CERITA ini menyusup lewat sebuah pagi yang tak menyenangkan. Tepatnya dua puluh tahun lalu, ketika pepohonan cengkeh masih banyak terlihat di sepanjang tepi jalan menuju pantai Takisung.
Namun, jika kau membaca cerita ini di tahun berbeda, maka kau harus menghitung mundur dan berhenti pada tahun 1993.
Semuanya dimulai dari Desa Sangyang, sebuah desa kecil yang meminjam nama sekaligus bersembunyi di bawah kaki Bukit Sangyang.
Dari jalan besar menuju Pantai Takisung - tolehlah ke kanan - bukit itu memiliki bongkahan batu teramat besar; seperti gadis pemurung yang gelisah dengan tahi lalat di di pipinya. Bongkahan batu teramat besar itu sudah menjorok keluar sejak lama.
Dulu, bongkahan batu itu terlindung oleh banyak pepohonan besar. Perlahan, sebagian batang pohon mulai lapuk dan akhirnya mati bersama daun-daun kering yang membusuk. Tak sedikit batang pohon yang masih tumbuh ditebang oleh orang-orang untuk dijadikan kayu bakar.
Sebenarnya Bukit Sangyang terlalu subur hanya untuk mempermasalahkan beberapa batang pohon yang ditebang.
Namun, tetap saja seorang remaja berusia 18 tahun bernama Patra selalu tak membiarkan bapaknya berpikir seperti itu. Rumah mereka persis di bawah kaki Bukit Sangyang. Bongkahan batu besar di atas sana serupa bayang-bayang menakutkan di malam hari.
“Bagaimana kalau longsor? Jika batu di atas sana menggelinding jatuh, maka pertama kali yang akan terlindas adalah rumah kita,” protes Patra suatu kali.
Sebagai anak laki-laki yang kemudian tumbuh dewasa, Patra terlihat berbeda dengan anak-anak seusianya. Entah apa yang merasuki pikirannya selama ini, tapi itu seringkali membuat Wijan, bapaknya merasa heran, tepatnya bosan.
Banyak anak laki-laki membantu orangtuanya menebangi pohon di Bukit Sangyang, sementara Patra justru menolak bahkan meminta agar bapaknya melarang orang-orang menebangi pohon.
“Pasti gara-gara dia suka bermain ke atas Bukit Sangyang, setan-setan di sana sudah merasuki pikirannya,” Wijan kesal menceritakan kepada istrinya karena dihalang-halangi Patra untuk menebang kayu di Bukit Sangyang.
Wijan berharap istrinya itu mau membantunya untuk memberikan pengertian kepada Patra. Persediaan kayu bakar sudah semakin menipis karena selain digunakan sendiri juga dijual ke pasar untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
“Hussh…! Jangan ngomong sembarangan,” jawab istrinya melanjutkan pekerjaan di dapur.
“Jadi kau membela anak itu? Lantas bagaimana kalau persediaan kayu bakar kita habis?”
“Ucapan anak kita itu ada benarnya. Kita masih banyak punya pohon kelapa. Beberapa sudah kering, lebih baik kau tebang saja salah satunya,” jawab istrinya dan meminta agar tak lagi mempermasalahkan pendapat Patra.
Dari balik dinding kamar, Patra mendengarkan percakapan mereka. Ada perasaan senang ketika mendapat pembelaan ibunya.
Bagi Patra, ibunya jauh lebih cerdas dan bijaksana tak sebanding dengan bapaknya. Ia penasaran sekali apa yang dulu membuat ibunya mau dinikahi lelaki ceroboh dan selalu bertindak gegabah itu.
"Tak mungkin gara-gara kumis bapak!" bathin Patra.
Setelah memastikan bapaknya pergi mengambil kapak untuk menebang pohon kelapa, seperti biasa, setiap pagi Patra menyempatkan diri untuk mendaki puncak Bukit Sangyang.
Ia akan berlari sekuat tenaga agar memiliki waktu untuk beristirahat di atas puncak bukit. Setelah itu ia akan pulang ke rumah untuk menyiapkan dirinya pergi ke sekolah.
