Apa respons kalian saat tiba-tiba terbangun di tempat yang sepenuhnya asing? Panik? Berteriak? Menampar diri sendiri karena mengira itu mimpi buruk? Atau diam saja?
Jika itu Meridian, maka tanpa ragu dan tanpa perlu dipertanyakan ulang, ia akan diam.
Lekas Meridian meninggalkan tempat tidur super mewah dan aneh itu. Berjalan di atas karpet tebal lembut menuju ke sebuah meja rias yang tidak akan pernah ia temukan di dunia nyatanya.
Begitu pantulan cermin menampakkan sosoknya, Meridian terbelalak. Rambut perak dan mata kristal.
Lupakan soal rambut perak itu. Bisa saja itu diwarnai atau apa pun istilahnya. Tapi mana ada mata berwarna kristal biru!
Demi apa ini asli?
"Nona, Anda sudah bangun?"
Meridian menoleh. Agak waspada ketika pintu terbuka, menampilkan seorang wanita berpakaian khas pelayan anime—minus dada tumpah—membungkuk sopan padanya.
Kepala Meridian pening.
"Hei. Kepalaku terbentur. Informasi di kepalaku terasa acak. Beritahu namamu."
Bukannya menjawab, wanita itu berlari keluar meneriakkan panggilan untuk semua orang.
Meridian rasanya mau menepuk dahi. Ia sudah berusaha memberi alasan masuk akal. Kenapa malah terkejut?
Hanya butuh waktu beberapa menit, sangat banyak orang berkumpul di kamar itu. Meridian agak terkejut ketika seorang wanita datang menerjangnya, bertanya dengan nada sangat berlebihan seolah-olah Meridian sekarat.
"Meridian, kamu baik-baik saja, Putriku? Kamu terbentur? Tunjukan pada Ibu lukamu, Sayang."
Ugh.
Meridian spontan saja menjauh. Risi dengan kehadiran orang asing yang menyebut dirinya ibu itu.
"Aku baik-baik saja." Ia mengalihkan mata dari orang-orang ini. "Tolong menjauh sedikit. Aku tidak bisa bernapas."
"Meridian."
Sesaat kemudian, Meridian tersentak. Siapa tadi yang dia sebutkan?
"Meridian?" Kepalanya berpaling pada orang-orang asing itu. "Aku? Maksudku, namaku?"
Sial. Lihat wajah terkejut mereka.
"Meridian." Kali ini seorang pria yang mendekatinya. Dan Meridian tebak kalau si wanita Ibu, maka orang ini kemungkinan Ayah. "Tunjukan lukamu, Nak. Biar dokter memeriksamu."
Baiklah, baiklah. Menjauh sedikit.
"Tidak ada kelainan." Dokter itu berkata. "Denyut jantungnya normal. Tidak ada luka ataupun gangguan persepsi. Nona Muda baik-baik saja, Tuan, Nyonya."
Tunggu sebentar. Dia memeriksa seperti itu dan membuat keputusan begitu saja? Mana pemeriksaan darah? Scanning kepala atau apa pun itu istilah medisnya, tidak ada?
Jangan bilang dia dokter-gadungan sungguhan?
"Lalu kenapa putriku tampak tidak mengenali dirinya sendiri?!" Si Nyonya berteriak.
"Dokter, lakukan pemeriksaan lebih lanjut. Meridian terlihat kebingungan. Pasti sesuatu terjadi padanya."
*
Pagi berganti siang.
Meridian masih saja berada di mimpi yang sama.
Karena ia bukan orang tolol, Meridian langsung sadar bahwa ia ternyata bukan berada di dunia mimpi.
Tidak ada mimpi yang seintens ini. Sejak tadi ia memikirkan banyak hal, dan Meridian merasakan pergerakan waktu lambat seperti halnya di dunia ia sebagai Meridian berambut hitam bermata cokelat.
Kalau begitu, sebenarnya ia sedang terdampar di mana?
"Anda memanggil saya, Nona?"
"Jawab aku tanpa bertanya balik. Siapa namamu?"
"Saya Wilona, Nona. Kepala pelayan yang bertugas di sekitar lantai Anda."
"Aku tidak ingin seseorang datang. Dengarkan pertanyaanku saja." Meridian sudah terlalu pusing untuk menghadapi orang-orang itu. "Di mana ini? Maksudku, koordinatnya. Kota, negara, tahun?"
