NovelToon NovelToon

5th Anniversary

Cemburu?

Tepat pukul lima sore, mobil sedan yang dikemudikan pria berjas hitam itu berhenti di depan gerbang sebuah rumah, lalu ia dan perempuan yang duduk di sebelah kemudi turun, disambut tatapan tajam pria berperawakan jangkung yang tiba-tiba menggeser gerbang dengan tidak santai.

"Pacaran teros!" sindir Raga, menyorot sengit sang istri. "Anaknya lagi sakit bukannya dijagain malah asyik-asyikkan sama laki-laki lain."

"Pak, terima kasih atas tumpangannya," ujar Nawang tanpa menghiraukan Raga yang seketika meloloskan dengkusan dongkol, sementara pria yang dipanggilnya Pak itu mengangguk.

"Iya, sama-sama. Kebetulan juga 'kan kita searah, jadi nggak masalah." Tercetak senyum tipis di bibir Rendra---atasan Nawang---sebelum meneruskan, "Sayang banget ya perempuan secantik kamu dibiarin pulang sendiri."

"Maksud lo apa?!" Raga ngegas.

Dan Rendra sama sekali nggak peduli. Malahan ia pamit. "Kalau gitu, saya pamit ya."

"Hati-hati, Pak."

Selepas kepergian Rendra, Nawang berbalik melewati suaminya. Bikin Raga tambah dongkol karena tak dianggap. Eh, emang sejak kapan istrinya yang jutek itu menganggap dia ada?

Mengusap wajah gusar, pria berusia dua puluh sembilan tahun itu segera menyusul Nawang. "Nawang, tunggu!" serunya, geram. Yang dipanggil tetap melangkah menuju kamar sang jagoan. "Nawang, aku lagi ngomong!" Nawang masih bersikap tak acuh. Hal itu berhasil menyulut emosi Raga, lantas ia tendang kursi makan hingga benda yang terbuat dari kayu itu terguling jatuh dan menimbulkan bunyi debam. Barulah Nawang berhenti tidak jauh dari meja makan. "Harus berapa kali aku bilang?! Kamu nggak perlu kerja, cukup di rumah, jagain anak kita. Kenapa susah banget sih?"

Akhirnya Nawang berbalik, membalas tatapan sang suami. "Perjanjiannya lima tahun, Mas. Bulan depan, kita selesai."

"Aku nggak akan ceraiin kamu, paham?" tandas Raga, penun penekanan.

"Biar apa?" Nawang mengangkat dagunya tinggi-tinggi, lalu bersedekap dada. "Biar mamamu terus-terusan nekan aku, nginjek-nginjek ibuku, dan---"

"Berenti nyalahin mamaku!" potong Raga, membentak.

Otomatis Nawang tersentak, kakinya mundur beberapa tindak.

Raga menghunuskan tatapan tajam, didekatinya Nawang, ia tampar perempuan itu.

Yang ditampar meringis menahan perih. Air matanya menetes. Nawang memalingkan pandangan. "Dengan satu tamparan ini, aku makin yakin untuk pisah dari kamu, Mas."

***

Siapa yang tak kesal melihat istrinya pulang bersama laki-laki lain, sementara di rumah anaknya sedang sakit. Raga menjatuhkan diri di depan pintu kamar, duduk berlutut seraya mengacak rambut frustrasi, menyesali apa yang barusan terjadi. Namun, penyesalannya segera surut begitu pintu terbuka. Raga menoleh, kepalanya mendongak. Nawang menggendong Jaya sambil menyeret koper besar. Buru-buru Raga bangkit.

"Mau ke mana?" hardik Raga.

"Pulang," jawab Nawang, tak kalah ketus.

Raga mengedikkan dagu. "Pulang ke mana yang kamu maksud? Laki-laki tadi?"

"Dia bosku. Namanya Pak Rendra."

"Aku nggak nanya."

Tahu bahwa berinteraksi dengan Raga hanya akan buang-buang tenaga, Nawang memilih menyudahi. Kakinya diayun lagi. Tapi dengan sigap Raga mencekal pergelangan tangannya, lalu mengambil alih Jaya dari gendongannya. Setelah itu, menendang kopernya. Refleks Nawang menjerit. "Mas!"