Berkali-kali ia seka peluh yang membutir di bagian wajah hingga leher. Semakin menanjak, kakinya terasa semakin berat untuk melangkah.
Ia terus bergerak menuju bongkahan batu berukuran besar di atas sana. Patra akan menuntaskan segala lelah, termasuk resah yang selalu menyusup di kepalanya dengan duduk di atas batu itu.
Di kejauhan sana, lanskap Pegunungan Meratus terlihat memanjang dengan kibasan warna hijau lumut. Konon, pegunungan itu menyembunyikan banyak cerita tentang emas dan batubara.
Memandangi Pengunungan Meratus sambil berkhayal menjadi orang kaya bisa membuat Patra tersenyum. Ia tak perlu repot-repot pergi ke Pasar Minggu menemui Paman Ujang, begitu cara orang kebanyakan menambahkan kata paman untuk memanggil para pedagang laki-laki.
Paman Ujang seorang penjahit sepatu berkaki cacat. Sebelum orang-orang mengenalnya sebagai penjahit sepatu, ia dikenal sebagai pemain sepakbola dari Kota Pelaihari dengan prestasi pencetak gol terbanyak.
Patra pernah mendengar langsung dari Paman Ujang tentang orang-orang jahat yang mematahkan kaki kirinya dengan bongkahan kayu.
“Sejak hari itu aku tidak bisa bermain sepakbola lagi,” kata Paman Ujang. “Kau harus berhati-hati. Orang bisa saja menjadi jahat karena sepakbola.”
Paman Ujang menunjukkan bekas tulang kakinya yang patah kepada Patra. Ada benjolan di bagian tulang kering. Di sanalah bongkahan kayu menghantam keras kakinya.
Ia perhatikan wajah Patra dan langsung tertawa. “Tak perlu takut. Justru kau harus melatih kakimu agar lebih kuat dan cepat saat berlari,” gelaknya seolah-olah tak menyimpan dendam sedikit pun.
Patra tak menganggap itu sebuah lelucon dan ia tak tahu kenapa harus ikut tertawa. Seperti saat ini ketika mengingat kejadian itu, semacam ada kelucuan yang tak bisa dijelaskan, Patra masih bisa tersenyum berkali-kali.
Sembari mengatur napas, Patra menyandarkan punggung di sisi batu berwarna hitam keabu-abuan. Di beberapa bagian sisi batu itu terlihat sisa-sisa kekalahan melawan tetesan air hujan.
Dengan kaki berselonjor, Patra meneguk air putih terakhir di dalam botol plastik yang dibawanya dari rumah. Ia lantas berdiri, menaiki bagian atas batu itu. Lelah bermenit lalu, berangsur hilang.
Patra lantas memandangi Kota Pelaihari dari kejauhan. Dari atas Bukit Sangyang, kota itu terlihat seperti sedang mendengkur diselimuti kabut tipis.
Entah apa yang sedang dikerjakan Paman Ujang sepagi ini. Barangkali ia sudah berada di salah satu pasar seperti yang diceritakan kepada dirinya kalau setiap hari mendatangi semua pasar secara bergiliran.
Patra kemudian memalingkan tubuhnya, ia pandangi Pantai Takisung jauh di sebelah Selatan sana. Pantai Takisung terlihat seperti mengecup bibir langit. Namun, bukan alasan keindahan itu kenapa Patra kemudian termenung.
Gelombang pikirannya melaut hingga melintas jauh mengarungi batas tepi lautan. Ia membayangkan sebuah pulau yang menjadi kampung halaman bapaknya. Pelajaran geografi yang ia dapatkan di sekolah tak mampu menjelaskan semua keingintahuannya selama ini.
Entah alasan apa orangtuanya memutuskan mengikuti program transmigrasi dan harus pergi meninggalkan kampung halaman. Padahal, setiap kali ia tanyakan tentang asal dusun bapaknya, Patra selalu mendapat cerita yang selalu dibangga-banggakan.
“Mereka pekerja keras. Walau kulit jari mengelupas akibat bebatuan cadas, tetap saja mereka kerjakan asal bisa menanam bibit jagung,” kenang bapaknya bersemangat.
