NovelToon NovelToon

Cinta Dalam Misteri

Kejadian itu

“Hahaha... kamu tidak akan mungkin bisa lari ke mana-mana lagi dari kami. Hahahaha...”

Di saat yang bersamaan...

“Hhha... Hhha.. kejadian itu,” gumamku dengan nafas tersengal-sengal saat terbangun dari tidurku.

Sementara itu di luar tampak hujan deras disertai petir dan angin sehingga membuat suasana malam menjadi terasa mencekam.

***

Keesokan paginya...

“Fir, tunggu gue!” teriak seseorang yang tak lain dan tak bukan sahabatku, Jio.

Mendengar teriakkan Jio, aku pun menghentikan langkahku lalu menengok ke arah Jio.

“Hhha.. hhha.. kabar buruk, Fir. Ini benar-benar kabar buruk,” ucap Jio terengah-engah.

Aku yang mendengar itu pun bingung. Aku tidak mengerti dengan apa yang dikatakan oleh sahabatku ini.

“Maksud lo kabar buruk itu apa, Yo?” tanyaku.

“Bentar. Gue atur nafas gue dulu,” ucap Jio.

Setelah menunggu beberapa saat, Jio pun akhirnya mencoba mengatakan bahwa seseorang dari Fakultas Manajemen semalam di kabarkan meninggal dunia. Mendengar hal itu, aku merasa tidak ada yang aneh dengan kejadian itu. Dalam hatiku bergumam, “Tapi kok Jio bilang kalau ini kabar buruk. Bisa saja kan kalau orang itu memang sedang sakit.”

“Fir, lo kok diem aja sih?” protes Jio.

“Eh. Sori.. sori.. emang siapa yang sudah meninggal, Yo?” tanyaku.

“Itu. Si Deri. Yang gue enggak habis pikir. Bukannya siangnya dia masih terlihat baik-baik saja waktu ngobrol ma kita, bahkan dia pun sempat merayu-rayu kamu,” ucap Jio.

“Umur manusia gak ada yang tahu, Yo. Bisa aja sekarang kita berdua juga ngobrol begini, eh tahu-tahu satu jam kemudian salah satu diantara kita pergi duluan. Ya kan?!” ucapku dengan nada santai.

“Bener juga sih yang lo bilang, Fir. Cuma ya kok aku merasa ada yang janggal aja,” ucap Jio.

Masih dengan nada santai, aku pun berkata, “Mungkin itu cuma perasaan lo aja, Yo.”

“Iya kali ya. Ini cuma perasaan gue aja,” ucap Jio yang kemudian kami pun melanjutkan melangkahkan kaki menuju kelas.

***

Sesampainya kami di kelas, kami lagi-lagi mendengar kabar tentang meninggalnya Deri.

Sebagian dari mereka berkata kalau Deri meninggal karena memang di sengaja dan yang lainnya mengatakan kalau Deri meninggal karena memang sedang sakit.

Mendengar hal ini, aku dan Jio pun saling menatap satu dengan lainnya. Kami pun bingung mengapa sampai ada rumor seperti itu.

“Lo denger sendiri kan, Fir? Seisi kampus ini gak ada berhentinya membahas soal ini,” ucap Jio.

Aku pun terdiam. Aku merasa ucapan Jio memang ada benarnya juga. Kenapa kabar penyebab meninggalnya Deri menjadi simpang siur.

“Eh, emang di kampus ini gak ada ya perwakilan untuk menyampaikan rasa belasungkawa pada keluarganya?” tanyaku.

Mendapatkan pertanyaan seperti, Jio pun menggelengkan kepalanya dan kemudian berkata, “Pihak kampus sudah menyuruh sebagian orang untuk mewakili ke sana. Namun setelah di sana ternyata jenazahnya sudah di makamkan. Gak ada satu penjelasan apa pun dari pihak keluarga perihal penyebab kematian Deri.”

“Oh. Jadi mungkin dari kitanya kali ya yang gak tanya tentang hal itu,” tebakku.