"Pergi sendiri! Nggak usah bawa-bawa anakku!"

"Jaya anakku juga, Mas!" protes Nawang, meraih pergelangan tangan Jaya, tapi lagi-lagi Raga menghalaunya. "Mas, tolong kembaliin Jaya! Kalau kita pisah, hak asuh Jaya bakal jatuh ke tanganku karena dia masih di bawah umur."

"Oh, kamu pengin pisah dari aku biar bisa nikah sama bosmu itu, 'kan?" tuduh Raga.

"Enggak!" bantah Nawang, disertai gelengan.

"Kalau emang enggak, masuk! Balikkin lagi kopernya. Dan jangan pernah nyuruh aku buat ngelepasin kamu, atau justru kamu yang berusaha melepaskan diri dari aku ..." Raga menghela jarak, suaranya mendadak serak. "Karena aku nggak akan ngelepasin kamu, sekalipun kamu mohon-mohon ke aku. Juga aku nggak akan biarin kamu lepas."

"Gila kamu!"

"Emang!"

Nawang memutar tubuh, kembali masuk kamar, diikuti Raga. Pria itu merebahkan putranya ke ranjang, lalu ia tempelkan telapak tangan ke kening sang jagoan. Suhu badannya masih tinggi. Raga duduk di tepi ranjang selagi atensinya dilempar ke Nawang. "Ambilin obat penurun demam!"

"Barusan udah aku kasih!" jelas Nawang, ketus.

"Terus, kalau udah dikasih obat, anaknya bakal langsung sembuh?" sewot Raga.

Memancing decakkan Nawang. "Ya terus aku mesti gimana?"

"Tenangin kek, biar nggak rewel! Kamu nih semenjak kenal si Indro jadi nantangin aku!" Raga melotot marah, tapi tak mampu menyentil nurani sang istri.

"Namanya Pak Rendra, bukan Indro!" koreksi Nawang.

Raga mana peduli.

Sebelum rengekkan Jaya menginterupsi. "Ayah, mau tiduran sambil dipangku."

"Sini, Nak." Raga mengindahkan.

"Tadi kata Uti, kamu nggak mau makan ya?" Nawang mengajak bicara putranya. Anak itu mengangguk membenarkan. "Makan dulu yuk sama Bunda!"

"Makanannya nggak enak, Bun," keluh Jaya.

"Nggak enak gimana, Nak?" sela Raga.

Jaya mendongak menatap ayahnya. "Nggak ada rasanya, Ayah."

"Tapi kalau perut Jaya kosong, nanti Jaya makin sakit. Terus Ayah sama Bunda tambah sedih." Raga menunjukkan raut sedih. Jaya yang ikut sedih langsung menghambur ke pelukan sang ayah. "Jaya, makan ya? Disuapi Bunda atau Ayah?"

"Enggak mau makan," tolak Jaya.

Raga mengesah, netra abunya dilarikan ke sang istri yang balik menatapnya.

"Bawa Jaya ke meja makan," titah Nawang, lalu beranjak meninggalkan kamar.

"Kamu ni ngomong sama suaminya kayak ngomong sama orang lain!" omel Raga.

Nawang tidak perlu repot-repot meladeni suaminya karena semakin sering ditanggapi, maka peperangan di antara keduanya tidak akan usai. Sekali lagi, Nawang hanya ingin pisah dari Raga setelah apa yang ia dengar tiga tahun silam.

"Ayah," ringik Jaya.

Raga menurunkan pandangan. "Iya, Nak. Kenapa? Ayah di sini."

"Badannya dituker aja, Yah."

"Dituker apa, Nak?" Raga merespons dengan sabar, ia usap punggung kecil sang jagoan. Jaya mendongak, matanya berkaca-kaca. "Udah dong jangan nangis. Abis ini Jaya makan, terus istirahat, biar besok pagi badannya agak enakan, oke?"

"Ayah." Jaya meringik lagi.

"Apa, Nak? Ayah di sini, nemenin Jaya." Raga peluk putranya.

"Nggak mau makan." Jaya menggeleng dalam dekapan.

Bangkit, Raga gendong anaknya untuk dibawa ke meja ruang sesuai titah Nawang.