Bagi Patra, kebanggaan semacam itu membuat segala sesuatunya menjadi kabur. Setiap ada kesempatan, Patra lantas memburu bapaknya dengan banyak pertanyaan.
“Kenapa harus pergi?” Puluhan kali Patra menanyakannya dan ia hanya mendapatkan cerita tentang orang-orang yang selalu giat bekerja keras. Itu bukan jawaban yang ingin ia ketahui.
Bukankah setiap penghuni rumah di bawah sana, mereka juga pekerja keras? Mereka tak peduli dengan panas matahari ketika memanggang kulit.
Mereka pun tak peduli ketika jari kaki mereka terkena kutu air atau tergigit ular. Kenyataannya, mereka tetap kembali ke ladang, menggarap setiap jengkal tanah yang diberikan pemerintah.
Patra yakin, semua itu bukan hanya demi bertahan hidup, tapi jika mereka, termasuk bapaknya,ingin menebus semua masa lalu tentang kampung halaman yang telah mereka tinggalkan.
Lantas, sepahit apakah hidup di kampung halaman mereka sendiri? Apakah menjadi seorang transmigran membuat kehidupan menjadi lebih baik?
Sambil menopangkan dagu di atas kedua lutut, Patra berusaha mengingat beberapa nama keluarga yang tak jelas kemana tujuan mereka pergi. Bukankah pada akhirnya tak semua bisa bertahan di tempat ini?
Tak sedikit para transmigran justru menjual rumah dan tanah mereka untuk selamanya. Tidak ada yang tahu menjadi seperti apa mereka sekarang.
Dari sekian cerita yang telah habis, masih tersisa penggalan cerita bagi mereka yang tetap tinggal. Merawat harapan mereka sebagai seorang transmigran.
Patra masih ingat bagaimana orangtuanya bersiasat dengan hidup. Satu setengah hektar tanah beserta pepohonan cengkeh telah dijual kepada salah seorang pendatang baru demi membiayai operasi adiknya di rumah sakit.
Pendatang baru itu bernama Yudha. Lelaki yang kedatangannya memberikan banyak harapan kepada para petani cengkeh. Diam-diam, Patra membenarkan kekaguman yang pernah diucapkan bapaknya terhadap Yudha.
“Menjadi kaya itu mudah jika kau menjadi orang yang pintar. Sebaliknya, karena bodoh kekayaanmu bisa habis. Lihatlah, Yudha. Dulu ia bukan orang yang punya duit banyak, tapi kepintarannya bisa membuat duit datang sendiri kepadanya. Itu sebabnya bapak ingin kau sekolah setinggi-tingginya agar bisa mengubah nasib keluarga kita.”
UDARA segar di atas Bukit Sangyang membuat tubuh Patra segera pulih dari rasa lelah. Sebelum memutuskan untuk pulang, ia pandangi bentangan pohon cengkeh yang ada di Desa Waduk dari kejauhan.
Meski keluarganya tak lagi memiliki ladang cengkeh, seperti hidup yang harus diperjuangkan, baginya tak ada waktu untuk memanjakan kesedihan. Setiap hari ia membantu ibunya memanfaatkan sisa setengah hektar tanah yang sejak awal sudah ditanami dengan pohon kelapa.
Kadang ia membantu ibunya memarut daging kelapa untuk di peras menjadi santan. Pohon-pohon kelapa itu seolah tahu alasan kenapa harus terus berbuah.
Saat senggang, Patra menaiki pohon kelapa dan memotong dahan kering untuk diolah menjadi sapu lidi untuk dijual ibunya ke pasar.
Kepul asap dari dapur rumah-rumah di bawah sana seperti memberi isyarat kepada perut. Dengan malas, Patra melompat turun.
Sambil menenteng botol minuman, ia berhati-hati berlari menuruni Bukit Sangyang agar tak terpeleset atau menabrak pepohonan karena tak bisa menghentikan kecepatan langkahnya.
Pada dataran yang cukup landai, Patra menyapa orang-orang yang sudah mulai bekerja di sawah. Sebagian gedung sekolahnya juga terlihat di depan sana. Ia berbelok ke kiri, beberapa pohon kelapa di tepian jalan mengantarkannya menuju bagian belakang rumahnya.