".... Anda berada di mansion utama keluarga Ellenwick, kota terapung, Moros, Kekaisaran Alala."
Apa?
Untuk pertama kali, Meridian merasa agak familier. Ia tak tahu soal apa itu kota terapung, Moros, namun ia familier pada kata 'kekaisaran Alala'.
Kata itu, di mana pernah ia dengar?
"Jangan bertanya. Kamu mengenal nusantara?"
".... Tidak, Nona."
Ini dunia lain.
Dunia yang sepenuhnya berbeda.
Alasan Meridian ada di sini belum jelas, tapi ia mulai merasa agak familier—untuk sekarang pada satu kata. Gabungan keduanya itu tidak biasa, jadi Meridian mengingatnya dengan baik.
"Siapa dan berapa saudaraku?"
"Anda memiliki enam saudara, Nona. Lima diantaranya laki-laki. Saudara pertama Anda, Tuan Muda Dion, adalah penerus keluarga Marquis ini. Saudara kedua Anda, Tuan Muda Lucas, berjarak satu tahun setengah dari Tuan Muda Dion. Saudara ketiga Anda, Tuan Muda Raphael, berjarak dua tahun dari tuan muda Lucas. Saudara keempat dan kelima adalah kembar, Tuan Muda Litae dan Tuan Muda Litea adalah adik Anda. Lalu, kakak perempuan Anda, Nona Muda pertama, beliau sudah menikah dan sekarang menjadi istri penerus Count Ekhart."
"Beri tahu aku tahun. Kamu tidak menyebutkannya tadi."
"Ini tahun 1304 Kekaisaran, Nona."
Bukan tahun Masehi.
Ini dunia fantasi.
Meridian berpikir sejenak, menganalisis pola dari cerita-cerita fantasi semacam ini. Kalau tebakannya tidak salah maka .... "Apa ada peperangan antara kekaisaran dan negara lain?"
"Ya, Nona. Pangeran Andaru tengah memimpin pasukan utama kekaisaran dalam penaklukan. Peperangan sudah berlangsung selama tiga bulan lamanya. Jika pasukan utama yang dikirim oleh baginda berhasil dan Pangeran Andaru menaklukkan ibu kota Hidra ditaklukkan, maka kemenangan adalah milik kekaisaran agung kita."
"Beritahu aku nama pangeran."
Pelayan itu tersentak lagi. "Yang Mulai Andaru Reynand Alala."
Kepala Meridian berdenyut. Sekelebat ingatan di kepalanya muncul.
Sosok yang sempat ia lupakan hadir, dalam wujud setengah gelap, mengoceh tentang keinginan membuat novel bertemakan dunia fantasi.
Jangan bilanng ....
"Siapa namaku tadi?"
"Nona Meridiana Ellenwick."
"Berapa usiaku?"
"Anda mencapai usia tujuh belas tahun, Nona."
"Apa debutku sudah dilakukan?"
".... Anda jatuh sakit setelah debutan Anda kemarin, Nona. Anda menghabiskan waktu semalam menangis lalu ...."
"Lalu?"
"...."
Lalu ia menjadi seperti ini, begitu?
Orang gila bodoh itu!
Meridian cuma bisa mengacak rambutnya frustrasi begitu ia memahami situasi.
Mungkin dirinya yang gila tapi kalau benar, ini dunia yang diciptakan oleh sahabat baiknya, Laila, dengan plot cerita sampah tapi penuh kebucinan.
Yang jadi masalah bukan itu!
Nama Andaru—minus Reynand-nya—lalu kekaisaran Alala, kota bernama Hidra, lalu nama Meridian sendiri, semuanya itu ciptaan Meridian. Atau lebih tepatnya, Laila merengek ia memberikan nama-nama keren untuk novelnya karena selera penamaan dia Meridian sebut perlu sekolah tiga tahun dulu.
Oh, tidak.
Meridian tidak bertanya bagaimana caranya ia masuk, karena yang lebih penting! Yang lebih penting adalah ... saking ampasnya, ia tak sanggup menyelesaikan satu halaman novel.
Saking ampasnya!
"Aku akan mempercayaimu tidak membuka mulut kecuali atas izinku." Meridian bergumam seperti psikopat. "Jadi beritahu aku—siapa namamu tadi?"
"Wilona, Nona."
"Wilona, apa secara kebetulan aku adalah tunangan pangeran tampan Andaru?"
