"Kamu pikir Aku nggak bisa, mendapatkan Aira? Tinggal menjentikan jari. Ya kali, dia itu anak yang penurut dan nggak pernah membantah. Bukan cewek barbar yang suka berontak dan suka semaunya sendiri."
"....."
"Hahahaha.... Ya jelas dong kamu di tolak. Nah, kamu nggak modal sih. Biar pun kata si Ira anaknya pembantu di rumahku, tapi dia mungkin punya selera. Aku paham kamu orang kaya, tapi mungkin kamu kurang manis dalam memperlakukan wanita."
"....."
"Kalau aku sih oke-oke aja. Aku pastiin, kalau nggak ada yang bisa menolak cintaku, apalagi sekelas Ira. Aku percaya itu. Kamu nggak percaya, ya bukan urusanku."
"....."
"Ya ya ya, aku paham. Ya udah, udah sore. aku mau mandi dan rebahan sebentar. Papa emang nggak tanggung-tanggung kalau ngasih pekerjaan."
"....."
"Oke, see you, bye."
Panggilan di matikan sepihak oleh Arjuna Sastra Suseno. Lelaki matang berusia awal tiga puluhan itu terkekeh pelan di balkon kamarnya, tak menyadari kehadiran ibunya yang berdiri terpaku di pintu kamar-balkon.
Sesaat setelah membalikkan badan, Arjuna demikian terkejut. Mamanya berdiri canggung dengan bola mata yang menatap kesana kemari tak karuan.
"Mama?" Arjuna berusaha tenang, meski ia sendiri khawatir kalau-kalau sang mama, Tri Ningsih, mendengar percakapannya bersama kedua sahabatnya. Lihat saja, bahkan tatapan mata Ningsih mencurigakan.
"Ngomong sama siapa, Juna?" tanya Ningsih pelan.
"Sama Aryo dan Rehan, ma. Mama sejak kapan disana? Kok nggak permisi? Maaf, Juna nggak mendengar tadi kalau mama datang." Juna melangkah masuk, mengecup pipi mamanya sekilas sebelum ia menuntun mamanya menuju balkon.
Sore hari begini, senja datang dengan begitu indahnya. Langit Merah keemasan tampak memukau dengan nilai yang sempurna di mata Alfan. Kicau burung, disertai kelebat bayangannya yang terbang kesana kemari, semakin menambah kesan sempurna akan panorama sore hari.
Ningsih memerhatikan putranya, tatapan matanya intens memandang Juna dari atas ke bawah. Juna memang lelaki sempurna, dengan tingkat ketampanan paling tinggi diantara teman-temannya.
Kulitnya putih bersih, dengan mata tajam dan alisnya yang tegas. Rahangnya kokoh dengan tulang pipi tinggi bak pria aristokrat, hidungnya yang mancung, serta dagu belah yang tampak semakin membuat Juna tampan berkali-kali Lipat. Jangan lupakan rambutnya yang hitam legam, disertai dengan tubuh sixpack, membuat banyak gadis memimpikan ingin menyentuhnya.
"Berapa tahun usiamu, Juna?" Tanya Ningsih yang kemudian membuat Juna memutar bola matanya jengah. Tak bisa dibayangkan, Juna sangat membenci percakapan yang membahas tentang usianya, kapan ia menikah, dan siapa kandidat yang Juna miliki.
"Nggak usah memulai, ma. Juna nggak mau mama bahas usia lagi. Mama sendiri sudah tahu kalau Juna baru masuk kepala tiga."
"Baru? Baru kamu bilang? Usia kepala tiga itu kamu bilang baru, padahal harusnya kamu udah punya istri dan anak. Lihat teman-teman kamu, Juna. Mereka rata-rata sudah menggendong anak. Sampai kapan kamu akan melajang terus? Mama dan papamu ini makin hari makin tua. Bagaimana kalau mama dan papa mati tanpa merasakan senangnya menggendong cucu?"
Ningsih tak bisa menahan kekesalannya kali ini. Tapi Juna cuek saja, seolah ia tak terbebani atau pun merasa tertekan. Kalimat demikian bukanlah kalimat pertama kali yang Juna terima. Jadi, ya sudahlah, Juna tak akan terprovokasi sedikit pun.
"Sampai Juna menemukan Gadis yang pantas untuk bersanding dengan Juna. Catat, ma. Yang gadis. Bukan janda, atau bekas orang. Jaman sekarang mencari gadis yang murni gadis itu sulit, jadi Juna nggak mau kalau sampai asal milih pasangan."
Juna menantang mamanya. Dengan meminta hal itu, Juna yakin mamanya akan kesulitan mencari gadis.
