Pelangi anak mereka sudah berulang kali menangis. Terhitung selama satu bulan terakhir, bayi menggemaskan itu memang menjadi semakin rewel, terlepas dari Pelangi yang juga menjadi sering demam. Tubuh Pelangi kerap tiba-tiba panas. Bahkan sering kali, suhunya lebih dari tiga puluh sembilan derajat Celsius. Tak jarang, bayi perempuan itu juga sampai kejang. Dan yang membuat keadaan semakin berat, bukan karena kejadian itu terus terulang. Melainkan, ... selama itu juga, Keinya terjaga seorang diri tanpa Athan.
Akhir-akhir ini, Athan suami Keinya jarang pulang. Pria itu begitu sibuk dengan pekerjaan. Dan menurut keterangan dari Athan, tugas di luar kota menjadi rutinitas yang tidak bisa ditinggalkan. Begitu banyak pekerjaan yang membuat pria berhidung bangir itu tidak memiliki banyak waktu di rumah, termasuk untuk bersama Keinya bahkan Pelangi mereka.
Kini, sambil menimang-nimang, berusaha menenangkan sekaligus meredam tangis Pelangi, Keinya masih menunggu Athan bicara. Karena sekitar lima belas menit yang lalu, pria berkacamata itu meminta waktu untuk bicara. Namun tak biasanya, kini gaya Athan begitu serius termasuk cara pria itu menatap Keinya.
Dulu, ketika mereka masih pacaran, apalagi ketika Athan masih mengejar cinta Keinya, pria itu begitu hangat dan selalu membuat Keinya merasa bahagia. Namun sekarang, semenjak Keinya hamil, Keinya merasa suaminya menjadi berbeda bahkan berubah.
Athan menjadi sering bahkan bersikap dingin, di mana sekadar mengajak Keinya bicara saja terbilang sangat jarang. Keinya pikir, perubahan tersebut hanya bagian dari kesibukan Athan atau efek mengidam, meski hal semacam itu terbilang tidak masuk akal. Apalagi nyatanya, kejadian tersebut juga terus bertahan hingga sekarang.
Masa iya, sudah menikah, sekadar berbicara saja jarang? Dan kenyataan tersebut juga yang terkadang membuat Keinya merasa asing pada Athan, bahkan sekalipun mereka sedang bersama.
Seperti sekarang, setelah membuat pikiran Keinya mrnjadi semakin stres, sedangkan tangis Pelangi juga tak kunjung usai, Athan justru seperti tidak berniat untuk bicara. Bahkan, Athan sama sekali tidak membantu Keinya menenangkan anak mereka.
“Pah, mau ngomong apa, sih?” ucap Keinya yang sampai mondar-mandir kerepotan sambil terus menimang Pelangi.
Athan mengerutkan dahi kemudian mendengkus. Pria itu terlihat sangat tidak nyaman. “Bagaimana mungkin aku bisa ngomong, sedangkan Pelangi saja, berisik terus?” keluhnya kesal.
Keinya mendengkus dan terlihat sangat lelah.
Sebagian rambut Keinya terjuntai lepas dari ikatan yang terbilang asal-asalan. Sementara lingkar mata wanita itu tak ubahnya mata panda yang terlihat jelas menahan lelah. Dan dengan keadaannya yang menyedihkan itu, Keinya sudah ingin menangis bahkan menjerit, terlebih Pelangi terus saja menangis. Terlebih, usaha Keinya dalam menenangkan Pelangi sekaligus bersikap tenang, benar-benar tidak mendapatkan hasil.
“Sebenarnya apa yang terjadi, kenapa semakin hari, Pelangi justru semakin rewel? Kamu beneran jaga dia, apa sibuk sendiri, sih?” Kali ini, Athan membentak Keinya.
Keinya merasa tak habis pikir, kenapa Athan selalu menyalahkannya jika Pelangi rewel, sakit dan semua yang berimbas buruk pada anak mereka? Kenapa semua perjuangan Keinya sama sekali tidak Athan hargai? Jangankan ikut membantu, berusaha mengatasi masalah dan sekadar meluangkan waktu untuk Pelangi saja, Athan tidak pernah. Yang ada, pria itu menyalahkan dan terus marah-marah kalau tidak memilih tak acuh. Dan Athan ... sungguh tak ubahnya orang asing yang bahkan tidak memiliki rasa peduli pada Keinya bahkan Pelangi, walau hanya sedikit.
Bukankah kedua orang tua memiliki tanggung jawab yang sama kepada anak-anak mereka? Karena meski ibu memang memegang peran utama dalam mengurus sekaligus mendidik anak, tetapi tidak berarti ayah langsung angkat tangan, hanya karena sudah bekerja, dalam artian ... mencari nafkah, kan?