"Ya, Nona. Tahun ini pernikahan Anda—"
"Ssssshhhut!" Meridian tak sanggup mendengar. "Panggil Ayah dan Ibuku. Tanpa dokter."
Meridian tidak tahu bagaimana si brengsek Laila itu merangkai novel, tapi satu yang pasti. Pernikahan Andaru dan Meridian tidak didasari oleh alasan logis apa pun, melainkan karena Laila cuma mau memasangkan tokoh utama wanita dengan tokoh utama pria.
Which means Meridian sedang menuju takdir ampas itu sekarang.
*
Judulnya adalah The Crown. Tapi tidak seperti serial The Crown-nya Ratu Elizabeth, novel ini benar-benar cuma novel bucin tanpa dasar pengetahuan.
Tokoh utamanya adalah Andaru, pria tampan yang Meridian belum tahu dibuat seperti apa oleh si Bodoh Laila itu.
Jadi singkat cerita, Andaru adalah pahlawan perang yang super duper hebat plus calon kaisar alias putra mahkota kejam berhati dingin.
Entah untuk alasan apa, dia dijodohkan dengan putri Marquis, yang tidak lain tidak bukan adalah Meridian.
Tamat.
"Aku ingin membatalkan pertunangan."
Ekspresi orang yang disebut Ayah dan juga Ibu di depannya sama saja seperti pelayan tadi. Mereka cengo.
Namun Meridian melirik seseorang lagi, yang mengaku sebagai kakaknya dan memaksa ikut terlibat dalam percakapan. Wajahnya tidak cengo.
Mampu mengontrol wajah adalah ciri orang pintar versi Meridian. Siapa dia? Dion? Lalu siapa lagi ... Lukas? Siapa lagi yang ketiga? Ah, Meridian lupa.
"Ada apa denganmu?" Si Kakak lebih dulu bertanya. "Aku mengerti debutan-mu mengalami masalah. Tapi haruskah kamu berpura-pura tidak ingat untuk menutupi rasa malu?"
"Boleh aku tahu apa maksud dari debutan bermasalah?" Meridian bukan si Meridian Liolalo ini, jadi ia tak merasa sedang berpura-pura.
"Kamu masih berpura-pura."
"Apa wajahku terlihat berpura-pura?"
"Dion, tenanglah. Adikmu sedang kebingungan." Si Ayah menghentikan anaknya. Dan memberi informasi bahwa ternyata ini si Dion.
Wajahnya tampan luar biasa, kalau bisa dikomentari. Laila pasti mencurahkan seluruh kemampuannya cuma untuk deskripsi cogan.
Pria bernama Dion ini memiliki mata kristal seperti Meridian, namun rambutnya berwarna hitam legam. Ekspresinya dingin. Khas cowok-cowok komik yang hanya akan lembut pada kekasihnya.
"Meridiana, kamu benar-benar melupakan dirimu?"
Pertanyaan macam apa itu?
"Ya, Ibu. Aku melupakan semuanya. Kurasa." Bahkan nama wanita ini ia tidak tahu.
Harusnya tadi ia bertanya. Tapi tidak tahu pun tidak masalah. Ia hanya cukup memanggil dia Ibu.
"Lalu, bisakah kita masuk ke permasalahannya? Aku ingin membatalkan pertunangan."
"Meridian, jika ingatanmu benar-benar bermasalah, maka itu bukan pembicaraan yang layak untuk sekarang." Si Ayah menanggapi serius. "Lagipula, ini pertunangan yang melibatkan keluarga kekaisaran. Kita tidak bisa sembarangan membatalkannya."
Tentu saja bisa. Memang apa alasan mereka bertunangan? Politik? Laila bahkan tidak tahu mengapa perang dunia kedua dan pertama terjadi, dan mengapa perang dunia ketiga belum terjadi.
Paling dia mengaturnya seperti 'ini sudah diputuskan jadi jangan melawan sebab kekaisaran maha kuasa'.
Orang itu memandang dunia secara sederhana. Sangat sederhana.
"Hukum kekaisaran mengatakan pertunangan yang telah direstui oleh kuil tidak bisa dibatalkan kecuali dengan bukti kuat." Dion membalas.
Kenapa tidak sekalian dia membuat Andaru dan Meridian sudah menikah saja? Lagipula bukti. Memangnya ini kasus korupsi!
"Apa tidak ada cara membatalkannya?"
