NovelToon NovelToon

Menikahi Bad Boy

Prolog

Demi buah mangga yang jatuh dari dahannya, belum setengah jam Widya Lovarza Anindita berada di ruangan Presdir Mahendra El Pradipta, ia sudah harus menerima permintaan yang mengejutkan. Pikirannya sontak kosong dan tubuhnya kaku.

Bagaimana bisa orang dengan jabatan tertinggi di perusahaan tempatnya bekerja itu memintanya melakukan hal gila semacam, MENIKAH DENGAN ANAKNYA!

"T-tuan, ke-kenapa tiba-tiba.“ Widya terbata sambil menatap Mahendra berharap pria paruh baya itu sedang bercanda. Seingatnya sekarang bukan hari ulang tahunnya ataupun hari April Mop, tetapi hal yang baru saja dipinta Mahendra merupakan sesuatu yang sangat menggemparkan.

"Aku mohon padamu, Widya. Aku hampir putus asa mengurus anak kurang ajar itu."

Nada suara Mahendra begitu putus asa. Sebagai seorang pegawai yang sudah bekerja di Pradipta Group selama tiga tahun, Widya hanya merengut prihatin. Ia pernah mendengar desas-desus tentang Putra Mahkota Pardipta Grup yang terkenal sulit sekali diatur. Si pewaris tunggal itu kerap kali berulah dan membuat sang ayah mengurut keningnya, seperti kali ini.

"Kenapa harus aku?" Widya bertanya dengan hati-hati. Bagaimana pun ia berhak tahu alasan Mahendra memilihnya, dari sekian banyak karyawan wanita yang bekerja di perusahaan itu.

"Aku percaya kau bisa mengubah sifat buruk anakku."

Widya terkesiap ketika mata Mahendra menatapnya lurus penuh harap. Ia bisa menemukan keputusasaan di mata rentanya itu, seketika mengingatkannya pada mendiang ayahnya yang telah meninggal. Mereka memiliki sorot mata yang sama.

"Kau seorang trainer terbaik yang dimiliki perusahaan ini dan aku sudah mengamatimu selama beberapa bulan. Keputusanku tidak akan berubah. Aku tetap memilihmu sebagai menantuku."

Sekali lagi Widya terkejut mendengar penuturannya. Presdir tidak sedang bercanda denganku, kan? la melirik kiri kanan siapa tahu ada kamera tersembunyi yang merekam adegan ini lalu salah satu stasiun televisi akan menayangkan wajahnya yang terkesima dan menjadikannya bahan tertawaan seluruh negeri.

"Aku memberimu waktu sepuluh menit untuk memutuskan hal ini."

Oh, yang benar saja? Kenapa waktunya sedikit sekali untuk memutuskan hal penting dalam hidup seorang wanita? Apa Mahendra tidak tahu bahwa pernikahan sangatlah penting bagi seorang wanita lajang yang hidup sendiri seperti Widya? Hal sepenting itu tidak bisa diputuskan hanya dalam waktu sepuluh menit saja.

"Widya, jika kau bersedia menerima penawaranku ...." Suara Mahendra kembali terdengar menyusup ke dalam kepala Widya yang hening, membuat gadis itu berpaling menatapnya. "Aku akan menuliskan namamu dalam daftar pewaris aset Pradipta Grup."

Kedua mata Widya langsung terbelalak.

Pria ini pasti berada di ujung tanduk jika sampai bersedia membagi hak waris atas hartanya yang bernilai milyaran itu. Widya dihadapkan dengan dilema. Materi bukanlah faktor yang membuatnya memikirkan penawaran itu, melainkan rasa empatinya terhadap harapan seumur hidup yang diinginkan seorang ayah.

Detik itu Widya pun luluh. Ia tidak bisa lagi berkata tidak. Ia tidak sampai hati membuat sorot mata itu meredup dan padam.

Keputusannya akan menjadi titik balik kehidupannya. Widya tahu, satu jawaban itu akan mengubah seluruh hidupnya selamanya.

Bersambung ....

Halo, aku kembali dengan cerita baru. Happy reading ya, semuanya.

Gusar

Tubuh Widya masih gemetaran bahkan setelah pertemuan di ruang Presdir berakhir tiga jam yang lalu, karena sibuk bergumul dengan pikirannya, tanpa terasa sekarang sudah waktunya jam pulang. Ia tidak bisa konsentrasi melakukan apa pun sekalipun itu membereskan meja kerjanya.

