Pak..."
"Sudahlah Nuri, aku tidak ingin terjadi sesuatu padamu. Percaya saja aku kenal Mas Irsya kok. Dia sepupunya Hani." Via menjelaskan kebingungan Nuri.
Pak Irsya mengantarkan Nuri dengan mengikuti mobil perempuan itu dari belakang. Saat sudah melihat gerbang komplek perumahan tempat tinggal Nuri, lelaki itu memutar arah tanpa turun lebih dulu. Tentu saja Nuri belum sempat mengucapkan terima kasih.
***
Pagi sudah menyapa. Pak Irsya tersenyum melihat pantulan dirinya di cermin. Setelan jas berwana putih telah melekat di tubuhnya menandakan lelaki itu siap untuk bekerja. Mengingat kejadian semalam membuat jantungnya bekerja tiga kali lipat dari biasanya.
"Seperti ini cara kerja menghancurkan tembok es itu. Perlahan tapi pasti," ucapnya seraya merapihkan rambut.
***
Mama meminta Nuri mengantarnya membeli kebutuhan dapur. "Siap ibu ratu," canda Nuri.
Sebelum berangkat, Nuri meminta Nia menemuinya kemudian membari tau apa yang harus dikerjakan hari ini.
"Oh ya, pesanan yang luar daerah segera paketkan ya, Ni. Usahakan jangan sampe lewat dari jam satu. Kalau perlu minta anak-anak bagian potong untuk membantu mengemas."
"Siap, teh."
Nuri mewanti-wanti sebab tak ingin mengecewakan mereka yang sudah bekerja sama cukup lama. Kepuasan customer merupakan kebahagiaan dirinya. Tentu saja bahagia kan pemasukan mengalir terus ke rekeningnya.
Cukup banyak kebutuhan rumah tangga yang mama beli. Tak terasa mereka menghabiskan waktu banyak untuk membeli itu semua. Pukul tiga sore mobil Nuri baru meninggalkan pelataran parkir tempat belanja.
Sial. Saat melewati jalanan yang tak terlalu ramai, mobil menunjukan gejala gangguan. Dengan terpaksa Nuri menghentikan mobil untuk memeriksanya.
"Kenapa Nur?" mama melongokan kepalanya.
"Bannya pecah, Ma." Mata Nuri memindai sekitar berharap ada orang yang bisa dimintai bantuan. Sayangnya Nuri malah menemukan segerombolan anak muda dengan pakaian yang membuat perempuan itu berpikir negatif.
Seorang laki-laki diantara mereka menghampiri membuat pikiran Nuri terus berpikir yang tidak-tidak. Apalagi saat lelaki itu tersenyum, senyum yang manis itu malah semakin terlihat menyeramkan. "Allah tolong lindungi kami" Doa yang terus terucap dalam hati dengan cepat.
"Hey bung, lo membuatnya takut." Seirang lagi turun dari motor dan ikut menghampiri.
Nuri semakin waspada. Dia harus bisa melindungi diri juga mamanya. Meski tak dipungkiri rasa takut tak bisa dia tepis.
"Nuri," desis mama dari dalam mobil. Perempuan itu sama takutnya mengingat tempat ini sepi dan hari terus beranjak.
Lelaki yang lebih dulu membuat Nuri waspada itu terkekeh. "Memangnya aku semenyeramkan itu ya, Mbak?" ucapnya saat mereka sudah berdiri di dekat mobil Nuri. Nuri tak menjawab.
"Padahal aku tampan loh."Lelaki tadi menyugar rambutnya ke belakang. Memang benar lelaki itu kulitnya bersih pun dengan rambutnya yang tertata rapi tapi penemapilan pakaiannya. Bukankah seseorang menilai orang lain dari penampilan lebih dulu.
Lelaki satunya yang ikut menghampiri terkekeh. Jelas dua perempuan itu terlihat ketakutan tapi temannya malah mengeluarkan kalimat seperti itu. Yang mungkin bagi sebagian orang yang tengah tertakan akan semakin menambah rasa takutnya.
Beraambung
Note: Selamat pagi sayang-sayangku, semoga harimu menyenangkan 😍
Padahal aku tampan loh."Lelaki tadi menyugar rambutnya ke belakang. Memang benar lelaki itu kulitnya bersih pun dengan rambutnya yang tertata rapi tapi penemapilan pakaiannya. Bukankah seseorang menilai orang lain dari penampilan lebih dulu.
