Malam pernikahan adalah malam yang paling ditunggu oleh pasangan yang baru menikah. Namun apa jadinya jika dimalam tersebut malah menerima sebuah kutukan yang dilayangkan oleh sang mantan?
Benarkah kutukan itu akan terjadi?
Apakah akan ditemukan penangkal nya? Atau malah akan menimbulkan prahara yang lebih dasyat?
Ikuti alur nya dan resapi kisahnya.
...🌸🌸🌸🌸🌸...
Arsita laili gadis manis berusia 26 tahun. Dengan kulit sawo matang dan mata yang sedikit sipit dengan bibir tipisnya.
Semua hanya tahu akan cover yang selalu ditampilkan nya. Sikap ceria dan selalu riang dia tampilkan untuk menutupi segala lara dalam hatinya.
Malam Rabu ditanggal 11 bulan November adalah hari dimana dirinya akan melepaskan masa lajangnya.
Bahagiakah?
Dengan hanya menatap pelaminan,dengan dekorasi berhiaskan beraneka bunga sehat. Dan dengan senyum sepasang pengantin baru yang berdiri bersanding disana. Maka orang akan langsung menyimpulkan bahwa mereka sedang berbahagia.
Namun jauh disana, didalam hatinya. Arsita sedang meratap sakit. Bagaimanapun ini bukan lah cinta yang benar-benar dia harapkan.
Tekanan selama bertahun-tahun dirasakannya terus menemui jalan buntu. Hingga membuat dirinya mengambil keputusan demi kebaikan bersama. Ya, benar. Kebaikan bersama, yang menyangkut dua keluarga besar.
Adalah Revaldy. Pemuda yang umurnya 5 tahun lebih muda dari Arsita menjadi suaminya.
Keduanya bertemu ditempat mereka bekerja. Orang bilang mereka mengalami cinlok atau cinta lokasi. Begitulah sebutan modern nya saat ini.
Dengan hanya menjalin hubungan selama 8 bulan mereka pada akhirnya memutuskan untuk menikah.
Masing-masing dari mereka memiliki masa lalu tersendiri. Namun hanya Valdy begitu panggilan akrab Rovaldy sehari hari yang mampu menceritakan kisah masa lalunya dengan gamblang.
Bukan karena tidak ingin bercerita, namun Arsita lebih memilih untuk memendam kisahnya sendiri. Baginya yang tak bisa move on dengan masa lalunya. Memilih memendam nya dalam dalam adalah pilihan yang terbaik.
Luka yang dirasakannya bukan tanpa sebab. Namun dirinya juga tidak lagi mampu untuk terus melawan.
Malam yang begitu meriah dengan banyaknya tamu undangan nyatanya tak dapat menutup luka dalam hatinya yang mengaga.
...🌸🌸🌸🌸🌸...
Malam telah larut ketika acara resepsi telah berakhir. Arsita memilih untuk tetap berada di dalam kamar pengantinnya terlebih dahulu. Sementara Valdy kembali keluar kamar untuk bergabung dengan sanak saudara yang lain.
Pernikahan ini bukanlah hal yang mendadak. Namun kami berdua yang susah mendapatkan cuti kerja mengingat kami bekerja di perusahaan yang sama. Oleh karenanya, sehari sebelum resepsi barulah kami bisa pulang ke kampung halamanku.
Perjalanan yang lumayan memakan waktu membuat data tahan tubuh kami melemah. Terlebih lagi bagi Valdy yang belum terlalu terbiasa dengan suasana didesa tempat ku tinggal.
Malam itu tak pernah terjadi apapun didalam kamar pengantin kami. Valdy tertidur nyenyak setelah aku mengerok badannya yang mengeluh sakit. Suhu badannya pun naik dan dia mengalami demam.
Malam semakin larut namun mata ku belum juga mau terpejam. Banyak hal yang masih berkecamuk didalam pikiranku. Dan rasa bersalah lah yang mendominasi.
Janji yang pernah terucap dulu telah aku langgar dengan sadar. Tidak ada pilihan bukanlah alasan yang harus ku ambil. Namun aku menyerah dengan keadaan.
Keadaan yang tidak pernah sedikitpun memihak ku. Bahkan aku merasakan kehancuran dalam senyuman.
Namun semua telah menjadi pilihanku, entah kedepannya nanti aku harus bagaimana menjalaninya. Hanya waktulah yang bisa menjawab ku.