Brakkk!

Kecerobohannya menimbulkan suara gaduh yang membuat beberapa karyawan yang bersiap untuk pulang menoleh ke arah mejanya.

"Tidak ada apa-apa, jangan khawatir. Tadi tanganku licin," jelas Widya kaku dihiasi senyum yang dibuat-buat. Ia segera membereskan beberapa modul pelatihan dan laporan ke atas meja dengan agak tergesa.

"Kamu ini kenapa? Semenjak keluar dari ruangan Presdir mukamu sudah pucat. Apa Presdir mengatakan sesuatu padamu? Atau dia memberimu surat peringatan?" tanya Bella Saphira dengan wajah histeris. Gadis itu adalah rekan kerja serta sahabat terdekat Widya yang sudah berbagi suka duka hidup bersamanya selama beberapa tahun terakhir.

Semua karyawan Pradipta Group tahu bahwa presdir mereka tidak akan segan-segan memecat karyawan yang menurutnya sudah tidak layak bekerja.

"Bukan begitu." Widya menggeleng cepat. Ia berusaha mengendalikan diri. Jika ia terus linglung seperti ini bisa-bisa dirinya masuk rumah sakit jiwa bahkan sebelum la bertemu dengan calon suaminya. Widya menatap Bella dengan wajah memelas.

"Bella ...."

Bella melebarkan matanya sadar maksud tatapan Widya. Sesuatu telah terjadi. Dia membatalkan niatnya untuk pulang lalu menarik kursinya dan duduk di dekat Widya.

"Apa? Ada yang ingin kamu ceritakan?"

Widya mengangguk. "Sebenarnya, Presdir memintaku melakukan sesuatu untuknya," lirihnya frustrasi.

"Sesuatu? Apa Presdir memberimu tugas yang sulit?"

Dengan pelan Widya menggeleng. Ia tidak akan segalau ini jika menyangkut urusan pekerjaan. Namun, sayangnya tugas yang ditawarkan Mahendra lebih riskan sekaligus menggegerkan.

"Ini berkaitan dengan pernikahan," lirih Widya dengan suara pelan. Meskipun hanya ada mereka berdua di tempat itu, ia tetap tidak bisa mengambil resiko.

"Pernikahan?" Bella mengerjap, lalu tercekat. "Apa mungkin Presdir memintamu menjadi istrinya?!" serunya histeris mengingat Mahendra sudah lama menduda. Sontak Widya menjitak cepat kepala Bella yang suka berpikir ngawur.

"Jangan sembarangan menyimpulkan!" Widya mendesah berat. "Tapi kamu memang benar tentang permintaan menjadi istri.“

"Astaga?" Bella menutup mulutnya. Ia semakin tidak sabar mendengar kelanjutannya.

la menatap intens Widya yang balas menatapnya ragu.

"Presdir, dia memintaku menikah dengan anaknya."

"Are you kidding me?!"

Teriakan Bella begitu kencang sampai-sampai mampu menggetarkan seluruh ruangan yang kosong itu. Widya harus membekam mulutnya dulu sebelum orang-orang berlarian ke ruangan mereka untuk melihat apa yang terjadi. Bella buru-buru menyingkirkan tangan Widya.

"Kamu serius?" tanyanya masih tak percaya.

"Iya!" tegas Widya.

Whoaa, berita yang sungguh menggemparkan. Sangat tidak bisa dipercaya! Eksklusif dan ajaib!

Bella semakin merapatkan duduknya dengan Widya. "Bagaimana bisa? Jasa apa yang sudah kamu lakukan sampai Presdir kita menawarimu pernikahan, bukan dengan siapa-siapa tapi putra semata wayangnya?!"

Widya tidak punya jasa apa pun, tentu saja. la hanya pekerja keras. Namun, ia masih ragu apakah ia harus mengatakan yang sejujurnya pada Bella atau tidak. Mahendra sudah memperingatkan Widya agar berhati-hati dan jangan sembarangan memberitahu orang lain tentang alasannya di balik penawaran itu. Karena itu ia memilih jawaban yang paling aman dan mendekati.

"Beliau mengakui kemampuanku dan berhadap aku bisa menjadi pengaruh baik untuk putranya."

