Rania menyeret kopernya memasuki sebuah mansion mewah, langkah kakinya terhenti ketika melihat sebuah foto shoot berukuran besar tertempel indah di dinding rumah itu.
Rania mengenderkan pandangannya, gadis itu menghela napas panjang melihat ada banyak sekali foto pasangan kekasih itu tertempel di setiap sudut ruangan.
"Selamat siang, Nona" sapa seorang pelayan wanita. Tak lupa menunduk memberi hormat.
"Siang juga" Rania tampak bersemangat menyambut sapaan pelayan tersebut.
"Perkenalkan nama saya, Elisa. Saya adalah kepala pelayan di rumah ini, Nona bisa mengatakan pada saya jika membutuhkan sesuatu," jelas Elisa.
"Terima kasih Elisa, kenalkan aku, Rania," ucap Rania sambil mengulurkan tangannya.
"Maafkan saya Nona, tapi saya tidak akan bersikap lancang pada majikan saya," Elisa menunduk memberi hormat.
"Oh" Dengan ekspresi kecewa Ranai menurunkan kembali tangannya.
"Nona, silahkan ikuti saya. Saya akan mengantar Anda ke kamar," ucap Elisa.
Rania mengangguk, lalu mengikuti langkah Elisa.
"Ini kamar Tuan Bram?" tanya Rania. Gadis itu merasa bingung karena ia dibawa ke salah satu kamar di lantai bawa.
"Buka, Nona. Ini kamar tamu yang Tuan Bram pilihkan untuk, Anda." sahut Elisa tetap menunduk memberi hormat.
"Antarkan aku ke kamar Taun Bram, aku ini istrinya, aku harus se kamar dengannya," pinta Rania.
"Maaf, Nona. Tapi Taun Bram tidak mengijinkan siapapun masuk ke kamarnya."
"Tunjukan saja dimana kamar Tuanmu itu, aku akan kesana sendiri," ucap Rania dan hendak melangkah pergi.
"Berhenti, Nona. Sebelum Anda pergi, lihatlah kesana," Elisa menunjuk ke lantai dua menggunakan jari jempolnya.
Rania mengerutkan dahi ketika melihat dua orang pria berbadan besar lengkap dengan seragam hitam berjaga di depan pintu.
"Itu kamar Tuan Bram?" tanya Rania.
"Betul, Nona." sahut Elisa.
"Tuan kalian cewek apa cowok? kenapa mesti dijaga keya anak perawan gitu." tanya Rania lagi.
"Tolong dijaga ucapan Anda, Nona. Tuan kami memiliki pendengaran yang cukup tajam hingga seribu meter,"
"Hah! Seribu meter? yang benar saja?" Rania merasa tidak percaya dengan ucapan Elisa.
"Benar, Nona. Jika Anda tidak percaya, silakan dicoba, tapi siap-siaplah untuk menerima resikonya"
"Memang apa resikonya?" Rania tampak penasaran.
"Tidak berat, Nona. Kalo bukan pita suara Anda yang dicabut, maka satu kaki Anda akan dipatahkan,"
Rania menelan salivanya berkali-kali sambil memegang tenggorokannya. Gadis itu membayangkan pita suaranya akan benar-benar diambil.
.
.
Tepat seperti yang dikatakan Elisa, Tuan Bram yang mereka bicarakan sejak tadi keluar dari kamar dan menatap tajam kearah mereka berdua.
"Nona, cepatlah menunduk dan beri hormat" ucap Elisa dengan posisi telah memberi hormat pada Tuan Bram.
Rania tampak bingung, gadis itu melayangkan pandangannya ke lantai dua. Sontak Rania langsung menunduk memberi hormat.
"Nona cepat ikuti saya sebelum Tuan Bram marah," Rania mengangguk cepat dan segera mengikuti Elisa masuk ke kamar tamu.
****************
Di Dalam kamarnya, Rania berbaring sambil membayangkan semua yang terjadi padanya satu minggu terakhir ini. Rania merasa semua ini terlalu cepat, bahkan tidak ada dalam agenda hariannya.
Masih tersimpan jelas dalam ingatannya, Ayah Bram atau yang dikenal sebagai Tuan Nugroho datang ke kampungnya dan berlutut dihadapan sang ayah, meminta izin agar menikahkannya dengan Bram.