Kutatap langit langit kamar, aku tersenyum hambar. Ruang kamar pengantin yang dihias rapi menjadi saksi bisu tangis terakhirku untuknya. Tangis sebagai tanda aku telah memilih untuk melepaskan.
Berharap dia disana bisa menerima segala pilihan dan keputusan yang aku berikan. Segala kenangan kembali terlintas dalam pelupuk mata tanpa bisa ku cegah.
Beruntung nya, suamiku telah tertidur dengan lelapnya. Tanpa tau airmata dalam diam yang aku berikan untuk dia. Seseorang yang telah hidup bertahun-tahun lamanya didalam hatiku
Bunyi panggilan masuk membuyarkan lamunanku. Tak ingin suara itu membangunkan suamiku yang masih terlelap akhirnya ku angkat telfon dengan suara pelan.
Aku beranjak menuju sofa dipojok kamar. Berulang kali aku menarik nafas pelan demi menenangkan degub jantungku yang sedang berpacu.
Priyadi.
Nama yang tertera dalam panggilan. Ku geser tombol berwarna hijau setelah aku rasa sedikit tenang. Ku lirik jam didinding, tepat jam 12 malam.
"Sayang."
Aku terdiam, kelu rasanya bibirku untuk berucap.
"Ya."
"Malam ini temani aku ngobrol ya. Entah mengapa aku tidak bisa memejamkan mata ini."
Ucapnya frustasi.
Satu minggu yang lalu aku telah menyampaikan keputusan ku. Aku juga telah menceritakan segala nya tanpa ada yang ku tutupi lagi. Bahkan aku telah memberitahukan padanya bahwa hari dan tanggal ini aku akan menikah.
Aku tidak pernah tau, sedalam apa cintanya padaku. Yang aku tau, bahwa aku menyayanginya. Tentang cinta pun aku masih gamang mengartikan semuanya.
Hubungan yang selalu dibentengi dengan pertentangan membuatku frustasi. Keinginanku cuma satu, keluar dari segala hal yang membuat kepalaku terasa pecah.
Andai aku bisa berteriak sekencang mungkin untuk membuang segala beban yang menyesakkan dada ini. Mungkin semua akan segera berakhir.
"Ar,sayang!!"
Panggilannya membuyarkan lamunanku yang entah sudah memgacuhkannya berapa lama.
"Ya."
" Malah melamun, aku sedang ingin ditemani lo malam ini. Kok malah didiemin sih."
Ehmm.
Aku hanya bisa menelan salivaku dan menghirup nafas dalam dalam.
Pada keadaan aku masih sendiri, mungkin dengan senang hati aku segera meng iyakan ajakannya. Tapi sekarang?
Aku menoleh pada sosok yang berbaring dengan selimut diatas kasur ku. Sadar akan kehadiran orang yang berhak segalanya atas diri ini. Namun tetap saja, lidahku benar-benar kaki untuk berucap.
"Kenapa dirimu aneh malam ini? Yang. Dua hari lagi kan?"
Pertanyaannya membuat aku bingung, berpikir dan mengingat. Namun tak kunjung aku dapatkan jawaban tentang dua hari yang dia maksud.
"Apa yang dua hari?"
"Pernikahanmu!!"
Deg
Aku terdiam, kacau rasanya hatiku. Mendengar ******* nafas beratnya dan juga racauan yang keluar dari mulut nya membuat nafasku tiba-tiba sesak. Air mataku menetes tanpa bisa ku cegah lagi.
Terisak dengan suara yang tertahan.
Dia dalam keadaan mabok. Satu kesimpulan yang aku ambil. Pri akan mendikan minuman sebagai pelampiasan jika dirinya sedang kesal. Entah mulai kapan kebiasaan itu dia lakukan.
Lamanya waktu perpisahan kami dulu banyak membuat celah yang tak pernah terlihat. Komunikasi yang terputus bahkan jarak yang membuat kami tak bisa lagi untuk hanya saling mengetahui kondisi masing-masing.
Bahkan pertemuan kembali dengan dirinya pun terjadi karena hal yang tak terduga. Namun semuanya menjadikan dilema terbesar yang kembali datang. Seiring dengan rasa cinta yang kembali tumbuh tanpa mau melihat waktu.
Tak ada yang patut disalahkan ataupun dipermasalahkan. Karena memang cinta memilih sendiri kisahnya dan juga jalan yang akan dilaluinya.