Perempuan itu sudah menyiapkan nasi telur---porsinya lebih sedikit dari biasanya, serta segelas air putih. "Disuapi Ayah atau Bunda?"

"Bunda," jawab Jaya, lirih.

Nawang mengambil duduk di samping Raga---yang memangku Jaya. Ia pegang piring berisi nasi telur, sedang satu tangannya yang lain menyuapi sang jagoan. "Dihabisin ya. Nggak apa-apa nggak ada rasanya. Yang penting perut Jaya nggak kosong."

"Besok temenin aku ke nikahannya Fariz," kata Raga, menunggu reaksi Nawang. Tapi istrinya ajek bungkam. "Kamu nggak usah kerja," lanjutnya, memutuskan.

"Kita harus terbiasa sendiri-sendiri, Mas."

"Sampai kapanpun aku bakal bergantung sama kamu!" timpal Raga.

"Besok Jaya nggak usah ke sekolah dulu ya. Di rumah aja. Sama Uti," ujar Nawang, mengajak bicara sang jagoan, tanpa peduli kalimat Raga barusan. "Bunda nggak lama kok kerjanya. Besok 'kan shift pagi, jadi siangnya di rumah. Nggak apa-apa, 'kan?"

"Sorenya temenin aku." Raga menimbrung, mencoba mencari perhatian.

"Udah, Bun." Baru dua sendok, Jaya mendadak kenyang.

Nawang mengangguk, meletakkan piring ke meja, ia sodorkan segelas air putih ke sang jagoan, diterima Raga. Dibantunya si kecil meneguk minuman. "Udah ya, sekarang bobok. Mau bobok di kamar sendiri atau sama Bunda?"

"Sama Ayah."

"Oke." Nawang berdiri, berderap ke dapur, mengembalikan piring dan gelas. Tepat ketika ponselnya yang tergeletak di meja bergetar pendek---menandakan pesan masuk. Raga yang sadar langsung membuka pesan tersebut tanpa perlu meminta izin.

^^^Pak Rendra^^^

^^^Nawang, besok ada acara?^^^

Raga mengeraskan rahang.

Lalu ia blokir nomor Rendra.

"Kamu ngapain, Mas?"

Kedatangan Mertua

"Kamu ngapain, Mas?"

Alih-alih menjawab, Raga justru melepas kartu SIM pada ponsel sang istri, lalu disimpan di saku celana. Setelah itu bangkit dan dibawanya Jaya ke kamar. Percuma ngomong panjang-lebar, karena yang ada mereka malah bertengkar. Pria itu kembali merebahkan putranya ke ranjang, tapi si kecil menolak dengan mempererat dekapan. "Jaya mau bobok sambil dipangku Ayah?"

"Iya."

"Ya udah." Duduk bersandar di kepala ranjang, Raga peluk putra kecilnya. "Sekarang Jaya bobok. Ayah temenin."

"Ayah jangan berantem sama Bunda lagi," cicit Jaya, pilu.

Mendengar itu, Raga langsung menurunkan pandangan, menyanggah, "Enggak, Nak. Ayah sama Bunda nggak berantem." Jaya mendongak, otomatis dekapannya terurai, ia alas tatapan sang ayah. Raga menunjukkan senyum lemah. "Kadang cara ngobrol orang dewasa memang begitu."

"Tapi tadi Ayah marah. Jaya lihat waktu Ayah tendang koper Bunda." Umurnya baru genap empat tahun, tapi bocah laki-laki berbadan gempal itu bisa membedakan; mana situasi baik-baik saja dan sebaliknya. "Ayah." Ia panggil ayahnya dengan nada memohon. "Ayah jangan marahi Bunda ya. Soalnya Bunda suka sedih, sampe nangis sendirian di kamar kalau Ayah nggak ada."

Tidak mampu berkata, Raga peluk anaknya lagi. Memang selama hampir tiga tahun terakhir ini, dia dan Nawang kerap bertengkar. Setiap berinteraksi selalu menggunakan nada tinggi, ditambah Nawang yang mulai sibuk sendiri. Entah obrolan apa yang terjadi antara istri dan ibunya, tapi Nawang selalu bilang kalau pernikan mereka hanya berlaku selama lima tahun. Yang artinya bulan depan mereka harus selesai.

Raga menghela napas panjang, lalu diembuskan dengan gusar.

