Sorak sorai terdengar dari kejauhan di sebuah tanah lapang di kota Lykort, kota yang cukup luas indah. Banyak terdapat hutan rimbun dan tanah yang subur. Suara sorak itu semakin keras setelah satu orang maju ke depan lalu satu orang lagi dengan keterpaksaan, ikut maju ke depan. Kedua orang itu saling pandang dan menyeringai sinis.
"Ayo!!" beberapa teriakan menyemangati salah satu orang yang ada di depan.
Kei Lyroso, seorang remaja enam belas tahun yang telah maju di tengah orang-orang yang telah membuat lingkaran di sekitarnya. Dihadapannya sudah ada Cayden Heron yang juga telah berdiri di tengah orang-orang itu.
"Bagaimana Kei? apa kamu ingin bertarung denganku atau kamu akan pulang dan jadilah pengecut selamanya." ejek Cayden.
Kei tidak balas mengejek. Dia hanya diam menatap dingin Cayden yang tertawa mengejek bersama teman-temanya.
"Oh lihatlah dia. Sepertinya dia marah." ejek Cayden lagi. Semua teman-teman mereka mulai tertawa keras.
"Hentikan semua ini dan kembalikan bukuku Cayden." sahut Kei akhirnya.
"Ahhh... buku rongsokan ini?" Cayden mengacungkan sebuah buku di tangannya. "Apa kamu mau buku ini? ambil kalau begitu. Tapi kamu harus melawanku dulu, anak pengecut."
Kei kembali diam. Dia tahu Cayden tidak akan mengembalikan buku itu dengan mudah tapi dia ingin buku itu kembali, buku peninggalan kakaknya. Dia berpikir keras bagaimana dia bisa mendapatkan buku itu tanpa harus melawan Cayden. Kei menarik kuat nafasnya dan menutup matanya.
"Oh lihatlah, sepertinya dia sedang berdoa." ejek Cayden lagi disambut tertawa teman-temannya. "Berdoalah agar kau tetap utuh saat kita bertarung nanti. Baiklah kalau begitu."
Cayden membuka baju yang di kenakannya dan memperlihatkan ototnya yang keras dan terbentuk. Untuk anak usia enam belas tahun, mempunyai bentuk tubuh seperti Cayden merupakan hal yang luar biasa. Cayden meregangkan tangan dan kakinya, kemudian lehernya.
"Kau siap Kei?" Cayden menyeringai senang dan segera berubah menjadi serigala yang sangat besar dan berbulu abu-abu yang lebat. Cayden melolong keras. Teman-teman Cayden bersorak gembira. Hanya Kei dan dua temannya yang diam membisu.
"Kei, apa kamu memang ingin bertarung dengannya? apa kamu yakin?" bisik salah satu teman Kei, Tim. Kei tidak menjawab. Kei masih diam dan menutup matanya. Dia ingin tenang dan berkonsentrasi. Dia tidak ingin kesalahan yang pernah dibuatnya saat dia kecil terulang kembali.
"Aku tidak ingin bertarung Cayden." sahut Kei akhirnya dan menyerah untuk mendapatkan bukunya kembali. Kei membuka matanya. "Ayo kita pergi."
Kei dan kedua temannya, Tim dan Ruben, berbalik dan berjalan menjauhi Cayden. Cayden yang marah melompat tinggi dan mendarat tepat dihadapan Kei. Tim dan Ruben terkejut dan langsung berdiri dibelakang Kei. Cayden menggeram marah. Air liurnya keluar dari mulutnya. Kei hanya menatap Cayden dingin dan tanpa rasa takut di wajahnya. Cayden merendahkan sedikit badannya, bersiap untuk menerjang Kei. Cayden menggeram lagi dan melompat ke arah Kei. Tim dan Ruben sudah menutupi kepala dengan tangan mereka. Kei bersiap untuk merubah dirinya saat Cayden masih di udara. Tepat sebelum Cayden menyentuh Kei, Cayden terhempas kesamping. Sudah ada manusia serigala yang lain disana. Serigala itu menggeram keras pada Cayden. Cayden langsung bangkit dan menggeram balik. Cayden tidak takut pada serigala yang menyerangnya. Cayden melompat dan menyerang serigala yang tubuhnya sedikit lebih besar darinya. Kedua serigala itu bertarung. Cayden melayangkan kukunya yang tajam ke tubuh serigala itu dan berusaha menggigitnya. Tapi serigala itu bukanlah lawan yang sebanding untuk Cayden. Serigala itu lebih kuat. Serigala berwarna coklat muda itu menghempas Cayden. Cayden bangkit dan mencoba menyerang lagi, tapi tetap saja masih tidak bisa mengalahkan serigala coklat itu. Kepala serigala itu menghempas Cayden dengan kuat. Cayden terbaring di tanah. Nafasnya terdengar kelelahan. Serigala coklat itu melompat dan sekarang berada di atas tubuh serigala Cayden yang lelah. Serigala coklat itu menggeram kasar.
"Jika kau berani mengganggu Kei lagi, akan aku cabik-cabik tubuh serigala kecilmu itu dan aku tidak perduli kau itu anak siapa." kata serigala itu dengan pikirannya.
Cayden mendengar suara pikiran Serigala coklat itu. Serigala itu melepaskan cengkramannya dan Cayden langsung berlari meninggalkan lapangan itu beserta semua teman-temannya. Serigala itu masih memandangi Cayden yang telah hilang dari pandangannya kemudian beralih pada Kei yang masih diam di tempatnya.
Serigala itu kemudian berubah menjadi sosok lelaki tampan berambut coklat dan sedikit panjang. Lelaki itu bertelanjang dada. Terlihat otot perutnya yang kekar. Dia berjalan menuju sebuah batu yang cukup besar di sisi lapangan lalu mendatangi Kei.
"Apa kau tidak apa-apa?" tanya lelaki itu sambil mengenakan kaosnya. Kei yang sudah mulai berjalan berhenti sejenak dan hanya memandangnya sekilas lalu langsung berlalu pergi. "Hei...!!"
Kei berjalan menjauh bersama Tim dan Ruben.
"Apa kau tidak bisa berjalan lebih pelan? kenapa jalanmu cepat sekali?" tanya lelaki itu yang telah menyusul Kei. Kei tidak menjawab lelaki itu dan tetap berjalan bahkan lebih cepat lagi. Bahkan kedua temannya kini telah tertinggal.
"Wah kamu benar-benar sangat cepat." puji lelaki itu. Tiba-tiba Kei berhenti dan menoleh.
"Apa kau bisa berhenti mengikutiku?" tanya Kei dingin. "Berhentilah mengikuti seperti anak anjing hilang."
"Ya tentu, saat kamu sampai di rumah dengan selamat, aku akan berhenti mengikutimu." kata lelaki itu. Kei menatapnya lebih kesal dari dia menatap Cayden.
"Kau sungguh sangat menyebalkan." Kei melanjutkan jalan cepatnya lagi.
"Yaahh aku sudah pernah dengar itu sebelumnya." kata lelaki itu yang masih mencoba mensejajarkan dirinya dengan Kei. "Hei, bukannya kau harusnya berterima kasih padaku? aku telah menolongmu."
"Aku tidak pernah memintamu untuk menolongku." jawab Kei dingin tanpa berhenti berjalan dan menoleh.
"Itu benar." lelaki itu mengangguk-anggukan kepalanya. "Tapi apa kamu bisa menghadapi anak manja itu?"
"Aku bisa mengatasinya."
"Dengan berdiam diri saat dia menyerangmu? aku rasa--"
"Aaarrggghhhh....!!!!" teriak Kei membuat lelaki itu dan kedua temannya yang berjalan agak jauh di belakangnya terkejut. "Tak bisakah kau diam?! Dan berhentilah mengikuti!!!"
"Kamu tahu aku tidak bisa meskipun aku menginginkannya. Jika kamu benar-benar menginginkanku pergi, mintalah kepada kedua orang tuamu."
Kei mendengus kesal pada lelaki dihadapannya. Dia begitu kesal karena lelaki dihadapannya ini selalu mencampuri urusannya membuat dia menjadi anak yang di asingkan oleh anak-anak yang lain dan di beri label pengecut. Terlebih, lelaki itu tidak pernah pergi dari sisinya, membuat dia tidak bisa bergerak bebas.
"Apa kamu marah?" tanya lelaki itu. Lelaki itu mengamati wajah Kei yang merah karena marah. Kei memalingkan wajahnya. Tiba-tiba laki-laki itu tersenyum lebar dan langsung mengalungkan tangan kanannya ke leher Kei.
"AAAKKHH...!!! lucunya! Saat kamu marah, kamu anak yang paling lucu yang pernah aku temui." kata laki-laki itu girang.
