...
...
Pagi ini cuaca di Jakarta cukup mendung. Namun aktifivitas yang dilakukan diluar kelas harus tetap berjalan. Biarpun Langit mendung, itu tak menghapuskan sedikitpun semangat para murid Di SMA TIRTA BANGSA. Sekolah yang cukup terkenal ini rupanya tengah menampilkan ketiga calon ketua OSIS yang sudah membacakan visi dan misi.
"Inilah ketiga calon ketua OSIS kita! Beri tepuk tangan yang gemuruh untuk mereka," ucap Pak Bambang.
"Yeay! Arkan! Arkan!" teriak sebagian besar siswi. "Kak Arkan!!!"
"Irfan! Irfan!"
"Qila! Qila!"
Ya, ketiga calon itu adalah Arkan, Irfan dan Aqila. Mereka ditunjuk untuk menjadi calon yang akan memimpin nantinya. Meski begitu tetap saja Arkan pasti memiliki banyak suara dari para penggemarnya. Belum lagi Arkan, Irfan dan Aqila adalah most wanted yang selalunya memenangkan olimpiade. Mereka dijuluki most wanted karena memang ketiganya memiliki wajah yang menawan.
"Senja, lo milih siapa?" tanya Liani, salah satu murid baru.
"Eum.. gue ...." Senja terlihat gugup.
"Pasti lo milih kak Arkan, kan?" tanya Lia menelisik wajah Senja.
"Enggak Li, gue.." Senja masih gugup dan salah tingkah.
"Udah deh jujur aja sama gue," ujarnya sembari menggoda dan menabrakan sikunya ke lengan gadis itu.
"Ih Lia, enggak!" Namun Senja masih tak mengakuinya.
Setelah itu mereka yang sedang bertugas di depan mulai menghitung perolehan suara yang di dapat ketiganya. Arkan dan Irfan mendapat skor yang sama. Sementara Aqila tertinggal jauh di belakang cowok-cowok itu. Pak Bambang membuka satu kertas yang menentukan siapa ketua OSIS tersebut. "Wah, saya sudah tau siapa yang akan menjadi ketua OSIS!" ucap pak Bambang membuat semua murid semakin kesal.
"Pak ayo dong, cepet kasih tau. Bentar lagi hujan nih!" teriak satu dari mereka yang menunggu hasil.
"Iya iya. Ketua OSIS tahun ini adalah..." Pak Bambang, ayolah! Ini bukan kompetisi pencarian bakat!
Semua terdiam dan mulai menyiapkan diri.
"Ar.. kan ..!"
"Yey, Kak Arkan!!!"
Semuanya teriak kegirangan. Pasalnya Arkan memang memiliki wajah tampan dan cerdas, sudah pasti dia bisa membantu mengharumkan nama sekolah. Sementara yang lain bersorak kegirangan, pak Surya menggiring siswa yang telat ke depan.
"Senja lihat! Mereka lagi. Apa mereka gak bosen ya di hukum terus?" tanya Lia kepada Senja.
"Udah ah, biarin. Yang penting kan kak Ar.. ups," ucap Senja sembari menutup mulutnya dengan kedua tangannya.
"Nah kan bener lo suka kan sama kak Arkan?" goda Lia sembari menunjuk-nunjuk wajah Senja.
"Enggak gitu Lia, gue tuh.. " ucap Senja salah tingkah, lagi.
"Sekalipun lo tutupin, bakalan ketahuan juga Senja. Keliatan banget dari cara lo ngomong gugup salah tingkah gitu," ucap Liani sambil tertawa.
"Iya deh iya. Siapa sih yang gak suka sama Kak Arkan? Ganteng, pinter, baik," celetuk Senja tak sadar.
"Gue enggak tuh. Soalnya kalau gue suka, nikung dong namanya," jelas Lia.
Senja tertawa. Sahabat yang baik. "Hm, tapi suka itu wajar kok, Li."
"Iya, tapi gak sama gebetan sahabat sendiri lah."
Senja hanya terkekeh. "Iya, iya."
Sementara itu ke empat cowok itu kembali kena teguran pak Surya selaku guru Bimbingan Konseling. Karena bukan hanya dua atau tiga kali mereka telat, tetapi mereka sudah melakukan ini beberapa hari berturut-turut.
