Sawah yang terlihat membentang sejauh mata memandang. padinya yang masih hijau, bak Permadani yang dihamparkan. membuat siapa saja orang akan betah melihat pemandangan indah seperti itu.
Terlihat ada seorang pria paruh baya, umurnya kira-kira sekitar 40 tahunan. Dia sedang berdiri memperhatikan sawahnya, yang tinggal satu petak karena habis dijual, untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Yang beberapa tahun terakhir mengalami kebangkrutan.
"Kalau melihat padi sebagus ini, rasanya sangat menyesal sudah menjual sawah-sawahku." Desis mbah Abun sambil menarik nafas menyembunyikan penyesalannya.
Kemudian Mbah Abun berjalan menuju ke Saung sawah, matahari yang sudah mulai terik, membuatnya tidak kuat berdiam lama di bawah sinarnya.
Dari kejauhan terlihat ada seorang pria, yang membawa lamit ikan serta ember. sedang mengambil keong untuk pakan bebeknya. pria itu terus berjalan sambil terus mencari keong keong yang berserakan di pinggir sawah. sampai akhirnya dia tiba ke Saung Bah Abun.
"Rajin amat! Jang Zuhri." sapa Mbah Abun basa-basi, begitulah, kebiasaan warga Kampung, mereka akan selalu menyapa orang yang mereka kenal. Bahkan sampai orang tidak kenal pun mereka pasti akan sapa.
"Iya bah! lumayan telurnya bisa dijual, dan kalau sudah tidak produktif dagingnya juga bisa dijual." jawab Zuhri sambil terus mengambil keong, yang ada di pinggir sawah Mbah Abun.
"Emang berapa harga telur bebek sekarang?" tanya Mbah Abun yang mulai penasaran.
"Rp200-an bah. tapi kalau sudah masuk toko biasanya Rp400an bahkan bisa Rp500. kalau sudah di buat telur asin." jelas Zuhri.
"Wah, lumayan ya! sekarang punya bebeknya berapa?"
"200 ekoran Mbah, tapi saya mau jual sebagian, kalau kebanyakan saya keteteran mengurusnya. dan saya lagi butuh uang, untuk sekolah si bungsu." jelas Zuhri sambil mendekati bah abun, kemudian masuk ke dalam saungnya. Mungkin dia juga merasa nggak kuat dengan terik matahari yang begitu panas.
"Berapa ekor bebek yang mau dijual?"
"Sekitar tiga puluh atau lima puluh ekor, mbah." Jawab Zuhri yang mengipas-ngifas tubuhnya dengan topi bambu miliknya.
Mendengar penjelasan zuhri. Mbah Abun pun mengerutkan dahi. otaknya yang seorang pengusaha, dia seolah melihat kesempatan bisnis ada di sana. Dia tidak menyia-nyiakan kesempatan itu.
"Mau dilepas, diharga berapa?" tanya Mbah Abun.
"Kalau diambil 50 ekor, saya akan jual Rp250.000. Mbah!"
"Berarti satu ekornya 5000-an ya, Jang?" tanya Mbah Abun memastikan.
"Iya bah! emang pasarannya segitu."
"Bagaimana kalau Abah beli bebek yang mau dijual. Tapi harganya jangan segitu! Abah juga kan buat dijual lagi."
"Udah pas, bah! kalau saya jual kurang dari Rp250.000 nanti saya rugi."
"Namanya juga diborong Jang! harganya harus kurang lah." tawar Bah Abun.
Zuhri pun terdiam sesaat, seolah Lagi berpikir. menimbang tawaran dari Mbah Abun.
"Emang Abah nawar berapa?" Ujar Zuhri setelah mendapat keputusan.
"Rp175.000. 50 ekor." Mbah Abun memberikan tawaran
"Ya jangan segitu lah, bah! itu mah bukan membeli tapi ngerampok." jelas Zuhri.
"Ya kan baru nawar pertama Jang. Lagian kalau usahakan ingin modal serendah mungkin dan untung semaksimal mungkin. sekarang Jang Zuhri mau turun berapa?" ujar Bah Abun sambil tersenyum untuk mencairkan suasana.