Kei berteriak dan meronta, mencoba melepaskan tangan lelaki itu. Tapi pegangan lelaki itu justru semakin kuat. Tangan kiri lelaki itu mengacak rambut hitam lebat Kei dan mencubit pipi Kei. Dia tidak perduli pada Kei yang sudah menjerit histeris, mengatakan sumpah serapah bahkan memukul-mukul tangannya. Ruben dan Tim tertawa geli. Tiba-tiba lelaki itu berhenti dan melihat ada dua orang gadis seumuran Kei berada di depan mereka.
"Hai, gadis-gadis..." sapa lelaki itu sambil mengacak-ngacak rambut Kei. Tangan kanannya masih dileher Kei. Kei dengan cepat melihat ke arah dua gadis yang telah terawa geli melihat Kei. Kei menundukkan kepalanya karena malu.
"Dia lucu kan?" tanya lelaki itu pada kedua gadis yang ada di hadapannya sambil mencubit pipi Kei gemas. Kedua gadis itu semakin tertawa geli dan berlalu dari mereka.
"Benarkan? mereka saja menganggapmu lucu dan menggemaskan." kata lelaki itu tanpa memperdulikan Kei yang sudah luar biasa malu.
Kei berhasil melepaskan tangan lelaki itu dan menjauh sedikit darinya. Dia memandang marah lelaki di depannya.
"Ayo kita berjalan lagi..." Lelaki itu menatap Kei kemudian dia mencondongkan wajahnya ke depan wajah Kei. "... Kei yang manis dan lucu."
Lelaki itu berlalu sambil tertawa senang. Tim dan Ruben melewati Kei dengan tertawa geli.
"IAAAAANNNNN....!!!!!!!" pekik Kei memanggil nama lelaki itu.
****
Kei turun dengan malas menuju ruang makan. Ibunya telah memanggilnya untuk makan malam. Tapi Kei tidak berselera malam ini. Dia tidak ingin makan malam dan hanya ingin berdiam di kamarnya. Tapi ibunya berjanji jika dia tidak turun untuk makan malam bersama, ibunya akan mengurungnya selama seminggu. Kei tidak ingin itu terjadi. Akhirnya Kei setuju untuk makan malam.
Di ruang makan sudah ada ayahnya, Oston, yang duduk di meja makan. Ayah Kei mengenakan sweater coklat dan berkaca mata. Rambutnya hitam lebat sama seperti rambut Kei. Kei duduk di sebelah ayahnya. Ayahnya tersenyum melihat anak lelakinya sudah turun dan duduk disebelahnya. Terdengar suara derap langkah ceria. Adik Kei, Aira yang berumur sepuluh tahun datang dan langsung duduk disebelah kakaknya.
"Wah kali ini Aira datang sendiri tanpa di panggil, anak hebat." puji ayahnya. Aira tersenyum bangga.
"Tentu, anak siapa dulu..." ibunya ikut memuji. Ibu Kei duduk di sebelah ayahnya juga.
"Bagaimana sekolahmu hari ini Kei?" tanya ayahnya.
"Sekolah adalah sekolah. Apa yang ayah harapkan?" kata Kei dingin.
"Kei, jangan bicara seperti itu pada ayahmu!" protes ibunya. Ayah Kei menyentuh tangan istrinya.
"Tidak apa-apa." ayah Kei menenangkan istrinya.
"Dia akan terus berbicara seperti itu padamu, sayang."
"Dia sedang dalam masa pubertas, biarkan saja." kata ayah Kei. "Aku juga dulu seperti itu. Suka melakukan apapun yang di sukai dan tidak perduli apa yang orang lain katakan. Bahkan kedua orang tuaku." Ayahnya tertawa mengingat masa remajanya. Ibu Kei hanya menghela nafas.
Kei makan dalam diam. Dia bahkan tidak terlalu mendengarkan apa yang keluarganya bicarakan. Keluarganya sesekali tertawa. Hanya Kei yang diam membisu. Ayahnya memperhatikan Kei yang selalu diam. Ayahnya mengetahui perubahan Kei. Kei yang hangat dan ceria berubah menjadi dingin dalam semalam semenjak kejadian itu. Ayahnya berusaha untuk terus dekat dan bersahabat dengan Kei, tetapi Kei terus menjauh dan menutup dirinya.
****
Kei tiba di halaman sekolahnya. Kei bersekolah di SMA Royale Lykort. Kei termasuk anak yang pintar. Dia enggan berteman selain dengan Tim dan Ruben yang sudah sedari kecil berteman dengannya. Jadi jika tidak ada Ruben dan Tim, yang menjadi temannya adalah buku-bukunya. Kei juga sangat populer di antara para gadis di sekolahnya karena ketampanannya. Kei bertubuh tinggi atletis dan berkulit putih sempurna. Rambutnya yang hitam pendek selalu dibiarkan agak berantakan. Banyak gadis-gadis disekolahnya menyukai dan mengidolakannya. Tapi Kei tidak perduli. Dia selalu bersikap dingin dan cuek pada semua orang, membuat nyali para gadis ciut seketika. Kei duduk dibangku paling belakang dekat jendela. Dia memasang headphone ditelinganya dan mulai tidak memperdulikan disekitarnya. Sementara beberapa pasang mata selalu memperhatikannya, mencoba menarik perhatiannya. Tapi Kei bahkan tidak melirik sedikitpun.
Sebuah ketukan di meja membuyarkan lamunan Kei. Kei menoleh dan mendapati kedua temannya disamping.
"Benar-benar ini anak. Kami dari tadi memanggilmu." Tim mulai dengan omelannya. Kei melepas headphonenya.
"Ada apa?" tanyanya.
"Ada yang memberikan ini untukmu." Ruben memberikan sebuah bingkisan berukuran kecil dan terbungkus rapi.
"Aku tidak sedang berulang tahun hari ini dan hari ini juga bukan hari yang spesial." kata Kei datar.
"Mungkin dari fansmu yang banyak itu." kata Tim disambut anggukan Ruben.
"Kembalikan saja, aku tidak mau." ujar Kei dingin.
"Apa kamu tidak merasa kasihan pada orang yang telah memberimu bingkisan ini? Lihatlah, bahkan di bungkus dengan sangat rapi." Tim mulai membujuk.
"Kalau begitu kalian saja yang ambil. Aku tidak mau. Kalau kalian juga tidak mau mengambilnya, buang saja." tolak Kei.
"Setiap hari kita selalu menerima hadiah dari semua fansmu, tapi tidak satupun yang kamu terima. Apa tidak merasa simpati pada mereka?"
"Aku tidak meminta mereka untuk memberikanku apapun."
"Dasar si serigala dingin satu ini. Tidak pernah berubah. Kalau saja kita tidak mengenalnya sejak kita kecil, kalau saja dia bukan teman kita, sudah aku...whack." Tim mengacungkan kepalan tangannya ke atas, seakan ingin memukul Kei. Kei menoleh dengan tatapan dinginnya dan melihat kepalan tangan Tim. Tim dengan cepat memukul-mukul udara. "Ah... tanganku keram." sahutnya sambil mumukul udara dengan kedua tanganya. Ruben hanya menggelengkan kepalanya dan tertawa.
Ruben adalah manusia serigala sementara Tim adalah manusia biasa. Mereka berteman semenjak mereka berusia lima tahun. Tim tidak mengetahui jika Kei dan Ruben adalah manusia serigala sampai dia melihatnya sendiri tanpa sengaja. Awalnya Tim takut dan mengurung diri dikamar. Kei dan Ruben membujuk Tim selama berminggu-minggu dan akhirnya Tim menyerah. Di sekolah itu tidak hanya manusia serigala yang ada di sana, tetapi manusia biasa juga. Tetapi siswa manusia biasa tidak mengetahui apapun tentang manusia serigala. Jika ada manusia yang mengetahui tentang adanya manusia serigala dan memberitahukan pada semua orang, manusia itu akan di beri pilihan, menjadi manusia serigala atau dibunuh oleh sang alpha. Peraturan yang mutlak untuk keseimbangan supranatural.
Tim mengajak Kei dan Ruben ke kantin. Kantin disekolah itu bersih dan rapi. Satu meja hanya bisa berisikan empat orang. Kei duduk dengan malasnya. Dia tidak ingin ke kantin yang berisik, hanya ingin duduk dan mendengarkan musik di kelas. Tapi Tim terus membujuknya membuatnya risih dan kesal. Akhirnya, demi membungkam Tim, Kei menurut. Tim dengan sukarela mengambil makanan untuk mereka. Dari jauh Kei melihat Cayden bersama teman-teman serigalanya yang duduk di pojok tengah kantin. Ada beberapa siswi juga disana. Cayden juga populer di sekolah. Wajahnya juga sangat tampan. Tubuh besar atletis dan tinggi. Rambut model hawknya dan kulit yang kecoklatan. Cayden juga anak dari alpha dikota itu. Sang alpha bernama Ordovic Cluston Laros adalah orang yang berkuasa di Lykort. Para Lycanthrope memanggilnya dengan sebutan yang mulia, karena bagi para manusia serigala, Ordovic adalah raja dari para Lycanthrope. Ordovic tidak hanya menjadi alpha tapi juga menjadi raja karena sejarah panjang pack Lykort. Karena itu Cayden menjadi yang di segani dan menjadi sang pangeran manusia serigala. Cayden menyeringai sinis pada Kei saat mata mereka bertemu. Kei hanya memandang dingin seringai Cayden. Dia tidak perduli siapa Cayden dan apa yang dilakukan. Bagi Kei yang terpenting adalah Cayden tidak mengganggunya.