Lelaki satunya yang ikut menghampiri terkekeh. Jelas dua perempuan itu terlihat ketakutan tapi temannya malah mengeluarkan kalimat seperti itu. Yang mungkin bagi sebagian orang yang tengah tertakan akan semakin menambah rasa takutnya.
"Ban mobilnya pecah, Mal," ucap lelaki yang tadi mengikuti Akmal.
"Bawa ban ganti?" tanya laki-laki yang bernama Akmal. Nuri mengangguk dan segera menurunkan ban tersebut dari bagasi.
Akmal langsung mengbil dongkrak dan segera mengganti ban tersebut. Sementara di dalam mobil mama baru bisa bernafas lega saat tidak ada tindakan yang menakutkan dari sekelompok anak muda itu.
"Lain kali kalau bepergian ajak saya, Mbak. Saya bisa jadi apa saja yang mbak butuhkan," celoteh Akmal.
"Terima kasih," ucap Nuri sambil menyodorkan dua lembar uang cap sang proklamator.
Akmal menepuk-nepuk tangannya kemudian menoleh ke arah Nuri dan menyajikan senyum manis semanis madu. "Ambil saja uang itu! Anggap saja uang nafkah dariku.
Mama menahan tawa melihat ekspresi Nuri. Perempuan itu tau anaknya paling tidak suka mendegarkan ujaran kalimat-kalimat seperti itu.
Uang yang disodorkan Nuri tadi kembali masuk ke dalam tas. Mobil segera melesak cepat bersama teriakan dari Akmal. "Aku tidak ingin bidadariku masuk surga lebih dulu."
"Gila-gila," ucap rombongan anak muda tadi.
"Orang dewasa lo godain, Mal."
"Sebab rasa tak mengenal umur dan rupa," balas Akmal sembari kembali duduk pada motor miliknya.
"Huuu pujangga jalanan," sambung anak yang lain.
Dering ponsel yang begitu nyaring menghentikan tawa sekumpulan anak muda. Akmal merogoh saku dan memperlihatkan nama yang tertera di sana. "Ibu ratu," ucap Akmal seraya menggeser ikon berwarna hijau.
"Iya Bunda Ratu?"
"Dasar gendeng," omel suara diseberang sana setelah mengucap salam lebih dulu. Akmal sedikit menjauhkan ponsel dari telinga. Padahal teman-temannya sendiri mendengar suara dari seberang sana tak terlalu keras. Akmal memang selebay itu.
"Pulang sekarang, bunda tunggu di rumah."
"Disuruh pulang, Bro." Padahal sudah barang tentu teman-temannya mendengar.
"Ya udah pulang noh, amankan namamu dalam daftar penerima warisan, Mal." kekeh Hamad yang sudah tentu bukan nama aslinya.
Akmal meraungkan suara motornya. Sebelum melaju dia menolah pada Hamad. "IT jalanan cari info tentang bidadari tadi!" Sorakan dari teman-temannya mengiringi suara bising dari knalpot milik Akmal.
Sampai di rumah Akmal segera turun. Bukannya disambut pelukan dan senyum hangat, Akmal malah disambut gelengan kepala dari sang bunda dan ayah.
***
Mama langsung membawa barang belanjaan. Sedangkan Nuri yang melihat mobil tengah menurunkan barang di depan rumah kerja segera menghampiri.
"Teh di dalam ada tamu." Nia memberitahu saat melihat Nuri menghampiri pintu masuk.
"Tamu yang menyebalkan?"
"Setiap laki-laki yang gak dikenal teteh anggap menyebalkan ya?" Nia tertawa kecil.
"Kalau gak mengganggu ya gak juga."
Nuri melihat Pak Irsya tengah menatap ke arahnya. Lelaki itu tersenyum akan tetapi sungguh terlihat menyebalkan bagi Nuri.
"Perjanjiannya tidak hari ini kan, Pak Irsya?"
"Anda benar Bu Nuri, tapi saya penasaran dengan hasil kerja anda dan team."
"Pak menjahit pakaian itu butuh waktu. Apalagi menginginkan hasil jahitan yang rapih. Anda bisa datang saat kami mengabarkan barang yang anda pesan sudah jadi."
"Baiklah aku mengerti." Pak Irsya mengangguk-anggukan kepala.
Nuri sudah berdiri hendak meninggalkan pria itu tapi urung saat mendengar pertanyaan dari Pak Irsya. "Bu Nuri, apa anda menerima ajakan makan malam dati seorang pria?"
Nuri menoleh kemudian berkata tidak.