Nawang bukan orang baru. Perempuan itu adik kelasnya sewaktu SMP dan SMA. Jarak usia mereka terpaut dua tahun. Dan ketika takdir kembali mempertemukan keduanya, Raga yang sedari SMP telah menaruh hati pada Nawang, akhirnya mengungkapkan rasa. Tak peduli bahwa orang tua Nawang adalah karyawan di rumahnya.

Nia merupakan ART sementara Ruslan sopir pribadi ayah Raga. Nia dan Ruslan bekerja cukup lama di rumah kedua orang tua Raga, bahkan kabarnya sejak Raga masih dalam kandungan.

"Ayah sayang Bunda, 'kan?" Suara Jaya menyadarkan Raga dari kesenduan.

"Iya, Nak. Sayang banget," tegas Raga, mempererat pelukan. "Gananjaya sayang Ayah, 'kan?"

"Sayang, Yah."

"Apa pun yang terjadi, Gananjaya harus sama Ayah, ya."

***

Setelah memandikan putranya, Nawang bersiap-siap karena hari ini dia mendapat shift pagi. Namun, seketika langkahnya terhenti begitu Raga mendahului memasuki kamar mandi. Nawang mendengkus keki. Di rumah ini memang hanya ada satu kamar mandi, padahal bisa saja kamarnya dan sang jagoan kamar difasilitasi kamar mandi, tapi Raga ogah. Bukan nggak mau buang-buang duit, toh, rumah yang mereka tempati tidak terlalu besar, tapi juga tidak sempit. Dan dari awal, Nawang selalu mewanti-wanti Raga untuk tidak berlebihan membangun istana. Sebab yang diperlukan sebuah keluarga bukan mewahnya bangunan, tetapi nyamannya sebuah tempat untuk berpulang.

"Mas, buruan!" seru Nawang.

"Ini kamar mandiku. Suka-sukaku mau berapa lama!" sahut Raga.

Memancing dengkusan Nawang lagi. "Tapi aku udah mau telat, Mas!"

"Ya bagus. Nggak usah masuk sekalian."

"Mas, kamu tuh kenapa sih?!" sungut Nawang, "Aku kerja, nggak boleh. Giliran aku di rumah, ma---" Menjeda kalimat begitu sadar kembali melibatkan Renata, perempuan dua puluh tujuh tahun itu segera menutupi kekesalannya dengan mengalihkan topik. "Aku juga mesti antar Jaya ke Ibu. Dia nggak mau sama Mbak pilihan Mama."

"Kamu nggak usah alesan teros ya, Naw!" sentak Raga, emosi.

Nawang berjengit, lalu menggeleng tidak mengerti. "Alesan apa?"

"Bunda, mau minum!" rengek Jaya, setengah berteriak. Anak itu sedang duduk di sofa ruang tengah sambil nonton Spongebob.

"Iya, Nak, sebentar!" sahut Nawang, kembali menatap pintu kamar mandi yang masih tertutup, ia berpesan, "Cepetan, Mas, kalau nggak mau kita berantem."

"Mandi bareng aja, biar nggak rebutan!" seru Raga dari dalam.

Dan Nawang enggan menggubris, kakinya diayun pergi menuju dapur untuk mengambilkan minum. Setelahnya, bergerak menghampiri sang jagoan dan duduk di sebelahnya. "Nih!" Ia sodorkan gelas plastik berisi air putih, diterima si kecil---berikut ucapan terima kasih, dan diteguk hingga tersisa sebagian. "Gimana? Udah agak enakan?" Jaya mengangguk menanggapi, ia berikan gelas di tangannya ke sang ibu. Nawang menerimanya lantas diletakkan di meja. "Nanti Jaya sama Uti ya? Bunda sama Ayah mesti kerja."

"Tapi kemaren kata Ayah, Jaya sama Bunda aja."

"Ayah bilang gitu?" Nawang mengernyit jengkel.

Jaya mengangguk menegaskan.

"Tapi Bunda mesti kerja, Nak."

"Tapi Jaya maunya sama Bunda." Jaya peluk ibunya. "Jaya nggak mau sama Mbak. Kemaren Jaya dimarahi gara-gara numpahin minum." Mendongak menatap sang ibu, "Kalau sama Bunda 'kan nggak pernah dimarahi."