"Rp225.000 Mbah!"
"Waduh masih kemahalan, Jang! Bagaimana kalau kita ambil jalan tengah." saran Mbah Abun.
"Jalan Tengah Bagaimana Mbah?:
"Iya, Jalan Tengah! Abah naik Rp25.000, Ujang turun Rp25.000. jadi kita bertemu di tengah-tengah!" jelas Bah Abun.
Zuhri pun terdiam kembali, dia berpikir sebelum mengambil keputusan. Setelah lama terdiam Akhirnya dia pun memutuskan.
"Baik Mbah! tapi uangnya harus sekarang."
"Iya! iya! Abah tidak akan berhutang. tapi Abah minta keringanan sedikit, karena uang Abah hanya ada Rp175.000. nanti setelah bebeknya Abah jual ke kota, Baru Abah lunasi. bagaimana?" jawab Mbah Abun.
"Ya sudah! nanti kalau abah Sudah nggak sibuk, Abah lihat bebeknya terlebih dahulu. baru kita putuskan." saran Zuhri yang tidak mau gegabah mengambil keputusan.
"Baik! kalau begitu nanti sore Abah datang ke rumah Jang Zuhri sambil membawa uangnya."
Akhirnya pembicaraan itu selesai, zuhri terus melanjutkan aktivitasnya yang sedang mengambil keong untuk pakan bebeknya. sedangkan Mbak Abun, setelah selesai membetulkan air sawah. dia pun kembali ke rumahnya.
"Dari mana saja, Abah!" tanya ambu Yayah menyambut kedatangan suaminya.
"Biasa Ambu! habis ngecek air di sawah. sayang ya, usaha kita turun. sampai-sampai sawah yang begitu luas, sekarang sudah menjadi milik orang lain." jelas Mbah Abun sambil mendudukkan tubuhnya menyandar ke daun pintu, sambil mengipasi dadanya yang terbuka dengan topi koboi miliknya.
"Iya! kapan ya? kita kembali seperti dulu, hidup serba berkecukupan." Timpal Ambu Yayah sambil mengulang kembali khayalannya, ke masa-masa Jaya mereka.
"Sabar, ambu! nanti suatu saat kalau udah waktunya, kita akan kembali seperti dulu. Oh iya, uang tabungan kita masih ada kan?" tanya Mbah Abun, mulai membahas niatnya yang hendak menjadi bandar ternak kecil-kecilan.
"Ada, tapi itu uang hanya segitu-gitunya. emang kenapa?" Ambu Yayah balik bertanya, sambil menatap suaminya.
"Begini ambu! abah mau mulai usaha lagi, siapa tahu saja masih ada sisa-sisa kejayaan Abah di masa lampau." jawab Mbah Abun.
"Mau usaha apa? emang Abah Nggak kapok. usaha terus tapi selalu gagal." ujar Abu Yayah, dengan nada pelan Mungkin dia merasa kasihan kepada suaminya, yang selalu di Tiban kerugian terus-menerus.
"Nggak! Abah nggak akan kapok. Abah yakin suatu saat Abah akan kembali sukses." ujar Mbah Abun yang selalu memiliki sifat optimis yang tinggi dan pantang menyerah.
"Iya sekarang mau usaha apa lagi, kalau Ambu sebagai seorang istri, hanya bisa mendoakan agar suaminya bisa menghidupi keluarganya. bisa menjadi tulang punggung keluarganya." kata Abu Yayah yang sudah tahu dengan sifat suaminya.
"Nah, begitu! Istri itu harus mendoakan suaminya, agar bisa sukses. Kalau abah sukses Ambu juga yang akan senang. Abah, sekarang mau membeli bebek jang Zuhri, nanti Abah akan jual ke kota." Mbah Abun mulai menjelaskan tujuan usahanya, yang hendak menjadi Bandar hewan ternak kecil-kecilan.
"Emang butuh uang berapa?" Tanya Abu Yayah sambil menatap penasaran ke arah suaminya.
"Rp175.000, ambu."