"Bagus ... bagus ya kalian!" tegur pak Surya.
"Pak ahamdulillah dong kalau kita bagus, padahal kita telat lagi lo Pak," jawab Eri.
"Eh Eri, saya itu belum selesai bicara!"
"Oh belum, kirain udah Pak."
"Eh Ri, lo apaan-apaan sih? Diem nggak!" kata Arif menahan malu, karena kelakuan temannya itu.
"Ehm.. iya deh iya." Eri pasrah sembari mempoutkan bibirnya kecewa.
"Saya tanya, ini sudah ke berapa kali kalian telat?" tanya Pak Surya lagi.
"Sudah 1, 2, 3, 4... ah 6 Pak.. eh bukan, bukan.. berapa ya?" Itu Eri. Kenapa ia tak lelah berbicara?
"Eri!!" bentak Arif dan Falah, karena Eri sudah sangat menyebalkan. "Diem aelah," lirih Arif.
"7 Pak." Akhirnya si wajah datar Langit yang menjawab.
"Bagus kalau kalian tahu, bersihkan toilet wanita sekarang juga!"
"Hah?!!" Arif, Eri dan Falah kaget, sedangkan Langit masih dengan wajah datarnya dan Pak Surya mengorek telinganya.
"Berisik! Gak usah sok kaget gitu, Bapak tahu itu pasti maunya kalian, kan?" tanya Pak Surya.
Semuanya tersenyum ingin. "Ya, kalau itu maulah Pak," canda Eri.
"Tidak ada, enak saja. Bapak cuma bercanda. Eri dan Falah, kalian toilet laki-laki. Arif dan Langit bersihkan taman."
"Loh Pak? Kenapa mereka kebagian enak?" potong Falah.
"Iya Pak, ini gak adil!" timpal Eri.
"Kalian berdua mau berganti posisi? Setelah taman, kalian bergegas membersihkan toilet guru," jelas Pak Bambang membuat Falah mengalah.
"Eh enggak deh Pak, gak jadi. Yuk ri?" ajak Falah.
"Tapi kan Lah..." Eri hendak protes, tapi segera Falah tepis. "Ck udahlah, Ri. Ayo!"
Falah dan Eri pun memilih pergi dan segera membersihkan toilet. Daripada ditambah hukuman lebih baik kabur dan tidur. Eh!
"Sudah sana!" usir pak Surya.
"Iya Pak," ucap Arif.
Langit dan Arif pun pergi ke taman yang ada di depan kelas X MIPA 4.
Langit menikmati hukumannya dengan cara menyumpal kedua telinganya dengan earphone. Sedangkan Arif menggerutu karena capek terus-terusan dihukum. Padahalkan temannya itu calon pemilik sekolah ini. Arif menggerutu karena taman itu sangat kotor dengan daun-daun yang jatuh.
"Parah banget Pak Bambang. Masa kita harus bersihin taman sekotor ini, sama toilet guru juga, apaan-apaan, Lang lo..." Arif menoleh ke belakang dan mendapati Langit yang memakai earphone.
Arif berdecak. "Gue lupa kalo lagi ngomong sama es."
****
Sementara itu, Senja dan Lia berbincang-bincang mengenai ekstrakulikuler. Lia memegang formulir dan Senja sibuk dengan ponselnya. Sambil senyum-senyum sendiri Senja sampai tak fokus pada Lia yang sedari tadi mengajaknya berdiskusi.
"Sen, lo mau pilih apa nih?" tanya Lia sembari menatap ke arah formulir. Karena tak ada jawaban, akhirnya Lia menoleh ke arah Senja.
Anak ini! "Senja!!!" Lia menaikkan oktaf suaranya karena Senja tak menanggapi.
Senja terpelonjat. "Eh iya, kenapa Li?" tanya Senja tanpa rasa bersalah.
"Nih lo mau eskul apa?" tanya Lia. "Eum.. "
Masih tak ada jawaban dan hanya ada suara kebingungan. Rupanya Senja lagi-lagi fokus pada ponselnya. Sangat menjengkelkan jika berbicara dengan orang yang sedang menatap ponsel. Itu sungguh membuat emosi Lia naik perlahan, ia pun ingin tahu apa yang sedang sahabat barunya itu lakukan.
