NovelToon NovelToon

Sumpah Setia Di Ujung Senapan

AKADEMI PASUKAN KHUSUS

..."Umi, abi..abang ijin berjuang. Mohon restu serta do'anya,"...

Begitulah kiranya yang terucap dari bibir seorang pemuda sebelum pergi, dengan koper hitam di samping ditemani rasa percaya diri dan kecintaannya terhadap negara, membawa Teuku Al-Fath Ananta menjadi salah satu taruna akademi militer bumi pertiwi di markas pasukan Elite Komando Detasemen Khusus negri.

Sepak terjang selama menjadi prajurit begitu membanggakan, ia mengajukan pendafataran sebulan yang lalu tanpa berbicara pada uminya Salwa.

"Bang Fath kenapa ngga bilang sama umi," rengek umi, hidung dan matanya memerah, wanita ini.. meskipun sudah memiliki 3 orang anak tapi tetap saja masih terlihat cantik, entah memang karena Zaky yang selalu membuatnya jadi wanita istimewa atau memang ia-nya saja yang menolak tua, semua jadwal perawatan kecantikan tak pernah ia lewatkan, bisa dibilang cuma kelilipan bulu mata saja harus ditangani oleh profesional. Katanya sih, biar sang suami tetep nempel kaya daki, itu peletnya.

Srotttt!

Wanita berjilbab salem itu menyerut hidungnya dari cairan bening dengan ujung lengan baju sang suami, membuat si bungsu bergidik jijik. Bisa-bisa pasokan tissue di rumah habis setelah ini.

"Idihhh, umi jorok ih!" seru Zahra yang memeluk lengan ayahnya.

"Biarin!" tukasnya disamping lain sang suami.

"Maaf mi, kalo abang bilang umi pasti nanti umi susah ijininnya." memang ketiga bersaudara ini sudah hafal watak uminya, selalu drama queen dalam kondisi apapun, terbiasa dikelilingi suami dan anak-anak yang selalu mengistimewakan dirinya, membuat Salwa menjadi ratu sesungguhnya di rumah ini, bahkan si bungsu saja kalah manja dibanding Salwa. Meminta ijin pada umi Salwa, setara dengan mendaftarkan pernikahan batalyon, rumitnya ampun-ampunan, itupun harus jauh-jauh hari dilakukan. Mereka akan dicecar segudang mesiu pertanyaan meski hanya akan pergi ke mall di kota Medan untuk menonton bioskop, terutama Zahra si bungsu nakal.

"Udah gitu Rayyan juga masih anteng sama gudeg, ngga inget umi. Apa umi udah dilupain sama anak-anaknya?" Salwa memegang dadanya dramatis, drama ibu tak dianggap dimulai, padahal nangisnya juga dibuat-buat, ngga pengen-pengen banget. Zahra merotasi bola mata, ia sudah tak aneh jika uminya begini, di setiap kepergian kedua kakak tentaranya akan pergi bertugas, sudah dapat dipastikan Aceh akan banjir air mata dan ingus, entah esok atau lusa pasokan tissue di bumi akan habis diborong abi-nya.

"Umi lebay deh! Kan tiap hari juga bang Fath sama bang Ray ngga ada di rumah, mereka di mes." jika dipikir-pikir seperti akan mati besok saja ditangisi macam nangisin patriot yang gugur.

"Masih satu negara mi, bisa disusulin." ucap kalem Zaky, ujung-ujungnya ia yang harus membujuk Salwa agar tak galau karena anak-anaknya harus membela negara.

Zahra terkikik, setelah ini ayahnya akan menjerit dalam hati macam ratapan anak yatim membujuk umi. "Ati-ati bi, nanti wasir keseringan nyetirin mobil ke Medan," ledek Zahra. Zaky melirik putri bungsunya penuh kata setuju.

Al Fath cuma bisa tertawa, meski begitu ia tau jika ibunya ini teramat menyayangi dirinya. Moment konyol beginilah yang selalu ia rindukan saat bertugas jauh dari keluarga, belum lagi masakan Salwa yang enaknya sekelas chef restoran bintang 10.

"Ya udah, umi ijinin. Umi do'ain semuanya lancar. Kalo gaji sama tunjangan abang naik, kabarin umi," ucapnya mencebik.