Aku mendesah pelan. Disatu sisi aku telah bersiap dan bertekat untuk melepaskan semua. Namun disisi lain, hatiku masih terpaut dengan namanya. 17 tahun berawal dengan cinta monyet, dipisahkan oleh keadaan dan mungkin memang sudah seharusnya begitu.
Namun lagi dan lagi takdir mempermainkan hati kami. Pertemuan tak sengaja mengacaukan jalan yang sudah tertata rapih.
"Maaf." Lirih ku pelan.
"Kenapa?"
"Malam ini malam pernikahan ku. Dan ini adalah malam pertamaku."
Dengan bibir bergetar aku berusaha menahan tangisku. Demi tekatku untuk terlepas dari belenggu cinta yang tak berkesudahan ini.
Februari 2006,5 tahun sebelum aku memutuskan menikah.(Arsita)
Aku tergesa-gesa melangkahkan kaki. Menyusuri jalan setapak dari rumahku menuju ke restoran tempatku bekerja. Aku menjadi salah satu yang beruntung. Setelah lulus sekolah menengah atas aku berniat untuk langsung mencari kerja.
Dengan hanya berbekal pengalaman sebagai jasa pengganti pada awalnya. Sekarang aku benar-benar menjadi karyawan resmi direstoran ini.
Dulunya, sebagai jasa pengganti karyawan yang libur mendadak aku sering kali masuk kerja menjadi waitress. Tentu saja aku selalu mengambil shif malam. Karena pada siang harinya aku memiliki kegiatan lain juga sekolah.
"Ar, semalam kata mbak Wiwin ada pesanan untuk besok malam. Aku lupa kagak WA kamu, keburu pulang soalnya udah kagak kuat ngantuk berat aku." Mbak Yayak memberikan sebuah kertas yang berisi orderan pesanan yang harus aku siapkan.
"Tak apa mbak, masih ada waktu kok. Acaranya juga masih besok malam kan?" Ucapku sambil memeriksa kertas orderan yang diberikan mbak Yayak. Dia mengangguk kemudian berlalu meninggalkanku untuk kembali ke depan.
Namanya mbak Inayah dia adalah kasir restoran bersama dengan mbak Wiwin. Kami sudah terbiasa memanggilnya mbak Yayak.
Aku sendiri sekarang bekerja sebagai staf didapur. Tugasku ada dibagian dapur bersih yaitu bagian dapur yang terdepan. Atau bisa dibilang bagian finishing sebelum makanan dihidangkan ke tamu.
Aku juga adalah staf termuda didapur. Oleh karenanya tanggung jawabku pun sedikit besar walaupun aku bukan kepala dapur ataupun chef.
Aku terbiasa menangani bagian stok barang, belanja dan mengorder bahan yang sekiranya harus memesan dari luar daerah atau tempat yang sedikit jauh.
"Ada apa?" Bu Sri kepala dapur dan sekaligus juru masaknya bertanya. Aku tersenyum sebelum menjelaskan tentang apa saja yang harus kami siapkan untuk besok malam.
"Ya sudah, cek barang yang digudang depan. Biar aku sama Tima cek barang di gudang belakang. Jangan lupa pesan gurame, biar besok atau lusa datang barangnya."
"Tapi buat besok malam ada kan bu gurame nya?" Tanyaku khawatir, gurame adalah ikan yang lumayan mahal jika sudah dimasak jadi hidangan. Akan sayang sekali jika menu itu tiba-tiba tidak ada.
"Berapa orang tamunya?" Bukannya menjawab Bu Sri malah balik bertanya.
Kembali ku cek orderan, ku cari tulisan nasi putih yang biasa disingkat NS itu. Ternyata ada dipaling bawah pesanan.
"Ehmm, ini untuk 200 orang Bu. Tapi selain ikan mereka juga pesan banyak menu sih. Ada mie, capjay, koloke. Sepertinya cuma butuh beberapa kilo saja untuk ikannya."
"Sebentar biar ku cek dulu dikolam belakang. Tapi jangan lupa, kamu pesan sekarang biar tidak kosong nanti. Soalnya ini sudah tinggal sedikit."
Bu Sri berjalan ke area belakang dapur kotor. Sementara aku mulai mengecek barang digudang depan. Barang barang digudang depan adalah bahan bahan kering. Telur, tepung, beras, minyak dan teman-temannya ada disana. Termasuk segala macam botol bumbu masakan karena resto ini adalah resto Chinese dan kebetulan juga menjadi satu dengan hotel.