Alasan Tuan Nugroho melakukan semua itu, agar Kakek Bram segera mengeluarkan surat wasiat untuk Bram sebagai penerus bisnis keluarga Nugroho. Bukan hanya itu, alasan terbesar Tuan Nugroho adalah, karena ia sudah cape melihat putranya selalu menjadi bahan gunjingan keluarga besar.
Penyakit impoten yang diderita oleh Bram telah diketahui semua keluarga, sehingga semua keluarga memandang sebelah mata pada Bram, bahkan mereka mengatakan Bram tidak pantas menjadi penerus bisnis keluarga Nugroho.
Semua sepupu Bram mencari cara untuk menjatuhkan Bram, termasuk menekan Bram agar pikiran Bram kacau dan tidak sembuh-sembuh dari penyakitnya.
Percakapan antara Taun Nugroho dan Pak Hidayat-Ayah Rania, tidak terlepas dari pengawasan Rania. Gadis itu melihat jelas saat Tuan Nugroho berlutut dihadapan ayahnya.
Mendengar cerita Tuan Nugroho, Rania merasa kasihan sehingga ia langsung menyetujui permintaan pria paruh baya itu. Apalagi, mengingat jasa baik Tuan Nugroho pada keluarganya, Rania merasa ini waktu yang tepat baginya untuk membalas semua jasa baik Tuan Nugroho.
Tuan Nugroho berjanji akan membebaskan Rania setelah tiga bulan pernikahan.
"Baiklah, semangat Rania, hanya tiga bulan, oke! Setelah itu kamu bisa bebas selamanya," ucap Rania menyemangati dirinya. Gadis itu menutup tubuhnya dengan selimut dan mulai tidur.
Keesokan harinya, Rania bangun pagi-pagi sekali. Setelah menyikat gigi dan mencuci mukanya agar terlihat lebih segar, Rania pun berjalan keluar kamar.
"Dimana Elisa" ucap Rania. Mata gadis itu seketika berbinar saat tidak sengaja melihat kitchen set yang sangat indah, bersih dan rapi.
Rania mendekat, ia terkagum-kagum melihat tatanan dapur yang begitu rapi. Memiliki hobi memasak dan suka mencoba menu-menu baru yang ia temukan, Rania berharap suatu saat nanti bisa memiliki dapur impian seperti yang ia lihat saat ini.
"Stop, Nona!" ucap Elisa menghentikan pergerakan tangan Rania yang hendak menyentuh kulkas.
"Ada apa, Elisa?" tanya Rania dengan ekspresi bingung.
"Maaf, Nona. Ini kitchen set pribadi Tuan Bram, tidak boleh sembarangan orang masuk kesini, apalagi menyentuh barang-barangnya." jelas Elisa.
Rania mengerutkan dahi mendengar ucapan Elisa. "Elisa, aku hanya ingin memasak, bukan mau menghancurkannya."
"Saya paham, Nona. Tapi setiap ruangan pribadi Tuna Bram di rumah ini, harus steril termasuk dapur ini,"
Rania terdiam tidak paham maksud dari ucapan Elisa. steril apa yang dimaksud?
Seiring dengan lamunan Rania, suasana dapur itu tiba-tiba saja mencekam ketika sosok pria yang menjadi bahan utama perbincangan mereka hadir disana.
"Elisa!" panggil Bram.
"Ya, Tuan" Hanya dengan satu panggilan, Elisa sudan paham apa maksud Tuannya.
"Nona Rania, silakan tinggalkan dapur ini. Jika Anda ingin makan sesuatu, Anda bisa pergi ke dapur sebelah sana." jelas Elisa. Wanita itu mempersilahkan Rania pergi dengan sopan.
Mendengar perkataan Elisa, Rania menjadi kesal. Gadis itu melirik tajam pada Bram dan segera meninggalkan tempat itu.
"Bersihkan dapur ini, jangan sampai tersisa satu kuman pun disini," ucap Bram lalu melangkah keluar rumah. Dibelakangnya, diikuti oleh empat orang pengawal pribadi yang berpakaian serba hitam, lengkap dengan kaca mata hitam.
Rania yang mendengar jelas ucapan Bram pun, membuka mulut tak percaya. Apa maksud ucapan pria itu? Apa dia pikir aku ini berkuman? Rania semakin kesal dan ingin sekali menonjok wajah Bram.
Setelah memastikan Bram pergi, Rania kembali mencari Elisa.