Lagi-lagi Jio pun menggelengkan kepalanya dan kemudian berkata, “Gak juga. Karena dari informasi yang gue dapetin, gue mendengar kalau mereka sebenarnya sempat menanyakan hal tersebut. Namun oleh pihak keluarga, mereka lebih cenderung berkata kalau semuanya memang sudah takdirnya saja harus seperti itu.”

Mendengar ucapan Jio, aku pun menggelengkan kepalaku sambil berkata, “Ya kalau begitu jawabannya ya susah. Ya sudah. Biarkan saja. Gak usah mengusili urusan yang bukan urusan kita. Ok?!”

Jio pun menganggukkan kepalanya dan berkata, “Bener kata lo. Kita gak usah ikut campur urusan yang bukan urusan kita.”

***

Tak selang berapa lama, datang sesosok pria tampan yang memakai jas abu-abu dan juga sebuah kacamata. Sehingga membuat satu kelas menjadi riuh dan sejenak melupakan kabar kematian Deri.

“Teman-teman semuanya, kenalkan saya Fathan. Saya adalah Dosen baru di kampus ini,” ucap orang tersebut memperkenalkan dirinya.

Mendengar suara dan caranya orang itu bicara, sontak membuat seisi kelas pun berkata, “Woaaaaaah!”

Sementara itu, aku hanya duduk terdiam dan cuek. Aku sama sekali tidak peduli dengan apa yang terjadi.

“Hai, Fir. Ganteng banget deh Dosen baru kita ini,” ucap Jio dengan mata berbinar-binar seperti sedang melihat artis.

“Gak. Biasa aja. Lagi pula lo kan cowok, ngapain juga lo pasang wajah kayak gitu? Jangan-jangan lo cowok jadi-jadian ya, Yo?!” celetukku.

“Jleb, sungguh sakit yang tak berdarah,” ucap Jio sambil memegangi dadanya dan memasang wajah pura-pura teraniaya.

“Hilih, cowok lebay,” ucapku yang sudah terbiasa dengan tingkah sahabatnya itu.

Sementara itu di saat yang bersamaan...

“Baiklah semuanya, untuk saya dapat mengenal kalian, saya harap kalian mau memperkenalkan diri kalian masing-masing. Kita mulai dari kamu!” ucap Pak Fathan sambil menunjuk ke salah seorang mahasiswa.

Dan dari sana, maka di mulailah perkenalan satu persatu kami. Hingga suatu ketika...

“Fir, giliran lo tuh,” ucap Jio sambil mencolek bahuku dari belakang.

Dengan terkejut, akhirnya aku pun berdiri lalu memperkenalkan diriku. Namun di saat yang bersamaan, perasaanku saat itu merasa ada yang berbeda dari biasanya dan ini membuat aku benar-benar menjadi gugup.

Setelah beberapa saat kemudian, acara perkenalan pun telah selesai dan kami akhirnya melanjutkan pelajaran kami.

***

Siang harinya, saat aku sedang berjalan sendirian menuju toilet, tiba-tiba saja...

‘Bruk..’

“Ah, maaf. Saya tidak se...”

Aku pun tidak melanjutkan ucapanku karena aku sangat terkejut dengan siapa yang tadi aku tabrak.

“Tidak apa-apa, Fir,...” ucap orang tersebut yang ternyata Pak Fathan, “Bapak juga salah kok karena tadi jalan terburu-buru.”

“Oh begitu,...” sahutku, “ya sudah. Saya ke toilet dulu kalau begitu.”

Tanpa menunggu jawaban dari Pak Fathan, aku pun langsung bergegas menuju ke toilet sehingga selintas terlihat Pak Fathan menggelengkan kepalanya.

“Aneh. Kenapa perasaan yang gak biasa ini muncul lagi?!” gumamku saat setelah sampai di toilet.

Walau merasa ada yang aneh, tapi tetap saja aku tidak mau memedulikan hal itu. Karena aku merasa kalau bisa saja itu hanya perasaanku saja.