"Jaya---"

"Bunda nggak boleh kerja," lirih Jaya, membenamkan wajah di dada sang ibu. Sejak berumur satu tahun, Jaya diasuh oleh nenek dari pihak ibu karena omanya cukup sibuk. Tapi satu tahun belakangan, Nia tidak bisa menjaga Jaya sepenuhnya karena Ruslan mulai sakit-sakitan. Jadilah ibu Raga yang nggak bisa atau entah nggak mau bantu itu mempekerjakan baby sitter untuk menjaga cucu kesayangnnya. Tapi, mbak yang mengurus Jaya tidak pernah bertahan lama karena setiap berkunjung, Renata selalu rewel alias banyak komentar.

"Kenapa nggak boleh, Nak?"

"Nggak boleh, Bunda."

Nawang mengesah, dikecupnya puncak kepala sang jagoan. "Kan Bunda kerjanya nggak lama."

"Bunda nggak mau sama Ayah, ya?" tembak Jaya, tiba-tiba, lalu dekapannya terhela, ia angkat wajahnya. Nawang terenyak. "Gara-gara kemaren Ayah tendang koper Bunda, makanya Bunda nggak mau di rumah, 'kan?" cecarnya, "Bunda nggak usah sedih. Kemaren aku udah marahi Ayah."

Hal yang mampu menggetarkan hatinya selain kebahagiaan kedua orang tua, serta momen ketika Raga melafalkan namanya saat ijab kabul, ialah cara sang jagoan membelanya. Konon, anak laki-laki akan lebih dekat dengan ibunya. Tapi nyatanya; Jaya lebih dekat dengan ayahnya. Namun, kasih sayang anak itu terhadap kedua orang tuanya sama-sama imbang. Jika dia rasa ibunya yang keliru, dia akan membela ayahnya. Pun sebaliknya.

Seharusnya dengan keberadaan Anak Bagus Gananjaya, hubungan mereka jadi makin lekat dan dekat. Tapi semakin ke sini, kondisi rumah tangga mereka justru kian panas. Ditambah ibu Raga yang selalu memperingatinya untuk tidak melupakan fakta. Bahkan wanita itu juga tidak keberatan mengurus surat perceraian antara ia dan suami.

"Bunda," gumam Jaya, sendu. "Tapi kemaren Ayah bilang; Ayah sayang banget sama Bunda. Bunda sayang Ayah nggak?"

***

Sebenarnya Raga sudah mandi sejak tiga puluh menit yang lalu, tapi dia sengaja mendahului Nawang agar istrinya itu terlambat, dan akhirnya batal berangkat. Dan usahanya tidak sia-sia. Jarum jam telah berada di angka delapan, sementara Nawang harus sudah sampai sebelum jam delapan. Pria itu menampilkan senyum puas, lalu kakinya terayun menuju ruang tengah. Niatnya ingin merepotkan Nawang, tapi potret di ujung sana membuat langkahnya kontan terjeda. Ia terenyak.

"Bunda sayang Ayah nggak?"

"Sayang kok. Tapi Bunda lebih sayang Gananjaya."

"Kenapa, Bun?"

Nawang menggeleng, matanya berkaca-kaca. Dipeluknya Jaya dan setetes air mata luruh dari telaganya. Raga kian terpaku dalam sesak. Tamparan semalam terlayang karena emosi yang membuncah, dimana sabar telah terkikis oleh letih. Sebelumnya, semarah-marahnya Raga, dia akan pergi untuk meredam amarah, lalu kembali saat hatinya telah terkondisi. Namun, kemarin adalah puncak. Sebab bukan hanya Rendra yang menjadi alasan, Raga juga tersinggung ketika Nawang melibatkan ibunya di dalam pertengkaran mereka sore itu.

"Gananjaya!" Seruan dari luar terdengar syahdu di telinga.

Jaya yang merasa terpanggil segera mengurai pelukan, lalu berangsur turun, dan berlari ke depan. Renata datang membawakan banyak mainan seperti biasa. "Oma!" Menghambur memeluk pinggang sang nenek, membuat senyum Renata merekah apik.

Wanita itu memarkirkan kecupan di puncak kepala sang cucu. "Oma kangen banget sama Jaya."