Bella langsung bertepuk tangan dengan heboh, seolah dirinya yang mendapatkan jackpot. Widya merasa agak lega melihat Bella menyambut dengan gembira berita itu. la sempat khawatir akan mendapat kecaman dari sahabatnya itu.

Sebab, Widya sudah memutuskan untuk menerimanya.

"Kamu harus menerimanya! Jangan sampai kamu melewatkan kesempatan emas ini. Jika kamu menikah dengan anaknya, hidupmu akan terjamin dan kamu tidak akan hidup sebatang kara lagi."

Keluarganya memang sudah tiada. Ayah dan ibunya meninggal karena kecelakaan dan ia tidak memiliki sanak saudara. Sejak SMA Widya sudah hidup mandiri dengan bantuan uang asuransi yang ditinggalkan kedua orang tuanya. Bella benar soal itu dan ia memang berpikir hidupnya akan berubah jika ia menerima permintaan ini. Setelah mendengar pendapat Bella, keputusannya semakin bulat.

"Lalu, kamu menerimanya?"

Widya mengangkat wajahnya menatap Bella langsung. Dia adalah sahabat terbaiknya karena itu dia berhak tahu tentang keputusan penting yang sudah diambilnya. Perlahan-lahan, ia mengangguk.

Kedua mata Bella melebar. "Kamu serius? Gila, aku tidak percaya ini!" serunya sambil mencengkeram rambutnya sendiri. Ia pun meraih kedua tangan Widya. "Kamu sudah mengambil keputusan paling brilian seumur hidupmu. Ah, aku gembira sekali. Selamat, kawan. Aku tak percaya kamu bisa menjadi menantu dari keluarga konglomerat. Kamu tahu Widya, kamu sangat beruntung. Banyak wanita yang menginginkan posisi itu. Dan kamu beruntung bisa mendapatkannya. Posisi itu jatuh sendiri ke pangkuanmu. Siapa yang akan menolak? Aku saja tidak akan menolaknya."

"Tapi orang-orang pasti berpikir aku menikah hanya demi uang," ujar Widya resah.

"Who cares! Aku tahu kamu tidak begitu. Jika sampai ada yang mengatakan hal tersebut, aku akan membelamu dengan mengatakan bahwa Tuan Mahendra lah yang memintamu menjadi menantunya."

Widya menundukkan kepala. Ia juga tidak tahu kenapa ia bisa setuju. Namun, eskpresi penuh harap Mahendra membuat keraguannya hilang. Widya tidak sanggup menolaknya lagi. Ia berpikir mungkin ini jalan yang sudah dipilihkan Tuhan untuknya.

Masih segar dalam benaknya setiap ucapan Mahendra yang berusaha meyakinkannya agar setuju.

"Ini adalah permohonanku sebagai seorang Ayah yang menginginkan kebahagiaan putra semata wayangnya, kuharap kau memahami perasaanku, Widya."

Widya menelan kembali kata-kata penolakan yang sudah ada di otaknya saat itu. Melihat Mahendra berkata dengan wajah penuh harap padanya, ia pun terenyuh. Ekspresi itu mengingatkannya pada mendiang ayahnya. Beliau selalu memperlihatkan raut yang sama setiap kali memandangnya dengan harapan ia bisa menjalani hidup bahagia.

Bagaimana bisa Widya menyakiti hati seorang ayah yang mencintai anaknya dengan tulus seperti itu?

"Jika kamu masih menolak juga, lebih baik kamu angkat kaki saja dari perusahaan ini. Kamu sudah mengabaikan permintaan sekali seumur hidup dari atasanmu sendiri."

Widya terkesiap. Tiba-tiba saja ia diancam. Jadi jika ia menolak, ia akan dipecat? Di mana lagi ia akan mendapatkan pekerjaan senyaman di sini? la sudah cukup lama bekerja di perusahaan ini dan ia sangat mencintai pekerjaannya. Jika ia dipecat lalu bagaimana ia bisa hidup?

"Baiklah," putus Widya pasrah, bukan takut karena akan dipecat, tetapi ia memang sudah memutuskan menerima permintaan Mahendra.

Lagipula apa salahnya menikah dengan anak seorang Presdir? Status mereka memang berbeda, dan mungkin akan memberinya kesulitan di masa depan. Namun, hal itu masih bisa diatasi. Widya selalu siap menerima tantangan. Hidupnya mungkin akan berubah, tetapi dirinya tidak. Selain itu, usianya sudah pas untuk menikah dan ia juga tidak memiliki kekasih.