***

Setelah beberapa saat kemudian, aku yang enggan untuk melanjutkan mata kuliahnya pun akhirnya memutuskan untuk pulang.

Saat di perjalanan, tiba-tiba saja aku di ganggu oleh sekelompok orang yang tidak aku kenal. Sehingga membuat aku berlari dan orang-orang tersebut entah mengapa malah mengejarku hingga aku tersudut di sebuah gang yang buntu.

Mengetahui hal tersebut membuat orang-orang yang terdiri dari tiga orang ini dengan tanpa segan menggoda bahkan mencolek tubuhku sehingga membuat aku merasakan sangat takut sekali. Karena tiba-tiba aku teringat kejadian saat itu. Sebuah kejadian yang sangat membekas di hatiku.

Namun walau begitu, apa daya aku hanya perempuan lemah yang tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya rasa takut yang terlihat di wajahnya.

Di saat aku merasa putus asa, tiba-tiba...

“Bruk,...”

Bersambung...

Kematian Deri

Di saat aku merasa putus asa, tiba-tiba...

“Bruk,...” Seseorang tiba-tiba datang dan memukul salah satu orang tersebut.

“Kamu siapa?” tanya salah satunya.

“Tidak perlu tahu siapa aku. Yang pasti aku tidak akan segan-segan memberi kalian pelajaran jika kalian berbuat kesalahan seperti ini,” ancam orang tersebut.

Namun ternyata ucapan seperti ini dianggap angin lalu oleh sekelompok orang tersebut sehingga terjadilah perkelahian antara satu lawan tiga orang.

Dan beberapa saat kemudian...

“Lari.. lari.. lari..!”

Karena merasa sudah tidak mampu lagi melawan orang tersebut, mereka bertiga pun kemudian langsung lari dan di saat yang bersamaan...

“Kamu gak apa-apa?” tanyanya padaku.

Mendapatkan pertanyaan seperti itu, aku pun menggelengkan kepalaku lalu mengucapkan terima kasih.

“Baguslah kalau kamu gak apa-apa,...” ucap orang tersebut, “lain kali jangan bolos lagi kalau tidak ingin hal seperti ini terulang lagi.”

Aku pun hanya bisa diam termangu melihat orang itu dan ini disadari olehnya sehingga dia pun berkata, “Kenapa kamu melihat Bapak seperti itu?”

“Pak, aku bukannya bolos. Tapi aku merasa sedang kurang sehat. Jadi aku pulang,” ucapku yang memang benar-benar kalau merasa ada yang salah dengan diriku.

“Benarkah?...” ucap orang yang ternyata Pak Fathan itu sambil memegang keningku, “kamu gak apa-apa kok. Gak panas.”

Seketika di saat yang bersamaan, jantungku berdegup kencang dan kepala menjadi sangat pusing sehingga membuat aku tanpa sadar langsung memegangi kepalaku dan kemudian seketika pandangan menjadi gelap.

Setelah beberapa kemudian, dengan merasa masih lemas, aku pun tersadar dari pingsanku dan betapa terkejutnya aku saat melihat Pak Fathan sedang duduk sambil tertidur pulas di sampingku.

“Pak Fathan?!...” ucapku dalam hati, “ini di mana?”

Saat sedang bingung, tiba-tiba saja Pak Fathan terbangun dan melihatku yang sedang merasa bingung.

“Kamu sudah bangun, Fir?” tanya pak Fathan dan aku pun mengangguk.

“Pak, sebenarnya apa yang sudah terjadi padaku?” tanyaku bingung.

“Kamu tadi tiba-tiba pingsan dan kata Dokter, kamu kelelahan,” sahut Pak Fathan.

Mendengar jawaban pak Fathan, aku pun merasa bingung. Bagaimana bisa aku di bilang kelelahan, padahal tidak banyak pekerjaan yang aku lakukan dan jam tidurku pun di katakan normal. Hanya saja memang semalam aku bermimpi buruk sehingga aku tidak dapat melanjutkan tidurku.