"Lo lagi lihat apa sih?" tanya Lia sembari menyambar ponsel Senja.
Ponsel Senja sudah berada di genggaman Lia. Wah, gadis cantik itu rupanya tengah berbalas pesan dengan yang tadi memenangkan gelar ketua OSIS.
"Wah, ternyata lo lagi chat sama Bapak negara." Lia begitu semringah.
"Siniin Li, balikin!" Senja memohon sambil mencoba menggapai ponselnya yang dipegang Lia.
"Enggak!" sergah Lia seraya berlari keluar kelas.
Kelas X MIPA 4 sedang bebas, sebab Bu Nuva tidak masuk dan tengah rapat. Kedua gadis itu berlarian bebas di taman, mereka bahkan tak peduli pada Arif dan Langit yang sedang menyapu.
"Balikin! Ih Lia lo apa-apaan sih," kesal Senja dengan nafas terengah-engah.
Brugh.
"Aw." Lia meringis kesakitan karena terjatuh, sedangkan ponsel Senja yang dipegang Lia terpental dan mendarat ke ujung sepatu Langit yang tengah menyapu taman.
"Lia, lo gak apa-apa?" tanya Senja seraya menghampiri Lia yang terduduk di tanah.
"Kaki gue." Terdapat luka di lutut Lia.
Setelah memungut ponsel Senja, Langit melihat wallpaper dari ponsel gadis itu. Sangat tidak asing, wallpaper gadis itu, mengapa foto yang dia pasang sangat mirip dengan benda yang pernah ia berikan pada seseorang?
"Eh siniin!" tegur Senja seraya menyambar ponsel miliknya dari tangan Langit.
Langit tak peduli dan melanjutkan aktivitasnya kembali.
"Eh kalian gak lihat? Temen gue kesakitan di sana! Bantuin!" sentak Senja.
"Eh ada apa Nona?" tanya Arif genit-genit gemas.
Senja bergidik. "Ih lo apaan sih? Itu cepetan bantuin temen gue!" pinta Senja sembari mengarahkan matanya kepada Lia yang kala itu posisinya sedang terduduk di tanah.
"Eh yaudah ayo!" ujar Arif lalu mendatangi Lia.
Arif menggendong Lia ala bridal style. Senja berjalan mendahului, sedangkan Langit berjalan mengekori mereka. Seperti biasa, santai dan dengan dua tangan yang ditenggelamkan di saku celana.
Mereka pun sampai di UKS.
"Eum.. makasih ya?" ucap Lia pada Arif.
Arif membatu mendengar itu, ia hanya fokus pada wajah Lia yang menurutnya manis.
"Hello!" Senja membuyarkan Arif yang terpesona.
"Eh iya, lo bilang apa tadi?" tanya Arif kebingungan, sebab baru saja sadar dari terpesonanya.
"Dia bilang makasih. Udah sana!" usir Senja, galaknya gadis ini.
Tak mau kalah, akhirnya Arif yang bergantian memarahi Senja.
"Heh, gue juga mau pergi, yuk Lang?" ajak Arif kepada Langit yang berada diambang pintu UKS.
"Lang? Apa dia Elang? Ah gak mungkin," batin Senja bertanya-tanya.
...****...
...🔱...
...
...
Senja dan keluarganya pindah kembali setelah sepuluh tahun berada di Bandung. Meski rumah sederhana dan unik itu membuat mereka kembali mengingat masa lalu yang suram, itu tak membuat Bunda dan adiknya terusik lagi. Mereka bertekad menyesuaikan diri dan kembali beradaptasi. Senja suka rumah itu, apalagi kamarnya yang unik. Ruang dindingnya yang dihias lukisan tangannya sendiri, semakin membuat ruangan itu cantik dan nyaman.
Di meja belajarnya terdapat benda yang terbuat dari kayu, ya itu boneka kayu pemberian sahabat kecilnya dulu.
Ia meraih boneka kayu itu. "Gue kangen lo, Elang."
Flashback ON
Terdengar suara tangisan dari balik pohon beringin yang terpampang jelas di taman. Kala itu sepi hanya terdapat Senja yang menangis sesegukan. Tak lama ada seorang anak yang melempar bola ke arahnya.
"Aw." Bola itu tepat mengenai pucuk kepala Senja.