"Berhentilah menatapnya." sahut Ruben yang mendapati Kei melihat ke arah Cayden.
"Aku tidak menatapnya." kata Kei berbohong.
"Yang benar saja. Aku melihatmu menatapnya sedari tadi. Bola matamu hampir copot karena itu." Ruben tahu Kei berbohong.
"Aku hanya tidak menyukainya."
"Orang normal tidak ada yang menyukainya Kei. Tapi jika kamu tidak berhenti menatapnya, semua orang akan mengira kamu tertarik padanya." saran Ruben. "Atau kamu jangan-jangan... tertarik padanya?"
Kei menoleh dan menatap Ruben marah.
"Apa kamu mau mati? aku akan dengan senang hati membunuhmu."
Ruben tertawa. Tak lama datang Tim membawa tiga buah nampan besar yang berisikan makanan yang hampir tidak bisa dia bawa.
"Wah bagaimana bisa kamu membawa itu semua?" Ruben terkejut temannya datang dengan tiga nampan sekaligus lalu membantu Tim. "Orang-orang tidak akan menyangka jika kamu bukan manusia serigala."
"Aku tidak mau berjalan bolak balik." kata Tim langsung duduk setelah menaruh nampannya. Dia mengusap keringat di dahinya.
"Ini Kei, makanlah." Ruben memberikan satu nampan penuh makanan dan sebuah sendok.
"Aku tidak mau makan. Sedang tidak berselera." sahut Kei.
"Memangnya kapan kamu pernah berselera makan di kantin? Setiap kali kami tawarkan makan, selalu tidak mau." kata Tim sebal. Dia mengambil tangan kanan Kei dan meletakkan sendok di jarinya. "Makan saja walau tidak berselera. Aku sudah lelah membawa semua ini."
"Aku sudah bilang aku tidak mau makan. Kamu saja yang memaksa. Aku seperti anak kecil saja." sahut Kei. Kei akhirnya menurut. Dia sedang malas beradu mulut dengan Tim, karena sudah bisa di pastikan dia akan kalah.
"Hai Kei.." suara sapaan menghentikan Kei yang akan menyendok makanannya ke mulut. Kei menoleh dan mendapati seorang gadis cantik berdiri di sebelahnya. Kei menatap gadis itu lalu memalingkan wajahnya dan memulai suapan pertamanya. Gadis itu tampak gugup.
"Hai Lyra..." Tim yang akhirnya menjawab sapaan Lyra.
"Hai Tim." Lyra membalas Tim. Dia sedikit kecewa bukan Kei yang membalasnya. "Kei, apa hari sabtu kamu sibuk?"
Kei diam sejenak. "Mungkin." jawabnya akhirnya. Kei masih saja memasukkan makanannya ke dalam mulutnya tanpa melihat ke arah Lyra.
"Kamu... mau tidak--" belum selesai Lyra berbicara, Kei langsung berdiri dan membawa nampan yang masih banyak makanannya pergi, tanpa menjawab Lyra. Lyra tertunduk. Tim dan Ruben panik melihat kesedihan dan kekecewaan di wajah Lyra.
"Uhm... Lyra.. Sebentar, biar aku bujukin Kei dulu." Tim berlari menuju Kei yang sudah hilang dari pandangannya.
"Eh tunggu aku." Ruben ikut berlari. Dia tidak ingin terjebak di situasi canggung sendirian.
Ruben dan Tim mencari-cari keberadaan Kei. Di toilet, dikelas, tapi keberadaan Kei tidak di temukan. Entah bagaimana Kei bisa dengan secepat itu menghilang. Akhirnya Tim dan Ruben menyerah dan memilih untuk kembali ke kelas karena pelajaran akan di mulai kembali. Saat di dekat kelas, Ruben melihat punggung yang sangat dikenalnya, punggung Kei. Ruben berlari dan mumukul dengan keras punggung Kei, membuat Kei mengerang kesakitan.
"Sakit...!!!!" Kei mencoba mengelus punggungnya yang panas akibat pukulan Ruben.
"Dari mana aja kamu? Kita sudah mencarimu kemana-kemana." omel Ruben.
"Untuk apa mencariku? Aku bukan anak kecil lagi. Ahhh.... Tadi itu sakit." kata Kei sambil masih mengelus punggungnya.
"Lyra bagaimana Kei?" tanya Tim.
"Apanya?"
"Apanya bagaimana? Dia tadi mau mengatakan sesuatu. Kenapa kamu pergi?"
"Aku sedang tidak mood mendengarkan permintaan anak perempuan." sahut Kei sambil berlalu.
"Dasar serigala dingin! Jika kamu seperti itu terus, kamu tidak akan bisa punya pacar!" Tim mulai kesal dengan sikap dingin Kei.
"Baguslah kalau begitu, jadi aku tidak perlu mengurusi anak perempuan." jawab Kei seenaknya. Tim menghela nafas kesal.
"Bagaimana dengan mate?" tanya Ruben.
"Bagaimana apanya?"
"Kamu tidak mau memiliki mate juga?"
"Entahlah, mungkin." sahut Kei sambil berlalu.
"Kenapa aku punya teman yang dinginnya melebihi puncak everest." Tim menepuk jidatnya. Sementara Ruben sudah mengelus punggung Tim untuk membuatnya tenang.
"Atau jangan-jangan kau.... Kau selama ini..."
"Hei, hei, hei... tahan pikiran itu." Sahut Kei cepat.
"Itu benar?"
"Tentu saja tidak! Aku masih normal! Sangat.. normal."
"Aku tidak percaya, sangat tidak percaya. Wahh ini berita besar." Tim berjalan cepat mendahului Ruben dan Kei.
"Itu tidak benar! Kau—kemari kau!!" Kei mengejar Tim yang sudah lebih dulu berlari menghindari Kei.
"Dasar mereka berdua." Ruben hanya bisa menghela nafas panjang.
*****
Kei berjalan pulang bersama Tim dan Ruben. Rumah mereka searah meskipun berjauhan, terutama Kei yang rumahnya di ujung kota Lykort. Kei hanya berjalan santai dalam diam sementara kedua temannya mulai bermain-main, kadang saling kejar dan menggelitik, seperti anak kecil.
"Hei Kei, kau yakin akan menolak Lyra?" tanya Tim. Kei tidak menjawab.
"Ayolah. Lyra itu paling cantik di sekolah, populer lagi." tambah Ruben. Kei masih saja diam.
"Aku benar-benar tidak mengerti dia. Dia begitu tampan, bahkan anak perempuan satu sekolah menyukainya, tapi sepertinya dia menyia-nyiakan ketampanannya. Sayang sekali."
"Berhentilah membicarakan itu. Aku sudah bosan mendengarnya." kata Kei akhirnya.
"Tapi Kei, Lyra itu-"
"Ya ampun!" Kei mendengus kesal. "Kenapa kalian sungguh menjengkelkan?!"
"Apa? Kenapa kita yang menjengkelkan? Harusnya kamu yang menjengkelkan!!" balas Tim yang juga mulai kesal pada Kei.
"Apa kamu bilang?"
"Astaga, kenapa jadi kalian berdua yang bertengkar?" Ruben bingung melihat Tim dan Kei yang bertengkar. Dia tidak ingin memihak siapapun. Tanpa mereka sadari, dibelakang mereka sudah ada Cayden dan teman-temannya.
"Wah, wah, wah... lihat siapa yang kita temukan." katanya. Kei, Ruben dan Tim menoleh dan mendapati Cayden sudah berdiri dibelakangnya. "Satu manusia biasa yang lemah, satu manusia serigala yang lemah juga dan satu lagi si mantan pangeran." kata Cayden.
Kei memutar bola matanya dan berbalik meninggalkan Cayden. Dia sedang tidak ingin melayani sikap menyebalkan Cayden.
"Apa kamu akan berlari terus, mantan pangeran?" Cayden mulai dengan kata-katanya untuk memancing Kei marah.
"Jangan ganggu aku Cayden." sahut Kei.
"Jangan ganggu aku Cayden." Cayden menirukan kata-kata Kei tapi dengan nada mengejek. Semua temannya tertawa. "Berhentilah melarikan diri pengecut, lawanlah aku."