"Kenapa kamu ingin membatalkannya?"
Bisakah dia diam dulu?
"Aku melupakan banyak hal, Saudaraku. Banyak hal. Termasuk wajahmu, kurasa. Kamu ingin aku menikahi pria yang wajahnya kulupakan?"
"Berhenti bermain-main, Mery."
Meridian tersedak. "Kamu memanggilku apaaaa?!"
Mereka tersentak lagi.
"Aku memperingatimu, Sialan! Jangan panggil aku dengan panggilan menjijikan!"
Sambil misuh-misuh, Meridian bangkit. Pergi meninggalkan mereka saking jijiknya.
Mary apaan! Mary Christmas? Meridian dan Mary adalah dua hal berbeda!
Sialan. Orang tampan sialan!
*
Meridian menggigit kukunya sambil memeluk diri sendiri meninggalkan tempat tadi.
Tidak mungkin ia senang harus berada di dunia menyebalkan yang ia tak tahu alurnya ke mana, namun sangat yakin bahwa semua akan ampas.
Pasti ada cara untuk kembali. Pasti ada cara untuk bangun dari mimpi tol*l ini.
Ayo pikirkan sesuatu. Meridian adalah gadis cerdas yang bisa melakukan apa saja dengan kepercayaan diri, tekad, dan tentu saja usaha. Pasti ada cara untuk Meridian bisa kembali.
Tapi pertanyaannya, apa? Lagipula, sejak awal, bagaimana seseorang bisa masuk ke dunia novel?
"Tenanglah, Meridian. Tenanglah." Meridian semakin gelisah menggigit kukunya, sebab perasaan nyata ini membuat takut.
Ini mimpi. Mimpi yang terasa nyata. Yang perlu ia cari tahu hanya bagaimana harus bangun.
"Meridian."
Kekesalan menguasai Meridian hingga ia menatap tajam kedatangan pria tampan sialan yang tadi memanggilnya Mary.
Jika sekali lagi dia mengucapkan itu, Meridian bersumpah akan menendang wajahnya.
"Hentikan permainanmu."
Tolong jangan pancing emosinya dulu ketika Meridian sudah sangat pusing memikirkan dirinya terisekai!
"Apa menurutmu semua orang akan percaya jika kamu berkeliling mengatakan kamu lupa ingatan hanya karena kemarin kamu merusak debutan-mu? Tidak peduli seberapa memalukan hal itu, kamu sudah dewasa untuk menghadapinya dengan kepala dingin, bukan lupa ingatan tiba-tiba."
Huft. Oke, tenang. Baiklah.
Dia ini karakter novel alias tidak nyata alias tidak penting alias abaikan saja.
Tarik napas dan tenang. Tenang setenang-tenangnya.
Ini mimpi, ini teknologi canggih yang ia kebetulan lupa saja karena baru bangun tidur, dan sebentar lagi ia akan kembali.
"Kamu tidak bisa membohongi dokter. Tidak ada luka dari kepalamu jadi hentikan—"
"Diam!" Meridian kelepasan juga. "Dengar, yah, Orang Asing. Mengoceh tentang luka di kepala, tentang dokter gadungan dan tentang apa pun itu ocehanmu, aku tidak peduli tapi dengar! Aku, sudah bilang, aku lupa! Berhenti bicara padaku!"
Meridian berbalik kesal. Mengabaikan raut wajah terkejut pria itu dan kembali bergumam dalam hati bahwa entah bagaimana ia harus kembali.
Harus kembali!
*
"Apa benar dia lupa ingatan?"
"Hei, Lite, dia hanya menyembunyikan rasa malunya. Jika aku pingsan berhadapan dengan Yang Mulia, kurasa aku juga akan pura-pura lupa ingatan!"
"Benarkah? Tapi Ibu menangis semalam."
"Dia pasti sudah gila."
Sepertinya mereka membicarakan Meridian. Apa ia pura-pura tidur saja sampai tidur betulan?
"Bocah, minggirlah. Dia sudah bangun."
Cih.
"Meridian." Si Yang Tadi Memperingati dua bocah brengsek itu bersuara. Mendekati Meridian seolah-olah ia pasien lumpuh. "Duduklah perlahan. Jangan memaksakan diri."
"...."