“Pah, tolong jangan bikin aku tambah stres. Bahkan ASI-ku sudah enggak keluar. Dan kalau boleh, ... t-tolong sempatkan waktumu sebentar, ya? Kita ke dokter buat konsultasi, ... biar Pelangi—” Keinya tak kuasa menahan air mata berikut kesedihannya. Tak hanya kondisi Pelangi yang membuat semua itu terjadi, melainkan sikap Athan yang membuat mereka semakin asing. Keinya sungguh membutuhkan Athan. Keinya membutuhkan suaminya, seperti istri-istri di luar sana yang begitu dipedulikan oleh suami terlebih ketika mereka sedang hamil dan memiliki anak.
“Kei,” tegas Athan menahan balasan Keinya sambil memejamkan matanya.
Keinya memang menyimak. Ia masih berusaha sabar menghadapi Athan, sebab baginya, itu sudah menjadi hal yang semestinya ia lakukan sebagai seorang istri. Keinya sungguh berusaha menjadi istri yang baik, walau hal yang sama tak pernah ia dapatkan lagi dari yang bersangkutan. Namun, lantaran kini tangis Pelangi semakin pecah, Keinya pun memilih meninggalkan suaminya sambil berkata, “kamu mandi dulu, ya? Aku mau memanasi makan malam sambil menenangkan Pelangi dulu.”
“Terus, ... tolong, yah, Pah. Tolong sempatkan waktumu untuk Pelangi. Biar bagaimanapun, Pelangi pasti rindu kamu. Dia ingin diperhatikan sama kamu.”
Keinya benar-benar memohon sebelum ia yang masih mondar-mandir di sekitar Athan, benar-benar berlalu dan menyiapkan makan malam untuk Athan. Namun, belum juga keluar kamar, bahkan Keinya baru menekan kop pintu, Athan kembali memanggil wanita itu. Kali ini, Athan bertutur dengan suara jauh lebih rendah.
Keinya berangsur balik badan dan menatap suaminya dengan pandangan heran. Terlebih, pria itu sudah kembali memanggilnya, sebelum Keinya benar-benar balik badan.
Melihat ketegangan yang tengah menyelimuti Athan, Keinya merasa jika suaminya itu tengah menyembunyikan masalah besar. Masalah besar yang juga akan segera pria itu utarakan. Dan mungkin sebentar lagi, Keinya akan mengetahui semuanya.
Bersambung ....
Ini kisah Keinya dan beberapa pemeran lainnya setelah luka dan pengkhianatan, membuat mereka terjebak dalam perceraian. Tentang kehidupan selepas perceraian, yang nyatanya masih membuat mereka menemukan cinta bahkan ketulusan.
Untuk kalian yang juga mengalaminya, jangan pernah pantang semangat, ya. Percayalah, bahagia dan ketulusan juga sudah sangat merindukan kalian. Karena selepas perceraian, cinta dan bahagia tetap ada.
[CATATAN TAMBAHAN : Berkat dukungan kalian, cerita ini akan terbit versi buku. Lihat keterangan di sampul depan ada tulisan sudah terbit, kan? Cerita ini masih tahap revisi. Jangan lupa follow IG aku buat baca cerita menarik lainnya. Sedangkan karena alasan kontrak karya, di NOVELTOON aku hanya ada dua cerita tamat. Selepas Perceraian, sama satunya lagi judulnya : Menjadi Istri Tuanku. Cek saja, ya]
Salam sayang dan semoga sehat selalu,
Rositi.
Selamat membaca kisah mereka 😍
“Cinta suami istri tidak diukur dari seberapa banyak mereka memiliki kebahagiaan, melainkan seberapa kuat mereka mampu bertahan dalam menghadapi cobaan.”
Episode 2 : Awal Malapetaka
****
Apakah Athan sedang bermasalah dengan pekerjaannya? Suaminya itu dipecat dan merasa depresi karena harus kehilangan pekerjaan yang begitu dicintai?—Keinya mulai menduga-duga, lantaran tak ada kemungkinan lain, dan dirasanya logis menjadi alasan sang suami sampai berkata dengan suara tinggi kepadanya, setelah sikap dingin Athan yang semakin lama, semakin membentangkan jarak di antara mereka.
“Lebih baik kita bercerai saja!” ucap Athan.
Athan mengatakan itu tanpa keraguan, terlepas dari pria berkacamata itu yang mengatakannya tanpa beban. Tak ada sedikit pun rasa bersalah yang terpancar dari gelagat pria itu. Keinya sampai tak percaya, terlepas dari kehidupan wanita itu yang perlahan-lahan digerogoti oleh gejolak yang menghantarkannya pada kehancuran.
Untuk beberapa saat, dunia Keinya seolah berhenti berputar. Suasana di sana juga seolah menjadi hening, kendati Pelangi masih menangis bahkan meraung-raung. Dan Keinya merasa ada begitu banyak benda tajam yang sibuk menghunjam hati berikut jantungnya. Sakit, ... benar-benar sakit. Athan ... pria itu justru meminta cerai?