"Jaya juga, Oma." Jaya melepas pelukan.

"Maaf ya, beberapa hari ini Oma harus nemenin Opa luar kota, jadi nggak bisa main sama Jaya." Meski kurang sreg dengan Nawang, tetapi Renata sangat menyayangi cucunya. Dan meskipun tidak banyak waktu yang dihabiskan bersama Jaya, tetapi Renata cukup bawel soal cucunya. "Oh ya, kata Ayah, kemaren Jaya sakit. Sekarang gimana? Masih ada yang sakit? Oma temenin ke dokter ya?"

"Udah sembuh, Oma. Soalnya semalem Jaya boboknya sambil dipeluk Ayah."

"Ayahmu itu emang orang tua terbaik." Jelas Renata sedang menyindir Nawang yang dia dengar belakangan ini sedang dekat dengan laki-laki lain. Namun, kalimatnya itu tak diambil hati oleh Nawang. Baginya, sudah biasa.

"Tapi, Oma ..." Jaya menatap ibu dari ayahnya, "... kemaren Ayah marahi Bunda, terus tendang koper Bunda."

Mata Renata langsung terlempar ke anak dan menantunya. "Kalian bertengkar di depan Jaya?"

"Ma, nggak gitu." Raga buru-buru menggeleng.

"Kalau kamu kesel sama Nawang, Mama anggap itu wajar. Tapi nggak seharusnya kamu berantem di depan Jaya!" Renata masih saja memojokkan Nawang, sedang si target cuma buang muka, menahan genangan air di pelupuk. "Dan kamu Nawang ..." Meletakkan seluruh atensi ke sang menantu, "... kalau mau pisah dari anak saya, nggak gini caranya. Norak!"

"Bukannya Mama yang mau?" balas Nawang, memindah fokus---membalas tatapan sengit sang mertua. "Kenapa Mama nggak jujur aja ke Mas Raga? Jadi nggak seolah-olah aku yang paling jahat di sini."

"Ma, ini sebenernya ada apa?"

//

Nah lho. Wkwk.

BTW kalau kalian nyari tokoh perempuan yang kalem, nurut, pasrah, silakan tonton channel ikan terbang 🤣🤣 karena tokoh Nawang bakal bikin kalian darah tinggi. Dan sebelum terlalu jauh, yang fobia ketinggian, jangan nekat. Awokawok.

Gimana chapter ini? Dah bikin penasaran pa belom?

Video Call

"Ma, ini sebenernya ada apa?"

Mengiringi pertanyaan sang suami dengan sorot penasaran, Nawang ingin tahu; apa ibu mertuanya akan berkata jujur atau tetap memojokkannya seperti biasa. Karena jujur saja, dia sudah tidak tahan menghadapi Renata yang seenaknya.

Nawang sadar dirinya bukan berasal dari keluarga kaya raya yang memiliki jabatan, serta disegani banyak orang. Namun, perasaan yang tumbuh di hatinya juga bukan atas kemauannya. Semua berjalan sesuai skenario-Nya. Ia tidak pernah meminta, apalagi sampai memaksa Raga untuk membalas perasaannya. Sebelum itu, ia sudah tahu diri. Tapi tanpa disangka-sangka justru Raga sendiri lah yang datang dan mengajaknya merajut asa untuk mencipta bahagia.

"Kenapa Mama diam?" desak Raga, menuntut.

"Kamu nuduh Mama?" Renata mengedikkan dagu tidak suka, "Kamu lebih percaya istrimu daripada Mama yang melahirkan kamu?" lanjutnya, membuat Nawang kontan diserbu rasa muak. Renata menggeleng tak habis pikir seolah-olah dirinya sedang terinjak.

"Ma---"

"Semenjak menikah, kamu jadi nggak percaya Mama. Dan selalu menempatkan Mama sebagai orang lain." Renata mengesah sedih. "Mungkin karena istrimu nggak suka sama Mama, jadinya dia mengarang-ngarang cerita tentang Mama. Padahal istri abang-abangmu selalu baik ke Mama."

"Stop playing victim ya, Ma!" sela Nawang, tanpa gentar.

"Siapa yang playing victim?" balas Renata, tidak terima.