Zahra dan Al Fath tergelak, ujung-ujungnya memang sudah pasti akan bermuara di uang. Sifat matrealistis tak lepas darinya, padahal jika ditarik fakta, Salwa tidaklah matre, apalagi selalu mencampuri urusan keuangan kedua putranya. Memang sifat absurdnya yang membuat ia seperti itu. Jangankan kekurangan uang jajan, mau dikata cireng harga seribu perak saja Zaky beli dengan harga 50 ribu, saking Zaky tak pernah membiarkan istri gembulnya ini kelaparan.

"Ngapain nanyain itu mi, astagfirullah!" seru Zahra.

"Kali aja nanti bang Fath mau traktir umi pake uang kacang ijo-nya," kilahnya, Zaky menggelengkan kepalanya sudah biasa dengan sifat magic Salwa.

"Hati-hati nak, jaga nama keluarga, jaga kesehatan dan ibadah," pesan Zaky.

"Siap, laksanakan!" hormatnya memberi hormat prajurit.

"Abi sama umi sehat-sehat. Dek Ra jangan nakal. Nurut umi kasian kalo umi harus teriak-teriak kaya tukang baso tiap hari cuma buat ngomelin kamu,"

Zahra merengut, "iya bang." Salimnya.

Ada perasaan haru menyeruak di hati Salwa, kedua putranya memiliki gen Zaky, jika Al Fath berkarir di darat lain halnya dengan Rayyan yang mengarungi luasnya dunia bersama laut, sementara Zahra lebih mirip dengannya, meskipun sebenarnya si bungsu juga sudah memiliki cita-cita ingin jadi perawat. Sudah tua begini, ya kembali mereka hanya tinggal berdua seperti layaknya umi dan abi dulu yang kini sudah berpulang, ada masanya ketiga anak yang sudah ia rawat dan kasihi selama ini akan menjalani dunia dimana hanya ada dia dan mereka.

"Bertugaslah Al-Fath, do'a umi selalu menyertai,"

Derap langkah besar nan pasti, menghentak keluar dari halaman rumah. Seiring roda koper yang ia geret. Tangan kekar hasil tempaan selama akademi memegang erat pegangan koper seerat sumpahnya sebagai seorang prajurit.

"Sebentar lagi adek yang mau masuk universitas keperawatan. Umi ditinggal lagiiii," meweknya lebih keras dari sebelumnya.

"Mi ih!" cebik Zahra.

"Ngga ada gitu cita-cita kamu mau jadi tukang gado-gado aja, biar bisa diem di rumah nemenin umi," ia kembali menghapus lelehan air mata.

"Masa cita-cita jadi tukang gado-gado! Ngaco nih umi, kayanya belum di vaksin!" Zahra berbalik dan masuk ke dalam rumah.

"Bang Za," mata besar ikan koi basah-basah mrembes terpasang di wajahnya, roman-romannya khodam si marimar ratu telenovela lagi hinggap di tubuh istrinya.

"Apa? Kalo hari ini abang ngga bisa, mesti cek kebun! Lama-lama abang wasir Sal, kalo bolak-balik Aceh-Medan cuma buat belanja, yu masuk! Kalo kamu ngerasa kesepian, karena anak-anak sudah mulai dewasa. Gimana kalo kita punya anak lagi?" tanya Zaky. Mata kodok seketika berubah jadi mata ular, menyipit penuh desisan," bikin aja dari tepung!" ia menghentakkan langkah dan masuk mengekori si bungsu. Zaky tersenyum, jurus ini selalu berhasil menghindarkannya dari penyakit gila mendadak.

...----------------...

...⚜️BATU_ BERJAJAR, kota berkembang⚜️...

"Push! Push! Push! Ayo semangat, jangan membleh!!!"

Prittt!!!!

Lengkingan peluit instruktur menjelma jadi bayangan yang senantiasa mengikuti kemanapun.

Selama 7 bulan ditempa layaknya fisik robot. Panas, hujan, medan terjal, dan pasokan makanan terbatas sudah menjadi makanannya sehari-hari selama pelatihan. Tanpa komunikasi dengan orang luar layaknya tawanan perompak termasuk keluarga, sudah biasa baginya.

60 materi pelajaran yang sangat menantang nan berat, harus ia lahap selama 28 minggu. Teknik tempur, membaca peta, pionir, patroli, survival, mendaki gunung serta pendaratan dengan kapal motor dan amphibi. Ia juga dilatih pertempuran jarak dekat, perang kota, teknik gerilya, selam militer, serta anti-teror. Hampir gila ia dibuatnya jika tak berpegang teguh prinsip agama dan tekad.