Pak Isrya pun berdiri dan meninggalkan tempat duduknya tadi.
"Lagi berusaha mendekati Neng Nuri ya?" Pak Isrya menolah pada pak Hanif yang sedang menurunkan barang. "Bukan begitu cara meminta anak perempuan orang," sambung pak Hanif.
Pak Irsya jadi tertarik untuk berbincang dengan pak Hanif, dia tidak jadi meninggalkan tempat itu. "Bapak sudah lama kerja di sini?" pertanyaan basa basi dari pak Irsya memulai percakapan mereka.
Setelah berbasa-basi dan bercerita hal lain, pak Irsya kembali pada tujuan. "Apa bu Nuri tengah dekat dengan laki-laki lain?" pria itu bertanya dengan hat-hati. Ia juga menengok kiri kanan memastikan yang menjadi objek percakapannya tidak ada di sekitar.
"Sejak saya kerja di sini belum pernah melihat neng Nuri jalan dengan lawan jenis. Tapi ya saya kurang tau banyak karena urusan pribadi atasan ya bukan urusan saya."
Pak Irsya tersenyum kecut saat tak mendapat jawaban pasti. Dia pun segera pamit pada pak Hanif.
Saat sudah di dalam mobil, Pak Irsya mengetetik pesan pada seseorang. "Ide-mu yang ini tidak berjalan baik. Aku minta ganti rugi." Pesan terkirim.
"Rencana kita lanjutkan di acaraku nanti. Jangan dulu bergerak atau dia akan semakin tidak suka padamu. Ribet sekali jika sudah berurusan dengan hati. Sudah tua kok merepotkan."
Pak Irsya melotot membaca kalimat terkakhir. Dia melepas ponselnya ke kabin belakang dan segera melajukan mobilnya.
Dari lantai dua Nuri memperhatikan mobil pak Isrya yang mulai menjauh, barulah dia bernafas lega. Dia segera menyelesaikan pekerjaan yang tertunda diwaktu yang tersisa.
Nia mengetuk pintu untuk pamit. Ah ternyata waktu kerja yang lain sudah habis. Meski waktu kerja habis tapi Nuri tetap melanjutkan pekerjaannya. Toh dia pemiliknya lagi pula tempat kerja dan rumah berdampingan. Jadi dia tak perlu khawatir akan pulang kemaleman.
Gelak tawa orang dewasa dan anak kecil menyambut Nuri yang baru akan menucap salam. Rumahnya terlihat rame. Apalagi ada si pemilik kasta tertinggi dalam keluarga "cucu pertama dan perempuan"
Dia segera bergabung dan menyalami saudara-saudaranya yang jarang bertemu. "Jadi kapan, Teh Nuri?" tanya Latif saat Nuri menyalaminya.
Nuri paham pertanyaan itu. Dia membuang nafas secara kasar kemudian duduk di sebelah Latif. "Carikan saja WO, vendor cathring, biaya juga calon mempelai prianya. Bia aku tinggal menikmati saja," ucap Nuri sambil tersenyum menyebalkan.
"Uh dasar." Sebuah bantal sofa terlempar dari arah Fitri yang merupakan iparnya.
Mama jadi teringat kejadian tadi sore dan dia pun segera menceritakannya. Sontak Nuri jadi bahan olokan saudaranya yang lain.
"Berondong dong ma," kata Fitri.
"Iya kayaknya, dan lucunya mama mendengar anak itu berteriak gini, aku tidak ingin bidadariku masuk surga lebih dulu. Saat mobil kami melaju" Mama menirukan.
gaya anak bernadalan yang sore tadi bertemu mereka.
"Wah dapat pujangga jalanan dong," timpal Hamzah si bungsu yang menyebalkan sambil tertawa. Dia memang paling suka menggoda kakaknya.
"Ya ya ya terserah kalian saja. Yang penting kalian suka."
Naura si pemegang kasta tertinggi ikut tertawa bersama orang dewasa padahal jelas dia tidak mengerti itu. Nuri langsung mengangkat anak kecil itu kepangkuannya. "Kamu menggemaskan sekali." Nuri menempelkan wajahnya pada si kecil dan membuatmu tertawa.
"Teh mau punya yanga kayak Naura?" tanya Hamzah. "Nikah dong!"
Lekas makan malam semua penghuni rumah tersebut masuk ke dalam kamar masing-masing. Saat mereka yang sudah menikah menikmati aktifitas malamnya, Nuri masih saja berkutat dengan laptop dan buku-buku.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!