"Ya sudah, kalau begitu temui papa dan mama nanti setelah makan malam. Mama nggak mau dibantah, juga nggak mau menerima penolakan." Ningsih berlalu pergi, meninggalkan Juna yang memanggilnya hingga setengah berteriak.
"Ma, mama..... tunggu Juna, ma. Astaga, celaka aku." Ucap Juna kesal setengah mati, sesaat setelah pintu kamarnya berdentum keras.
--
Aroma khas bumbu masakan yang diracik oleh Mbok Asih dan putrinya, Ira, cukup menyeruak dan membuat lapar seisi rumah. Mbok Asih adalah pembantu rumah Sastra Suseno, sebagai juru masak karena keahlian yang ia miliki, mbok Asih tak melakukan pekerjaan lain atas perintah Ningsih, sang majikan.
Aira Marlina, Gadis yang berusia delapan belas tahun itu, baru siang tadi terakhir menjalani ujian akhir. Namun ia memiliki keahlian memasak yang diturunkan oleh sang ibu. Gadis itu sangat pintar, dan juga memiliki bakat memasak. Selain itu, Ira juga adalah gadis yang cekatan dan penurut, santun, ramah dan baik terhadap semua orang.
Dan ketika makan malam nyaris siap, majikannya, Iskandar Suseno datang menemuinya bersama sang istri.
"Ira, bisa ikut saya sebentar? Sekalian sama bik Asih, ya?" Tanya ningsih.
Aira yang memang sangat patuh, tentu saja ia mengangguk dan tidak menolak sama sekali. "Baik, Bu."
Kini, Aira duduk dengan gelisah, menunggu Iskandar dan Ningsih memulai bicara padanya lebih dulu. Begitu juga dengan bik Asih yang tak kalah khawatir, takut-takut jika nanti dirinya melakukan kesalahan yang tak disengaja.
"Bik Asih, Ira, maaf jika membuat kalian harus datang ke ruangan ini. Ini tentang Juna. Bibi tahu, bukan, kalau Juna sekarang sudah menginjak usia kepala tiga?"
Iskan, membuka pembicaraan tanpa berbasa-basi.
"Iya, pak. Saya mengerti."
"Saya ingin Juna segera memiliki istri. Baru saja, saya bicarakan ini dengan istri saya, kalau saya ingin Ira menjadi istri Juna, selamanya hingga maut memisahkan."
Duuarrrr.....
Bak petir yang menggelegar kencang di siang hari, Ira refleks mendongak dan melebarkan matanya, menatap Iskan dan juga Ningsih secara bergantian.
Apa Ira tadi tidak salah dengar?
"Apa, pak? Ira?" Ira bertanya sekali lagi untuk memastikan. Tapi anggukan Ningsih dan Iskan secara bersamaan, cukup menjelaskan.
"Ya. Kamu bersedia, kan? Saya harap kamu bersedia, dan bik Asih setuju akan rencana saya. Saya tak akan menekan Ira harus bagaimana, pikirkan saja ini baik-baik. Besok malam, saya tunggu jawaban dari Ira." Ningsih menimpali. Tak ada lagi kesempatan Ira untuk berkata iya, atau tidak.
"Tap... tapi, tapi den Juna, bagaimana?" Tanya asih.
Asih hanya tidak mau, putrinya akan menjalani rumah tangga berat sebelah. Sedikit bahagia, Asih tidak menampik bahwa ia bahagia sekali bisa bermenantu, berbesan dengan orang kaya. Hanya saja, kebahagiaan Ira juga penting baginya. Ira anak satu-satunya yang ia miliki.
"Juna urusan saya. Dia juga, saya pikir dia tak akan keberatan."
Jawab Iskan singkat. Dirinya sudah membicarakan hal ini dengan sang istri. Setelah makan malam nanti, tinggal Juna yang harus ditekan dan diinterogasi seputar pernyataan dirinya senja tadi, ketika ningsih tak sengaja mendengarnya bercakap dengan Temannya.
"Biar Ira pikirkan dulu, pak. Menikah bukan hanya sehari dua hari, seminggu dua Minggu, tapi untuk selamanya. Ira juga nggak mau andai nanti, den Juna..... keberatan."
"Jangan khawatir, Ira. Selama kamu bersedia dan mau membuka diri, Juna tak akan mungkin mengecewakan saya, suami saya, juga kamu dan ibu kamu." Dengan keyakinan dan percaya diri yang tinggi, Ningsih merayu dan berusaha memengaruhi Ira.
"Saya akan membebaskan kamu meminta apa pun, Ira. Katakan saja, saya akan berusaha memenuhinya." Iskan mulai menebar rayuan mautnya.
Ira hanya mengerjapkan matanya untuk berpikir. Agaknya, gadis itu tengah menggunakan kesempatan ini untuk mendapatkan apa yang ia ingin.
"Bagaimana kalau Ira meminta..........."