Hingga sebuah kebanggan tersendiri saat si baret merah dan brevet di pasangkan, penanda jika tak ada apapun yang bisa menghalanginya dari rasa nasionalisme hingga saatnya sang Pencipta menentukan waktunya untuk kembali ke pangkuan pertiwi.

"Abang lulus mi, abi..." benaknya terisak, sehebat-hebatnya manusia ia tetap akan gently saat mengingat wajah kedua orangtua.

Beberapa tahun sudah berlalu sejak pelatihan berat itu, kini ia sudah bergabung dengan Unit Komando Pasukan Khusus berpangkat Perwira Menengah.

Ia pun menyabet gelar sniper jitu kebanggan kesatuan.

.

.

Note:

* Brevet : tanda kemahiran, kehormatan, pengabdian, tanggung jawab yang diberikan oleh korps angkatan pada seorang prajurit.

* Amphibi : kendaraan yang bisa berjalan di dua medan.

* Pionir : perintis, pelopor, mengawal.

*Gerilya : perang yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi penuh kecepatan, senyap, sabotase dan biasanya dilakukan sebuah kelompok kecil tapi sangat fokus dan efektif.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Gimana-gimana nih, ternyata otakku nyangkut disini. Si ganteng nan dangerous (berbahaya) babang Al-Fath. Anaknya umi Salwa yang hawt nan magic.

Jikalau berkenan mampir dan berniat menumpuk bab, diharapkan jangan lompat-lompat bab yee, karena sobat mimin bukan kodok 😉. Hayuk kasih dukungan dan jadi pembaca yang baik nan bijak, biar mimin juga semangat updatenya. Selalu tertarik dengan kisah para prajurit yang kalo dalam fantasi liar perempuan kan gagah nan berwibawa iye kan?! Mimin mencoba menuangkan kehaluan mimin kali ini di genre itu. Maaf kalau nanti tulisannya masih awur-awuran, sekedar mengingatkan nih karya ini murni dari hasil kehaluan tingkat tinggi mimin Sin, tidak bermaksud mencolek lembaga atau instansi manapun. Seluruh kejadian dan latar juga tokoh hanya rekayasa penggambaran jika menemukan kemiripan itu hanya inspirasi agar menambah feeling yang dituangkan di cerita ini. Jangan dibandingkan atau disamakan dengan kenyataannya ya guys, karena jelas akan jauh sekali perbedaannya. Mari berhalu-halu ria bersama mimin guys!

HAPPY READING ALL di karya remahan cookie mimin 😘😘

.

.

.

PERINTAH DIATAS PERTEMANAN

Beberapa operasi penumpasan, konflik bersenjata, dan pemberontakan menjadi jejak karirnya selama bergabung dalam unit komando pasukan elite yang paling ditakuti di negeri ini karena melenyapkan musuh dalam senyap.

"Baru balik bang?" sapa kawan tentaranya yang sedang lari pagi, disaat rekan tentara lainnya baru saja terbangun dari pulasnya tidur, ia baru saja pulang bertugas.

"Iya, duluan." Tak ada senyuman lebar, terlalu irit bicara dan senyuman itulah Al Fath. Pasta gigi mahal ya bang, ups! Sikapnya ini menambah efek seram di diri Al-Fath, padahal aslinya ia adalah pria hangat sehangat api unggun.

Ia kembali melangkahkan kaki yang terbalut sepatu delta ke arah jajaran rumah dinas dan rusun yang jika secara kasat mata hampir sama, karena warnanya yang hijau mirip bungkus lontong.

Langkahnya terus, melewati masjid megah diantara kompleks tentara, lalu berbelok ke kiri melewati lapangan yang biasa dipakai olahraga ataupun sekedar menghabiskan waktu para tentara bersama keluarganya. Keluarga? Ngomong-ngomong tak akan ada yang menyambutnya di rumah selain cicak dan semut yang lagi pesta di toples gula sementara si empunya rumah lagi tugas.

Udara pagi ini cukup sejuk, hanya tinggal menghitung hari ia berada di kota kembang ini menjadi instruktur pelatih para taruna calon pasukan khusus, untuk selanjutnya ia akan dipindah tugaskan ke markas besar pasukan khusus yang berada di ibukota.