Dia Arlan, tetangga Senja. "Dasar cengeng, haha."
Teman-temannya yang lain datang dan menghardiknya beramai-ramai.
"Eh lihat! Dia nangis tuh!" ejeknya.
Semua tertawa terbahak bahak sambil menunjuk ke arah senja. Sampai akhirnya, seorang anak datang layaknya pahlawan.
"Sesey? Ayo kita pergi!" Ia menyambar tangan Senja dan menerobos kerumunan.
Mereka berdua duduk di taman, Senja menceritakan pada anak laki-laki itu alasan ia menangis.
"Ayah bilang, kalau Ayah gak mau ketemu Sesey sama Bunda lagi," ucap Senja sembari sesegukan. Sesey menatap Elang serius. "Elang gak akan ninggalin Sesey 'kan?" tanyanya menunjukkan wajah memelas kepada Elang.
Elang mengangguk. "Elang janji, Elang gak akan ninggalin Sesey," ujar Elang sambil memeluk gadis kecil itu erat.
Hujan turun deras. Karena Sesey tak ingin pulang, Elang mengajaknya ke rumah megah milik orang tua Elang.
"Ini." Elang memberi boneka kayu sederhana untuk Sesey.
"Ini apa?" tanyanya lugu.
"Ini boneka kayu. Kalau Elang ingat Papa, Elang selalu peluk boneka itu. Sekarang Sesey boleh ambil."
Flashback OFF
****
Sementara itu di kamar Langit, cowok itu sedang memikirkan wallpaper yang dipasang gadis galak di ponselnya tadi. Mengapa sangat mirip? Apa mungkin itu benar-benar dia? Langit menggeleng-gelengkan kepala guna menghilangkan pemikiran gila itu. Sahabat kecilnya kan sudah hilang dan di telan bumi, mana mungkin ia hadir dalam bentuk gadis galak seperti tadi.
"Ah. Boneka itu kan bukan cuma satu," kata Langit.
Flashback ON
"Besok Sesey juga mau kasih Elang sesuatu," katanya semangat.
"Beneran?" tanggapan Elang tentu semringah.
"Iya. Sesey janji," ucapnya seraya mengacungkan kelilingnya dan yang diajak membalas acungan kelingking Sesey sambil tersenyum.
Elang menunggu Sesey di taman, tapi Sesey tak kunjung datang. Ia sangat kecewa, malah hari-hari selanjutnya mereka tak pernah bertemu lagi.
Flashback OFF
Hari ini Langit dan sahabat-sahabatnya tidak lagi telat. Justru keempatnya datang lebih awal sebab Langit menyuruh ketiga sahabatnya untuk ke rooftop sekolah. Dan sepertinya ada hal penting yang harus dibahas oleh Langit.
"Eh tuh Langit!" seru Arif sambil menepuk bahu Eri, refleks Eri dan Falah menoleh ke belakang.
"Tumben." Falah menyapa Langit sambil bersalaman dengan Langit ala cowok macho.
Langit hanya berdeham.
"Ada apa Lang?" tanya Arif setelah selesai bersalaman dengan Langit.
Langit pun merogoh saku dan mengambil ponsel miliknya, setelahnya ia menunjukkan isi percakapan dengan seseorang.
Pesan dari +628193267**
Hidup lo dan sahabat-sahabat lo gak akan tenang!
siapa?
"Dia gak jawab, Lang?" tanya Falah.
Langit menggeleng. "Tolong lacak!" Langit menitah Falah.
"Iya Lang," ujar Falah mengangguk patuh.
Setelah beberapa menit lamanya, akhirnya Falah menemukan keberadaan orang itu. Anak itu masih sekolah? Sebab ia menemukan titik orang itu di suatu sekolah.
"Ketemu!" seru Falah.
"Serius?" teriak Arif dan Eri, mereka langsung berkumpul.
"Dimana?" tanya Langit datar.
"Di SMA negeri Jakarta."
Langit berpikir keras, apa yang akan dilakukannya setelah ini? Namun sepertinya ia harus menunda kegiatan pikir-berpikirnya karena seseorang datang menegur. "Eh kalian ngapain di sini? Udah mau bel," tegur Aqila, sang bendahara OSIS yang sedang berpatroli sebelum masuk.
"Iya Kakak."