Kei tidak menggubrisnya. Dia tetap jalan bersama teman-temannya. Cayden yang kesal berlari dan berhenti tepat didepan Kei.
"Untung saja Lykort tidak lagi memiliki pangeran sepertimu." Cayden menatap Kei tajam. Kei hanya menatapnya datar. Dia berusaha sebisa mungkin untuk tidak tepancing.
"Berhentilah Cayden, jangan ganggu Kei." sahut Tim akhirnya. Tim tahu bahkan sangat mengerti jika Kei tidak ingin bertengkar dengan Cayden. Cayden menoleh pada Tim dan tampak kesal.
"Jangan mencampuri urusanku." ucap Cayden dingin. Dia paling tidak suka dengan manusia biasa yang mencampuri urusannya. Terlebih manusia biasa.
"Kalau begitu jangan mencampuri urusan orang lain." Tim menatap tajam. Dia tahu dia seharusnya tidak berurusan dengan orang seperti Cayden, terlebih dia tahu Cayden adalah manusia serigala yang pastinya jauh lebih kuat darinya. Tapi dia sudah muak melihat Cayden tidak berhenti mengganggu Kei. Cayden yang merasa marah, mendatangi Tim yang berdiri tak jauh darinya.
"Apa kamu bilang?" tanya Cayden. Wajahnya sudah merah karena marah. "Berani sekali kamu."
Bola mata Cayden yang awalnya berwarna hazel, kini menjadi hitam pekat. Tim mundur perlahan melihat perubahan warna bola mata Cayden, yang artinya sebentar lagi Cayden akan marah besar dan berubah menjadi serigala. Tiba-tiba Cayden mendorong kuat tubuh Tim. Tim terhempas jauh. Meskipun Cayden tidak merubah dirinya menjadi serigala, Cayden masih sangat kuat. Cayden beranjak menuju ke tempat Tim berada. Tapi Ruben menghentikannya.
"Hentikan Cayden, aku mohon. Dia bisa mati." kata Ruben. Cayden menoleh.
"Apa kamu mau menggantikannya?" tanya Cayden. Ruben tertunduk. Dia tahu dia tidak akan bisa melawan Cayden meskipun dia adalah manusia seragala juga. Cayden mendorong tubuh Ruben untuk menjauhinya dan kembali menuju Tim yang sudah berdiri linglung. Cayden menarik kerah baju Tim.
"Akan aku bunuh kamu hari ini." bisik Cayden. Wajah Tim penuh dengan ketakutan. Tubuhnya gemetar. Dia tahu dia akan mati hari ini. Sebuah tangan menyentuh tangan Cayden.
"Hentikan." sahut Kei datar. Cayden menghempas tangan Kei dan melepaskan tangannya dari kerah baju Tim.
"Ada yang sudah berani rupanya." Cayden tersenyum sinis.
"Oh ada Lyra dan Keyra..." sahut salah satu teman Cayden. Mereka semua menoleh.
"Hai Lyra, hai Keyra." sapa Cayden yang tiba-tiba berubah manis. Kei hanya diam ditempatnya bahkan dia tidak menoleh.
"Sedang apa kalian disitu?" tanya Keyra dan mendatangi mereka.
"Ahh... tidak apa-apa." Cayden membalikkan badan Kei menghadap ke kedua gadis itu dan mengalungkan tangan kirinya ke leher Kei. Kei hanya bisa menggeretakkan grahamnya dan mendengus kesal. "Hanya urusan laki-laki. Kalian mau kemana?"
"Pulang tentu. Hai Kei." sapa Lyra tapi Kei tidak membalasnya, hanya mengalihkan pandangannya.
"Hei apa kau tidak dengar? Lyra menyapamu!" tegur Keyra.
"Lalu?" tanya Kei dingin. Raut wajah Keyra langsung berubah kesal.
"Sudahlah, jangan dihiraukan si mantan pangeran yang satu ini. Mau aku antar?" tawar Cayden.
"Tidak usah, kami baik-baik saja." Keyra yang kesal berbalik dan menarik tangan saudara kembarnya. "Ayo kita pergi Lyra." sahutnya kesal dan segera pergi dari sana.
Kei membuang tangan Cayden dari pundaknya. Dia langsung menuju Tim dan memapahnya. Tiba-tiba Cayden menarik baju belakang Kei dan mendorongnya kuat.
"Siapa bilang kamu boleh pergi?" kata Cayden. Kei yang terjatuh ke tanah langsung berdiri.
"Aku sudah muak denganmu Cayden. Enyahlah dari hidupku!!" sahut Kei penuh amarah.
"Tidak, kamu yang enyah dari hidupku, pergi dari sini. Tidak ada yang membutuhkanmu disini. Lagipula kamu bukan pangeran lagi, Kamu hanya orang buangan." Cayden tertawa. "Dan jangan lupa bawa ayahmu yang cacat pergi."
Kei semakin marah. Dia tidak suka jika ada yang menghina keluarganya. Kei berteriak keras dan berlari ke arah Cayden lalu medorong tubuhnya kuat. Cayden terhempas tapi dengan cepat langsung menahan tubuhnya agar tidak terjatuh. Cayden tersenyum penuh kemenangan. Dia akhirnya berhasil membuat Kei marah. Selama ini Cayden selalu menganggu Kei hanya untuk membuatnya marah dan merubah Kei menjadi serigala. Kei selalu bisa menahan emosinya, membuat Cayden hampir putus asa. Tapi hari ini Cayden tahu, Kei masih bisa kehilangan kontrol sekali lagi. Cayden berlari dan melayangkan tinjunya pada Kei. Kei menghidar cepat. Cayden terus melayangkan tinjunya, sesekali melancarkan tendangan meskipun tidak ada satupun yang mengenai Kei.
"Lawan aku pengecut. Jangan menghindar. Pukul aku!!" Cayden mencoba untuk membuat Kei lebih marah dan itu berhasil. Kei memukul wajah Cayden. Cayden terjatuh dan langsung bangkit lalu berlari dengan cepat ke arah Kei. Cayden memukul wajah Kei dan mengenai pipi kiri Kei. Tubuh Kei melayang setelah Cayden menendang perutnya. Mereka masih belum berubah menjadi serigala. Cayden masih menunggu Kei untuk berubah. Tapi Kei masih tidak ingin berubah. Dia masih bisa menahan emosinya. Kei bangkit dan langsung mendorong kuat tubuh Cayden ke pohon besar didekat mereka. Kei menekan tubuh Cayden ke pohon itu. Cayden berusaha melepaskan diri. Tapi Kei begitu kuat menekannya. Pohon itu mulai retak dan sudah mulai patah disebagian sisinya. Dorongan Kei mulai melemah. Itu membuat Cayden mendapat kesempatan. Cayden maju perlahan lalu memukul wajah Kei dan menendangnya. Kei tersungkur di tanah.
"Apa hanya segitu? kenapa tidak kau keluarkan monster itu?" Cayden mulai lagi. Cayden menarik kerah baju Kei dan mengangkat tubuh Kei agar wajah Kei sejajar dengan wajahnya.
"Cayden Heron Laros, Kei Lyroso Laros... hentikan!!" sahut suara berat di belakang mereka. Mereka semua menoleh. Sudah ada ayah Cayden dan Kei disana beserta Ian. "Apa yang kalian lakukan? ada apa ini?" tanya Ordovic, ayah Cayden.
Cayden melepas tangannya dari Kei dan merapikan rambut dan seragam sekolahnya yang sudah kotor. Kei juga melakukan hal yang sama. Semua teman Cayden dan Kei sudah bersujud.
"Kei, ada apa ini?" tanya Oston, ayah Kei.
"Tidak ada apa-apa." kata Kei sambil menundukkan kepalanya.
Kei dan Cayden mempunyai nama belakang yang sama. Ordovic dan Oston adalah saudara kandung yang membuat Kei dan Cayden menjadi sepupu dan itu adalah mimpi terburuk bagi Kei.
"Kami hanya bermain-main saja. Tidak ada yang serius." jawab Cayden.
Oston memperhatikan wajah Kei. Ada luka di dahinya dan lengan bajunya robek.
"Berhentilah bermain-main dan segera pulang." perintah Ordovic. Kei dan Cayden mengangguk.
"Ian, bisa tolong aku?" pinta ayah Kei.
"Tentu saja tuan." sahut Ian. Ayah Kei meminta Ian untuk bersama Kei.
"Mari kita jalan lagi kakakku." sahut ayah Cayden. "Cayden, kamu ikut dengan ayah dan suruh teman-temanmu pulang."
Ayah Cayden dan Kei pergi meninggalkan Kei, sementara Cayden mengikuti ayahnya dari belakang. Ian mengacungkan dua jarinya ke matanya lalu ke Cayden. Cayden hanya menyeringai sinis.