Langkah kaki Patra terhenti. Ia heran mendapati adiknya meringkuk sambil menangis di dekat pohon kelapa yang baru saja ditebang.
"Kau dimarahi ibu lagi?" selidik Patra mengingat-ingat perilaku nakal adiknya itu.
Kadang Patra merasa kesal karena adiknya sering bertingkah macam-macam di saat pagi hari. Susah disuruh mandi, sarapan, atau diam-diam bermain api di dapur. Saat itulah ibunya kerap marah ketika adiknya membantah ketika ditegur.
Patra tak sampai hati membiarkan adiknya menangis sendirian. “Cepat naik,” perintah Patra membungkuk membelakangi adiknya.
Namun, Tak ada reaksi apa pun dari adiknya. Patra akhirnya menoleh ke belakang. Dengan wajah ketakutan adiknya menggelengkan kepala dan menolak ketika Patra memaksa untuk menggendong dari depan.
Sikap adiknya itu membuat Patra heran. Tak biasanya ia bersikap seperti itu. Selama ini adiknya tak mau digendong hanya ketika perasaannya sedang senang. Seperti ingin menikmati kesenangan tanpa bantuan orang lain.
Namun, saat sedih mengepung, ia perlu pertolongan untuk melewatinya bersama-sama. Patra gagal meredakan tangis adiknya. Matahari semakin meninggi, sekilas ia lihat sumur pompa sudah menunggu.
Air dingin akan membuat tubuhnya lebih segar. Semakin ditunda, ia akan melewatkan sarapan demi tak terlambat ke sekolah. Melihat adiknya masih menangis, Patra segera ingin memberitahu ibunya.
Saat tiba di sumur pompa, Patra langsung menghentikan langkahnya. Ia seperti mendengar suara isak tangis ibunya. Bukankah terlalu pagi untuk bertengkar? Pikir Patra. Ia pun merasa kesal kepada bapaknya.
Masih banyak pekerjaan lain yang bisa diselesaikan di pagi hari dan menjadi kacau setiap kali mereka bertengkar. Tak ada sarapan pagi. Tak ada uang saku sekolah. Tak ada gelak tawa. Semuanya tak ada.
Patra menoleh memerhatikan adiknya masih meringkuk di bawah pohon kelapa. Pantas dia tak mau diajak masuk ke rumah, pikir Patra belum menyadari apa yang terjadi.
Isak tangis ibunya semakin terdengar jelas berasal dari halaman rumah. Patra mendatangi suara itu. Sambil mengendap, punggungnya menempel ke dinding rumah yang belum dilapisi oleh semen.
Ia mengintip. Jantung Patra berdegup kencang saat melihat ibunya bersimpuh di tanah. Lutut Patra semakin lemas saat mengetahui apa yang terjadi. Enam laki-laki bertubuh kekar sedang menendang perut bapaknya berulangkali.
Dalam beberapa saat, Patra tak tahu apa yang harus ia lakukan. Tangisan ibunya menyayat telinga. Ia tak sanggup berlama-lama menahan diri. Masalahnya, jumlah mereka terlalu banyak, apalagi tubuh mereka gempal dan kekar.
Berkelahi adalah sesuatu yang mengerikan bagi Patra. Jika ada kesempatan untuk menghindarinya, Patra memilih untuk pergi sekalipun dikatakan sebagai pengecut. Namun, apa yang terjadi di depan sana membuat hatinya perih.
Ia tak tahu caranya berkelahi apalagi cara untuk memenangkannya. Namun, ketika matanya melirik sebilah kapak menancap di batang kayu tak jauh dari tempatnya berdiri, darah Patra mendesir. Ia mendapatkan ide.
Kapak itu. Ya, kapak itu! Aku akan menakut-nakuti mereka. Hanya itu yang terlintas di benaknya.
Ketajaman kapak itu sudah teruji oleh waktu karena selalu diasah bapaknya untuk membelah kayu setiap hari.