“Aku sudah memikirkannya matang-matang. Lebih baik kita berpisah. Kita bercerai! Perceraian adalah jalan terbaik untuk hubungan kita!” ucap Athan beberapa menit kemudian dengan gaya kelewat tenang.
Apa yang baru saja Athan tegaskan, membuat pikiran Keinya menjadi kosong. Bahkan wanita kurus itu sampai lupa bernapas untuk beberapa saat, hingga akhirnya ia kembali pada kenyataan yang begitu mengguncang kehidupannya.
“Atas dasar apa?” Suara itu akhirnya terdengar dari mulut Keinya yang susah payah berucap, lantaran apa yang Athan lakukan, membuat tenggorokan Keinya seperti dicekik dengan sangat kejam, oleh sosok tak kasat mata. Tentu, susah payah juga Keinya menahan rasa sakit yang kian gesit menggerogoti tubuhnya.
Rasa sakit seolah menyerbu kehidupan Keinya tanpa jeda. Bahkan Keinya sampai berpikir, dirinya tengah merasakan kesakitan tak berdarah. Atas dasar apa, Athan mendadak menawarkan perceraian sebagai solusi terbaik hubungan mereka, sedangkan Pelangi yang belum genap berusia lima bulan, sangat membutuhkan mereka?
Lantaran Athan tak kunjung menjawab, Keinya membiarkan Pelangi menangis tanpa kembali mati-matian menenangkannya. Fokusnya terlampau serius kepada Athan. Kenapa pria itu begitu tega dan dengan mudahnya mengatakan perpisahan? Kalau pun hanya bercanda, tentu Athan sudah sangat keterlaluan. Bahkan pria yang terkenal genius di bidang IT itu tak layak digadang-gadang lagi. Karena bodoh dan tidak punya hati, itu jauh lebih pantas menjadi sebutan bagi pria yang tega menyakiti istri berikut anak-anaknya, tanpa terkecuali!
Athan mengerling dalam diamnya. “Kita sudah jarang bicara. Jarang bersama, … dan kita juga sama-sama tidak bahagia. Apa lagi yang mau dipertahankan?”
Keinya menelan ludahnya lantaran tiba-tiba saja, tenggorokannya terasa kering. Terlepas dari itu, Keinya juga menyadari jika dirinya mulai terbawa emosi. Keinya tak kuasa menahan emosinya, selain wanita kurus itu yang telanjur kehilangan kesabarannya.
Terhitung, semenjak melahirkan terlebih Athan juga tidak ikut membantunya mengurus Pelangi, semenjak itu juga Keinya menjadi sangat sensitif. Keinya menjadi gampang marah dan juga menangis. Bahkan tak jarang, Keinya mengalami perubahan emosi itu dalam waktu yang begitu drastis, sekaligus bersamaan.
Kini, Keinya berangsur mundur. Wanita itu memejam sambil menghela napas dalam beberapa kali. Keinya sadar, keadaannya sedang tidak baik-baik saja. Terlebih jika Keinya harus menghadapi maksud Athan yang entah sedang bercanda, atau malah hal yang tidak pernah terpikir oleh wanita itu, meski hanya dalam mimpi?
Dulu, alasan Keinya dan Athan menikah, karena mereka saling mencintai. Mereka memulai semuanya penuh cinta sekaligus kasih sayang. Jadi aneh saja, jika apa yang Athan katakan benar-benar nyata. Bukankah pasangan yang saling mencintai, seharusnya selalu saling menguatkan, bahu-membahu dalam menghadapi cobaan, selain memegang teguh kesetiaan yang menjadi kekuatan sebuah hubungan?
Keinya berangsur membuka mata, menatap Athan dengan emosi yang berangsur. “Pah … cinta suami istri tidak diukur dari seberapa banyak mereka memiliki kebahagiaan, melainkan seberapa kuat mereka mampu bertahan dalam menghadapi cobaan.”
Athan tidak berkomentar dan justru berangsur menunduk. Ekspresinya masih menunjukkan jika pria itu merasa tidak nyaman. Di mana yang ada, pria itu seolah sudah tidak tertarik dengan semua yang Keinya katakan, bahkan semua yang berhubungan dengan wanita itu.
Keinya mendengkus, menatap Athan dengan wajah lelah. “Mandi dan tenangkanlah pikiranmu. Bercandamu kelewatan,” ucapnya terdengar kesal.
Keinya meninggalkan Athan dan nyaris menutup pintu kamar, andai saja Athan tidak tiba-tiba berkata, “lima bulan terakhir, aku bertemu Tiara dan hubungan kami kembali baik. Bahkan hubungan kami sangat baik. Aku masih mencintainya! Dia lebih baik dari siapa pun, bahkan kamu. Kami saling mencintai!”