"Oma sama Bunda jangan berantem dong." Jaya cemberut, menatap ibu dan neneknya bergantian.

Renata segera menyudahi, digiringnya Jaya ke kamar, meninggalkan Raga dan Nawang yang masih berada di ruang tengah.

Nawang menjatuhkan tatapan jengkelnya ke sang suami. "Kamu lihat sendiri 'kan, Mas? Mamamu nggak setulus itu nerima aku. Dan aku---" Menunjuk dadanya sendiri, "siap kalau harus pisah dari kamu daripada aku makan ati tiap hari."

"Nggak!" Raga mengibaskan tangan, lalu jari telunjuknya menuding wajah sengit sang istri. "Sampai kapanpun aku nggak bakal lepasin kamu, paham?" tegasnya, kemudian enyah dari hadapan Nawang.

Bergegas Nawang mengejar seraya berseru, "Mas!"

Raga tidak menggubris, kakinya diayun memasuki kamar, berderap menuju lemari untuk menyiapkan pakaian. Nawang langsung mengambil alih. Meski berharap diceraikan Raga, tapi Nawang tidak pernah lupa akan tugas-tugasnya. Sementara itu, Raga membiarkan Nawang menyiapkan pakaian untuknya. "Bisa nggak, kita perbaiki yang salah?"

"Maksud Mas?" sahut Nawang tanpa menatap Raga.

"Kalau aku ada salah, kamu bilang. Jangan nantangin aku! Aku ini suamimu!"

Kali ini Nawang menoleh, ia letakkan baju kantor suaminya ke ranjang, lalu beralih menatap pria di depannya. "Aku nggak pernah nantangin kamu, Mas. Tapi emang tiga tahun belakangan ini kita nggak bisa ngobrol dengan baik."

"Itu karena kamu selalu seenaknya!" tandas Raga.

"Mas, sekali lagi maaf kalau aku ngelibatin mamamu. Tapi kenyataannya; mamamu yang paling tahu kenapa aku begini," tukas Nawang. "Oh iya, hari ini aku di rumah, jagain Jaya. Kamu kalau mau sarapan, udah aku siapin di meja makan."

Setelahnya, siuh.

***

Renata pulang diantar Raga. Kebetulan, komplek tempat tinggal wanita itu searah dengan kantor Raga, jadi nggak masalah kalau dia harus berbelok sebentar untuk mengunjungi kediaman orang tuanya.

"Loh, Cyara?" Renata kaget menemukan cucu dari putra sulungnya berdiri di depan gerbang. Gadis itu sudah rapi dengan seragam putih abu-abunya. "Kamu nggak sekolah?"

"Nggak! Abisnya Mami sama Papi lebih mentingin kerjaan." Cyara, gadis enam belas tahun itu memutar mata.

Raga geleng-geleng. Raja---abang tertuanya berprofesi sebagai pilot, sedang istrinya masih betah bergelut di dunia modelling. Alhasil, putri semata wayang mereka jadi kurang perhatian dan ujung-ujungnya selalu ngambek kayak gini. Well, ketiga abang Raga serta para iparnya memang memiliki jabatan dan karir yang bisa dibilang cukup menjanjikan. Makanya Renata selalu memojokkan Nawang yang cuma anak pembantu dan sopir---yang pendidikannya saja nggak sebanding dengan Raga.

"Om antar yuk, mau?" tawar Raga.

"Nggak, ah. Hari ini ada rapat wali murid, Om. Masa Om yang jadi orang tuanya Cya?"

"Ya nggak apa-apa," timpal Renata. "Kan mewakili mami-papimu. Lagian, kamu tu harusnya bangga punya mami-papi yang sukses. Nanti Gananjaya pasti juga bangga punya ayah yang baik dan pinter kayak Om Raga."

"Ma!" tegur Raga.

Memicu decakkan Renata. "Apa sih? Emang iya, 'kan?"

Raga mengesah berat. Andai putranya tahu apa yang ia lakukan kemarin pada Nawang, mungkin label Ayah Baik akan tanpa segan dilepas oleh Jaya. Pun ibunya. Kalau tahu apa yang terjadi kemarin, pasti wanita itu akan menarik kata-katanya barusan.