"Itu kan! Jumlah tabungan uang kita semuanya. Terus bagaimana kalau nanti usaha Abah gagal lagi? kita nggak punya pegangan uang lagi." jawab Abu Yayah seolah tidak setuju dengan apa yang direncanakan oleh Mbah Abun.
"Namanya juga usaha! harus ada pengorbanan ambu. Dan harus berani mengambil resiko. Tenang saja, kalaupun usaha kita mandet, kita kan masih punya bebeknya yang bisa bertelur setiap hari. selain telur itu bisa kita makan, Kita juga bisa menjual terus itu." Jelas Mbah Abun yang pemikirannya selangkah lebih maju dari istrinya.
"Ya sudah! tapi hati-hati ya, jangan sampai rugi lagi!" hanya kata itu yang diucapkan oleh istrinya, seolah pasrah dengan semua keadaan yang akan menimpanya.
"Oh iya, si Nyai sekarang ada di mana?" Mbah Abun menanyakan anak semata wayangnya, yang nampak tak terlihat.
"Biasa dia terus mengurung diri di kamar, kasihan dia! Mungkin dia malu karena memiliki orang tua yang Jatuh Miskin seperti sekarang." jelas Ambu Yayah terlihat matanya yang mengembun, mengisyaratkan kekhawatiran yang begitu mendalam.
"Ya sudah! doakan Abah bisa sukses lagi, agar kehidupan kita bisa naik lagi! dan orang-orang bisa menghormati kita." Jelas Mbah Abun sambil menarik nafas dalam.
Sore hari, seperti yang sudah direncanakan. Mbah Abun datang ke rumah zuhri, untuk melanjutkan pembahasan tadi siang di sawah.
"Mana bebek, yang mau dijual Jang?" tanya Mbah Abun setelah sampai di rumah zuhri.
Dengan cepat Zuhri pun mengajak bah Abun untuk pergi ke samping rumahnya, untuk melihat bebek-bebek yang dipelihara oleh Zuhri. bebek-bebek yang terawat, terlihat tubuhnya sangat gemuk, sehingga kalau dijual ke kota harganya akan lebih dari Rp5.000.
"Ini Mbah! Bebek-bebek. yang mau dijual." ujar Zuhri sambil menunjukkan bebek-bebek terbaik miliknya, yang sengaja sudah ia Pisahkan. mungkin sebagai tetangga yang baik, dia tidak ingin merugikan tetangganya.
Setelah memperhatikan dan menimbang, Mbah Abun pun mengambil keputusan. dia membayar bebek-bebek Zuhri sesuai dengan apa yang disepakati tadi siang.
Keesokan paginya. pagi-pagi sekali, Mbah Abun sudah siap dengan berpakaian rapi, Dia memakai baju kampret abu, serta celana pangsi hitam, tak lupa kepalanya ditutupi dengan topi koboi kebanggaannya.
"Hati-hati! di jalan Abah!" Ujar Ambu Yayah, sebelum suaminya berangkat.
"Iya, ambu! terima kasih! Abah berangkat dulu. doakan agar Abah usahanya lancar dan membawa hasil yang begitu banyak." jawab Mbah Abun, sambil mengecek kembali pakaian yang dia kenakan di depan kaca lemari.
Setelah dirasa pakaiannya sempurna, tidak ada yang kurang. Mbah Abun pun berpamitan sama istrinya. kemudian Iya turun dari rumah panggung miliknya. Meski keadaan masih pagi buta, itu tidak menyurutkan niat Bah Abun, yang ingin menafkahi istrinya, membahagiakan keluarga kecilnya. Dia terus berjalan pergi ke rumah Zuhri, untuk mengambil bebek yang kemarin sudah dia bayar.
Setelah sampai di rumah zuhri Mbah Abun pun, dengan giat Dia memasukkan bebek-bebek ke wadah yang terbuat dari bambu. namun setelah dia coba mengangkatnya ternyata bebek yang 50 ekor itu tidak terbawa semua. kemudian dia menghampiri Zuhri, yang sejak dari tadi sedang sibuk ngasih makan hewan ternaknya.