Maka selanjutnya ia akan selametan bagi-bagi perabotan pada tetangga, karena ngga mungkin kan mau pindah tugas sampe bawa-bawa panci, toples plastik dan kompor. Apa jadinya jika tentara tampan nan menakutkan yang biasanya bawa senjata laras panjang tiba-tiba bawa-bawa baskom.

Pria itu memutar gagang kunci lalu masuk ke dalam mes. Rumah yang biasa rapi namun dingin tanpa sentuhan wanita.

Di usia yang sudah lebih dari 30 tahun ini, bukan Al Fath tak ingin memiliki pendamping. Tapi hampir seluruh waktunya ia abdikan pada profesinya. Memang untuk sebuah lencana dan pangkat seseorang dibutuhkan pengorbanan dan perjuangan yang tak kalah hebatnya. Hal pertama yang ia lakukan adalah masuk kamar mandi, sekaligus mencuci seragam pdh dan kaos serta dalam an yang sudah melekat 2 hari di badannya lalu selanjutnya memberi kabar pada umi.

Ada benda kecil yang menggelitik hati di meja kayu kecil kamar, sebagai penanda jika sedingin-dingin dan gaharnya ia tetap saja Al Fath adalah family man, meja yang hampir habis jadi santapan rayap itu memang milik penghuni sebelumnya. Senyumnya terukir melihat sebuah frame foto berukuran mungkin 15×20 cm, dimana foto keluarganya terpampang bersampingan dengan kalung tanda keanggotaannya sebagai tentara.

...****************...

"Tok! Tok! Tok!"

"Fath!"

Ia meletakkan sendok setelah makan, dan melongokkan kepala ke arah pintu.

"Ya, sebentar!"

"Surprise!!!!" kawan-kawan satu detasemennya datang berkunjung tanpa memberi kabar membawa serta sesajen untuk nobar acara moto GP.

"Gp ndan, Gp!" ujar Anggara berseru, juniornya dengan pangkat dibawah Al Fath ini memang selalu ngintilin seniornya kalo nongki-nongki.

"Trans---trans uyy..." tanpa meminta ijin atau permisi mereka masuk seenak udel.

"Saya mah pegang si Bagnaia lah!" Taufik buka suara.

"Sok dibuka--buka, gocapan mau kagak?" Dude malah sudah menguasai sofa butut yang menjadi singgasana Al Fath dan memindahkan channel tv bersama Andre, Al Fath sudah tak aneh dengan ketidaksopanan kawan-kawannya ini. Kesopanan mereka mungkin sudah hancur karena di geleng oleh tank Harimau buatan Pin dad.

"Ndan, ini ditaro dimana?" tanya Anggara mengehkeh mengangkat keresek yang menguarkan aroma martabak keju, sayangnya ia tak seberani para seniornya itu untuk kurang aj ar, ia masih sayang nyawa.

"Di muka kamu." sarkas Al-Fath, kemudian ia menyunggingkan senyuman setengahnya, bagi semua penghuni kesatuan disini, ini adalah senyum hangat dari seorang Al Fath si letnan kolonel yang terkenal dengan julukan mata garuda karena kemampuannya.

"Piring dibelakang, ambil aja!" Anggara tak tunggu waktu lagi, ia langsung melesat ke arah dapur.

"Fath, duduk--duduk! Anggap aja mes bokap lu!" ucap Dude.

"Eh saraf, ini emang mes Fath. kite-nya aja yang kurang aj ar!" sahut Andre tertawa.

Al Fath tak banyak bicara, bila sekiranya tak penting ia hanya akan menyimak saja.

"Fath, kapan surat perintah turun?" tanya Taufik membuka tutup botol soda yang mereka beli dari minimarket depan markas sambil mengangkat satu kakinya ke atas sofa kaya di warung gorengan. Udah butut di injak-injak pula oleh kaki kotor mereka, makin menjerit saja si sofa minta dikembaliin ke meubel.

"Lusa," jawabnya meneguk minuman yang sama.

"An jirrr, member geng duda kelam ancur atuh euy! Personelnya kurang dua," tandas Taufik sewot.

"Kamvret, duda kelam. Lu aja sendiri," desis Andre tak terima.

"Dua?" Al Fath mengerutkan alisnya.

"Gua pindah juga Fath, surat perintah turun besok. Disuruh balik kampung juga akhirnya," ujar Andre.

"Oh sip!" balasnya singkat.

"Tos!" ajak Andre, tangan Al Fath menyambut mengudara membalas tangan Andre.