"Ar, sibuk?" Mas Eksan melongok kedalam gudang melalui pintu yang sengaja ku buka lebar. Jujur saja, berada digudang dengan berbagai macam bau bumbu dengan ventilasi yang kurang membuat ku pengap.
"Iya mas sedikit, besok ada pesanan di hall belakang kan?"
Hall belakang adalah bagian didalam hotel. Tempatnya berada disisi belakang sebelum blok kamar anyelir yang berbentuk bungalow kecil.
"Ah iya, sampai lupa aku belum kasih tau anak anak untuk menyiapkannya."
Aku tersenyum, mas Eksan adalah supervisor bagian hotel. Dia juga merangkap sebagai kasir. Tapi tugasnya adalah malam bergantian dengan mas Andi. Sedangkan siangnya dipegang oleh Mbak Ina.
"Ada apa? mau makan?"
Tanyaku mendekat, keluar dari gudang karena kebetulan pekerjaanku pun telah selesai.
"Sibuk aja dulu kalau gitu. Nanti kalau udah kelar kabari ya."
Aku hanya mengangguk. Mas Eksan sudah berkeluarga dan memiliki satu orang putra.
Jangan heran dengan banyaknya orang disini. Karena setiap harinya resto ini akan ada 20 pegawai dan 25 pegawai untuk hotelnya. Dijam jam makan, baik pagi,siang atau malam. Dapur bersih akan terlihat sedikit ramai karena jam istirahat karyawan. Tentu saja semua bergiliran melakukannya.
"Jatah makan siang hari ini apaan Ar, eh iya aku tadi pagi liat Imam di mess. Tumben dia kagak balik, padahal hari ini giliran dia libur."
Mbak Ina berjalan melewati ku. Aku hanya terdiam tak membalas ucapannya. Dengan tangan yang sibuk mengupas wortel dan membentuknya menjadi hiasan untuk digunakan besok, pikiranku berkelana.
Imam tidak pulang? kenapa tidak memberiku kabar? Pertanyaan itu berkecamuk dalam pikiranku. Namun bibir ini masih tetap terkatup rapat. Tanganku juga masih sibuk dengan pekerjaannya.
Imam adalah pacarku, masih baru berjalan 3 bulan hubungan kami. Dan ini hanya diketahui oleh seluruh staf dan karyawan resto dan hotel. Hanya lingkup itu saja, karena hari hari kami memang selalu berada disana.
Resto tidak terlalu ramai dihari hari biasa. Namun di weekend kami harus siap bekerja ekstra. Biasanya tamu akan bertambah dua kali lipat di 3 hari itu setiap minggunya.
"Ar, untuk pesanan besok mereka menambah cocktail sebagai penutupnya. Coba cek, apa kita masih ada stok buah." Mbak Yayak datang dengan memegang bolpoin nya. Aku segera turun dari kursi tinggi yang ku duduki dan melangkah ke chiller( bagian tempat dalam kulkas yang suhunya dibuat sedemikian rupa agar barang didalamnya awet namun tidak membuatnya menjadi beku)
"Ada cukup mbak, masih ada kurang lebih 7 macam buah yang tersisa di chiller."
"Jumlahnya cukup? jangan salah perhitungan lo Ar. Pesanan untuk 200 orang, alangkah baiknya kita membuat lebih. Berjaga jaga siapa tau mereka nambah." Ucapnya mengingatkan ku.
"Siap Mbak, nanti aku catat sekalian apa yang perlu ditambah. Jadi besok pagi bisa langsung belanja."
"Ya sudah, jangan lupa ditambahkan ke kertas orderan yang kemarin ya."
Aku mengangguk dan segera mencatatnya ke kertas orderan yang tertempel di dinding yang memang dibuat tempat khusus menempel orderan agar tidak kelupaan.
...🌸🌸🌸🌸🌸...
NB: Ini menceritakan kembali awal mula sebelum dipertemukan nya Arsita dengan sang mantan. Agar tidak bingung nantinya, saya buat cerita sedetail mungkin..
Mohon sedikit bersabar karena ini kisah nyata jadi saya juga masih memilah mana yang bisa dituangkan dalam cerita dan mana yang harus tetap disimpan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!