Jantung Keinya seolah melesak, ketika nama “Tiara” terucap dari mulut Athan. Pria itu suaminya, kan? Kenapa harus membahas masa lalu dalam hubungan mereka, bahkan sampai memuji wanita itu yang dikata lebih baik dari Keinya dan …?
Tiara itu mantan Athan, sedangkan seharusnya, suaminya itu tidak membahasnya! Apakah Athan sudah benar-benar gila?
Keinya merasa perlu memastikan, apakah pria di hadapannya benar-benar suaminya, atau makhluk lain semacam siluman? Namun, baru juga memikirkan hal tersebut, Athan kembali berbicara.
“Sebenarnya, semua yang kukatakan jika aku sangat sibuk dengan pekerjaan termasuk dinas ke luar kota, ... semua itu hanya alasan. Karena selama itu juga, ... selama itu juga aku menghabiskan waktu bersama Tiara! Kami sudah tinggal bersama. Dan kami sedang menyambut anak pertama kami!” ucap Athan tanpa mengharapkan penolakkan.
“Maaf, Kei. Aku tahu ini enggak adil buat kamu,” lanjut Athan.
Sepanjang Athan menjelaskan, selama itu juga dada Keinya bergemuruh dan terasa sangat panas. Seperti ada yang akan meledak di sana, terlepas dari kedua mata Keinya yang menjadi sumber hujan bagi pipi tirusnya, di tengah tubuhnya yang sampai gemetaran.
“Aku, ... jauh lebih bahagia saat bersamanya. Tiara benar-benar membuatku bahagia ....”
“Than, sudah! Stop. Cukup … bercandamu kelewatan! Kamu ini sebenarnya maunya apa, sih? Jarang ngobrol, tapi sekali ngomong malah ngajak ribut!” Keinya meronta-tonta, tak ubahnya hewan korban yang tak kuasa menolak ajalnya di hari itu juga.
“Enggak ada yang bercanda, Kei. Apa yang aku katakan memang kenyataan. Aku dan Tiara. Kami saling mencintai. Dan kami sudah melangsungkan pernikahan, selain kami yang siap menyambut anak pertama kami!”
Keinya nyaris melemparkan Pelangi yang masih menangis, kepada Athan, tetapi wanita itu memilih pergi dan sampai membanting pintu. Karena bagi Keinya, satu-satunya cara meredam amarahnya hanyalah dengan pergi tanpa melihat Athan lagi.
“Kei, aku belum selesai bicara,” seru Atan yang sampai menyusul Keinya.
Keinya balik badan dengan cepat. “Kalau dia hamil, aku bahkan sudah melahirkan anakmu! Pikir pakai otak. Jangan pura-pura tidak tahu!” teriaknya meledak-ledak.
“Kei ....”
“Satu lagi! Sekalipun selama ini aku diam, bukan berarti kamu enggak pernah membuat kesalahan yang membuatku kesal apalagi sakit. Selama ini aku hanya berusaha menjadi istri sekaligus mamah yang baik, apalagi kamu juga enggak pernah menjalankan peran sekaligus tanggung jawabmu dengan semestinya kepada kami!” Emosi Keinya kian meledak-ledak.
Tak lama berselang, setelah menatap Athan penuh kekecewaan, Keinya melangkah cepat. Wanita itu mulai menuruni anak tangga menuju lantai bawah. Dan tidak disangka, ternyata Athan kembali mengejar.
“Kei, aku hanya berusaha jujur. Aku enggak mau terus-menerus membohongimu. Kamu berhak bahagia karena aku sudah tidak bisa memberikan itu kepadamu!” Athan terus berucap lantang.
Tepat di lantai bawah setelah melewati anak tangga terakhir, Keinya segera balik badan. “Bagaimana denganku? Bagaimana dengan Pelangi yang bahkan masih sangat membutuhkanmu?! Sebenarnya, kebahagiaan macam apa yang kamu maksud untuk kami?” teriaknya.
Keinya sengaja menengadah demi menatap Athan. Tatapan yang dipenuhi kekecewaan, luka bahkan amarah. Belum pernah ia semarah sekarang apalagi pada Athan, pria yang membuatnya mengenal cinta.
Athan merupakan cinta pertama Keinya. Athan juga menjadi satu-satunya cinta untuk Keinya. Bahkan, Keinya yakin, Athan akan selalu mencintainya, sesuai kata-kata manis yang pernah pria itu diberikan. Namun kini, Athan yang berada di tengah-tengah anak tangga refleks berhenti. Athan tidak bisa memberikan jawaban terlebih kepastian.
Lain halnya dengan Athan, Keinya justru tak hentinya berlinang air mata. Tubuhnya benar-benar kebas tanpa sedikit pun tenaga yang tersisa. Bahkan Athan melihat banyak luka sekaligus kecewa yang terpancar di wajah wanita yang telah memberinya seorang putri itu.