Sekali ayun, batang pohon kayu kering akan terbelah menjadi dua bagian. Tanpa menunda lagi, dengan gerakan cepat Patra meraih gagang kapak dan melepaskannya dari batang kayu.
Patra sempat terdiam sebentar untuk menyakinkan dirinya. Ia kumpulkan semua keberanian, menarik napas dalam hinga akhirnya benar-benar siap menghadap orang-orang itu.
"Berhentiii..!" teriak Patra. Ia pun langsung mendekati ibunya sambil menenteng sebilah kapak. Sinar matahari membuat mata kapak itu berkilap. Patra bisa melihat raut wajah orang-orang itu terkejut.
“Bangun, Bu. Cepat bersembunyi,” pinta Patra.
“Jangan, Nak. Kamu bisa terluka,” ucap ibunya memperingatkan sambil memegangi lengan Patra.
“Tenang saja, Bu. Patra akan baik-baik saja!”
Dengan semua keberanian yang Patra miliki, ia pun melangkahkan kakinya. Namun, tak seperti yang diharapkan, orang-orang itu tidak mundur selangkah pun. Mereka justru bersiap menyambut kedatangannya dengan penuh hasrat. Jari-jari tangan kasar mereka mengepal kuat.
Kepalang basah, pikir Patra. Ia pun nekat memburu lelaki yang menendang perut bapaknya tadi. Terdengar suara ibu Patra menjerit. Sementara bapaknya berusaha ingin mencegah. Namun, sia-sia.
Langkah Patra memburu seperti menggiring bola ke arah gawang. Otot kakinya meregang kuat, langkahnya melesat cepat. Pandangan Patra membidik salah seorang dari mereka.
"Aku harus membuat mereka takut. Cukup satu orang, mereka pasti akan pergi," ucap Patra dalam hati.
Tinggal dua langkah lagi, Patra memperkuat cengkeraman telapak tangannya di gagang kapak. Namun, ia tak memiliki pengalaman dalam perkelahian. Ia tak menduga serangannya akan begitu mudah dipatahkan oleh lawan.
Saat Patra mengayunkan kapak, sigap orang itu menghindar ke samping dan langsung menyarangkan tendangan balasan yang sangat keras ke bagian perut Patra.
"Bukkk!"
Patra meringis. Sakit. Ia sempat terdiam. Napasnya sesak. Matanya berkunang-kunang. Pandangannya menjadi gelap. Beberapa detik kemudian kapak di tangannya meluncur jatuh menancap ke tanah. Patra langsung ambruk.
"Patra..!" "Patraaa..!" ibunya berteriak dan segera menyusul anaknya yang terkapar.
Dua orang dari mereka dengan sigap langsung menghadang ibu Patra. Mereka maju perlahan sambil tertawa keras. Ibunya Patra tak memiliki pilihan lain, melawan pun hanya akan menambah rasa sakit yang sudah ia terima sejak tadi.
Sebelum dua orang itu semakin dekat, ibunya Patra segera berpaling dan berlari menyembunyikan rasa takut ke dalam pelukan suaminya.
"Jika kebun kelapa milik kalian tak ingin kami sita, siapkan saja uangnya. Besok kami akan kembali," ancam salah seorang yang memiliki raut wajah seperti tak pernah tersenyum bertahun-tahun lamanya.
SEANDAINYA kau bukan seorang petani sekalipun, memiliki sebidang tanah yang gembur dan luas, adalah surga kecil yang akan kau sadari segera. Segala macam jenis tanaman bisa kau semai dengan mudah, bahkan tanpa harus mengetahui tingkat keasaman tanah sekalipun.
Tunas-tunas tumbuh seperti keajaiban belaka. Hanya dengan mengikuti cara-cara sederhana, menyiraminya dengan air dan menaburkan pupuk kandang, semua pekerjaan hampir selesai. Sembari menunggu waktu, kau bisa bercerita banyak hal bahkan berkhayal sesuka hati tentang tanaman yang kau panen nantinya.
Barangkali ada jeda yang membuatmu pusing sementara, saat sekawanan hama tanaman datang bertamu membawa segala ketidakramahannya.