Jawaban Widya membuat Mahendra terkesiap takjub.

"Syukurlah kamu setuju," ucap Mahendra dengan wajah cerah. Dia tampak sangat lega.

"Saya akan sebisa mungkin membantu Anda mengurus putra Anda," sahutnya dengan jantung berdebar kencang. Keputusan sudah diambil, dan ia tidak bisa mundur lagi.

Mahendra menghampirinya lalu memegang pundaknya dengan wajah terharu. "Aku tahu aku bisa mengandalkanmu. Hanya kaulah yang kupercaya mengurus putraku. Ah, betapa terharunya aku." Pria itu mengusap air matanya dengan dramatis.

"Mulai sekarang kau adalah putri menantuku.“

Putri menantu? Frasa yang tak pernah dikira Widya akan didengarnya secepat ini. Walaupun sudah meyakinkan diri bahwa ia tidak menyesal dengan keputusan itu, tetap saja sulit dipercaya. Rasanya seperti sedang bermimpi.

"Kamu sudah tahu informasi soal calon suamimu?"

Pertanyaan Bella memutus kilas balik di benak Widya. Ia menoleh pada gadis itu lalu mengangguk.

"Aku hanya tahu dia bernama Azri El Pradipta, usianya dua tahun lebih tua dariku, zodiaknya Aquarius dan golongan darah A.“

Semua orang sudah tahu informasi itu. Yang Bella maksud adalah segala rumor yang berkaitan dengan putra mahkota Pradipta Group itu.

"Ada satu hal yang kamu lupakan Widya," sela Bella dengan nada misterius. Widya menatapnya bingung. Apa ada informasi penting yang dilewatkannya?

Bella mendekat lalu berbisik, "Putra Presdir terkenal sebagai bad boy," ucapnya membuat Widya refleks berseru kaget.

"Kamu tidak tahu?" Bella berkata dengan nada super bingung seolah semua orang seharusnya tahu hal itu. " Semua karyawan di sini tahu hal itu," tambahnya.

Kalau begitu Widya adalah pengecualian. Selama bekerja di sana memang banyak rumor tentang Azri El Pradipta yang hilir mudik masuk ke telinganya, tetapi ia menolak mendengarnya dengan serius.

"Itu hanya gosip," gumam Widya. Namun, tidak akan ada asap jika tidak ada api.

"Ada beberapa pegawai yang pernah melihatnya keluar masuk kelab terkenal. Dan dia tak pernah terlihat menggandeng wanita yang sama."

Seorang pembuat onar dan womanizer. Pantas saja Mahendra putus asa meminta Widya agar mengubah anaknya. Pria itu adalah sumber masalah. Bella bisa melihat kegelisahan dalam ekspresi Widya sehingga ia menambahkan dengan santai.

"Jangan khawatir. Tidak hanya rumor buruk, banyak juga gosip yang mengatakan bahwa Azri El Pradipta adalah pria yang sangat pintar. Dia berhasil meraih gelar S2nya di usianya yang ke 23. Presdir kita pasti menginginkannya menjadi pemimpin Pradipta Group secepatnya. Karena itu Presdir harus menikahkannya lebih dulu agar posisinya di kursi teratas perusahaan nanti tidak akan goyah. Dengan kata lain, calon penerus berikutnya."

"Maksudmu, anak Azri kelak?" tanya Widya. Tiba-tiba ia merasa panas-dingin memikirkan ia harus melahirkan anak Azri.

"Bingo. Mungkin itulah alasan kenapa dia ingin anaknya cepat menikah. Presdir tidak mau repot-repot mencari wanita dari kalangan berada jika dia sudah menemukan tipe idealnya di kantornya sendiri. Yaitu kamu." Bella menunjuknya semangat.

Teori itu cukup masuk akal bagi Widya meskipun rasanya masih ganjil. Jika memang Mahendra membutuhkan menantu, bukankah mudah saja mencari anak perempuan dari keluarga berada? Seorang presdir pasti memiliki banyak relasi.

"Apa benar dia terkenal sebagai pembuat onar?" Widya masih merasa ragu untuk yang satu itu.

Bella mengangguk.

"Kurasa kamu akan senang menerimanya jika sudah bertemu dengan anak Presdir," kata Bella sambil mengerling nakal. Widya memandangnya tidak mengerti. “Temui saja dia. Kamu akan tahu kenapa dia disebut bad boy."