Kei membersihkan bajunya yang kotor sementara teman-teman Cayden sudah pergi.
"Apa kamu baik-baik saja Kei?" tanya Ruben yang memapah Tim. Kei mengangguk.
"Aku baik-baik saja. Bagaimana dengan Tim?" Kei melihat keadaan Tim. Ada darah di bibirnya. Rupanya dia terhempas sangat kuat.
"Aku baik-baik saja." sahut Tim sambil berusaha tersenyum dan menahan sakitnya secara bersamaan.
"Aku benar-benar tidak mengerti. Kenapa dengan anak manja itu? Kenapa dia selalu mengganggu orang? sayang sekali aku tidak ada. Kalau saja..." Ian memukul pelan kepalan tangannya ke tangan yang satunya lagi.
"Sedang apa ayah bersama dia?" tanya Kei tanpa menghiraukan omongan Ian tadi.
"Dia? ah alpa Ordovic? mereka sedang membicarakan sesuatu." jawab Ian.
"Apa tidak berbahaya meninggalkan ayah sendiri bersama orang itu? lalu kenapa kamu disini? seharusnya kamu di samping ayah dan melindungi ayah dari orang itu."
"Ayahmu menyuruhku untuk bersamamu. Lagipula aku memang pengawalmu, bukan ayahmu. Ada ayahku bersama ayahmu jadi tidak usah khawatir." jawab Ian. "Tapi kamu ini apa tidak bisa sopan sedikit? dia? orang itu? dia dan orang itu adalah raja sekaligus alpha Lykort sekarang. Aku tahu kamu membencinya, aku juga begitu tapi jika para serigala lain mendengarmu, mereka akan menangkapmu."
"Aku tahu dan aku tidak perduli. Bagiku dia adalah orang yang mengambil tahta ayahku dengan curang." sahut Kei.
"Aku tahu itu tapi itu membuat mereka memiliki alasan untuk menyingkirkan keluargamu."
Kei terdiam sejenak lalu melangkah pergi.
"Dasar anak itu." Ian menggelengkan kepalanya.
****
Tadariez
Hai hai readers....
Aku cuma mau kasih tahu...
Cerita werewolf yang aku buat ini bukan seperti cerita yang kalian biasa baca... Bukan tentang alpha yang mencari mate-nya dan percintaan diantara keduanya... It's a little bit different.. Well, a lot actually
Awal cerita kalian akan temuin cerita tentang masalah awal dari semua kejadian yang ada lalu di ikuti kisah cinta polos dari dua remaja. Tidak seperti cerita werewolf biasanya. Yang biasanya tentang alpha mencari luna and about how posessive alpha is. It'll be different. Bukan karena aku enggak suka dengan cerita seperti itu. Aku suka. Aku bahkan baca beberapa cerita tentang itu (well aku nggak hanya suka corat coret tapi aku juga suka baca). Jadi aku memutuskan untuk membuat sedikit berbeda dari biasanya dan aku harap kalian suka.
Manusis serigala di cerita yang aku buat ini juga tidak mempunyai wolf yang berbicara di dalam dirinya. Sama seperti tadi, bukan karena aku nggak suka tapi aku ingin buat sesuatu yang beda sesuai imaginasiku. Aku malah anggap si wolfnya lucu. Biasa wolf lebih posessive or nggak sabaran, lucu, pembangkit suasana dr cerita karena biasa wolfnya suka beda pendapat dengan wujud manusianya (itu dari kebanyakan yang aku baca) menurut aku itu bagus hanya saja aku ingin yang berbeda hehehehe
Jika kalian bingung ada kata-kata Elder atau yang terpilih, kalian akan mendapat penjelasan siapa mereka di cerita aku yang lain di *******. Aku sengaja menyambungkan mereka sesuai imaginasiku. Aku sengaja buat mereka terkait satu sama lain tapi yang ini aku fokus ke werewolfnya.
Aku juga akan buat dua pemeran utama laki-laki dan perempuan. Yang satu kalian sudah tahu. Yang laki-laki adalah Kei Lyroso Laros dan yang perempuan adalah Tania Reynolds. Akan ada pasangan lain dengan cerita pertemuan yang berbeda. Lebih ke cerita werewolfs yang biasa kalian baca tapi akhirnya akan tetap menjadi satu cerita. Pemeran yang pertama dan kedua akan di pertemukan nanti.
Itu aja yang aku mau kasih tahu sama readers yang baik dan cantik, ganteng kalo ada...
Hope u'll like my different story of werewolfs
Maaf kalo ceritanya ternyata ceritanya membingungkan atau garing 😞😞😞😞
Please comment...
Happy reading....
Jauh di belahan dunia lain, ada seorang gadis yang sibuk diperpustakaan sekolahnya. Dia mengeluarkan buku dan mencari-cari sesuatu. Jika tidak ditemukannya, dia akan membongkar rak buku yang lain. Dia berusaha sepelan mungkin karena dia tahu dia sedang berada di perpustakaan. Tapi akhirnya kecerobohannya datang. Tangannya menyenggol tumpukan buku yang masih berantakan di sebelahnya. Yap, The reckless Tania. Tidak salah jika teman-temannya memberikan nama panggilan itu padanya.
Brukk!! buku-buku itu jatuh berhamburan dan menimbulkan suara yang cukup keras. Tania langsung mengambil buku-buku itu dengan cepat.
"Nona Tania Reynold." panggil seseorang. Seketika Tania terdiam. Dia menoleh dan mendapati ibu Nancy Daniels sudah berkacak pinggang dan berdiri di dekatnya. Matanya melotot pada Tania dan kaca mata yang di pakainya melorot di ujung hidungnya. Tania menutup matanya dan mengigit bibirnya pelan. Tania berdiri perlahan dan menghadap ibu Daniels, penjaga perpustakaan.
"Sudah beberapa kali kamu menjatuhkan buku-buku itu. Kamu membuat perpustakaan ini menjadi ribut seperti di pasar." sahut ibu Daniels setengah berbisik.
"Sebenarnya baru dua kali bu. Saya hanya---" Tania menghentikan kata-katanya seketika saat melihat ibu Daniels semakin melotot. Bola matanya hampir lepas dari tempatnya. "Maafkan saya." sahut Tania pelan.
"Segera bersihkan semua itu dan ku mohon pergilah." ibu Daniels menghela nafas dengan kasar. Dia pergi meninggalkan Tania dengan buku-buku yang berhamburan. Dengan segera Tania membersihkan buku-buku itu.
Sudah beberapa menit dia merapikan buku-buku itu. Akhirnya buku-buku sudah tersusun rapi di rak, tidak ada lagi buku yang tergeletak di lantai. Tania meletakkan kedua tangannya di pinggang dan mengangguk pasti. Dia tersenyum puas dengan hasil kerjanya. Tania kemudian beranjak pergi dan menghampiri nyonya Daniels di mejanya. Nyonya Daniels melihatnya dengan wajah masam.
"Sudah saya bersihkan semua bu dan sekali lagi saya minta maaf." sahut Tania dan langsung pergi keluar dari perpustakaan.
Tania berjalan pelan menuju kelas. Dia mengamati beberapa buku yang ada di tangannya.
'Wah banyak juga, apa bisa ya aku menyelesaikan semuanya?'
"Nona Tania Reynold." panggil seseorang di belakangnya. Tania menghentikan langkahnya dan menoleh dan mendapati salah satu gurunya, pak Simon Murphy.
"Iya pak?" tanya Tania.
"Sedang apa kamu disini?" tanya pak Simon.
"Saya dari perpustakaan pak." jawab Tania.
"Perpustakaan? saat jam pelajaran?"
"Apa? apa maksud bapak? ini masih jam istirahat pak. Lihat saja murid-murid lain masih--"
Tania terdiam. Dia memperhatikan sekitarnya. Tidak ada orang disana. Hanya dia murid yang berada di luar kelas. Dia melihat ke gurunya sejenak lalu menundukkan kepalanya.
"Tania, kembali ke kelasmu sekarang." perintah pak Simon.
"Iya pak." sahut Tania seketika lalu membalik tubuhnya dan langsung berjalan menjauhi pak Simon.
"Tania." panggil pak Simon kembali. Tania menghentikan langkahnya dan membalikkan tubuhnya. "Kelas mu disebelah sini." pak Simon menunjuk arah di belakangnya. Tania terkejut dan melihat ke arah yang akan di tujunya tadi lalu berbalik lagi melihat ke arah yang di tunjuk pak Simon. Tania tersenyum malu dan pipinya merona saat dia tahu dia salah arah. Tania langsung berjalan cepat melewati pak Simon dan menuju ke kelas. Pak Simon menggelengkan kepalanya heran melihat kelakuan salah satu muridnya.
Tak berapa lama, Tania sampai di depan kelasnya. Dia membuka pintu dengan perlahan. Semua teman satu kelasnya melihat ke arahnya.