Namun, jika kau mau sedikit belajar mencecap pengalaman orang-orang terdahulu, semuanya akan tampak begitu mudah sambil menjentikkan jari dan seulas senyum kemenangan. Ya, bercocok tanam itu mudah!
Namun, bagi para transmigran, mereka tidak memiliki jaminan tentang tanah yang akan mereka dapatkan. Puluhan hektar tanah seperti bentangan kain kusam keluaran pabrik.
Sekusam apapun, itulah jalan berliku di bawah terik matahari yang menantang. Sederet apapun pengalaman, mereka tetap harus menyesuaikan dengan lingkungan baru.
Sebanyak apapun kegagalan, semangat harus tetap merayap lewat cucuran keringat. Membayangkan para transmigran, mereka seperti koloni semut yang dipindahkan ke dalam botol toples terbuat dari kaca.
Desa Gunung Gundul awalnya adalah perbukitan kecil yang kemudian diratakan menjadi tanah datar oleh pemerintah. Ada sesuatu yang harus dimaklumi ketika lidah lebih nyaman menyebut bukit sebagai gunung. Bagi mereka, sebutan bukit, pegunungan atau gunung bukan sesuatu yang penting untuk dibicarakan.
Mereka lebih senang memikirkan cara menghadapi musim kemarau tiba atau melakukan sesuatu yang bisa membuat hidup mereka tidak terasa mencekam. Seperti ketika mereka bersepakat mengganti nama Gunung Gundul menjadi Gunung Makmur. Bagi mereka, itu semacam doa untuk selama-lamanya.
Jika kau meniru Patra, menaiki Bukit Sangyang, tampak jelas perbatasan antara Desa Gunung Makmur dengan Desa Sangyang. Meski jarak antar desa hanya sejauh tiga kilometer, perbedaan yang mencolok adalah bagaimana cara mereka memanfaatkan jatah lahan transmigrasi.
Desa Sangyang dianugerahi sungai yang hulu mata airnya di Bukit Sangyang. Mereka yang bermukim di desa itu dengan mudah membagi lahan mereka menjadi sawah dan ladang cengkeh. Sementara Desa Gunung Makmur yang gersang, dianugerahi jalan utama dari Kota Pelaihari menuju Pantai Takisung.
Anugerah itu kemudian mereka manfaatkan dengan mendirikan bengkel, warung, menjadi pedagang, buruh bangunan atau beternak kambing dan sapi. Tanah merah berkerikil yang mereka miliki hanya digunakan untuk menanam pohon nangka, sawo, rambutan, jambu, cempedak, atau ubi.
Selebihnya, mereka berjuang mengandalkan keterampilan dan pengalaman yang mereka miliki. Bagi yang kurang beruntung, mereka akan bekerja membantu menggarap lahan atau sebagai pemetik cengkeh milik warga transmigran di Desa Waduk.
Seperti namanya, Desa Waduk memiliki waduk buatan seluas tiga hektare yang letaknya tak jauh dari ladang cengkeh milik Jauhari Kasman, seorang pensiunan guru yang tinggal di Desa Gunung Makmur.
Dibandingkan dua desa lainnya, Desa Waduk termasuk tidak beruntung. Sudah satu tahun mereka belum bisa merasakan penerangan listrik. Hanya ada tiang-tiang listrik terbuat dari kayu tanpa kabel sebagai penghias jalan. Jika malam tiba, romansa suara jangkrik terasa melecut bias cahaya bulan.
Desa Waduk terasa lembab, dingin dan muram. Namun jika kau ingin melihat pepohonan cengkeh, Desa Waduk adalah tempatnya. Desa mereka dianugerahi sungai yang mengalir deras. Konon, air sungai itu langsung mengalir dari Pegunungan Meratus.
Untuk melihat keindahan waduk dari kejauhan, kau bisa mendaki Bukit Sangyang seperti yang dilakukan oleh Patra. Di sana ada sumber kehidupan yang setiap hari diandalkan warga dari desa lainnya.
Sebenarnya, dari ketiga desa yang saling berdekatan itu, mereka saling membutuhkan. Seperti ketika harus menyekolahkan anak-anak mereka, maka semua bangunan sekolah ada di Desa Gunung makmur.