Ucapan Bella itu malah membuatnya semakin gusar. Widya memang tidak tahu semua rumor yang beredar tentang anak Presdirnya itu. Hal ini diperburuk dengan fakta bahwa ia belum pernah melihatnya sekali pun. Potretnya pun tidak. Mungkin Bella benar, ia akan tahu jawabannya jika bertemu dengan anak Presdir. Namun, di mana ia bisa menemukannya?

"Bella, aku ingin bertanya sesuatu."

Bersambung ....

Baru part 1, jangan lupa like dan komen ya. Thanks.

Kelab malam

"Aku tahu seharusnya aku tidak datang kemari."

Widya merasa sangat menyesal sudah datang ke kelab malam elit yang menurut Bella tempat termudah untuk menemukan putra Mahendra itu. Sebenarnya apa yang dipikirkannya saat memutuskan untuk mengunjungi kelab ini?

Sederhana saja, karena Widya penasaran. Ia ingin memastikan dengan katanya sendiri seonar apa sosok calon suaminya itu. la pun melangkahkan kakinya masuk.

Tidak semua orang bisa masuk tempat ini. Hanya orang-orang yang memiliki kartu member VIP saja yang bisa masuk. Beruntung Widya meminta bantuan Mahendra sehingga ia bisa mendapat akses masuk berkat kartu VIP yang dipinjamkan calon ayah mertuanya itu.

Kelab itu merupakan kelab mewah di mana para anggotanya mayoritas dari kalangan berada. Interior kelas atas hingga dekorasi yang glamor membuat Widya merasa salah tempat. Ia melirik pakaiannya dan bersyukur karena hari ini ia memakai gaun semi formal yang cocok untuk segala situasi. Paling tidak ia tidak akan dipandang sebagai orang aneh. Orang-orang di sana saling bercengkrama memakai busana fancy yang menunjukkan status mereka dengan jelas. Berbagai minuman mahal disajikan oleh barista yang sedang bekerja di balik meja bar. Widya tidak berani mendekat apalagi mencobanya.

Di mana pria itu?

Widya mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. la tidak menemukan sosok pria itu. Sekali lagi ia melirik layar ponselnya demi memastikan wajah Azri El Pradipta. Tadi Bella mengirimkan foto Azri padanya. Itu pun tidak begitu jelas. Ia pun memutuskan masuk lebih jauh hingga tiba di aula dansa dengan kursi-kursi set yang di tata mengelilingi pinggiran lantai dansa. Banyak orang yang berjoget di sana diiringi musik yang dimainkan oleh seorang DJ di panggung.

Pemandangan muda-mudi yang berdansa membuat Widya mengelus dada. Mereka bergerak dalam posisi yang berdekatan sampai orang-orang yang menari di dekatnya bisa saling bersentuhan. Ada pula beberapa pasangan yang memanfaatkan kesempatan itu untuk bermesraan. Mereka saling bercumbu dan lainnya. Widya seketika memalingkan pandangan. Ia tahu hal itu merupakan sesuatu yang lumrah terjadi di kelab malam, tetapi tetap saja ia tidak terbiasa melihatnya. Ia bergegas melintasi tempat itu dan memutuskan mendekati area barista.

"Permisi, apa kamu tahu pria bernama Azri El Pradipta? Apa mungkin kamu melihatnya?” tanya Widya pada salah satu bartender. Musik yang cukup keras membuatnya terpaksa agak berteriak.

"Azri El Pradipta? Ah maksudmu, Tuan Muda Pradipta, kamu bisa menemukannya di ruang VIP di lantai dua," ucapnya lalu sejenak memandangi Widya dari ujung rambut hingga kaki sebelum mengeluarkan senyum lebar yang terlihat mencurigakan di mata Widya. "Kamu pasti teman kencan barunya? Hmm, Tuan Pradipta mengubah seleranya ternyata."

"Apa maksudmu?" Widya mengeryit. Nada suaranya membuat ia tersinggung.

Apanya yang teman kencan baru? Jika Widya tidak sedang buru-buru ia sudah melempar bartender itu dengan buku tebal yang dibawanya. Bartender itu sadar sudah berkata hal yang tidak semestinya. Dia tidak mau mengambil resiko membuat wanita yang berhubungan dengan Azri marah. Pria itu berdeham lalu membungkukkan badannya.