"Ye, namanya juga tugas kan. Kalo bawahan mah manut ae !" jawab Dude bijak setengah mendumel, inginnya sih dipindahkan sama-sama biar kaya boyband tak terpisahkan, manggung kesana kemari bareng-bareng, bok3r pun bareng.

Malam itu adalah malam perpisahan bagi mereka, tugas diatas segalanya. Bahkan diatas sebuah pertemanan sekalipun.

Andre sudah duluan berangkat ke Jakarta, sementara ia masih membereskan apa yang harus ia bawa dan ia tinggalkan.

"Ndan!" teriak Anggara bersama dua junior lainnya berlari menghampiri.

"Angga, ini bagi-bagi saja lah! Atur-atur saja," ujar Al Fath merapikan kopernya, tak ingin ambil pusing. Sudah seperti kejatuhan durian bareng pohon-pohonnya, Anggara bersama dua kawannya terlihat senang. Terang saja, bagi mereka yang hanya tentara tam-tama dengan gaji minim, barang-barang seperti ini seperti harta karun di goa si aladdin, open sesame.

Al Fath mengambil kompor dan tabung gas keluar, membuat Anggara yang tengah memilih-milih barang seperti ibu-ibu di pasar gembrong mengernyit.

"Ndan, ngga salah?" tanya nya.

"Apa?"

"Itu, mau dibawa pindahan juga?" tunjuknya.

"Kamu pikir saya kurang kerjaan bawa-bawa beginian, ini mau saya kasih buat bu Narti..istri Lettu Iskandar, selama ini kan beliau yang sering membantu saya." Ia keluar dari gubuk hijau dan menyambangi tetangganya itu.

"Permisi, bu!"

Seorang wanita paruh baya yang berasal dari Jawa Tengah itu keluar bersama anak paling kecilnya di gendongan.

"Eh, ada om Fath, monggo pak masuk!"

"Bu, maaf biar saya disini saja. Ini, sebagai tanda perpisahan dari saya. Maaf jika selama disini saya sering merepotkan," ujarnya dengan nada lembut.

"Oalah, mau dipindah tugaskan pak letnan?" ia menurunkan anaknya, sementara Al Fath menaruh kompor satu tungku lengkap dengan tabung gas yang masih ada isinya itu.

"Ndak, saya ndak merasa direpotkan. Makasih banyak om!" jawabnya.

Al Fath terpaksa menghentikkan pamitannya, mendengar suara gaduh dari bilik deritanya dimana kini Dude dan Taufik ikut datang dan memilih barang cuci gudang miliknya.

"Wah! Nu urang ieu mah!" ujar Taufik. Mereka malah berebut panci dan wajan, juga termos. (punya saya ini mah!)

"Lu bertiga udah kaya emak-emak aja," tukas Al Fath memisahkan Taufik, Dude dan Anggara sementara kedua rekan Anggara hanya menjadi penonton bayaran saja tanpa berani ikut andil berebut barang bersama para seniornya.

"Lumayan nih Fath, panci urang di mes bocor!" jawab Taufik sewot ingin merebut dari tangan Dude.

"Lu mah ini aja tuh!" ujar Dude menyerahkan peralatan makan.

"Mbung ah! Eta mah bisa meuli di gasibu! Murah!" balasnya tak mau kalah, sementara Anggara menyerah dan lebih memilih menertawakan seniornya yang sedang berebut, jarang-jarang mereka bisa melihat hiburan di mes kacang ijo begini, maka drama ini begitu lucu untuk mereka yang kaku.

"Jambak ndan, jambak!" mulut Anggara bisa disamakan dengan kompor yang tadi ia berikan pada bu Narti.

"Gua tebas pake belati juga nih!"

"Urang duluan atuh De,"

"Lu berdua, push up 10 set!" suara itu bak dentuman pelontar meriam, mereka langsung terdiam.

"Ya elah Fath, masih aja dianggap serius! Masa cuma gara-gara panci mesti di hukum?!" balas Dude tak terima.

Anggara bahkan sudah menghentikkan yel-yel penyemangatnya dan mengatupkan mulut agar tak ikut tersemprot dan dihukum.

"Lu berdua ngga malu berantem cuma gara-gara panci di depan junior? Tuh..siapa namu kamu berdua?" kini ucapan tegas itu langsung mengarah ke junior rekan Anggara, mereka tersentak dan langsung sikap sempurna dengan membusungkan dada.