Setiap hari, jalan menuju Desa Gunung Makmur otomatis ramai dilalui anak-anak sekolah. Dari rumah, mereka membawa doa dan harapan para orangtua tentang nasib baik mereka kelak.
Ada yang begitu takzim dengan meniupkannya ke ubun-ubun, ada pula yang mengucapkannya langsung ketika anak-anak mereka berpamitan sembari mencium tangan.
Doa adalah harapan yang tak ada lelahnya untuk diucapkan. Seperti halnya mereka berdoa tentang harga cengkeh di pasaran.
Cengkeh adalah sesuatu yang menakjubkan. Setiap kali panen tiba, cengkeh seperti sihir yang tak tertolak. Jika ada orang yang paling beruntung, mereka adalah para tengkulak cengkeh.
Saat harga cengkeh melambung tinggi, orang-orang saling bergegas mendatangi Desa Gunung Makmur hanya untuk satu tujuan, ikut meraup keuntungan.
Setiap hari tengkulak terus bertambah dan kehadiran mereka semakin memahitkan keadaan. Di tangan mereka, harga cengkeh adalah permainan. Namun, jumlah mereka semakin berkurang dengan kehadiran Yudha.
Tersingkirnya para tengkulak menimbulkan masalah baru. Yudha mulai bertingkah. Kehadirannya seperti Tuan Baron dalam telenovela Little Missy yang ditayangkan TVRI.
Meski tak sama persis, seburuk apapun tabiat Yudha pada akhirnya mereka hanya bisa pasrah. Nasib mereka seperti undian berhadiah malapetaka. Seperti perasaan takut yang baru saja dirasakan Sabran ketika melihat keluarga Wijan disiksa.
Sambil mengendap dari balik semak, Sabran melihat Patra ambruk bersama kapak di tangannya. Itulah kejadian terakhir yang membuat wajah Sabran memucat dan langsung mengayuh sepeda onthelnya menuju rumah Jauhari Kasman.
Lelaki tua itu pasti akan mengoceh lagi. Jauhari pernah menyebutnya sebagai lelaki plin-plan, pengecut dan segala macam yang tak seharusnya ada dalam diri lelaki.
Apa yang baru saja dilihatnya – seandainya ada keberanian – itu pun tak lebih sekadar nyala api di batang korek kayu yang mudah padam tertiup angin.
Jangankan dirinya, orang satu kampung pun tak ada yang berani berurusan dengan Yudha. Kalau pun Jauhari akan marah kepadanya karena hanya meringkuk di balik semak, ia sudah siap. Keberanian memang terlalu mewah bagi dirinya.
“Jauhari…!” Teriak Sabran tergesa-gesa membiarkan sepedanya terbanting hingga tergeletak begitu saja di tanah.
Jauhari tersentak sambil menajamkan pendengaran. Mulutnya berhenti mengunyah sarapan nasi goreng yang baru saja dihidangkan. Ia perhatikan satu-persatu wajah anaknya dan terakhir memandangi wajah istrinya.
“Tidak biasanya Sabran datang sepagi ini?” ucap Jauhari penasaran. Semakin lama dibiarkan, suara Sabran semakin keras dan merusak suasana sarapan yang sudah dipersiapkan istrinya sebaik mungkin.
“Dia tidak perlu berteriak seperti itu,” celetuk istrinya bersamaan Jauhari menaruh sendok di atas piring untuk segera menemui Sabran. “Ajak dia sarapan. Aku ingin tahu pendapatnya tentang nasi goreng buatanku kali ini,” ucap istrinya.
Jauhari tergesa meninggalkan meja makan untuk menemui Sabran. “Masuklah, sebentar lagi rumah ini akan ramai gara-gara teriakanmu,” Jauhari memalingkan wajahnya ke kanan dan kiri, memerhatikan rumah tetangga. Benar dugaannya, mereka mulai membuka pintu.
"Mereka sekarang di rumah Wijan. Gawattt..!” suara Sabran terengah-engah. “Aku melihat mereka memukuli Wijan beserta anak dan istrinya!" jawab Sabran mengatur napas.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!