"Maaf, Nona. Jalannya ada di sana," ucap bartender itu sopan.

Widya membalikkan badan lalu berjalan menuju arah yang ditunjuk bartender tadi. Ia menaiki perlahan sebuah tangga lebar yang akan membimbingnya menuju tempat Azri. Setiba di ujung tangga, ia langsung berhadapan dengan lorong panjang dengan penerangan yang temaram. Dinding lorong itu berwarna gelap memberikan nuansa yang asing. Widya mengusap lengannya yang tiba-tiba saja terasa dingin.

Apa aku pulang saja? Pikir Widya ragu. Ada beberapa pintu yang tertutup di sepanjang kiri dan kanan lorong. Ia tidak tahu di mana Azri berada. Mungkin sebaiknya ia memang pulang.

Tidak. Widya menghentikan tubuhnya yang sudah berbalik. Ia sudah melangkah sejauh ini. Seperti bukan dirinya saja jika ia menyerah dengan cepat. Ia hanya perlu memeriksa satu persatu ruangan itu dan melihat apakah Azri ada di antaranya atau tidak. Ia pun mengeluarkan tekad dan mulai menyusuri lorong itu. Ia berhenti di pintu pertama yang ditemukannya. Untung saja pintu itu dipasangi kaca sehingga ia bisa mengintip keadaan di dalam tanpa perlu membuka pintu.

Di dalam tampak beberapa pria paruh baya yang sedang mengobrol. Widya langsung pergi menuju pintu berikutnya. Pintu kedua pun berisi beberapa pria dan pasangannya, tidak ada seorang pun di antara mereka yang terlihat mirip Azri.

Pencariannya pun tiba di ruangan ujung yang membuat perhatiannya terkunci sejenak. Ruangan itu lebih luas dan mewah dibandingkan dengan ruangan-ruangan sebelumnya. Sepertinya tempat itu disediakan hanya untuk tamu yang benar-benar penting. Widya mengintip ke dalam. Jika di sini ia tetap tidak menemukan Azri, ia akan pulang.

Detik ketika Widya melihat keadaan di dalam, ia terkena culture shock. Mulutnya sampai menganga lebar. Di ruangan itu terdapat beberapa orang pemuda dan teman-teman kencannya. Di dalam sana mereka tidak hanya mengobrol, tetapi beberapa di antaranya bahkan ada yang bermesraan hingga melebihi batas. Mereka tampak tidak peduli perbuatan mereka disaksikan oleh orang lain dan tidak ada pula yang merasa malu.

What the—Mereka datang kemari untuk tujuan itu? Widya tidak sanggup menyaksikan lebih jauh. Ia sudah memutuskan untuk pergi ketika seseorang dari dalam membuka pintu dan membuatnya yang sedang bersandar pada daun pintu, terjungkal jatuh ke dalam ruangan.

"Aaaa ...."

Widya memekik tertahan ketika tubuhnya ambruk ke lantai yang dilapisi karpet tebal. Kejadian itu otomatis mengalihkan seluruh penghuni ruangan ke arah dirinya yang kini dalam posisi berlutut dengan ke dua tangannya menopang tubuhnya, seperti orang yang akan melakukan sujud penghormatan.

Bunuh aku saja, umpat Widya dalam hati. la masih bisa menahan sakit yang menyerang lututnya, tetapi tidak dengan rasa malu yang langsung mendera begitu ia menyadari semua orang menatapnya dengan berbagai ekspresi. la tidak sanggup mengangkat kepala. Mereka pasti menganggapnya penguntit. Ia berjanji jika ia bisa selamat malam ini ia tidak akan pernah mengintip ataupun masuk kelab malam lagi.

Widya berniat pergi dari ruangan tanpa mengangkat wajahnya ataupun itu meminta maaf pada orang-orang yang kini memperhatikannya. Namun, semuanya gagal total saat ia menyadari ada sepasang kaki yang dihiasi sepatu mahal berdiri di depannya.

"Kamu baik-baik saja?"

Pria itu tidak bertanya. Dari nada bicaranya Widya tahu pria itu sedang meminta agar ia menunjukkan identitasnya. Ya, ia sedang diinterogasi. Sambil menahan malu ia buru-buru bangkit.

"Aku baik-baik saja," ucapnya kaku disertai senyum yang dibuat-buat.