“Setidaknya, ... setidaknya kalau kamu memang sudah tidak bisa memikirkanku, seharusnya kamu ingat janji-janjimu dulu!” Keinya terisak-isak. Tangisnya terdengar sangat pilu. “Sekarang sudah ada Pelangi ... Pelangi anakmu, tapi kamu enggak pernah perhatian ke dia, bahkan sekarang ...?!”
Keinya tak mampu melanjutkan kata-katanya. Lidahnya terasa kelu, sedangkan hatinya semakin sakit, tak jauh berbeda dari ketika ia mengingat nasib pernikahannya. Athan, ... pria di hadapannya dan sempat sangat ia cintai, satu-satunya pria yang ia percaya sekaligus tempatnya bergantung, pria itu ...?
Keinya benar-benar kecewa sekaligus putus asa. Hanya dalam beberapa menit pengakuan yang Athan lakukan, ... semua kepercayaan sekaligus cinta yang ada dalam hati Keinya untuk Athan, berubah menjadi luka bahkan malapetaka.
“Maaf, Kei ...,” ucap Athan sembari melangkah menuruni sisa anak tangga yang belum ia lewati.
“Maaf tidak bisa menyelesaikan masalah, apalagi membuat keadaan kembali baik-baik saja, Than!” balas Keinya lantang.
Athan mendengkus dan menghentikan langkahnya tepat di anak tangga terakhir, nyaris di hadapan Keinya.
Keinya sengaja mundur dan bahkan menghindar. Di mana tak berselang lama, Keinya memilih memunggungi Athan sambil kembali menimang Pelangi. Namun tak lama kemudian, Keinya berangsur menoleh seiring suara langkah yang kian menjauhinya. Athan pergi meninggalkan ruang keberadaannya. Pria itu bahkan keluar dari rumah disertai suara pintu yang terbanting.
Masa depan Keinya seolah hanya dipenuhi kegelapan. Sebelumnya, ia dan Athan belum pernah bertengkar. Dan Keinya benar-benar tidak menyangka, jika pertengkaran pertama mereka juga menjadi akhir hubungan mereka.
Dan ketika Keinya memikirkan nasib Pelangi, rasanya wanita itu ingin mati saja. Terlalu tidak adil kalau Pelangi juga harus merasakan luka dari perpisahannya dan Athan.
Benarkah jika hubungan sekaligus pernikahan mereka tidak bisa diselamatkan? Kenapa Athan jauh lebih memilih wanita lain? Bagaimana dengan Keinya dan Pelangi yang masih sangat membutuhkan Athan? Pelangi masih sangat membutuhkan keharmonisan mereka. Apa yang harus Keinya lakukan, agar Pelangi baik-baik saja dan tidak menjadi korban hubungan mereka?
Keinya tidak mau Pelangi tumbuh di tengah kehancuran hubungan orang tua apalagi Pelangi akan tumbuh menjadi seorang wanita. Bagaimana jika ke depannya, Pelangi sampai mengalami rundungan orang-orang, bahkan lebih parahnya ... pelecehan seksual seperti kasus-kasus yang sedang marak? Pelecehan seksual akibat kehancuran rumah tangga orang tuanya?
Bak orang gila, Keinya bergegas lari keluar rumah menyusul Athan sambil mendekap erat-erat Pelangi yang tangisnya kian pecah. Mata Keinya membelalak, memastikan ke setiap penjuru halaman rumahnya di tengah deru napasnya yang memburu. Keinya terengah-engah. Sekali lagi, wanita kurus itu ingin menyerah dan mati saja. Akan tetapi, Keinya sungguh tak mau hal buruk menimpa Pelangi hanya karena hubungannya dan Athan. Pria itu tidak boleh meninggalkan pernikahan mereka. Setidaknya, Pelangi menjadi alasan mereka untuk tetap bersama.
Namun, apa daya. Athan tak lagi Keinya dapati. Mobil yang biasanya digunakan juga tak lagi terparkir di garasi.
Athan ... pria itu benar-benar pergi menelantarkan Keinya dan Pelangi.
Bersambung .....
“Bukankah hidup harus terus berjalan, sekalipun segala sesuatunya telah berubah?”
Episode 2 : Berubah
***
Keinya hilang arah. Ia terduduk lemas sambil memangku Pelangi. Anaknya itu masih menangis. Kenyataan yang membuatnya semakin tak berdaya, apalagi yang bisa Keinya lakukan juga hanya menangis.
Semua usaha telah Keinya coba untuk menenangkan Pelangi termasuk mengajak Athan turut serta. Namun apa daya, beberapa saat lalu, pria itu meninggalkan mereka setelah sempat mengatakan perpisahan. Athan lebih memilih wanita lain. Wanita yang juga pernah ada di masa lalu hubungan mereka. Juga, wanita yang bahkan tidak pernah Keinya duga akan menjadi penyebab kehancuran hubungannya dan Athan, kehancuran keluarga mereka!