Melihatku termenung, Pak Fathan pun penasaran lalu akhirnya bertanya, “Kamu kenapa?”

“Oh gak apa-apa kok, Pak. Kalau begitu aku harus segera pulang dan istirahat,” ucapku.

Aku pun langsung bangun dan pergi meninggalkan Pak Fathan begitu saja tanpa mengucapkan apa-apa termasuk mengucapkan terima kasih.

***

Sesampainya aku di rumah, aku pun langsung membaringkan diriku di atas tempat tidur dan tanpa sadar aku pun tertidur.

Dalam tidurku, aku lagi-lagi memimpikan kejadian masa lalu yang membuatku mengalami rasa takut yang teramat sangat. Kejadian tersebut selalu melekat dalam ingatanku hingga aku sangat kesulitan untuk menenangkan diri.

Nafasku kembali tersengal-sengal dan keringat mengucur deras di keningku.

“Sampai kapan aku harus selalu teringat kejadian kelam itu?” gumamku sambil terengah-engah.

Aku pun langsung turun dari tempat tidurku dan mengambil segelas air minum untuk menenangkan diriku.

Dalam diam, aku terus menerus berpikir bagaimana caranya aku bisa keluar dari belenggu masa lalu. Aku pun memegangi rambut dengan ke dua tanganku sambil menunduk. Aku merasa sangat depresi namun aku harus bisa mengendalikannya karena itu semua hanyalah sebuah mimpi dari bayangan masa lalu.

***

Keesokan harinya, Jio lagi-lagi berlari menghampiriku dengan terengah-engah dan kemudian berkata, “Fir, gawat.”

Aku yang ditarik tangannya oleh Jio sampai berhenti melangkah pun bertanya, “Lo kenapa Yo? Apanya yang gawat?”

“Fir, gue baru dengar kabar kalau ternyata Deri meninggal itu akibat Depresi lalu dia pun bunuh diri,” ucap Jio.

Mendengar hal itu, tiba-tiba hatiku menjadi gelisah dan untuk memastikan, aku pun bertanya, “Bunuh diri?! Bunuh diri gimana maksud lo, Yo!”

“Tadi sih informasinya katanya dia bunuh diri dengan cara menggantung dirinya di pohon,” sahut Jio.

'Deg'

Aku langsung memegangi dadaku yang tiba-tiba terasa sakit.

Melihat hal itu, Jio pun bertanya, “Lo gak apa-apa, Fir?”

Aku pun menggelengkan kepalaku dan kemudian berkata, “Gue gak apa-apa. Trus lo tahu dari mana soal itu?”

“Oh, gue tahu dari temen deketnya si Aryo. Lo kenalkan sama si Aryo?” ucap Jio dan aku pun mengangguk.

“Iya. Dialah yang telah memberi tahu ke gue tadi,” ucap Jio.

Lalu aku pun termenung dan ini di perhatikan oleh Jio.

“Lo yakin gak apa-apa kan, Fir?” tanya Jio.

Aku pun menggelengkan kepalaku lalu berkata, “Gue beneran kok gak apa-apa.”

Sesaat setelah itu, aku dan Jio pun tak sengaja berpapasan dengan Pak Fathan. Di saat berpapasan, aku dan Jio menyadarinya namun tidak berani menyapanya.

Saat setelah sampai di kelas, Jio berbisik padaku bahwa dia sangat penasaran sekali dengan apa yang menyebabkan Deri meninggal sehingga dia ingin sekali mencari tahu penyebabnya.

Jio juga membujukku agar aku juga mau ikut dengannya.

Aku sebenarnya tidak mau terlalu ikut campur urusan ini sehingga aku lebih baik memilih untuk menolaknya.

***

Malam harinya, lagi-lagi hujan deras mengguyur dengan deras dengan keadaan rumah yang gelap akibat padam listrik. Di saat yang bersamaan terdengar dering ponsel milikku yang semakin menambahkan suasana mencekam malam itu.