"Nona Tania Reynold." panggil gurunya. Sussan Harper, guru matematika yang sedang mengajar yang memanggilnya. Ini sudah ketiga kalinya namanya dipanggil sangat lengkap oleh gurunya hari ini. Tidak hanya satu guru, melainkan tiga guru sekaligus. Tania masuk kedalam dan berdiri di depan gurunya yang sedang berdiri di depan papan tulis.
"Dari mana saja kamu? pelajaran sudah di mulai dua puluh menit yang lalu." bu Harper melipat tangannya di dadanya sambil menatap Tania tegas.
"Ma-maaf bu, saya tadi dari perpustakaan. Saya tidak tahu jika bel sudah berbunyi." jawab Tania.
"Tania tidur di perpustakaan bu!" celetuk salah seorang teman kelasnya. Semua teman-temannya langsung tertawa. Tania cemberut mendengar kata-kata temannya.
"Sudah, sudah jangan ribut. Kali ini saya maafkan. Duduk."
Tania berjalan ke tempat duduknya. Tania tersenyum pada kedua sahabatnya yang duduk di depan dan belakangnya.
"Tania, kamu dari tadi hanya di perpustakaan?" bisik Casey. Tania menoleh ke belakang dan mengangguk. "Buat apa?"
"Cari dan pinjam buku." kata Tania yang juga berbisik.
"Sebanyak itu?" Casey menunjuk tumpukan buku yang tadi di bawa oleh Tania. Tania mengangguk.
"Makanya, lain kali kalau ada tugas langsung kerjakan." sahut Anne yang duduk di depannya.
Tania cemberut. "Iya, iya." bisiknya akhirnya.
"Eh Anne, apa kamu bisa membantuku mengerjakan tugasku? aku mohon...." pinta Tania yang masih berbisik.
"Dasar, selalu seperti itu." kata Casey.
"Aku tahu, aku juga heran. Kenapa aku dan otakku bisa lupa ya..." Tania memukul kepalanya pelan.
"Sepertinya kamu perlu di periksa sama dokter." sahut Casey.
"Memangnya aku sakit?" protes Tania.
"Mungkin. Dan bisa saja sakitmu merambat menjadi penyakit gila."
"Apa? kau ini..."
"Tania." tegur bu Harper.
Tania yang hendak memukul pelan temannya langsung membalikkan badannya dan tersenyum manis pada gurunya. Bu Harper hanya menghela nafas.
******
"Anne, bantulah aku...please..."
Dari istirahat ke dua sampai pulang sekolah Tania masih saja membujuk Anne untuk membantunya mengerjakan tugas yang sudah di berikan seminggu yang lalu tapi Tania melupakannya dan dia mengutuki dirinya karena itu.
"Anne..." panggil Tania putus asa.
Anne menghentikan langkahnya dan menghela nafas panjang.
"Kemarikan buku itu. Biar aku bawa setengahnya. Kita akan kerumahku." kata Anne akhirnya.
"Anne!! kamu memang yang terbaik...!!!" Tania bersorak gembira.
"Ya ampun kamu ini. Jangan berteriak. Sangat memalukan." Anne langsung berjalan cepat meninggalkan Tania.
"Lalu aku?" tanya Casey. "Apa aku bukan teman yang baik?"
"Kalau Casey teman yang cantik. Ayo kita pergi." Tania mengalungkan tangannya ke lengan Casey dan berjalan menuju rumah Anne.
Tania tidak berhenti-hentinya membola-balik buku yang dipinjamnya dari perpustakaan. Sesekali dia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Dia mencoba untuk mengerti apa yang dia baca. Tapi semakin lama dia baca, dia semakin tidak mengerti. Anne masuk ke kamarnya membawa makanan ringan.
"Apa kamu sudah mendapatkannya?" tanya Anne. Tania menggeleng.
"Sepertinya otakku tidak mau bekerja sama kali ini." jawab Tania lemas.
"Dasar kamu ini. Sini aku bantu cari." sahut Anne akhirnya. Tania langsung senyum sumringah dan semanis mungkin pada Anne. "Ughh jangan senyum seperti itu!! Aku mau muntah, huweekk.." ejek Anne. Tania cemberut mendengarnya.
"Eh kalian." panggil Casey. Tania dan Anne serempak menoleh. "Kalian dengar tidak soal Mark yang katanya berpacaran dengan Lizzie?"
"Benarkah? mereka berpacaran?" tanya Tania terkejut. Casey mengangkat kedua bahunya.
"Entahlah, mungkin. Aku dengar dari anak-anak yang lain. Katanya ada yang melihat mereka berciuman di belakang sekolah." kata Casey.
"Berciuman?" kata Tania dan Anne bersamaan. Casey mengangguk.
"Tidak mungkin." kata Tania. "Aku yakin itu hanya gosip."
"Iya kan? pasti hanya gosip kan? tidak mungkin Mark mau pacaran dengan orang aneh seperti Lizzie." kata Casey.
"Dia bukan orang aneh Casey." kata Anne.
"Dia orang aneh, itu menurutku. Tidak akan aku biarkan Mark jatuh ketangannya. Seenaknya saja. Aku saja yang populer di sekolah dan sudah mengejar-ngejar Mark sedari SMP masih belum bisa berpacaran dengan Mark. Seenaknya saja dia melangkahiku." sahut Casey kesal.
Casey memang salah satu yang paling cantik di sekolah. Rambut pirang yang gelombang dan panjang, kulit putih bersih dan hidung mancung serta bibir tipis seksi membuatnya menjadi salah satu yang tercantik. Semua anak laki-laki di sekolah mereka menyukai Casey. Tapi sedari mereka SMP, Casey memang menyukai Mark Chamberlin, cowok paling tampan di sekolah. Mark pindah ke kota Summerset saat mereka SMP dan semenjak saat itu, Mark menjadi cowok tertampan disana. Tapi Mark susah untuk di dekati. Secantik apapun gadis itu, jika dia tidak menganggap gadis itu menarik, dia tidak akan mendekatinya. Seperti halnya Casey. Casey salah satu gadis tercantik, tapi Mark tidak begitu memperdulikannya karena Mark berpendapat Casey tidaklah menarik. Cantik, tapi tidak menarik.
"Selama ini aku selalu bingung, gadis seperti apa yang disukai Mark. Bahkan Casey yang sangat cantik pun masih tidak cukup." kata Tania.
"Huft... aku sebal mengingat itu." Casey mendengus kesal. Dia jadi teringat saat dia mengungkapkan perasaannya pada Mark dan Mark langsung menolaknya. Casey benar-benar malu dan hampir tidak ingin bersekolah lagi.
"Hei kalian kemari ingin mengerjakan tugas ini atau hanya bergosip?" Anne mulai mengomel. Tania tertawa.
"Maaf... maaf. Ayo kita kerjakan lagi." kata Tania sambil mengambil kembali buku yang tadi dia baca.
****
Kei terperanjat tidak percaya. Mulutnya terbuka lebar. Matanya tidak berkedip bahkan dia tidak bergerak sama sekali. Dia begitu terkejut dengan apa yang ada di hadapannya. Seorang laki-laki tampan, berkulit sedikit kecoklatan, rambut coklat yang sudah dipotong pendek, bertubuh tinggi dan sempurna. Terlebih Kei mengenal orang itu.
"Baiklah, silahkan duduk di tempat kosong yang kamu inginkan tuan Miller." guru Kei mempersilahkan lelaki itu duduk. Laki-laki itu duduk di depan Kei.
"Baik anak-anak, ayo kita lanjutkan lagi." sahut ibu Nancy Brighton.
"Apa yang kamu lakukan?" bisik Kei pada laki-laki yang ada di depannya. Laki-laki itu menoleh.
"Apa maksudmu?" tanyanya dengan berbisik juga.
"Sedang apa kamu disini?" bisik Kei lagi.
"Sekolah." jawab laki-laki itu sambil mengangkat buku yang baru saja di keluarkan dari tasnya.
"Sekolah? Jangan bercanda."
"Kei, aku ingin sekali bercanda tapi aku benar-benar sedang tidak bercanda, bergurau atau apapun yang ada dipikiranmu. Dan jangan kira aku menyukai ini. Aku sama sekali tidak menyukainya. Aku jauh lebih tua dari usia anak SMA kebanyakan!" jelas laki-laki itu.
"Lalu untuk apa kamu disini? Ian, jika kamu lakukan sesu-"
"Kei." panggi ibu Brighton, memotong kata-kata Kei. Kei menoleh dan mendapati ibu Brighton sedang menatapnya tajam dengan tangan terlipat didadanya.
"Aku tahu kamu sangat ingin mengenal Ian Miller, tapi sekarang jam pelajaran. Lakukanlah nanti. Dan aku kan sangat yakin Ian akan senang mempunyai teman baru." kata ibu Brighton. Ian tersenyum.