"Abah kayaknya hanya kebawa 35 ekor, jang! Abah nitip dulu sisanya di sini." Ujar Mbah Abun sambil mengelap keringat yang membasahi dahinya.
"Iya bah! nggak apa-apa! nanti saya kasih pakan." jawab zuhri yang menyanggupi permintaan Bah Abun, Mungkin dia merasa kasihan sama tetangganya itu.
Setelah selesai menitipkan sisa bebek yang tidak terbawa, bah abun pun berpamitan untuk segera pergi menuju ke kota. menurutnya, kalau kesiangan nanti orang-orang sudah pulang dari tempat belanjanya.
Setelah semuanya dirasa selesai. Mbah Abun terus berjalan, menyusuri Jalan Setapak. sambil memikul bebek. Jalan setapak yang nantinya akan tembus ke jalan raya. keringat yang bercucuran membasahi seluruh bajunya, tak menyurutkan niat bah abun yang begitu kuat. sehingga perjalanan yang jauh, dia tidak hiraukan. Lama berjalan dengan penuh perjuangan, akhirnya dia sampai ke Jalan Raya. setelah berada di Jalan Raya, dia mengacungkan tangan untuk menghentikan mobil angkutan umum, agar cepat sampai ke kota.
Beruntung di perjalanan tidak ada gangguan sama sekali, sampai akhirnya Bah Abun sampai di tempat yang iya tuju. Setelah turun dari mobil dan membayar ongkosnya, dia pun memikul keranjang yang berisi bebek, menuju salah satu tempat yang menerima hewan ternak.
"Mau dijual berapa ini, bah?" tanya pria yang duduk di belakang meja menatap ke arah bah abun.
"Rp300.000, jang!" jawab Bah Abun.
"Lah! kalau harga segitu, saya nanti jual berapa?" ujar pria itu sambil menatap ke arah Bah Abun.
"10 ribuan!" jawab Mbah Abun dengan wajah datar.
"Iya mending kalau sekaligus laku. Kalau nggak, saya harus mengurusnya, membeli pakannya, bah!"
"Hehehe. Kayak nggak kenal sama abah saja, Itu kan keinginan penjual. silakan mau nawar berapa?" ujar Bah Abun sambil tersenyum, karena dia sudah sangat mengenal orang yang pembeli hewan ternak itu.
"Bagaimana kalau saya beli semuanya Rp200.000." tawar pengepul hewan ternak.
"Jangan segitu lah! Abah kalau dijual segitu, nanti Abah rugi!" kelak bah Abun memberikan alasan klasik sebagai penjual.
"Terus habisnya berapa?" Tanya Bandar pasar sambil memicingkan mata ke arah bah abun.
"Rp240.000!"
"Ini tawaran terakhir ya, mbah! saya bayar 220, kalau abah tidak berani menjual dengan harga segitu, silahkan bawa ke tempat lain." pria itu memberi keputusan sehingga membuat Bah Abun terdiam seolah berpikir.
"Kalau bukan sama langganan, Abah nggak akan jual harga segitu. soalnya untungnya tipis banget! tapi ya nggak apa-apa! Biar kita jadi langganan." ujar Mbah Abun seolah mengalah. padahal dengan harga segitu, dia sudah mendapatkan untung yang sangat banyak. selain uangnya sudah lebih dari pembelian. dia juga masih punya tabungan 15 bebek yang belum ia bawa.
Akhirnya setelah mendapat keputusan, pria pengepul hewan ternak pun, mengeluarkan uang sesuai yang ia tawarkan. setelah menerima pembayaran dari penjualan bebek-bebeknya. Mbah Abun pun berpamitan dan berjanji akan datang kembali, dengan membawa berbagai hewan ternak lainnya.
Setelah keluar dari tempat pembelian hewan ternak. Mbak Abun terus berjalan menuju ke pasar. setelah berada di pasar. Dia mulai membeli kebutuhan buat di rumahnya, mulai dari membeli ikan asin, terasi, serta kebutuhan-kebutuhan dapur lainnya. tak lupa dia juga membeli tembakau Molek kesukaannya.