"Siap ndan, nama Prada Bian!" balasnya tegas, menandakan ke gentle-an seorang prajurit.

"Siap Let, nama Pratu Jaya!"

"Ck, udah bukan waktu tugas! Ngga usah formal gitu," tepis Taufik menganggap enteng. Hingga akhirnya....

"Hiji!"

"Dua..."

Anggara benar-benar tak kuasa menahan tawanya, rahangnya pegal karena menahan ledakan perasaan geli, ia benar-benar tak berani mengeluarkan suara jika masih ingin kepalanya utuh, ia hanya bisa menahan perut melihat kedua seniornya kini tengah berpush up ria di lapang hanya karena panci. Jangan mereka pikir karena mereka berteman lantas dapat menyurutkan perintah atasan, Al Fath memang sewedannn itu, seharusnya mereka ingat itu.

"Bener-bener lu Fath!" omel Dude.

"Mau gua tambah lagi?" tanya Al Fath, "anggap aja hadiah buat perpisahan gua De," kekehnya.

"Haseum!" dengus Taufik.

.

.

.

Note :

*Manut: ngikut, nurut.

*Open sesame: mantra membuka goa.

*Urang: aku, saya, gua.

*Mbung: ngga mau.

*Haseum: asem

*Hiji : Satu

KEHIDUPAN TAK SEINDAH SURGA

Hanya menempuh perjalanan 2 jam lebih melewati tol, Al Fath sampai di ibukota.

Sebagai tujuan utama, mobil dinas berplat merah itu memasuki Markas Besar Komando, dilewatinya sebuah gerbang dengan ciri khas kehijauan dan lambang elite khusus.

Mobil terhenti tepat disana, dihirupnya udara pagi menuju siang ibukota yang panas membuat alisnya sedikit mengernyit menghalau teriknya sinar yang sudah tak malu-malu lagi menunjukkan eksistensinya.

Langkah sepatu pantofel sampai di ruangan pemimpin.

"Surat tugas saya," ujarnya memberikan sebuah map, setelah menghormat.

"Wah..wah, akhirnya datang juga. Duduk--duduk Fath, jangan terlalu formal begitu lah." Ramah Jendral pimpinan ini.

Al Fath mengulas senyum kaku selayaknya seorang berwibawa, lalu duduk di sofa coklat yang ada di ruangan, mereka sedikit mengobrol demi mengusir rasa canggung. Desas-desus yang beredar, perwira menengah dengan segudang prestasi ini sebentar lagi akan dipromosikan untuk naik jabatan, setidaknya perwira ini banyak di gandrungi lawan jenis sesama tentara atau bahkan atasan yang ingin menjodohkan putrinya dengan Al Fath.

⚜️ DI BELAHAN PUNGGUNG BUMI YANG LAIN.

"Bujuggg!"

Prankkk!

Grombyang!!

Sesosok tubuh gadis berusia 23 tahun tergelonjak kaget, kelopak mata indah gadis itu sangat sulit terbuka, mungkin eyeliner dan maskara sudah bekerja sama dengan belek untuk kompakan mengelem kelopak matanya. Bahkan sinar mentari yang sudah berkacak pinggang di atas rumah pun tak membuatnya lantas membuka mata. Mungkin jika ibukota tenggelam ia akan ikut hanyut bersama ubur-ubur jadi santapan hiu.

Sebelah matanya ia paksakan terbuka, "apa sih mih? Pagi-pagi udah nambahin kerjaan dokter di rumah sakit, bikin orang punya penyakit jantung koroner," suaranya parau, bukannya bangun ia malah nyungseb lagi bertutupkan bantal. Sebentar lagi ibunya ini akan meledak seperti bom panci demi memarahinya.

"Mamih--mamih, ga usah belaga kaya anak gedongan. Kerja dulu yang bener! Nyak kuliahin lu cape-cape bukan kepengen lu jadi pengangguran!"

Duarrrrrr! Omelan itu setara dengan dentuman bom Hiroshima, tapi gadis itu anteng saja, seperti telinganya sudah kebal dengan suara sang ibu. Ia menganggap, hitung-hitung seperti sedang tinggal di tempat latihan tembak tentara.