"Ya udah, sana gih berangkat sama Om Raga!" titah Renata, kemudian berpaling ke sisi, menatap si bungsu. "Kamu nggak apa-apa, Ga, nganterin Cya ke sekolah?"

"Nggak apa-apa, Ma."

Setelah pamit, Raga antar sang keponakan. Namun, setibanya di SMA Theresiana, Cyara menahan Raga yang hendak ikut turun. Otomatis pamannya itu mengernyit bingung. Cyara nyengir. "Tadi tuh sebenernya Cya bohong, Om. Cya cuma pengin dianter Papi. Tapi karena Om Raga udah anter Cya, batal deh acara bolosnya."

"Kamu nih!" Raga acak puncak kepala Cyara dengan gemas.

Cyara lantas mencium punggung tangan sang paman, lalu mencangklong tas ranselnya di sebelah pundak, dan berangsur turun dari mobil. "Cya sekolah dulu ya, Om! Salam buat Tante Nawang yang cantik."

"Oke, belajar yang rajin."

Selepas kepergian Cyara, Raga memundurkan mobil untuk putar balik. Namun, jeritan dari belakang membuatnya refleks menginjak rem, lalu menoleh ke sumber suara. Tampak seorang perempuan berseragam batik---yang Raga tebak salah satu guru di SMA Theresiana, berdiri sambil menutup wajah. Buru-buru Raga turun dan menghampiri si perempuan.

"Maaf, tadi saya---" Kalimat Raga teredam oleh keterkejutan saat sadar bahwa orang yang hampir ia tabrak adalah bagian dari masa lalunya. "Citra?"

"Raga?"

***

Menemani sang jagoan bermain di ruang tengah, Nawang menyempatkan diri untuk mengirim pesan ke sang atasan bahwa hari ini dia mengambil liburan lantaran si kecil sedang sakit dan tidak mau ditinggal.

Saya:

Pagi pak

Maaf, hari ini saya izin

Soalnya anak saya lagi sakit

Dan gak mau ditinggal

Terima kasih

Tidak butuh waktu lama, pesan balasan pun diterima.

^^^Pak Rendra:^^^

^^^Ya^^^

Omong-omong soal Rendra, sebenarnya Nawang bekerja di butik milik pria itu setelah menemukan dompet sang atasan di jalan---sewaktu ia mencari kerja, satu tahun yang lalu. Dan dua tahun sebelumnya ia sempat bekerja di mall sebagai SPG, sayangnya, dia dikeluarkan secara tidak hormat saat bosnya tahu dia sudah bersuami. Padahal di CV yang ia berikan ketika melamar kerja sudah jelas statusnya.

"Bunda, vicall Ayah!" rengek Jaya, meraih fokus sang ibu.

Nawang menoleh. "Hm?"

"Vicall Ayah."

"Bentar, Bunda chat Ayah dulu ya?"

Jaya mengangguk.

Perhatian Nawang kembali pada layar ponsel, mengetikkan pesan.

Saya:

Mas, udah nyampe kantor?

Jaya mau ngomong nih

Aku vicall, boleh?

Ayah?

Tidak ada jawaban.

Nawang langsung menghubungi sang suami. Tiga detik kemudian, wajah tampan Raga menghiasi layar ponsel. Nawang segera mengarahkan ponsel ke samping---berbagi dengan sang jagoan. Raga menyahut, "Iya, Bun?"

"Jaya mau ngomong, Yah."

"Ayah, nanti beliin es krim ya?" ringik Jaya, manja.

"Tapi 'kan Jaya baru enakan."

"Tapi mau es krim, Ayah!"

"Coba tanya Bunda; boleh nggak?"

Jaya tidak mengindahkan, bibirnya mengerucut bete.

Bikin bapaknya jadi merasa bersalah. "Ya udah, iya, tapi---"

"Aw!"

Nawang terkesiap mendapati seorang perempuan menyenggol lengan Raga, hingga wajah keduanya hampir bersentuhan. Disusul debar emosi yang bergemuruh di balik dada. Perempuan itu memalingkan muka sebelum Raga berkata, "Bun, ntar siang aku pulang. Kita perlu ngobrol."

Panggilan diputus sepihak oleh Nawang Wulan.

//

Sip. Perang lagi. Hahaha.

Gimana gaes chapter ini? Komen napa -_-

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!