**
Selamat datang di cerita baru Istia. Jangan lupa dukungannya, ya. Vote, komen dan like biar makin semangat nulisnya.🥰
Ira hanya mengerjapkan matanya untuk berpikir. Agaknya, gadis itu tengah menggunakan kesempatan ini untuk mendapatkan apa yang ia ingin.
"Bagaimana kalau Ira meminta agar ibu berhenti menjadi juru masak dan istirahat di rumah? Ira juga minta agar nanti, den Juna tak melarang Ira untuk mengembangkan hobi Ira dan bebas mau kerja atau kuliah lagi."
Tak banyak yang Aira minta. Gadis itu hanya meminta agar dirinya dibebaskan mengeksplorasi bakatnya, juga ingin ibunya istirahat saja. Mengingat usia Asih yang sudah senja, harusnya bagi Ira ibunya itu memilih untuk beristirahat.
Iskandar dan juga Ningsih hanya saling pandang dari tempat mereka. Bila gadis lain meminta untuk dibelikan rumah, mobil mewah, pakaian dan perhiasan branded, dan barang mewah lainnya, kali ini yang Ira minta hanya melihat ibunya tidak lagi kelelahan. Ira juga hanya meminta agar dirinya dibebaskan menuangkan hobinya.
Ya Tuhan, sungguh langka sekali gadis seperti Ira ini.
"Hanya itu, nak? Kamu yakin nggak mau menyebutkan sesuatu lagi sebagai syarat dan ketentuan?" Ningsih bertanya sekali lagi untuk memastikan.
"Ya. Hanya ibu yang Ira miliki, Bu. Ira nggak punya siapa-siapa lagi. Ira hanya ingin ibu nggak kelelahan. Kalau bisa, biar Ira saja yang bekerja untuk ibu, bukan ibu yang sudah harusnya istirahat di masa senja usianya."
Asih terpana, Asih sungguh betapa bangga memiliki putri tunggal yang sangat memedulikan kebahagiaanya. Andai mendiang ayah Ira masih bernafas, ia juga pasti akan bangga memiliki putri berbakti seperti putrinya, Aira Marlina.
"Kamu ini, jangan begitu, Ira. Ibu bahagia kok, hidup begini. Yang penting, kamu nggak kekurangan apa pun. Ibu nggak mau kamu mau menikah sama den Juna, hanya karena ibu sebagai alasannya." Mbok Asih cukup melihat Ira bahagia, itu sudah cukup baginya.
"Enggak, Bu. Orang bilang, cinta itu akan tumbuh seiring berjalannya waktu. Maka Ira percaya, den Juna dan Ira akan sama-sama mencintai jika kami sudah hidup bersama. Yang penting, ibu bahagia dan Ira juga bahagia."
Iskan dan juga Ningsih paham sekarang, bagaimana karakter polos Ira yang sesungguhnya. Bagus, keduanya sepertinya semakin mantap untuk menjodohkan Ira dengan putra semata wayang mereka.
"Jadi, bagaimana kalau saya bersedia memenuhi permintaan kamu, Ra?" Iskan bertanya dengan tegas. Suaranya penuh wibawa dan pembawaan wajahnya juga sangat berkharisma.
Ira menghirup oksigen sebanyak yang ia mampu, sebelum akhirnya ia menjawab dengan hati yang mantap.
"Ira bersedia dinikahi den Juna."
Ningsih dan Iskan cukup lega sekarang. Sebentar lagi, mereka membayangkan lepas dari olok-olok memiliki anak bujang lapuk yang tak laku-laku. Selain itu, Ningsih berpikir terlalu jauh, yakni untuk memiliki cucu.
"Ya sudah. Artinya tidak usah berpikir terlalu lama, ya. Semua permintaan kamu, saya akan segera mengabulkannya. Saya ingin secepatnya Juna menikah dengan kamu."
Ira hanya bisa mengangguk, dan pasrah. Untuk meneruskan impiannya untuk kuliah dan bekerja, sepertinya akan tertunda. Toh majikannya sekarang juga berjanji tak akan melarang Ira melakukan apa pun.
Selepas menikah dengan Juna nanti, angan-angan Ira tak terlalu tinggi. Ia hanya berharap jika nanti Juna mampu membuka diri dan menerimanya dengan baik.
"Baik, Bu. Tapi, saya nggak mau nanti den Juna justru tertekan dan terpaksa menikahi saya."
"Tenang saja, Ira. Akan saya pastikan kamu nanti nggak akan kecewa. Saya akan bahas ini nanti usai makan malam." Tambah Iskan lagi.
"Baik, pak." Ira mengangguk patuh dan penuh sopan.
"Ya sudah, kembalilah ke dapur. Jangan bicarakan hal ini kada siapa pun termasuk Juna. Nanti, saya sendiri yang akan menegur Juna dan memberi tahukan hal ini terhadap anak itu." Iskan menutup pembicaraan.