"Allahuuuu! Ngidam apa gua, punya anak gadis malesnya kebangetan!" omel ibunya berkacak pinggang, sebagai seorang ibu tangannya sudah terlatih untuk mengikuti kata hati, ia menyingkabkan selimut berwarna biru langit yang membalut tubuh putri semata wayangnya, hingga si anak menggeliat bak kaki seribu, ia pun membuka jendela kamar agar udara masuk ke dalam kamar ini, tentunya sambil ngomel-ngomel dengan ucapan pedas setara dengan ayam richesse level 5, bikin diare.

"Cari kerjaan sono! Mau sampe kapan nganggur, anak tetangga aja yang cuma lulusan SMA kerja di toko baju, bisa ngasilin duit, bukan cuma keluyuran ngga jelas sampe malem ke tempat-tempat ngga jelas juga!" titah yang mulia ratu.

Faranisa Danita, seorang gadis sarjana desain grafis, hingga kini masih menganggur. Ia adalah gadis kritis dengan pandangan apatis terhadap negara sepaket pemerintahannya. Menyaksikan begitu lucunya negri ini, dimana bantuan uang rakyat yang selalu salah sasaran, korupsi dan sebagainya. Negri yang katanya kaya, tapi sarjana pintar macam dirinya kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan dan sesuap nasi.

Kini gadis itu mulai tergerak untuk menegakkan badannya, meski mata masih menyesuaikan dengan cahaya kamar. Semalam ia membantu seorang teman menjadi desain creator dalam sebuah project kecil, lumayan buat jajan seblak sama ngasih uang beras, biar ngga dikata cuma numpang hidup.

"Kan nyak udah tau, tiap hari Fara beredar buat cari-cari kerja, tapi sampe sekarang belum dapet. Cari kerja susah 'nyak, malah buang-buang ongkos doang," jawabnya malas, ia merapikan surai panjang sepunggung dan mengikatnya asal yang penting ngga ngalangin penglihatan.

"Makanya bangun tuh pagi, mandi, beres-beres! Jam segini rejeki lu udah dipatok ayam!" debat ibunya, jika sudah debat begini, sudah dapat dipastikan tayangan live ini akan memakan waktu lama seperti siaran langsung sepakbola antara Indo dan Malay.

"Ck, rejeki Fara dipatok ayam. Ayamnya Fara balik patok!" dumelnya beringsut turun dari ranjang sambil menguap.

"Kalo nguap tutup!" sarkas ibunya sambil mendorong wajah Fara pelan, menghentikkan kenikmatan yang haqiqi.

"Nyak ih!" serunya tak terima.

"Itu se tan pada masuk, pantes aja males! Kalo nguap ngga pernah ditutup, berapa banyak tuh se tan yang masuk!" omelnya lagi membereskan ranjang anak gadisnya, meskipun begitu Fara adalah anak satu-satunya yang ia sayangi, terlampau ia sayangi.

"Nyak ngga boleh berentiin orang nguap ih, nguap tuh hak setiap warga negara yang ngga boleh diganggu gugat!" ia menyapukan jemari ke sudut mata demi membersihkan matanya, bibirnya merengut biar kata bau nafas pagi harinya sudah seperti aroma orang puasa 7 taun buat dapetin kapak naga Geni, tapi itu tak boleh dihentikan secara sembarang.

"Nyak ngga mau tau, kalo bulan depan lu ngga dapet kerjaan. Nyak mau jodohin lu," ancamnya. Sontak saja Fara langsung melotot dibuatnya.

"Jangan sadis gitu dong 'nyak, kita kan bestie!"

"Oke---oke Fara bakalan pantang nyerah buat cari kerjaan, lagian semalem Fara bantu temen ngerjain project, lumayan buat uang beras!"

Ibunya menghela nafas panjang, "ya udah sana ke kamar mandi, nasi goreng udah di meja!" titahnya kembali luluh. Senyum manis Fara tercetak, "nyak yang terbaik!"

Maka disinilah Fara, bermodalkan ijazah sarjana S1 nya ia berharap jika hari ini adalah keberuntungannya, meski negara tempatnya berpijak terasa tak adil baginya, dengan menyia-nyiakan sumber daya manusia berpotensi seperti dirinya luntang-lantung seperti kucing kampung tanpa tujuan hidup.

Fara tak tau kemana tujuan kakinya akan melangkah, yang jelas ia harus keluar dulu dari gubuk kecilnya bersama sang ibu, yang lebih mirip sarang berang-berang.