"Kamu mengenal kami, kan?" Yang satu lagi bersuara. "Tolong jangan katakan tidak. Aku tidak percaya kamu—"
"Aku tidak mengenalmu." Meridian masih terbawa kesal pada Dion kemarin. "Pergilah jika tidak ada urusan."
Hening.
Perasaannya saja atau semua orang agak terlalu kaget? Kenapa, sih? Memangnya tidak bisa mereka sedikit bersikap biasa saja?
"Hei, dia sungguhan Meridian?" Si kembar bertanya pada kembarnya. "Dia tidak gagap! Dia berkata pergilah!"
"Dia pasti bukan Meridian!"
Yaya, sekalian saja katakan 'dia pasti lupa ingatan'. Dasar keluarga sabun.
"Kembar, diamlah." Saudara Meridian yang membantunya duduk langsung tersenyum begitu menatap Meridian. "Tidak apa, Adikku. Aku tinggal memperkenalkan diri. Namaku Raphael. Mereka Litea dan Litae, lalu dia Lukas. Kamu bisa mengingatnya?"
"Apa maksudnya aku gagap?"
Jangan bilang si Brengsek itu menjadikan Meridian tokohnya sebagai wanita gagap? Masa dia memasangkan perempuan gagap dengan pangeran? Seleranya sungguh aneh.
"Aku tidak bisa percaya ini." Lukas menukas, terkesan marah. "Apa-apaan lupa ingatan? Berhenti bermain! Tidak ada satupun dari kami yang menyalahkanmu, jadi—"
"Kalau begitu berhenti menuntutku melakukan sesuatu yang tidak bisa kulakukan, Kakak Lukas."
Dia terkejut seolah-olah kiamat di depan matanya.
"Hei!" Bocil A memanggilnya. "Kamu sungguhan? Kamu melupakan kami? Kamu juga melupakan janjimu memberikan camilanmu selama sebulan padaku?"
Meridian tersenyum manis. "Tentu saja—"
Bocah itu berbinar.
"—aku harus mati tujuh kali untuk membuat janji semacam itu, jadi tidak."
"Kamu bukan Meridian!" Si B menunjuknya. "Orang aneh! Orang gila! Dasar penyihir!"
Kini Meridian yang cengo. Mulutnya menganga atas kepergian dua bocah sinting yang berlari seperti melihat hantu itu.
"Aku percaya." Lukas tiba-tiba bersuara. "Meridian tidak akan berbicara sepertimu. Kamu bukan Meridian."
Oh, ternyata itu diturunkan dari kakak mereka.
Meridian mendengkus pelan.
"Maafkan mereka. Mereka mengkhawatirkanmu." Raphael menyentuh tangannya lembut. "Semua baik-baik saja, Meridian. Kami semua akan berupaya agar ingatanmu kembali."
"...."
Raphael menarik tangannya seolah tersadar. "Maafkan aku. Kurasa kamu tidak nyaman?"
Pria kikuk ini, sepertinya dia tokoh sampingan yang cukup penting. Di antara semua sih, masih lebih tampan Dion. Tapi kalau sikapnya begini, kemungkinan Raphael adalah tokoh kakak idaman.
"Aku baik-baik saja."
Meridian tidak merasa terganggu.
Lagupula, ia selalu merasa ini adalah dunia mimpi. Jadi kecuali perhatian berlebih-lebihan seperti yang dilakukan si Ayah dan si Ibu, juga sikap menyebalkan Dion atau Lukas, Meridian baik-baik saja.
"Daripada itu, Kakak, bisakah aku meminta sesuatu?"
"Tentu saja. Katakan padaku."
"Aku ingin jalan-jalan."
"Jalan-jalan?"
"Berkeliling. Melihat kota. Kurasa itu akan membantu ingatanku."
Untuk sekarang, ayo lihat dulu kota macam apa yang diciptakan Laila Sinting itu agar ia bisa lebih paham harus mengambil langkah apa. Tapi tentu, ia harap besok semua ini sudah runtuh, alias ia terbangun dari tidur panjangnya.
Karena bagaimanapun, tidak peduli bagaimanapun caranya, Emilia harus kembali dan akan kembali. Meninggalkan dunia yang ia yakin tidak memiliki harapan apa pun kecuali ampas ini.
Dunianya nyata adalah dunia.
Aku sudah kenyang membaca cerita seperti ini. Meridian tersenyum remeh. Tinggal mencari tahu bagaimana polanya, pasti ada celah untuk kembali. Pertama, cari informasi.
*
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!