Mengandalkan sisa tenaganya, Keinya beranjak. Cukup sulit, sebab ia sampai harus merangkak. Keinya menaiki anak tangga menuju lantai atas. Susah payah wanita itu melakukannya dan ada kalanya nyaris jatuh. Kenyataan tersebut pula yang membuatnya membutuhkan waktu jauh lebih lama hanya untuk bisa kembali ke kamarnya, berhias kekesalan yang terus meletup-letup, sama halnya dengan air matanya yang tak kunjung berhenti berlinang.
Ketika berhasil memasuki kamarnya, bayang-bayang Athan yang melayangkan perpisahan seolah hidup menghiasi suasana di sana. Keinya tidak berani menghadapinya. Perdebatan antara dirinya dan Athan terasa begitu nyata sekaligus menyakitkan. Semuanya menggema bak adegan sebuah film yang terus terulang dan membuat Keinya kian ketakutan.
Tubuh Keinya gemetaran. Bahkan makin lama makin tak terkendali tak ubahnya seseorang yang menggigil karena sakau. Keinya tidak mau melihat terlebih mendengar perdebatan itu. Keinya memilih mendekap Pelangi erat-erat sambil menyandarkan wajahnya pada wajah bocah mungil itu yang hingga detik ini masih menangis.
“Sayang, tenang, ya. Semuanya baik-baik saja. Mamah sayang kamu, dan akan selalu begitu. Mamah enggak akan melepaskanmu, apalagi meninggalkanmu hanya untuk kebahagiaan lain. Percayalah. Mamah akan selalu ada buat kamu!”
Keinya berderai air mata sambil menciumi wajah Pelangi. Namun tak lama berselang, dengan sempoyongan, ia justru tertawa sambil membaringkan Pelangi di tepi kasur.
Tampang Keinya sangat menyedihkan. Ia tertawa dalam tangisnya sambil mengamati suasana kamar. Bingkai-bingkai foto kebersamaannya dengan Athan yang menghiasi meja menjadi fokusnya. Keinya mendekati bingkai-bingkai itu dengan tawa yang berangsur reda. Kemudian, wanita itu meraih salah satu bingkai yang berjejer di sana, sambil terus menatap kosong bingkai-bingkai yang tersisa. Akan tetapi, perpisahan yang Athan katakan beberapa saat lalu dan tiba-tiba menghiasi ingatannya, membuat emosi Keinya meluap.
Sambil menangis histeris, Keinya menyapu sisa bingkai di sana dengan brutal menggunakan kedua tangan.
Gaduh bising pecah, berpadu dengan tangis Keinya. Dan setelah semua bingkai benar-benar tersapu, tubuh Keinya tergolek, terduduk lemas di tengah serakkan pecahan kaca dari bingkai yang menjadi pelampiasan emosinya. Keinya meratapi lantai sekelilingnya. Benar-benar berantakan penuh pecahan kaca, selain kerangka bingkai berikut fotonya.
Dengan pandangan yang masih frustrasi, Keinya mendapati rembesan darah di jemari tangannya. Kemudian, ia mengamati keadaan tubuhnya lebih rinci lagi. Kaki jenjangnya yang mengenakan piama selutut warna biru muda, juga ia dapati berdarah. Ada perih yang seolah menusuk-nusuk di sekujur tubuhnya tanpa terkecuali hati dan jantungnya, kendati yang jelas-jelas berdarah bari tangan dan kakinya.
Sebenarnya, apa yang membuat seseorang kehilangan rasa cintanya terhadap pasangan? Apakah cinta memang memiliki kedaluwarsa? Keinya memikirkan itu sambil menengadah, menatap langit-langit kamarnya yang tak kunjung memberinya jawaban. Namun sepertinya, satu-satunya yang memiliki jawaban dari pertanyaan Keinya memang Athan.
Sejak kapan cinta Athan kepada Keinya, kedaluwarsa? Atau, memang sudah menjadi bagian dari sifat Athan yang gampang bosan, meski sebelum menikah, mereka berpacaran selama empat tahun? Empat tahun bukan waktu yang sebentar, kan? Sedangkan selama itu juga, Keinya merasa dirinya sudah sangat mengenal Athan.
Memikirkan semua itu, tiba-tiba ada kebencian yang tumbuh begitu liar dalam hati Keinya untuk Athan seiring pandangan wanita itu yang menjadi gelap.
Keinya kehilangan kesadaran. Wanita menyedihkan itu pingsan di tengah kenyataannya yang nyaris kehilangan kewarasan.
***
Keinya terbangun karena kaget. Beker di nakas sebelah ranjang tidurlah penyebabnya. Di tengah kepalanya yang terasa sangat pusing, juga mata yang terasa berat sekaligus perih, Keinya beranjak dan melangkah terseok meninggalkan serakkan kaca sekaligus bingkai di lantai. Ternyata ia ketiduran berselimut luka sekaligus rasa sakit. Dan karena keteledorannya itu juga, luka-luka baru juga lahir dari pecahan kaca bingkai yang terserak di sekitar sana.