Aku yang sebenarnya penakut ini pun sebenarnya tidak ingin mengangkat ponselku tersebut. Namun aku takut ada kabar penting sehingga aku pun mau tidak mau mengangkatnya.

“Halo,” ucapku sesaat setelah mengangkat ponsel.

“Satu orang telah berhasil lenyap, berikutnya tidak akan lama lagi. Hahahaha...” ucap orang itu yang seketika langsung di matikan teleponnya.

Aku yang mendengar itu pun spontan langsung mengendurkan pegangan tangannya pada ponselku sehingga membuat ponselku pun terjatuh.

“I—i—itu siapa?” gumamku dengan nada bergetar dan di saat yang bersamaan lampu pun menyala.

Akibat mendapatkan telepon tersebut, aku pun tidak bisa tidur sampai pagi.

***

Keesokan paginya aku yang tidak bisa tidur semalaman ini pun terasa sangat mengantuk sekali. Aku berjalan sempoyongan di sepanjang koridor kampus.

Dari depan, ternyata pak Fathan pun sepertinya tidak sengaja melihatku dan kemudian langsung mendekatiku. Dia pun langsung memapahku menuju ruang kesehatan.

“Kamu tidurlah di sini. Bapak akan membantumu meminta ijin pada Dosenmu hari ini,” ucap Pak Fathan sambil membaringkan aku dan menyelimutiku.

Aku yang memang tidak bisa lagi menahan kantukku itu pun langsung menuruti ucapan Pak Fathan dan kemudian tidur terlelap.

Sementara itu, lagi-lagi di saat aku sedang tertidur, aku bermimpi tentang beberapa orang yang sedang mengenakan penutup kepala sehingga wajah mereka tidak terlihat jelas sedang ingin sekali menangkapku.

Dengan sekuat tenaga aku pun berlari menjauhi mereka, namun sesaat kemudian aku terjatuh sehingga mereka pun dapat menangkapku sambil berkata, “Hahahaha... Kamu tidak akan bisa lari ke mana-mana lagi. Hahaha...”

“Ja—ja—jangan!!!”

Bersambung...

Tinggal bersama

“Ja—ja—jangan!!!” teriakku dengan nafas tersengal-sengal dan keringat dingin mengucur deras.

“Fir, kamu kenapa?” tanya Pak Fathan sambil memberikan segelas air minum padaku.

Aku yang masih terengah-engah itu pun menggelengkan kepalaku dan berkata, “Aku gak apa-apa, Pak. Terima kasih.”

Mendengar ucapanku, Pak Fathan pun menarik nafas panjang.

“Ya sudah. Kamu lanjutkan tidurnya. Bapak ada di sini menemanimu,” ucap Pak Fathan.

Aku pun mengangguk dan kemudian berbaring lagi.

***

Dua jam telah berlalu, aku pun akhirnya bangun dan aku pun merasa sangat segar sekali.

“Bagaimana keadaanmu, Fir?” tanya Pak Fathan.

“Jauh lebih baik, Pak,” sahutku.

“Syukurlah,” ucap Pak Fathan.

Lalu untuk beberapa saat kemudian, kami pun terdiam hingga akhirnya...

“Fir,” ucap Pak Fathan.

“Ya, Pak,” sahutku.

“Menurut Bapak, lebih baik kamu jangan kuliah dulu. Ambillah cuti dan pulanglah ke rumah orang tuamu,” ucap Pak Fathan.

Aku pun terdiam dan menunduk mendengar ucapan Pak Fathan tersebut. Aku merasa memang seharusnya aku pulang. Tapi aku juga tidak ingin menambah kekhawatiran bagi orang tuaku. Karena saat ini keluargaku sudah cukup menghadapi beban kesedihan karena kejadian yang menimpaku saat itu.

“Pak, rasanya aku tidak akan pulang,” ucapku.

“Kenapa?” tanya Pak Fathan bingung.

“Gak apa-apa, Pak,” sahutku singkat sambil menunduk.

Saat melihat sikapku ini, entah mengapa aku merasa kalau Pak Fathan seketika dapat merasakan dengan jelas apa yang aku rasakan.