"Iya Kakak cantik," timpal Eri sembari menunjukkan deretan giginya.
"Lanjut nanti!" suruh Langit.
Ketiganya berdeham dan buru-buru meninggalkan rooftop dan berjalan menuju kelas. Di perjalanan Arif melihat seseorang yang pernah membuatnya terpesona.
"Eh, kalian duluan aja!" kata Arif yang kemudian berjalan menghampiri Lia.
Ketiganya berhenti sejenak, lalu menengok Arif yang tengah berbincang dengan Liani. Langit memutar bola matanya malas, masalah perempuan? Menjenuhkan.
"Hai," sapa Arif.
"Hai," balas Lia.
"Boleh kenalan? Nama gue Arif," ucapnya sambil menjulurkan tangan.
"Hm, gue Lia," balas Lia seraya membalas jabat tangan Arif.
"Eh gimana kaki lo? Udah baikan?" Arif bertanya seperti itu karena kaki Lia sempat luka dalam.
"Eh iya, udah kok."
"Bagus deh, lo mau kemana? Ini kan udah bel."
"Ehm, iya. Ini gue abis dari toilet."
****
Senja berlarian menuju toilet wanita. Karena temannya tak kunjung datang ke kelas, sedangkan gurunya sudah datang sedari tadi. Mengapa pagi-pagi begini gadis itu membuatnya susah?
"Lia mana sih? Ih bikin ribet aja," gumamnya sambil berlari.
Brugh.
Senja menabrak seseorang, karena sedang melihat kanan dan kiri tanpa melirik depan.
"Aduh!" seru Senja meringis kaget.
Ia menatap lekat mata lelaki itu, hitam pekatnya menemui mata hazel milik Senja. Sampai-sampai tatapannya membuat Senja lupa, bahwa ia tengah terdekap di dada bidang lelaki itu.
"Waduh, masih pagi hey!" Falah menggoda Langit.
Langit menyingkirkan tubuh Senja darinya.
"Gak usah kasar!" tegas Senja sambil menatap Langit dengan tatapan sinis.
"Cewek cantik gak boleh marah-marah, nanti cepet tua loh," goda Eri.
"Gue gak ngomong sama lo!" bentak Senja kepada Eri.
Tak ambil pusing, Langit pun mengintrupsi teman-temannya untuk segera pergi. Dengan Senja yang masih menatapnya sinis, ia melewati dan menabrak bahu gadis itu.
"Dasar kulkas!" teriak Senja. Namun tak dihiraukan.
"Senja, Eh lo kenapa?" tanya Lia yang berlari kecil dengan Arif.
"Nggak tau, males gue. Yuk ah? Ada bu Nuva," ucap Senja seraya menarik lengan Lia.
Lia tak enak hati pada Arif yang menatapnya aneh. "Senja, duh Rif! Nanti ngobrol lagi, ya? Dah!" ujar Lia dengan lambaian tangannya untuk Arif.
****
Di kelas X IPS 4, Langit risih mendengarkan ocehan Arif tentang perempuan. Ia pun mengambil earphone dan menyumpal telinganya, pasalnya ia tak suka dengan perempuan, alasannya karena perempuan itu terlalu cerewet untuk ukuran lelaki seperti Langit.
"Kemaren malem sih iya gue jalan sama Oliv, tapi gue bosen sama dia." Arif, laki-laki yang tak cukup dengan satu perempuan.
"Wah, kalo gitu Oliv buat gue, ya?" tanya Eri santai.
"Eh gak gitu juga Tukul! Gue kan masih jadian sama dia!" kesal Arif sambil menjitak kepala Eri.
"Aw, lo serakah Rif! Kasian kan Oliv. Dia gimana dong?" tanya Eri.
"Jadi bini tua." Kali ini Falah yang terkena jitakan Arif.
Seketika Eri tertawa terbahak-bahak.
Sedangkan Langit menenggelamkan wajahnya dengan kedua tangan yang dilipat. Ia tengah memikirkan strategi apa yang akan ia buat untuk memberi pelajaran pada seseorang yang telah berani menerornya.
"Oi Lang! Ayo kita ke kantin!" Arif membangunkan Langit.
"Hm."
Mereka pun pergi ke kantin. Dijumpainya Senja dan Lia yang duduk berduaan, membuat Arif berinisiatif untuk mengajak yang lainnya bergabung bersama Senja dan Lia.