Sambil menatap beker di nakas dan melangkah ke sana, Keinya menatap sekilas tangan berikut kakinya yang terasa perih. Tak hanya darah yang mengering yang menghiasi setiap luka di sana, sebab darah segar juga tampak merembes dari tempat yang sama.
Setelah berhasil mematikan beker, yang mencuri perhatian Keinya tak lain keheningan suasana. Pelangi tidak menangis, sementara semalam, ia larut dalam kesedihan sekaligus luka yang tidak pernah disangka-sangka.
Dengan lirih, juga tegang yang tiba-tiba membungkus kehidupannya, Keinya segera menoleh untuk memastikan keadaan Pelangi. Sungguh, tubuhnya menjengit, seolah ada aliran listrik yang seketika menyengat dengan sengaja. Ia kebas. Jantungnya seolah lepas. Wajah Pelangi kelewat pucat dipenuhi buih keringat yang begitu mencolok.
Setelah terdiam kebingungan dan terlihat sangat sakit dalam beberapa detik, Keinya yang tidak bisa menyembunyikan rasa takutnya, segera menyambar, mendekap tubuh Pelangi dan membawanya pergi. Keinya terus berlari keluar dari rumah tanpa terlebih dulu berbenah. Ia hanya menyambar tas berikut ponsel dari meja rias.
****
Suhu tubuh Pelangi kelewat panas. Lagi-lagi Keinya hilang arah, tak tahu harus melakukan apa? Sambil menelusuri jalan keluar dari halaman rumahnya, yang ada di ingatannya hanya Athan. Keinya langsung mencoba menghubungi pria itu. Menekan nomor satu tombol panggilan darurat dan langsung menghubungkannya dengan kontak Athan.
Demi memudahkan komunikasi, Keinya memang sengaja menjadikan nomor satu di kontaknya untuk nomor ponsel Athan. Sial, setiap panggilan yang terhubung tidak mendapat balasan. Bahkan sampai taksi yang Keinya pesan datang, usahanya menghubungi Athan sungguh sia-sia.
Sambil duduk di bangku penumpang, Keinya merajuk, merasa tidak habis pikir, kenapa Athan tak kunjung menjawab panggilannya? “Than, Pelangi sakit. Aku sedang bawa dia ke rumah sakit.” Ia sengaja meninggalkan pesan suara kepada Athan, sebelum menyimpan ponselnya ke dalam tas.
“Tuhan, ... aku percaya Engkau tidak pernah tidur. Jadi aku mohon, jangan biarkan anakku ikut sakit. Biar aku saja yang merasakan semua lukanya. Biarkan anakku hidup bahagia tanpa ada luka. Aku benar-benar memohon ....”
Keinya kembali berjuang sendiri. Dalam diamnya, wanita itu berusaha tegar. Keinya terus menimang dan mengelap setiap keringat Pelangi sambil berusaha memberinya ASIi. Namun sial, sekalipun Pelangi langsung merespons, tapi ASI Keinya masih tidak keluar.
Keinya yakin Pelangi sudah dehidrasi. Jadi, mau tidak mau, ia harus rela jika anaknya mengonsumsi susu formula, daripada Pelangi semakin dehidrasi.
Dengan keadaannya yang mulai gemetaran dikarenakan takut sesuatu yang buruk menimpa putrinya, Keinya berkata, “Pak, nanti pas saya masuk ke rumah sakit, Bapak bisa tolong belikan saya susu formula sekaligus botolnya?” sergahnya.
Keinya ketar-ketir dan berharap sopir taksi mau berbaik hati untuk menolongnya.
Sopir taksi bisa merasakan betapa Keinya sangat tertekan menghadapi bayi dalam dekapan wanita itu. Jadi, dengan tulus ia langsung berkata, “baik, Bu!”
“Terima kasih banyak, ya, Pak.” Keinya segera mengambil beberapa lembar uang seratus ribu dari dompetnya dengan gugup. Ia memberikannya kepada sopir taksinya. Tak lupa, ia mengulas senyum meski hanya berlangsung beberapa detik, di tengah wajah pucatnya yang dipenuhi buih keringat.
Selepas Keinya keluar dari taksi, taksi yang ia tumpangi juga langsung pergi menuju swalayan di ujung seberang jalan depan. Namun tanpa diduga, Athan yang telah berulang kali ia hubungi justru ada di hadapannya. Hanya saja, keadaan pria itu tentu bukan untuk menemani Keinya apalagi terjaga untuk Pelangi. Sebab di depan pintu masuk rumah sakit yang juga baru saja pria itu tinggalkan dan akan Keinya kunjungi, Athan justru merangkul pinggang seorang wanita berperut buncit, dengan sangat mesra.