Widya merasa agak bersalah karena mengendap-endap seperti pencuri. Beruntung sinar ruangan yang temaram menyamarkan wajahnya yang memerah.

"Siapa kamu? Kenapa kamu berdiri di depan pintu begitu? Apa mungkin kamu ada perlu dengan seseorang di sini?" Pria di depannya bertanya penasaran.

"Aku sedang mencari seseorang. Sepertinya aku salah ruangan." Widya tidak mau berada di sana lebih lama. Ia menundukkan kepala berniat pergi. Namun, pria itu mencegahnya dengan menghalangi jalan keluar.

"Ke mana kamu pergi? Setelah tertangkap basah mengintip begitu kamu pikir kami akan membiarkanmu? Cepat katakan, apa maumu sebenarnya?"

Kenapa pria ini tiba-tiba gigih? Tidak bisakah dia membiarkan Widya pergi saja? Nada arogan dan memerintahnya membuat ia tidak nyaman. Sekarang ia benar-benar menjadi pusat perhatian orang-orang di ruangan itu. Mereka pun ikut penasaran. Tindakannya memang mencurigakan, sih.

"Aku tidak bermaksud buruk. Sudah kubilang aku hanya ingin mencari seseorang."

"Siapa? Kamu yakin dia ada di ruangan ini?"

"Itu ...." Widya melirik sekilas ke arah orang-orang yang berada di sana. Karena mulai didera rasa panik ia tidak memerhatikan dengan benar. Selain itu rasanya canggung juga menatap wajah mereka di situasi semacam ini. "Aku mencari Azri."

"Azri?" Pria di depannya mengangkat alis sebelah. Dia memandangi Widya dari ujung kepala hingga kaki, heran sekaligus takjub.

Apa-apaan tatapannya itu? Widya merasa seperti sedang dipindai dan dinilai. Sungguh membuatnya risih. Ia benar-benar harus pergi.

"Tapi sepertinya dia tidak ada di sini. Maaf sudah mengganggu. Kalau begitu aku pergi." Sekali lagi Widya menundukkan kepalanya.

"Sepertinya kamu tidak tahu wajah Azri," cegah pria itu lagi, membuat Widya berhenti lalu menoleh padanya. Pria itu melipat tangannya dan dengan angkuh berkata.

"Aku Azri.“

A-apa?

Mulut Widya menganga menatapi sosok tinggi tegap di depannya. Tanpa diperintahkan matanya langsung memindai keseluruhan penampilan pria yang mengaku Azri itu. Jika diperhatikan, dia memang mirip dengan pria dalam foto yang dikirim Bella. Cahaya temaram dan kepanikan membuat Widya tidak bisa mengenalinya tadi.

Jadi pria ini adalah Azri El Pradipta? Apa yang terjadi pada dunia ini? Pria di hadapannya adalah pria paling tampan dan mempesona yang pernah ia lihat seumur hidup. Mata hitam setajam mata elang yang menatapnya tegas, bentuk tubuhnya yang tinggi tegap, dan komposisi wajahnya yang dibentuk begitu rupawan membuat Widya jatuh terpesona. Ia tidak menyangka bisa menemukan gambaran pria idamannya pada diri Azri dalam durasi beberapa detik saja.

"Siapa kamu? Untuk apa mencariku?” Suara Azri menarik Widya kembali ke dunia nyata.

Widya mendapati mulutnya gagu ketika akan menjawab pertanyaan Azri. "Aku-itu.“

Azri mengamati Widya baik-baik dan ia yakin tidak pernah bertemu dengan gadis ini sebelumnya. Untuk apa dia mencarinya? Hanya ada satu alasan kenapa para wanita mencarinya.

"Ah, begitu rupanya. Kamu tertarik padaku.“

Kesimpulan yang masuk akal. Sudah bukan pemandangan langka jika ada seorang gadis mengejarnya hingga segigih ini.

"Tertarik?" Widya kaget dengan tuduhan itu. Namun, memang tidak salah juga. Ia memang mencari Azri dengan alasan penasaran, itu saja. Tidak kurang, tidak lebih.

"Iya, tentu saja." Azri mendekati Widya dan mata elangnya seperti panah yang menusuk jantungnya.

Aku tidak boleh goyah karena tatapannya. Widya Lovarza Anindita, kuatlah!

Bersambung ....

Aku ganti judul and cover.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!