"Dengan senang hati." sahutnya dengan senyum yang canggung.
*****
Kei berjalan terburu-buru menuju halaman belakang sekolahnya. Dia sedang mencari keberadaan Ian.
"Kei, berjalanlah pelan sedikit." Ruben yang ikut berjalan dengan Kei sedikit kewalahan.
"Aku ingin segera mengetahui alasan orang gila itu bersekolah disini." kata kei tanpa memperlambat jalannya.
"Aku yakin dia punya alasan." sahut Tim. "Atau mungkin ayahmu ingin dia bersekolah disini, untuk menjagamu."
Kei menghentikan langkahnya dan menghadap Tim. "Ayahku? menjagaku? dari apa?"
"Aku tidak tahu tapi yang jelas pasti ada sesuatu." jawan Tim.
"Dan aku harus mengetahui itu." kata Kei lalu melajutkan jalannya.
Tak lama Kei melihat sosok yang dia kenal, Ian Miller bersama beberapa gadis di sekolahnya. Kei mendatanginya.
"Ian." panggil Kei. Ian menoleh dan tersenyum lebar.
"Kei! kejutan... kemarilah, bergabung denganku dan para gadis cantik ini." ajak Ian.
"Kita harus bicara tapi tidak disini."
Kei menarik tangan Ian menjauh dari kerumunan gadis itu. Setelah agak jauh Kei melepaskan tangannya.
"Wah Kei, ini pertama kalinya kamu memegang tanganku. Entah aku harus merasa senang atau tidak. Tapi ini sangat mengejutkan." sahut Ian antusias.
"Aku sungguh tidak perduli apa yang kamu rasakan saat ini." kata Kei dingin.
"Oh.. kasar sekali. Kamu mematahkan hatiku." kata Ian. Dia berusaha membuat wajahnya tampak sedih dan menyentuh dadanya.
"Seriuslah...!!!" pekik Kei.
"Aku serius Kei." kata Ian lagi.
"Terserahlah." Kei menghela nafas. "Sedang apa kamu disini?"
"Uhmm... sekolah?" jawab Ian seenaknya lagi.
"Ian...!!!!" pekik Kei lagi. "Aku mohon seriuslah, sekali saja!!"
"Baiklah, baiklah. Aku minta maaf." sahut Ian setelah melihat ekpresi putus asa Kei.
"Apa ayah yang mengirimmu kemari?" tanya Kei. Ian mengangguk.
"Iya." jawab Ian singkat.
"Untuk apa?" tanya Kei lagi.
"Menjagamu tentu." jawab Ian lagi. Kei mengerutkan keningnya.
"Tapi untuk apa? aku baik-baik saja."
"Ayahmu bilang kamu mungkin dalam bahaya."
"Bahaya? aku?" Kei bingung.
"Kei, ayahmu tahu tentangmu dengan Cayden. Tentang perkelahianmu. Selama ini ayahmu diam saja karena dia tidak ingin mencampuri urusanmu, karena dia menghormatimu. Tapi melihat dirimu yang terpancing emosi waktu itu, ayahmu tidak bisa tinggal diam lagi." jelas Ian.
"Aku bisa menjaga diriku sendiri." kata Kei dingin.
"Ayahmu tahu itu, meskipun aku tidak. Dia hanya ingin melindungimu." kata Ian.
"Melindungiku? untuk apa? agar dia tidak malu mempunyai anak yang ternyata ada monster didalam dirinya?"
"Bukan seperti itu Kei." Ian mencoba menenangkan kei yang mulai kesal.
"Aku tidak butuh perlindungan dan menjauhlah dariku." kata Kei dan langsung pergi meninggalkan Ian.
"Hei...!! kamu yang mendatangi aku tadi." sahut Ian setengah berteriak. "Tunggu aku."
*****
Kei berjalan cepat menuju rumahnya. Ian berusaha mengejarnya. Kei merasa muak di ikuti oleh Ian terus menerus. Ian menempel terus padanya semenjak dia masuk ke sekolah. Sudah seminggu Ian masuk sekolah dan sudah seminggu juga Ian menempel padanya. Kei merasa sangat risih dan terganggu. Bahkan satu sekolah membicarakan itu. Di hari pertama Ian masuk, dia sudah menjadi anak populer karena ketampanannya. Tapi Ian berbeda dengan Kei. Ian sangat ramah. Dia membalas semua sapaan anak perempuan yang menegurnya, menerima semua hadiah yang diberikan padanya, bahkan Ian dengan senang hati berbicara pada gadis-gadis itu. Tapi yang membuat Kei muak, Ian melakukan semua itu dengan tetap menempel padanya. Tim dan Ruben tidak pernah melakukan semua hal itu. Bukan karena mereka tidak sepopuler Ian tapi karena mereka memikirkan perasaan Kei. Terlebih Ian sangat menyukai kepopulerannya, membuat Kei sangat muak.
"Kei, kau akan terjatuh jika berjalan terlalu cepat." ucap Ian yang masih mencoba mengejar Kei yang berjalan sangat cepat didepannya.
"Bukan urusanmu." sahut Kei dingin.
"Tentu saja urusanku, aku pengawalmu. Bagaimana aku bisa menghadapi ayahmu nanti jika aku tidak bisa menjagamu dengan baik?" kata Ian.
"Kalau begitu jangan jadi pengawalku." ucap Kei lagi.
"Seandainya aku bisa." gumam Ian pelan, berusaha agar Kei tidak mendengarnya.
"Aku mendengarmu." sahut Kei.
"Ah.. aku lupa kalau kita serigala. Kita mempunyai telinga dan hidung yang tajam." kata Ian. "Tunggu aku."
Ian berlari kecil mengejar Kei. Kei menjauh kembali saat Ian mendekat. Tiba-tiba muncul serigala besar didepan mereka. Serigala itu menggeram keras pada Kei dan Ian. Kei hanya mendengus kesal pada serigala itu. Dia tahu serigala itu akan membuatnya semakin kesal.
"Cayden...!!! sungguh sangat tidak mengejutkan." sapa Ian.
Serigala itu perlahan berubah menjadi seseorang yang mereka kenal, Cayden.
"Aku tidak menyangka bisa bertemu dengan lovey dovey. Sang mantan pangeran dengan pengawalnya. Kalian benar-benar pasangan yang sempurna." ejek Cayden
"Cayden, aku bertanya-tanya selama ini, dimana kamu berada. Dan disinilah dia. Aku benar-benar merindukanmu." kata Ian dengan wajah yang manis.
"Kau sungguh menjijikkan, kau tahu itu." kata Cayden.
"Dan kau hanya pecundang dan anak manja." balas Ian.
"Kau--"
"Kalian benar-benar cocok." sahut Kei sambil berlalu.
"Kei, bagaimana jika kita menyelesaikan yang waktu itu?" Cayden mengalungkan tangan kanannya di pundak Kei. Kei melepasnya dengan kasar.
"Jangan ganggu aku Cayden." sahut Kei dengan wajah masam. Dia sudah begitu muak berhadapan dengan Cayden.
"Mungkin... tapi kita harus menyelesaikan pertarungan itu dulu." kata Cayden.
"Bagaimana jika denganku? bukannya waktu itu juga kamu belum menyelesaikan pertarungan denganku?" sahut Ian.
"Jangan ikut campur." kata Cayden yang tampak kesal.
"Oh... Cayden, apa kamu takut?" ejek Ian.
"Kau-- Kamu benar-benar tidak punya sopan santun. Aku pangeran disini, tapi kamu masih memperlakukan aku dengan seenaknya!!" suara Cayden meninggi.
"Oopss.. maafkan saya yang mulia."sahut Ian dengan menundukkan badannya sedikit, tanda hormat. "Kamu tidak berpikir aku akan hormat begitu kan? Itu sangat buang-buang waktu."
"Kau--"
"Ayolah Cayden... ayo kita bertarung. Aku ingin lihat apa anak manja seperti kamu bisa mengalahkanku." tantang Ian.
"Aku bukan anak manja." sahut Cayden.
"Ohh... maafkan aku. Bukan anak manja, tapi sangat manja. Ya, seharusnya begitu, maafkan aku."
Cayden sudah tidak bisa menahan amarah lagi. Wajahnya memerah. Gerahamnnya gemeretak. Dia memandang Ian tajam. Dia begitu muak padanya. Ian tidak pernah menghormatinya seperti orang lain, padahal dia adalah pangeran Lykort.
"Apa kamu marah? bagus kalau begitu." Ian melempar tas sekolahnya. "Ini akan sangat menyenangkan." gumamnya.
"Cukup." kata Kei yang sedari tadi diam. "Ayo kita pulang Ian."
Kei berjalan lagi.