Setelah selesai berbelanja, bah Abun pun kembali pulang ke rumahnya. dengan membawa hati yang sangat bahagia, karena dia mendapatkan untung yang berlimpah, Dari hasil penjualan bebek-bebek zuhri.
"Kalau begini terus, bisa-bisa aku cepat kembali ke kejayaanku." ujar Bah Abun dalam hati.
Pukul 02.00 siang, Mbah Abun sudah sampai ke rumahnya. Dengan cepat ia memasuki rumah panggung yang terbuat dari kayu. Namun meski rumah kayu, rumah bah abun termasuk salah satu rumah terbesar yang ada di kampungnya.
Ambu Yayah, yang melihat kedatangan Mbah Abun, dengan Sigap menyambut suaminya. Dia menyiapkan air teh serta singkong rebus, Yang dia ambil dari samping rumahnya. Abu Yayah tidak banyak bertanya terlebih dahulu, mungkin dia sangat paham dengan kondisi Mbah Abun, yang masih terlihat capek, sehabis perjalanan jauh.
"Kita ke Tiban Durian Runtuh, ambu!" ujar Mbah Abun setelah keringatnya mulai surut, dia mulai mengawali pembicaraan.
"Durian Runtuh bagaimana, Abaaah? kita kan sudah gak punya tanah, Yang ada pohon duriannya." Tanya Abu Yayah sambil mengerutkan dahinya, Mungkin dia merasa bingung dengan apa yang diucapkan oleh suaminya.
"Kamu tuh Kurang gaul, Ambuu! itu peribahasa orang kota. Artinya kita dapat untung besar." jelas Mbah Abun, sambil menatap lekat ke arah istrinya.
"Untung besar bagaimana, Abah kan belum cerita. Bagaimana usahanya lancar, terus yang di plastik itu apa?" Ambu Yayah memberondong Mbah Abun dengan banyak pertanyaan.
"Berkah, ambu! Bebek dari Jang zuhri, Abah belum bawa semuanya.,Masih ada 15 ekor lagi. Abah Tadi hanya kuat memikul 35 ekor. namun dengan bebek segitu, Abah sudah mendapat untung. bebek yang dibeli dari Jang juri seharga Rp200.000, hanya dengan 35 ekor uang itu sudah kembali. bahkan lebih Rp20.000. Ditambah bebek yang belum Abah bawa." jelas Bah Abun panjang kali lebar, dengan raut wajah sumringah, merasa bahagia dengan apa yang menimpanya.
"Ya Allah, Abah! Syukurlah kalau begitu, semoga usaha Abah selalu dalam kelancaran, dengan hasil yang melimpah." Timpal Ambu Yayah yang ikut senang dengan keberhasilan suaminya.
"Oh iya! Abah tadi beli kebutuhan dapur, sekarang kamu masak yang enak! kita rayakan keberhasilan kita." jelas Mbah Abun, sambil memberikan kantong plastik yang berisi belanjaan.
Ambu Yayah pun dengan tersenyum menerima plastik itu, kemudian dia menyimpannya ke dapur. sekembali dari dapur terlihat Bah Abun sedang menghitung uangnya.
"Nih! uang ambu, simpan lagi! Nanti kalau Abah butuh dan ada orang yang menjual hewan ternak, Abah pinjam lagi. dan yang ini buat bayar sisa uang yang kurang ke jang zuhri." ujar Bah Abun sambil memberikan uang yang sudah ia hitung, kepada istrinya. dan memasukkan uang buat bayar hutang ke dalam kantong celananya.
Sore hari setelah selesai mandi, Mbah Abun pun sudah berangkat ke rumah zuhri, untuk membayar sisa Uang yang kemarin belum lunas. sambil mencari orang-orang yang hendak menjual hewan ternaknya.
Beruntung Karena setelah dicari, Ternyata banyak orang-orang yang hendak menjual hewan ternaknya. karena biasanya para petani, mereka akan sayang memakan hewan peliharaannya, Berbeda kalau sudah jadi uang. Dengan cepat bah abun pun membeli hewan ternak para warga, sehingga dia memiliki tambahan untuk menjual bebek-bebek Zuhri yang tadi pagi tak terbawa.