"Hai Lia, boleh gabung?" tanya Arif sambil mengedipkan satu matanya.
"Bo ... boleh." Lia gugup sebab diberi kedipan maut.
Senja memutar malas kedua matanya, mengapa temannya ini mengizinkan keempat lelaki itu bergabung bersama? Terlebih lagi, yang duduk dihadapan Senja adalah Langit.
"Kalian udah pesen?" tanya Arif.
"Belum," jawab Lia.
"Gue pesenin, ya?" Arif menawarkan.
"Iya, pesenin gue bakso sama es teh manis, ya? Sekalian bawa pulang cewek." Anak itu, mengapa pikirannya selalu tentang perempuan?
Spontan Arif dan Falah menjitak kepala Eri, membuat siempunya meringis kesakitan. "Huh, cewek mulu loh!" Falah menunjukkan kekesalan.
"Eh, Lang? Lo pesen apaan?" tanya Arif pada Langit.
Langit hanya menggeleng, pertanda tidak ingin memesan.
Lagi, itu membuat Senja kaget. Sudah dua kali ia mendengar kata itu. Seketika ia ingat, bahwa setiap murid diwajibkan untuk menggunakan name tag, ia melihat ke dada sebelah kanan Langit, namun sayangnya ia tak menemukan apa yang dicari.
Refleks Senja bertanya. "Mana name tag lo?"
Langit yang sedari tadi memainkan ponsel itupun melirik ke depan, memastikan apa gadis itu benar benar berbicara kepadanya? Namun lagi-lagi tak dihiraukan.
"Gue tanya sama lo, mana name tag lo?" tanya Senja sekali lagi.
"Langit Prasetya Prawiradinata."
Seketika saja senja merasa malu dan sedikit lega. Ternyata dia Langit bukan Elang. Namun karena tak ingin merasakan malu berkepanjangan. Ia pun kembali mengajak debat cowok di depannya.
"Eh yang gue tanya itu name tag, bukan nama lo!" bentak Senja.
"Tapi itu tujuan lo!" Laki-laki itu menjawab dingin.
"Ya.. b-bukan.. ih lo geer. Semua siswa kan wajib pakai name tag, tapi lo enggak!"
"Bukan urusan lo!" serunya sambil beranjak dan sejenak menatap name tag Senja.
"Senja?" batin Langit bertanya-tanya.
...****...
...🔱...
...
...
"Kak Sesey bangun! Bangun!" Risa mengguncangkan tubuh Senja yang kini tertutupi selimut.
"Eum.. kamu mandi sana!" titah Senja dengan tubuh yang masih sangat lemas.
"Eh Kak, udah jam setengah tujuh, aku berangkat duluan, ya Kak?" Tanpa ingin mendengar balasan Senja, Risa lansung berlari keluar kamar.
"Apa?!" Senja terkejut. "Risa, kenapa gak bangunin?" gerutunya pada diri sendiri. Senja langsung menuju kamar mandi dan mandi sealakadarnya.
Risa memang begitu, dia selalu saja mencari masalah dengan Senja. Namun tetap saja rasa sayang Senja tak berkurang sedikitpun dan malah bertambah banyak. Untung saja Risa segera pergi tadi, jika masih ada di penglihatan Senja, maka anak imut itu pasti sudah habis tertelan omongan pedas Senja.
Ia kini sudah berada tepat di halte bus. Senja memang berangkat menggunakan transportasi umum itu. Beberapa menit berlalu, akhirnya bus datang dan membawa seluruh penumpangnya, termasuk Senja. Beruntungnya masih ada beberapa menit lagi untuk masuk.
Senja turun di halte bus sekolah, kemudian berlari menuju gerbang yang sudah ditutup.
"Pak, Pak! Buka!" teriak Senja sambil mengguncang-guncangkan pintu gerbang.
Satpam itu pun datang, "Ini udah jam berapa Neng? Kok baru dateng?"
"Iya nih Pak. Pak, tolong buka gerbangnya, ya?" pinta Senja dengan nafas terengah.
"Nengnya udah telat banget, gak bisa Neng."
"Pak? Saya kan cuma telat..." Melirik arlojinya.