"Sepertinya ada perkelahian disini." sahut sebuah suara seseorang yang baru saja datang. "Atau hanya perkumpulan serigala tidak berguna."
Semua orang menoleh dan mendapati Fred, kakak laki-laki Cayden. Dia mengenakan celana jeans biru terang dan kemeja biru malam. Fred datang bersama kedua temannya.
"Ian, apakah itu kamu yang menggunakan seragam SMA?" tanya Fred. "Aku tidak tahu jika kamu masih enam belas tahun."
Ian hanya terdiam memandangi Fred dingin.
"Oh... jangan memandangiku seperti itu." kata Fred setelah melihat tatapan tajam Ian. "Hai Kei."
Kei juga tidak menjawab.
"Aku rasa semua orang disini bisu." sahut Fred tampak kesal karena tidak ada yang menjawab. "Bagaimana kabar ayahmu Kei? tampaknya dia sudah membaik. Aku melihatnya beberapa hari lalu."
Kei masih tidak menjawab. Dia hanya membuang wajahnya.
"Hei... aku sedang berbicara denganmu, Kei. Jika seorang pangeran bertanya, kamu seharusnya menjawab." kata Fred dengan suara dingin dan tatapan tajam ke Kei.
"Jangan ganggu dia Fred." sahut Ian akhirnya.
"Jangan ikut campur Ian, aku sedang berbicara pada Kei." kata Fred.
"Jika kau berbicara padanya berarti kau berurusan denganku." kata Ian. Fred tertawa.
"Apa kamu tidak terlalu berlebihan Ian? dia bukan anak kecil lagi. Kamu tidak perlu menjaganya seperti itu. Bahkan kamu rela menggunakan seragam konyol itu. Kamu benar-benar menyedihkan." ejek Fred.
"Tidak, kau yang menyedihkan. Bahkan dengan umurmu sekarang, kamu masih punya waktu untuk mengurusi urusan anak enam belas tahun. Kamu selalu berkata, dewasalah Ian. Aku rasa kau yang harus dewasa Fred." Ian mengejek balik. "Apa kamu yakin kamu itu kakaknya Cayden? dengan mencampuri urusan Cayden membuatmu terlihat pengawal bagiku dari pada pangeran yang selalu kamu banggakan itu."
Fred tersenyum sinis.
"Berani sekali. Berani sekali serigala dari kelas rendahan sepertimu menilaiku!"
"Aku mungkin memang serigala kelas rendah, aku bukan bangsawan seperti kalian. Tapi setidaknya aku tidak mempunyai sikap rendahan sepertimu. Jauh lebih rendah daripada statusku."
"Kau--"
"Cukup! hentikan." ucap Kei yang sedari tadi diam. "Ayahku baik-baik saja Fred, jangan khawatir dan Ian, dia akan aku peringatkan untuk lebih sopan lagi.
"Tunggu, kenapa jadi aku? harusnya dia Kei!!" protes Ian.
"Cukup Ian, ayo kita pergi." ajak Kei.
"Ya, pergilah. Sebelum aku membuatmu mati seperti Dylan." kata Fred.
Kei terdiam. Dia merasa sangat marah sekarang. Dia paling tidak suka jika ada yang mengungkit Dylan, kakaknya.
"Jangan mengungkit kakakku." kata Kei dingin.
"Tunggu, apa kau marah padaku? aku hanya mengatakan yang sebenarnya, bahwa kakakmu telah mati. Seharusnya kau sudah menerima hal itu." kata Fred.
"Dan apa kamu sudah puas membunuhnya? Cih! kalian keluarga curang." kata Kei dingin.
Fred tertawa. "Apa kamu ingin mati seperti kakakmu? aku akan dengan senang hati melakukannya."
Kei maju selangkah dan menatap Fred dengan tajam. Bola mata hijaunya sudah berubah menjadi hitam pekat.
"Oh... lihatlah. Apa kamu yakin bisa mengalahkanku anak kecil?" tanya Fred.
"Aku bisa." Ian menjawab. Dia maju dan sudah berada di depan Kei.
"Jangan ikut campur Ian, aku bisa sendiri." sahut Kei.
"Tidak Kei, kamu tidak bisa." jawab Ian.
"Bisakah kamu berhenti memperlakukan aku seperti itu? menjauhlah dariku!!"
"Tidak! aku tidak akan menjauh darimu." tegas Ian.
"Ouwhh... romantis sekali." ucap Fred sambil bertepuk tangan. "Aku sungguh tersentuh." Fred menyentuh dadanya dan membuat wajah yang lembut. Seluruh temannya tertawa.
Kei menatap tajam Fred dan Ian bergantian lalu pergi meninggalkan mereka.
"Kei...!!!" panggil Ian.
"Lihat betapa pengecutnya dia kak." kata Cayden pada kakaknya. Fred hanya menatap Kei dalam diam. Tidak ada tawa dibibirnya.
"Jika kamu... tidak, jika kalian berdua berani mengganggu atau menyakiti Kei, aku bersumpah akan membunuh kalian berdua." ancam Ian.
"Lalu aku harus takut pada serigala rendahan seperti kamu? dasar tidak punya sopan santun. Aku ini pangeran... bukan, aku ini putra mahkota. Seluruh Lycanthrope akan menjadi milikku, terutama Lykort dan kamu tentu." ucap Fred.
Ian tertawa keras. "Aku tidak takut Fred, kamu tahu itu. Aku tidak perduli siapa kamu atau apapun yang kamu lakukan. Tapi jika kalian menggores Kei sedikit saja, aku akan membunuh kalian. Dan kamu, bahkan sangat tahu Fred, bahwa aku lebih kuat dari kamu. Apa perlu aku ingatkan kembali?"
"Lancang!! jika Alpha tahu, ayahku tahu, kau akan--"
"Aku tidak perduli." potong Ian cepat. "Dia ayahmu dan alpha di Lykort. Tapi tidak denganku dan ayahku. Dia bukanlah alphaku. Alphaku adalah Oston Hector Laros, bukan ayahmu. Jadi ingat kata-kataku Fred, dan kamu tahu, aku tidak sedang bermain-main." ancam Ian.
Fred dan Cayden terdiam. Mereka tahu apa yang di katakan Ian adalah benar, semuanya. Bahwa Ian jauh lebih kuat dari mereka dan itu membuat Fred menjadi kesal. Ian meninggalkan mereka semua dan berlari mengejar Kei. Ian berlari secepat dia bisa.
"Kei...!!" panggilnya. Ian masih terus berlari sampai dia menemukan Kei berjalan pelan di depannya. Ian menyentuh pundak Kei.
"Kei..."
"Lepaskan!!" Kei menghempas kasar tangan Ian dari pundaknya dan langsung mempercepat langkahnya.
"Tunggu aku, ayo kita pulang bersama."
"Tidak!! tinggalkan aku sendiri!!" teriak Kei. Ian tahu Kei sangat marah sekarang. Membuat Ian tidak tahu harus berbuat apa. Ian masih mengikuti Kei.
"Bisakah kamu berhenti melakukan itu padaku?" Kei berhenti dan menatap Ian.
"Melakukan apa? aku hanya membantumu dan itu sudah menjadi tugasku Kei." jawab Ian.
"Berhenti membuat aku tampak seperti anak kecil, tampak lemah!"
"Tapi aku tidak-"
"Aku benar-benar membencimu." sahut Kei akhirnya. Dia tahu itu tidak benar, dia hanya ingin Ian pergi darinya. Kei beranjak pergi.
"Oke, baiklah. Silahkan benci aku sepuasmu Kei." kata Ian membuat Kei menghentikan langkahnya. "Kamu boleh membenciku tapi jangan menyuruhku pergi darimu karena kamu tahu betul aku tidak bisa meskipun aku mau. Kamu tahu perintah ayahmu mutlak untukku Kei, karena dia adalah alphaku, bukan raja Ordovic karena aku dan ayahmu telah melakukan perjanjian serigala Kei. Dan asal kamu tahu, tidak hanya kamu yang kehilangan Dylan. Aku juga, Dylan adalah sahabat baikku."
Kei hanya terdiam mendengar kata-kata Ian. Itu benar. Dylan adalah sahabat Ian sedari kecil. Mereka sering berlatih bertempur bersama, pergi sekolah, hingga kadang melakukan kekacauan bersama. Ian sangat terpukul dengan kepergian Dylan. Ian adalah pengawal yang sangat berbakat dan kuat, seperti ayahnya. Raja Ordovic bahkan ingin membuat Ian menjadi pengawalnya, tapi tentu saja Ian menolak karena sudah melakukan perjanjian dengan ayahnya Kei, serta dia juga tidak ingin berada disisi raja yang tamak dan kejam.
"Pergilah, jangan ikuti aku." kata Kei akhirnya. "Untuk sekali ini saja, jangan ikuti aku. Aku ingin sendiri."
****
...Tadariez...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!