Keesokan paginya Mbah Abun pun sudah siap berangkat kembali ke kota. membawa bebek-bebek Zuhri yang kemarin tidak terbawa, ditambah dengan hewan ternak yang kemarin sore Mbah Abun beli daripara warga.
Begitulah kehidupan Mbah Abun setiap hari, sorenya dia mencari hewan ternak yang dijual dari para warga. paginya dia pergi ke kota untuk menjual hewan ternak itu, sehingga lama-kelamaan Mbah Abun pun mulai terkenal kembali, sebagai Bandar Hewan ternak kampung. sehingga banyak orang yang menghubunginya, ketika mereka mau menjual hewan ternaknya. Bah Abun tidak harus repot berkeliling, mencari hewan yang hendak dijual.
Dengan kegigihan yang dimiliki oleh bah Abun, kehidupannya mulai berangsur-angsur membaik. uangnya semakin bertambah. Mbah abun yang awalnya hanya Bandar hewan ternak berkaki dua ,akhirnya mulai meningkat ke hewan ternak berkaki empat, meski hanya baru menjadi bandar domba.
Mbah Abun perlahan mulai menata kembali kehidupan keluarga yang sudah hancur. dia sudah bisa membahagiakan kembali anak istrinya, dengan membelikan mereka berdua baju baru. bahkan ditambah dengan perhiasan yang melingkar di jari manis kedua wanita yang iya selalu sayangi, wanita yang selalu menjadi penyemangat, agar dia lebih giat dalam meningkatkan taraf kehidupannya.
Sore itu. mereka sekeluarga, berkumpul di ruang tengah. sambil ditemani oleh cemilan, yang dibeli Mbah Abun dari pasar.
"Ambu! besok Abah nggak ke kota, soalnya Abah gak punya hewan ternak yang harus dijual. mungkin para peternak di kampung Ciandam, hewan ternak mereka sudah habis dibeli oleh Abah." Ujar Mbah Abun membuka obrolan di sore itu.
"Yah! Gak apa apa, Abah! harusnya Abah senang, karena Abah bisa beristirahat terlebih dahulu. Jangan diforsir terus nanti abah sakit! Abah sekarang sudah tidak muda lagi." Tanggap istrinya yang selalu lemah lembut ketika berbicara dengan suaminya.
"Iya Mbah! Ranti kasihan kalau melihat Abah banting tulang seperti itu." Timpal anaknya yang bernama Ranti, dia senang orang tuanya bisa kembali punya usaha, namun dia juga sangat mengkhawatirkan kondisi Abahnya yang sudah tidak muda lagi.
"Ah! kalian berdua, sangat kompak kalau meledek Abah. Gini-gini juga Abah belum terlalu tua! umur Abah saja baru 42 tahun. Abah terlihat tua karena orang-orang suka memanggil Abah, dengan sebutan itu." Sanggah Bah Abun sambil menghisap tembakau yang ada di dalam pipa.
"Iya! Walau begitu, Abah harus tetap jaga kesehatan, nanti kalau abah sakit, Abah nggak bisa bekerja lagi." Timpal Ranti.
"Tenang! Abah kan, robot! Abah tidak akan sakit. Abah sakit ketika melihat kalian menderita, karena Abah tidak bisa menjadi tulang punggung yang baik. sekarang kalian berdua cukup doakan Abah! saja agar selalu sehat dan selalu diberikan rezeki yang melimpah. mumpung Abah masih kuat, bisa menafkahi kalian berdua, bisa membahagiakan kalian. sehingga kalian merasa bangga karena memiliki pria yang begitu bertanggung jawab."
"Amin! Walau Abah nggak minta kita berdua untuk mendoakan Abah, kita akan selalu mendoakan yang terbaik buat Abah. Pria yang sudah berani berkorban untuk menghidupi keluarganya." jawab Ambu Yayah sambil memasukkan kue kering ke mulutnya.