Langkahnya menyusuri gang sempit diantara megahnya jalanan ibukota, sesekali ia tersenyum miring setengah mencibir tatkala melihat spanduk, baligho dan poster caleg yang ingin melenggang ke Senayan. Baginya siapapun nanti yang terpilih sama saja, hidupnya tak akan semudah Dilan mengucapkan kata gombalannya pada Milea, tak akan langsung membuatnya kaya raya mirip keluarga Beckham.

Kulit mulusnya tersapu debu dan angin jalan, tapi ia sudah biasa. Ia menyetop kopaja, berdesakan dan berpegal-pegal ria dengan sejuta aroma adalah makanannya sehari-hari, membuat betis perempuannya jauh dari kata jenjang nan mungil, mungkin lebih tepatnya betis singkong.

Perusahaan, Cv sampai lubang semut pun ia datangi, tapi selalu mereka menjawab tak ada lowongan pekerjaan.

"Bang es dawet satu!" Fara mengipasi wajah cantiknya yang memerah dan lusuh karena debu dan keringat. Semangatnya kian menciut jadi sebesar kismis.

Hanya sebuah pohon besarlah tempat ia beristirahat ditemani kang dawet, di waktu yang sudah tergelincir ke sore. Ia ragu untuk pulang, sudah dapat dipastikan ibunya akan kembali mengomel.

"Apa gua kasbon dulu ke Rio ya? Paling engga bawain martabak gitu buat 'nyak?!" gumamnya sendiri.

"Berapa bang?" tanya Fara.

Si pria bertopi merah machester ini kemudian menjawab, "goceng aja neng," lembaran sisa-sisa kehidupan dompet Fara ia keluarkan, lalu bergegas menuju tempat temannya Rio, karena hari sudah mulai gelap. Bagaimana pun 'nyak adalah ibunya, perempuan itu walaupun sering mengomel sadis tapi selalu mengkhawatirkannya.

"Yo!" senyumnya lebar nan manis.

Wajah Rio menatap malas, jika memasang tampang calon anggota legislatif lagi foto shot begini, sudah pasti jawabannya adalah money. Rio bukan tak tau sobatnya sejak di bangku kuliah ini, bahkan sudah tau dalam-dalamnya Fara.

"Apa? Jangan bilang lu mau kasbon?!" cebiknya malas.

"Ayo dong yo, lu kan tau 'nyak gua?!" mata berkaca-kaca sebening tetesan embun di kaca spion, jurus jitu marimar minta warisan sama fernando.

"Ya udah, gua anggap ini dp kerjaan lu ya?!" balas Rio, membuat senyuman Fara semakin mengembang, tak ada senyuman manis mengalahkan senyuman Fara, bahkan senyuman model pasta gigi saja kalah telak sama Fara yang kasbonnya di acc. Ada hati yang iba di hati Rio melihatnya, kehidupan Fara tidaklah mudah. Jujur, ia menyukai sahabatnya itu, Fara memang begitu, tapi di balik itu semua Fara adalah gadis pintar dan terbilang mahir sebagai creative grafis, ia juga baik meskipun nyablak, ia gadis berani, dan segala yang ada di dirinya adalah magnet tersendiri untuk lelaki. Pernah sekali ia mengungkapkan perasaannya tapi Fara hanya menganggap itu sebuah lelucon.

Rio mengambil lembaran merah, tak banyak..tapi bagi seorang Fara cukup untuk menyumpal mulut ibunya untuk seminggu, setidaknya ada waktu untuknya mempersiapkan diri, mental dan fisik, telinga khususnya. Menghadapi kembali amukan Gargantuar di rumahnya.

"Heemmmm!" ia menciumi aroma uang yang diberikan Rio.

"Wangi duit kasbon emang beda, bau balsem!" selorohnya.

"Si*alan," desis Rio.

"Ya udah kalo gitu, gua balik yo!" pamitnya.

Malam telah seluruhnya menyelimuti langit ibukota, perwira yang baru saja tiba, belum sempat membeli perabotan baru lagi, hari ini ia disibukkan dengan sambutan dari rekan dan atasan.

Sekuat-kuatnya tentara, tetap saja tak akan kuat menahan perut yang sudah bertabuh minta diisi.

Tadi sore Yohanes mengantarkan motor inventaris bilamana sang perwira akan mencari sesuatu diluar markas dan kompleks.

Al Fath memakai jaket hijau kebanggannya lalu menyalakan motor, ia keluar dari markas mencari makan malam.

.

.

.

Note :

*Gargantuar : monster besar nan seram.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!