Tiara. Wanita itu begitu dimanjakan dan Athan perlakukan penuh cinta. Dada bahkan sekujur tubuh Keinya langsung panas melihat kenyataan itu. Dunia Keinya seolah berputar melambat dan hanya berpusat pada kedua sejoli di hadapannya.
Keduanya sangat bahagia bahkan ketika mereka menyadari jika wanita berpenampilan menyedihkan di hadapan mereka adalah Keinya. Athan memang tertegun setelah sempat terlihat terkejut mendapati Keinya ada di hadapannya. Namun hanya sekadar itu. Sebab ketika Tiara yang terlihat tidak nyaman dengan cara Athan menatap Keinya segera mengguncang sebelah lengan pria itu, Athan juga segera mengakhiri tatapannya dan berlalu sambil kembali merangkul Tiara dengan mesra. Beberapa kali, Athan juga kembali tampak mengelus-elus perut Tiara sambil melayangkan kecupan di kepala Tiara yang tak malu memamerkan kemanjaannya.
Setelah sempat menjelma menjadi orang bodoh karena justru memperhatikan Athan dan Tiara yang jelas-jelas bahagia di atas penderitaannya, Keinya segera memalingkan wajah dari kedua sejoli yang telah membuat dunianya hancur sehancur-hancurnya.
“Aku pastikan, kalian akan membayar setiap tetes air mata anakku!” sumpah Keinya. Rahang Keinya mengeras. Bersamaan dengan itu, air matanya juga kembali mengalir. Keinya mendekap lebih erat tubuh Pelangi. Dekapan penuh kehangatan sekaligus cinta. Ya, tidak sepantasnya dunianya hancur hanya karena pengkhianatan Athan. Bukankah hidup harus terus berjalan, sekalipun segala sesuatunya telah berubah?
“Bertahanlah Sayang. Kamu satu-satunya harta Mamah!”
***
Penderitaan Keinya masih berlanjut, sebab wanita menyedihkan itu harus terjebak dalam antrean. Keinya mengantre sambil memberi Pelangi susu formula setelah sampai dibantu membuatnya oleh sopir taksi yang begitu baik hati dan dengan suka cita membantunya. Bahkan kini, pria itu tengah menghadap petugas rumah sakit, agar Pelangi segera dirujuk ke IGD.
“Bu, kenapa anaknya dikasih susu formula, bukan ASi, saja?” tegur seorang perawat yang kebetulan datang bersama Dadang, selaku sopir taksi yang membantu Keinya.
“ASI saya tidak keluar, Sus. Tapi jangan khawatir, derajat seseorang tidak diukur dari air susu yang diminum, kok!” Menyadari perubahan ekspresi suster yang menjadi kecut, Keinya segera menambahi, “Maaf, Sus. Bukan bermaksud tidak sopan. Tapi tolong, Suster pasti jauh lebih tahu kalau ibu menyusui, tidak kalah sensitif dari wanita hamil. Kalau saja ASI saya keluar, tentu saya akan lebih memilih memberi anak saya ASI!”
Keinya sadar, tidak seharusnya ia berkata seperti itu kepada suster yang akan menangani Pelangi. Lihat saja betapa suster itu kalah telak lantaran ketika akan membalas, Dadang melarangnya melalui kode mata pada suster tersebut, agar tidak memperpanjang perdebatan antara susu formula dan ASI.
Bagi Keinya, ada saat-saat di mana seorang ibu merasa sangat tertekan bahkan gagal, hanya karena penghakiman orang-orang. Tak hanya mengenai susu yang dikonsumsi berikut pola asuh, melainkan perkembangan anak yang selalu disama-samakan, padahal jelas-jelas, tumbuh kembang setiap anak berbeda. Dan Keinya tidak akan diam jika itu sampai menimpa dirinya apalagi Pelangi.
Ketika Keinya mengikuti suster ditemani Dadang, seseorang menahan sebelah lengan Keinya hingga wanita itu terpaksa balik badan untuk memastikan.
“Kenapa? Sekadar dipanggil saja, enggak mau balas?” Seorang pria selaku penahan lengan Keinya, terheran-heran dan menatap Keinya dengan sangat tenang, meski dari sorot matanya, pria itu juga tampak mencemaskan Keinya.
Seorang pria bergaya kantoran meski tidak mengenakan jas dan dasi. Pria tinggi yang mengenakan kemeja abu-abu itu teramat asing bagi Keinya.
Keinya mengenyahkan tahanan pria itu, sebab Keinya memang tidak mengenalnya. Baginya, tidak penting melayani orang yang tidak ia kenal, apalagi jika itu seorang pria. Keinya sengaja abai dan kembali melangkah menuju IGD. Namun ketika Keinya menoleh ke belakang untuk memastikan, pria tinggi itu masih menatap ke arahnya. Begitu banyak kekhawatiran yang terpancar dari cara pria itu menatapnya. Namun sungguh, dengan kesadaran penuh, Keinya menegaskan dirinya tidak mengenal pria itu!
Bersambung .....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!