Akhirnya mereka bertiga pun mengobrol ngalor ngidul. perbawaan hati yang bahagia, sehingga obrolan itu sangat ceria. sehingga tak terasa azan maghrib di masjid terdengar berkumandang, Memberitahu agar orang-orang berhenti dari seluruh aktivitasnya, untuk menyembah sang penciptanya
sama seperti keluarga Mbah Abun, yang pergi ke air untuk mengambil air wudhu. meski mereka jarang melaksanakan salat, namun Kalau waktu magrib mereka akan tetap pergi ke air.
*****
Truk! truk! truk!
"Assalamualaikum!" terdengar ada seseorang yang mengetuk pintu rumah mbah Abun sambil mengucapkan salam.
"Siapa ya, bah? malam-malam seperti ini. Kok dia bertamu." tanya Ambu Yayah sambil menatap ke arah suaminya yang terlihat remang-remang, karena di kamar mereka tidak ada lampu penerangan.
"Siapa?" tanya Mbah Abun sambil berteriak dari dalam kamar, agar terdengar oleh orang yang berada di luar.
"Zuhri, bah!" jawab seseorang dari luar rumah.
"Bentar, Jang! Abah buka pintunya." ujar Mbah Abun sambil bangkit dari tempat tidurnya, kemudian ia berjalan menuju ke ruang tamu untuk membuka pintu rumahnya.
"Aduh! Masa jam segini udah masuk kamar aja, Mbah?" ujar Juhri setelah Mbah Abun membukakan pintu.
"Maklum Jang, Abah capek. pagi-pagi harus ke kota, sorenya harus mencari hewan ternak." jawab Mbak Abun sambil mempersilahkan Zuhri masuk ke dalam rumahnya. Kemudian mereka pun duduk di tiker yang terbuat dari daun pandan.
"Maaf, Mbah, kalau kedatangan saya mengganggu waktu istirahat Abah. Kalau tidak ada urusan penting, saya nggak mungkin datang ke rumah abah." ujar zuhri yang merasa tidak enak, karena sudah mengganggu waktu istirahat Mbah Abun.
"Nggak apa-apa, Jang! Lagian Abah masuk ke kamar belum tidur, kok! hanya mengistirahatkan tubuh saja, setelah seharian bekerja. Oh ya! hal penting apa? sehingga Ujang datang ke rumah abah." tanya Mbah Abun sambil membuka dompet tembakaunya, kemudian dia mengisi pipanya dengan tembakau, lalu membakarnya.
"Begini Bah! Mang Juju! Seperti yang kita ketahui bahwa dia memelihara kerbau."
"Terus?" tanya Mbah Abun yang terlihat tidak sabar.
"Jadi begini, Bah! si pelen, kerbau bulenya itu mau dijual. menurut saya, mending Abah beli! mumpung dia Kepepet butuh uang, buat membayar hutang." ujar Zuhri menyampaikan maksud tujuannya, datang menemui Mbah Abun.
"Oh begitu! Tapi kalau buat beli kerbau, uang Abah Nggak cukup Jang!"
"Tenang Bah! saya datang ke sini bukan tanpa solusi. Saya tahu untuk sekarang Abah belum punya uang sebanyak itu. namun Mang Juju memberikan keringanan, kalau abah minat. Abah boleh membayar sebagian terlebih dahulu, sisanya baru nanti di bayar setelah kerbau itu laku terjual." Jelas Zuhri.
Mendapat keterangan seperti itu, Mbah Abun terdiam beberapa Saat. seolah dia lagi berpikir menimbang baik dan buruknya, dia tidak mau gegabah dalam mengambil keputusan.
"Kalau menurut saya, mendingan Abah ambil tuh kebo! lumayan kan Kalau bisnis hewan besar, nanti untungnya juga lebih besar!" Zuhri meyakinkan Mbah Abun, Mungkin dia ingin melihat kembali tetangganya yang sukses.
"Emang katanya, Mau dilepas berapa Jang?" tanya Mbah Abun yang mulai tertarik, Karena setelah dipikir-pikir. benar apa yang dikatakan oleh Zuhri, Ini kesempatan terbaik untuk terus maju.
"Menurut Mang Juju! katanya dia ingin menjual kerbaunya di harga Rp1.500.000." Jawab Zuhri menjelaskan.
"Iya, Jang! kalau harganya segitu, jujur! Abah nggak punya."