"Elisa, cepat katakan apa maksud ucapan Tuan sombong itu?" tanya Rania.
Elisa tersenyum tipis menanggapi pertanyaan Rania.
"Nona, hati-hati dengan ucapan Anda. Taun ka ...." ucap Elisa terhenti karena disela oleh Rania.
"Tuan Anda memiliki pendengaran yang tajam hingga seribu meter'kan?" Rania mengulang kata-kata yang pernah diucap Elisa.
Lagi-lagi Elisa tersenyum mendengar ucapan Rania. "Nona, Tuan Bram paling benci dengan orang yang jarang mandi. Lain kali, sebelum keluar kamar, sebaiknya Anda mandi terlebih dahu, Nona,"
"What? Dari mana Tuan Anda tau saya belum mandi?"tanya Rania. Gadis itu merasa tidak percaya karena ia keluar kamar pun tidak menggunakan baju tidur.
"Tuan Bram pecinta kebersihan, Nona. Sedikit saja keringat menempel di tubuh Anda, Tuan Bram akan langsung mencium baunya"
"Astaga, terserah. Terserah Anda dan Tuan Anda. Kepalaku pusing, aku lapar, aku mau makan," Rania memegang kepalanya frustasi. Baru sehari saja tinggal di rumah mewah itu, kepalanya sudah sangat pusing dengan tingkah Bram.
"Baik, Nona. Mari ikut saya," ucap Elisa dan Rania pun mengikutinya dari belakang.
Tak jauh dari kitchen set pribadi Bram, ada sebuah kitchen set lagi disana, lengkap dengan dua orang koki yang stand by disana.
"Silahkan, Nona. Anda bisa memesan menu-menu yang tersedia disini,," ucap Elisa sambil mempersilakan Rania duduk.
"Ah, iya Elisa. Makasih ya," Rania terlihat bingung. Gadis itu memperhatikan sekitarnya, kitchen set itu tak kalah mewah dari milik Bram.
Ini rumah tinggal, apa rumah makan sih? Tempat masak aja sendiri-sendiri gini.
"Nona Rania, silahkan dilihat, ini menu breakfast kita pagi ini," ucap salah satu chef sambil menunjukan menu pada Rania.
"Oh" Rania tampak masih bingung. Gadis itu mulai memperhatikan menu makanan.
"Harus milih dari sini aja ya?" tanya Rania setelah melihat daftar menu makanan. Sepertinya daftar menu itu tidak ada yang cocok dengan perutnya.
"Ya, Nona. Semua menu harian sudah terdaftar dan kami hanya melayani sesuai isi menu" jelas chef
Rania menghela napas panjang, bahkan makanan pun diatur. "Buatkan aku teh hangat saja sama roti tawar,"
"Rotinya perlu dibakar atau tidak?" tanya Chef.
"Tidak perlu, "sahut Rania cepat.
Setelah pesanannya datang, Rania memakan rotinya dengan wajah kesal. Dalam hatinya, Rania terus mencaci Bram, melihat sikap sombong pria itu, Rania yakin, Bram lah orang yang menerapkan semua peraturan itu.
"Minta lagi rotinya," ucap Rania ketus. Perutnya yang terbiasa makan nasi di pagi hari, mana bisa kenyang hanya dengan dua potong roti.
"Felix! Pastikan wanita itu tidak mengacau di rumahku," ucap Bram pada Felix yang sedang menyetir.
"Baik, Tuan" sahut Felix tetap fokus mengemudi.
Saat ini, mereka sedang dalam perjalanan menuju kantor. Didalam mobil, ada satu orang bodyguard yang duduk bersampingan dengan Felix didepan, semetara Bram duduk sendiri dikursi penumpamg. Dibelakang mereka ada satu mobil lagi yang berisi empat orang bodyguard di dalam nya.
Bram selalu membawa pengawal kemana pun saat ia pergi, bahkan di dalam kamar dan di kantor pun para pengawalnya akan stand by berjaga di pintu. Tujuan Bram hanya dua, yang pertama untuk menjaga keselamatannya dari orang-orang yang berniat jahat padanya dan yang kedua, Bram tidak ingin ada yang mengganggu ketenangannya saat bekerja ataupun saat sedang tidur.
Bramantyo Angkasa Nugroho, pria perfeksionis dalam segi penampilan maupun kebersihan. Memiliki tubuh tinggi tegap dan wajah tampan, siapa yang sangka Bram mengidap penyakit impote.