Ya, Senja telat dua puluh lima menit. Itu artinya ia benar-benar telat. Senja sedikit pasrah, tapi kalau ia balik ke rumah itu sama saja membuang-buang ongkos. Ia pun mencari cara agar bisa masuk ke dalam. Ia nampak berpikir seraya mengetuk-ngetuk dagunya. Nah, itu! Lampu terang berderang seakan ada diatas kepalanya. Ia pun langsung menghubungi seseorang untuk dapat masuk ke dalam.
Dengan percaya diri ia pun mengetikkan kalimat itu sembari tersenyum.
"Oke kita tunggu," ucapnya.
Tak lama, orang yang mendapat pesan dari Senja pun datang untuk menyelamatkan.
"Pak, tolong buka gerbangnya!" titahnya pada satpam yang tadi bersikukuh tak ingin membukakan gerbang untuk Senja.
Mendengar itu, Senja pun menengok ke belakang dan tersenyum penuh kemenangan. Arkan, dia sukses membuat satpam itu luluh.
Satpam itupun membuka gerbang. "Terima kasih Pak."
Senja buru-buru masuk dan menjumpai Arkan. Lalu mereka pergi ke arah lapangan. Senja tak henti-hentinya tersenyum bahagia. Yang sedang berjalan di sampingnya itu adalah ketua OSIS sekaligus most wanted.
"Kak, makasih banyak, ya? Kalau gak ada lo gue gak tau lagi harus gimana," katanya sambil nyegir manis.
"Iya sama-sama. Tapi maaf, gue harus perlakuin lo sama kaya yang lain, karena gue takut disangka pilih kasih sebagai ketua OSIS." Arkan menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
Senja meringis manis. "Iya Kak, gak apa-apa."
Gadis itu pun berkumpul bersama keempat lelaki yang biasa dihukum karena telat. Baginya mereka itu adalah generasi tak peduli masa depan, Senja saja bersusah payah untuk masuk tadi. Namun mengapa mereka sengaja datang telat?
"Mereka kenapa sih? Seperti kecanduan telat," batin Senja.
"Kami sudah peringatkan kepada kalian! Ini sudah kali keberapa? Apa kalian tidak jera diberi hukuman sebelum-sebelumnya?" bentak Arkan, tapi tak ada jawaban.
"Saya tanya kalian!" Kali ini Arkan menaikkan oktafnya.
Senja tertegun. Ia kaget dengan Arkan yang sebegitu marahnya. Matanya berkaca-kaca, ia pun menunduk karena ketakutan.
"Senja, lo kenapa?" tanya Arkan sedikit berbisik.
Senja hanya menggeleng. Ia tak berani menatap manik mata Arkan sekarang ini.
"Rizky! Lo urus mereka dulu!" Arkan mengalihkan pekerjaannya kepada Irfan dan membawa Senja ke tepi lapangan, mendudukannya ke bangku samping lapangan. Ia takut karena gadis itu tak ingin berbicara dan hampir menangis.
"Senja? Tadi itu gue bukan marah ke lo, gue marah ke mereka," ucap Arkan menenangkan membuat Senja melirik sedikit kepada Arkan.
Senja masih tak ingin membalas setiap ucapan Arkan dan memilih diam karena takut.
Arkan kebingungan. "Oke, kalau gitu gue minta maaf sama lo. Maaf kalo gue buat lo sedih."
"Ehm. Gak apa-apa Kak. Lo gak salah kok, gue aja yang terlalu sensitif sama bentakan," terang Senja kepada Arkan.
Dahi Arkan mengernyit heran, ia tak tahu jika Senja sensitif terhadap bentakan. Tapi setelah tahu, ia tak akan lagi membentak siapapun di hadapan Senja. Karena ia ingin membuat Senja nyaman berada di dekatnya.
"Woy Kak! Kok cewek itu gak dihukum?" tanya Falah pada Rizky.
"Heh! Lo urus aja urusan lo. Cepet lari lagi!" Rizky memarahi Falah.
Rizky kemudian menghampiri Arkan untuk menanyakan apakah adik kelas yang bersamanya akan dihukum seperti mereka juga?
"Ar.. Adek kelas ini gak dihukum?" tanya Rizky.
"Eum.." Arkan melirik ke arah Senja.