"Itu kan harga masih bisa ditawar, Bah! Kalau menurut orang kota, itu harga nego, belum final. siapa tahu aja kalau langsung Abah datangin ke orangnya langsung. Harga kebo itu bisa turun!" ujar Zuhri terus meyakinkan.
"Ya sudah! begini aja, Jang! besok, pagi-pagi antar Abah ke rumah Mang Juju! kita cek dulu kerbaunya Seperti apa, Siapa tahu aja benar apa yang diucapkan oleh Ujang, dia mau dibayar setengahnya terlebih dahulu." ucap Bah Abun memberi keputusan.
"Nah begitu dong! itu baru namanya pengusaha, yang tidak takut ketika menentukan pilihan, untuk kemajuan kehidupannya!" Timpal Zuhri sambil tersenyum, Mungkin dia merasa bahagia, karena usaha meyakinkan Mbah Abun berhasil.
"Ya sudah! antar Abah besok ya!" Mbah Abun mengulangi permintaannya.
"Siap, Mbah!"
"Ngomong-ngomong Maaf belum dikasih air minum. kasihkan ngobrol, sampai lupa menjamu tamunya." Ujar Mbah Abun yang baru sadar, dia belum memberikan jamuan terhadap tamunya. dia pun berdiri hendak pergi ke dapur untuk mengambil air minum.
"Nggak usah repot-repot, bah! saya nggak lama kok! saya hanya menyampaikan itu saja. Ya sudah, saya pamit dulu. silakan dilanjut istirahatnya." ujar Juhri sambil bangkit, kemudian dia mengeluarkan tangan mengajak Mbah Abun bersalaman.
"Buru-buru! amat, Jang! kan minumnya juga belum diambil."
"Sudah! nggak usah. kasihan istri nunggu di rumah, hanya ditemani anak-anak." ujar Zuhri sambil membuka pintu rumah mbah Abun, kemudian dia pun keluar, lalu pergi menembus kegelapan malam, diantar oleh tatapan Mbah Abun.
Setelah Zuhri tidak terlihat lagi, dengan cepat Mbah Abun pun menutup pintu. karena lampu damarnya yang ada di dalam, tersiok-seok terkena angin dari luar.
Ceklek!
Tak lupa Mbak Abun mengunci pintunya, kemudian ia berjalan menuju kembali ke kamarnya.
"Siapa Abah!" tanya Ambu Yayah yang belum tidur.
"Jang Zuhri, dia mau menawarkan kerbau Mang Juju." Jelas Bah Abun.
"Terus abah mau?" tanya Ambu Yayah sambil bangkit dari tempat tidurnya, kemudian ia duduk di tepi ranjang.
"Besok abah mau lihat kerbaunya terlebih dahulu. Lagian kalau untuk beli kerbau, uang kita kan belum cukup, mbu. tapi ada berita baiknya, karena menurut yang Zuhri. Mang Juju bersedia untuk dihutang terlebih dahulu, sampai Abah menjualnya ke kota." Bah Abun menjelaskan apa yang tadi dia obrolkan dengan tamunya.
"Emang mau dijual berapa?" Tanya Ambu Yayah mulai tertarik.
"Rp1.500.000!" jawab Mbah Abun singkat.
"Walah! kalau harganya segitu, benar kita tidak akan sanggup membelinya. Uang tabungan kita hanya Rp800.000, tapi Semoga aja bener apa yang dikatakan Jang Zuhri, Mang Juju mau dihutang terlebih dahulu, sampai kerbaunya laku terjual.
"Jadi kamu setuju, Ambu? kalau abah beli kerbaunya Mang Juju." tanya Mbah Abun.
"Dari dulu juga, Ambu nggak pernah tidak setuju dengan apa yang hendak Abah lakukan. yang terpenting Abah tetap hati-hati! jangan sampai rugi." saran Abu Yayah yang selalu menyupot semua usaha suaminya.
Setelah mengobrol sebentar, akhirnya mereka pun naik ke atas ranjang, lalu menutupnya dengan sarung sebagai pelindung dari Hawa dingin.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!