Tujuh tahun yang lalu, Bram mengiklaskan wanita yang sangat ia cinta menikah dengan pria lain karena penyakit yang ia derita. Bram rela menahan rasa sakit itu, asal wanita yang ia cintai bisa hidup bahagia. Bahkan Bram dengan tegar menghadiri acara pernikahan kekasihnya untuk memberi kenangan terakhir.
Sejak saat itu, Bram memilih fokus bekerja dan mengembangkan bisnis keluarga Nugroho. Bram sengaja memasang semua foto mesranya dengan sang mantan agar para wanita yang didekatkan sang papa padanya menjauh tanpa diminta.
Meski divonis mengidap penyakit impoten dan selalu dipandang sebelah mata oleh keluarga besar Nugroho, Bram tampak tidak mempedulikan semua itu. Bram tetap menjalankan hidup sesuai versinya sendiri.
.
.
Beberapa menit menempuh perjalan, akhirnya mereka pun tiba di depan sebuah gedung yang menjulang tinggi. Bram keluar dari mobil setelah seorang security membukakan pintu.
Sepanjang perjalanan menuju lift, semua karyawan menunduk memberi hormat termasuk yang sedang bekerja pun menghentikan aktivitas mereka untuk memberi hormat.
"Bacakan jadwalku hari ini," ucap Bram. Pria itu sigap duduk dikursi kebesarannya dan mulai membuka leptop.
"Jika Anda tidak ingin ikut acara makan siang itu, saya bisa membatalkannya sekarang, Tuan," ucap Felix setelah membaca keseluruhan jadwal kerja.
Bram terdiam sejenak, pria itu tampak mempertimbangkan undangan makan siang bersama dari rekan bisnisnya, apalagi ada dua sepupunya yang sudah pasti ikut hadir disana.
"Tidak perlu dibatalkan, kita kesana siang nanti,"
"Anda yakin, Tuan?" tanya Felix memastikan. Felix sendiri merasa geram harus bertemu orang-orang itu karena setiap ucapan yang keluar dari mulut mereka penuh sendirian pada Tuannya-Bram.
"Apa kau perlu mempertanyakan keputusaku, Felix?" tanya Bram membuat Felix tidak berani berucap apapun lagi. "Kembali lah ke ruanganmu, aku akan memanggilmu jika perlu," timpanya.
"Baik, Tuan" ucap Felix lalu melangkah keluar.
Bram menyandarkan punggung sambil menatap kepergian Felix. Bram paham maksud pertanyaan Felix tadi, tetapi Bram tidak ingin terlihat lemah didepan Felix terlebih lagi dimata orang-orang yang sering mencibirnya.
Tok, tok, tok.
Bunyi ketukan pintu dari luar membuat Bram menegapkan badan dan membenarkan posisi duduknya.
"Masuk!" ucap Bram. Pria itu mengerutkan dahinya melihat siapa yang datang. "Papa! Ada perlu apa Papa kesini? Kenapa tidak mengabariku dulu?" tanya Bram. Ia sigap menyambut sang papa.
"Hemmm, haruskah papa izin dulu jika ingin bertemu anak papa?" sahut Pras yang masih berdiri dipintu.
"Bukan begitu, Pah. Maksud Bram jika Papa memberitahukan Bram terlebih dahulu Bram bisa jemput Papa di bawah," jelas Bram. Pria itu berjalan menghampiri sang papa dan merangkul bahunya.
"Kau pikir papah ini udah uzur harus dijemput segala," Tuan Pras menatap sinis pada putranya. Namun yang ditatap tampak tidak peduli karena masih fokus melihat seseorang di belakangnya .
Untuk apa wanita ini disini? Bram terlihat mengeraskan rahangnya.
"Ayo Pah duduk dulu," ucap Bram mengajak sang papah duduk di sofa tamu.
Tuan Pras menurut dan mengikuti Bram yang masih merangkul bahunya.
"Rania! Kemarilah, Nak." panggil Tuan Pras. Pria paruh baya itu mengisiaratkan Rania agar duduk disampingnya.
Rania menurut dan duduk disamping Tuan Pras dengan sopan.
Melihat Rania yang duduk satu meja dengannya, Bram merasa sangat tidak nyaman. Jika saja tidak ada papanya disana, mungkin Bram sudah mengusir Rania keluar dari ruangnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!