Setelah beberapa saat kemudian...

“Pak, lebih baik aku pulang ke kost-kost an ku,” ucapku yang kemudian langsung turun dari tempat tidur.

“Fir, tunggu sebentar,” ucap Pak Fathan.

“Ada apa, Pak?” tanyaku.

“Bapak antar kamu pulang,” ucap Pak Fathan.

Tanpa menunggu jawaban dariku, Pak Fathan pun sudah terlebih dahulu melangkahkan kakinya di depanku.

Aku yang melihat Pak Fathan seperti ini pun cuma bisa diam termangu sehingga Pak Fathan pun memanggilku agar berjalan mengikutinya.

Sadar kalau aku sedang dipanggil oleh Pak Fathan, aku pun langsung segera menyusul Pak Fathan dan untungnya tidak banyak yang melihat kejadian itu.

***

Setelah beberapa saat menempuh perjalanan, akhirnya aku dan Pak Fathan pun sampai di tempat kost an ku.

“Pak, sudah sampai di sini saja,” ucapku meminta turun dari mobil Pak Fathan.

Pak Fathan pun menghentikan mobilnya sesuai permintaanku. Namun sebelum aku turun, Pak Fathan terlebih dahulu meminta nomor telepon milikku.

Tanpa memikirkan macam-macam, aku pun langsung memberikan nomor ponselnya pada Pak Fathan dan begitu pula Pak Fathan. Kami pun akhirnya saling bertukar nomor telepon.

Sesaat sebelum aku turun dari mobil, Pak Fathan pun menerima sebuah panggilan telepon.

“Ya, baik. Saya akan segera ke sana,” ucapnya pada orang di seberang telepon.

Lalu panggilan pun langsung diakhiri dan kemudian...

“Ya sudah. Kamu turunlah,” ucap Pak Fathan dan aku pun entah mengapa langsung mengangguk lalu turun.

Dengan terburu-buru, Pak Fathan pun langsung melajukan mobilnya kembali meninggalkan tempat kost an ku.

Sementara itu, aku yang sudah berada dalam kamar kost pun langsung duduk di tempat tidurku. Aku lagi-lagi duduk termenung dan berpikir ulang tentang semuanya.

“Kenapa? Kenapa harus memimpikan kejadian itu berulang kali?” gumamku yang merasa frustasi.

***

Keesokan paginya, aku yang tidak punya mata kuliah alias libur ini pun tidak tahu harus bagaimana. Aku sebenarnya beberapa hari ini merasakan kurang nyaman. Namun aku tidak tahu harus menceritakannya kepada siapa.

Hingga suatu ketika, tiba-tiba saja aku memutuskan untuk datang ke kampus dan duduk diam di tengah keramaian.

Lagi dan lagi, Pak Fathan tiba-tiba sudah berada di hadapanku dan bertanya, “Fir, ngapain kamu ada di sini? Bukannya kamu sekarang tidak ada mata kuliah?”

Aku pun langsung mengangkat kepalaku dan melihat ke arah Pak Fathan dengan ekspresi wajah yang sulit dijelaskan tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

“Fir?” tanyanya bingung.

Namun aku tetap tidak bisa mengatakannya pada Pak Fathan. Hanya ada rasa takut dalam diam yang bisa aku lakukan.

“Ayo ikut Bapak,” ucap Pak Fathan yang langsung menarik tanganku dan di bawanya aku ke suatu tempat.

Aku yang masih diam saja ini pun akhirnya di dudukkan pada sebuah bangku dan dia pun duduk jongkok di depanku.

“Fir, ceritakan. Di sini tidak ada orang,” ucap Pak Fathan.

Aku pun masih tetap diam membisu hingga akhirnya ponselku berdering. Aku yang merasa trauma ini pun sangat enggan mengangkat telepon tersebut sehingga Pak Fathan yang mengambil ponselku dan mengangkatnya.

“Halo,” ucap Pak Fathan.