"Iya Kak, hukum aja." Senja membalas sambil tersenyum manis.
"Oke. Lo lari dua putaran aja," ujar Arkan.
"Hm, oke kalau gitu." Senja pun meletakkan tas nya dan berlari ke arah lapangan.
Senja kini berada di samping Langit yang berlari santai dengan earphone bertengger di kedua telinganya, dengan keringat yang bercucuran dari dahinya lelaki itu sedikit tampan dan manis.
"Kalau dipikir-pikir, dia lumayan," batin Senja.
Langit tak menghiraukan orang yang saat ini berlari di sampingnya, ia malah fokus berlari santai untuk mengakhiri hukumannya. Lelaki itu sangat dingin, tak adakah tanya untuk Senja? Senja malah sibuk memperhatikan sampai pada akhirnya batu membuatnya tersandung dan terjatuh.
"Aw." Senja meringis kesakitan. Sial!
Langit yang menyadari bahwa orang yang tengah berlari di sampingnya kini tak terlihat, ia pun berinisiatif untuk menengok ke belakang dan kemudian melepas earphonenya. Ia pun menghampiri Senja dan berniat untuk menolongnya.
Langit mengulurkan tangan.
Senja mendongak, ia tak menyangka seorang kulkas seperti Langit bisa sangat peduli.
Senja menerima uluran tangan Langit.
Langit yang melihat luka di tangan dan kaki Senja itupun dengan sigap memapahnya ke UKS dan mendudukannya ke salah satu brankar.
"Makasih," ucap Senja. Sebenarnya ia sedikit terpesona oleh kesigapan Langit. Lelaki itu ternyata hanya perlu sedikit dipancing sikap kepeduliannya.
Hanya dehaman yang diterima Senja.
Langit tak meneruskan mengobati Senja, ia hanya mengantarnya ke UKS dan kemudian berlalu keluar ruangan itu.
Tak lama seseorang datang untuk menemui Senja lagi. Ya, dia Langit. Ternyata dia keluar untuk mengambil earphonenya yang jatuh di lantai depan UKS.
"Eh, kok lo balik lagi?" tanya Senja kaget, kenapa lelaki kulkas itu kembali untuk menemuinya?
Langit tak menjawab dan hanya fokus mencari kotak P3K. Ia tahu PMR tak bertugas di kala jam pelajaran berlangsung. Maka dari itu, mana mungkin ia tega melihat Senja yang sedang terluka.
"Gue bisa sendiri kok," kata Senja, ia sedang salah tingkah saat ini.
Langit hanya menatap tajam manik mata senja yang teduh. Setelahnya Senja bungkam tak berkata apapun lagi. Langit menyentuh tangan Senja yang terluka dan itu membuat jantung Senja berdegub kencang.
"Manusia es ini ternyata bisa baik banget," batin Senja sembari memandangi wajah Langit yang hanya beberapa senti dari wajahnya.
Langit yang menyadari hal tersebut, langsung menegakkan wajahnya untuk menatap Senja kembali. Ia langsung terkekeh kecil, itu membuat Senja merasa aneh. Bedak gadis itu terlalu tebal? Apa jangan-jangan terdapat kotoran mata?
"Kenapa lo?" tanya Senja dengan nada ingin menerka-nerka.
Langit menggeleng dan menundukkan kepalanya lagi. Senja masih bingung kenapa lelaki itu tertawa? Jangankan tertawa, bukannya untuk senyum saja sulit terjadi?
"Kenapa? Ada sesuatu di muka gue, ya?" tanya Senja ingin memastikan.
"Enggak."
"Terus? Kenapa lo ketawa?"
"Pipi lo."
Senja spontan menyentuh pipinya menggunakan tangannya. Benar kan bedak yang digunakannya terlalu tebal, ini pasti gara-gara telat!
"Pipi gue.. kenapa?" Itu yang membuat Langit malas dengan perempuan. Mereka sangat cerewet.
"Merah."
Ah, benar saja. Merona karena tersipu.
Ternyata ada yang menangkap peristiwa itu. Ya, orang itu adalah Arkan, ia melihat dari pintu seraya mengepalkan tangan dan merasakan sesak di dadanya. Entah apa yang ia rasakan, ia hanya tak suka jika Senja di pegang lelaki lain.
...****...
...🔱...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!