Namun tak ada jawaban dari orang yang menelepon tersebut dan panggilan pun seketika di putus.

Pak Fathan pun terlihat seperti sedang mencurigai sesuatu. Dia memastikan nomor siapa yang telah menghubungiku. Namun sayangnya nomornya tidak diketahui sehingga Pak Fathan terlihat semakin gelisah.

“Fir, lebih baik kamu tinggal dengan bapak kalau kamu tidak mau pulang ke rumah orang tuamu,” ucap Pak Fathan tiba-tiba sehingga membuatku sangat terkejut.

“A—a—apa Pak?” tanyaku.

“Kamu gak usah khawatir. Di rumah Bapak nanti bukan hanya bapak yang tinggal di sana. Tetapi juga ada seorang pembantu. Jadi kamu gak perlu khawatir. Urusan yang lainnya biar bapak yang urus. Ok?!” ucap Pak Fathan yang sepertinya sangat memaksa.

Aku yang mendengar hal itu pun kembali menundukkan kepalaku. Aku tetap saja merasa tidak nyaman walau sudah tinggal bersama Pak Fathan.

“Fir?! Bagaimana? Kamu mau kan?” tanya Pak Fathan.

Dengan sangat terpaksa, aku pun menyetujuinya.

Dia pun akhirnya berkata, “Ayo sekarang kita ambil pakaianmu dan segala keperluanmu.”

Seperti sebuah boneka, aku pun langsung menganggukkan kepalaku.

***

Setelah aku sudah membawa semua barang keperluanku, Pak Fathan pun langsung membawaku ke rumahnya.

Dalam perjalanan, entah mengapa lagi-lagi aku bisa tertidur pulas. Hatiku merasa tenang dan aku pun merasakan sebuah kenyamanan.

Hingga suatu saat, aku pun terbangun dari tidurku dan sudah mendapati diriku sudah berada di atas sebuah tempat tidur dengan kamar yang sangat tertata rapi.

“Ini di mana?” gumamku.

“Kamu sudah bangun, Fir?...” tanya Pak Fathan yang tiba-tiba saja muncul, “ini di kamar Adikku.”

“Adik?! Apa gak apa-apa aku tidur di sini?” tanyaku.

“Gak apa-apa, Fir. Lagi pula kamar ini sudah lama tidak terpakai,” ucap Pak Fathan.

“Emang Adiknya Bapak ke mana?” tanyaku.

Pak Fathan pun terdiam sejenak dan dia pun akhirnya berkata kalau adiknya hanya sesekali saja datang mengunjunginya. Lebih pastinya hanya saat sedang liburan sekolah saja.

“Jadi itu berarti Adiknya Bapak kan masih ada kemungkinan untuk pulang. Bapak yakin aku tidur di sini?” tanyaku yang merasa tidak enak.

Dia pun mengangguk dan kemudian berkata, “Iya. Yakin. Sudah tidak apa-apa. Urusan Adiknya Bapak, kamu gak usah terlalu dipikirkan.”

“Oh,” sahutku.

“Kalau begini jadinya, kenapa aku tadi mengiyakan tawaran Pak Fathan, ya?!?!” gumamku dalam hati.

Karena mungkin melihatku termenung, Pak Fathan pun akhirnya bertanya, “Kamu kenapa?”

“Oh. Aku gak apa-apa, Pak,” sahutku.

“Ya sudah. Kalau begitu kamu lekas gantilah pakaian. Kita sebentar lagi akan makan malam. Bibi sudah menyiapkan banyak makanan lezat untuk menyambut kedatanganmu,” ucap Pak Fathan sambil mengusap-usap rambutku dan kemudian pergi.

Sesaat setelah Pak Fathan pergi, aku pun tidak langsung mengganti pakaianku. Aku terlebih dahulu melihat-lihat seisi kamar dan hingga akhirnya...

“Foto ini?! Sepertinya aku pernah lihat orang yang ada dalam foto ini,...” gumamku, “tapi di mana ya?”

Bersambung...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!