Bik asih dan juga Aira mengangguk paham. Gadis itu lantas kembali ke dapur, beserta ibunya mengekor di belakangnya.
--
Arjuna merasa ada yang berbeda dengan makan malam kali ini. kedua orang tuanya juga lebih banyak diam dan juga tak seperti biasanya
Sikap Iskan dan juga Ningsih lebih cenderung pasif. Biasanya, Arjuna akan selalu di hadiahi banyak pertanyaan, dan juga banyak cercaan menyangkut hari-harinya. Maklum saja, Juna anak satu-satunya yang terbilang manja sejak dulu.
"Juna, Malam nanti keluar, nggak? Papamu mau bicara."
Ningsih mengeluarkan ujaran terhadap Juna. Juna yang sudah tau kemana arah pembahasan nanti karena ketidak sengajaan ibunya mendengar percakapannya tadi, hanya bisa menghembuskan nafasnya kasar.
"Kenapa nggak ngomong sekarang sih, pa? ma? Toh sekarang sama aja. Nggak ada orang lain juga." Juna seperti biasa, selalu memutar bola matanya jika sedang malas.
"Papa maunya setelah ini di dalam ruang kerja, jadi jangan membantah, Juna." Iskan menjawab. "Lagian sekarang waktunya makan, nggak baik banyak bicara saat makan."
"Halah, biasanya juga saat makan papa banyak bahas tentang pekerjaan. Lagian Tetang apa sih?" Tatapan tajam, Juna lemparkan pada mama yang tak merasa bersalah sama sekali. Juna hanya bisa mengeluh dalam hati.
"Sejak kapan kamu jadi anak yang suka membantah?" Iskan menyuap makanan terakhirnya, "Udah, jangan banyak membantah dan jangan banyak ngomong lagi. Sekarang, papa dan mama tunggu kamu di ruang kerja."
Ningsih yang juga sudah selesai makan, segera mengekor di belakang suaminya sembari berdehem pelan. Sayangnya, deheman itu bagi Juna seperti sebuah ledekan.
"Sialan, mama. Pasti papa di provokasi sama mama." Juna bergumam kecil. Tapi sayangnya, Juna tak berfirasat sedikit pun bahwa ia akan dijodohkan dengan gadis yang saat ini tengah mengantarkan secangkir kopi susu untuknya.
"Terima kasih, Ira." Tukas Juna kemudian.
"Sa.... sama-sama, den." Ira mendadak gugup, yang terdengar aneh di telinga Juna. Entah mengapa, Ira terlihat aneh malam ini.
Dalam hati, Juna membatin mungkin Ira sedang ada masalah atau bagaimana, Juna tak begitu mengerti.
"Kamu kenapa gugup, Ira? Kamu sakit? Atau ada masalah?" Tanya Juna kemudian.
"Den Juna.... em, tidak apa-apa, den."
"Ira, bagaimana dengan ujian akhirnya? Apakah sudah selesai dan semuanya berjalan dengan lancar?"
"Lancar, den. Terima kasih kemarin sudah bantu mendoakan." Ira berpikir, Juna mungkin mulai membuka diri untuknya. Lihat saja, biasanya Juna sangat cuek. Tapi kali ini, Juna terlihat sangat perhatian dan bicara panjang lebar padanya.
"Bagus. Ya sudah. Oh ya, sebaiknya ini antar ke kamar, ya. Taruh saja diatas meja. Nanti aku minum di sana. Papa minta aku untuk ke ruang kerjanya."
"Baik, den."
Setelah Juna tiba di ruang kerja papanya, Juna mengerutkan keningnya, saat dilihatnya, papa dan mama tengah tersenyum lebar padanya.
"Wah, akrab sekali kamu sama calon istri kamu." Iskan menyapa Juna yang baru saja menutup pintu.
"Hah? Calon istri? Apanya?"
"Ya barusan, kamu berbincang sama Ira. Bukannya kamu bilang kalau kamu bisa mendapatkan Ira? Wah hebat anak papa."
"Eh? Ira? Calon istri? Maksudnya?
"Maksudnya, Ira yang calon istri kamu."
"APA??!!!"
**
"Eh? Ira? Calon istri? Maksudnya?
"Maksudnya, Ira yang calon istri kamu."
"APA??!!!"
Seperti kereta yang tengah menabrak pepohonan yang rimbun, maka seperti itulah hati Juna. Jantung Juna serasa dilolosi dari rongganya.
"Mama jangan bercanda, ya?" Juna mengerjapkan matanya beberapa kali. Bukan karena ia tak bisa membantah, atau pun karena dirinya tak mampu mengelak. Hanya saja, meski tampak jenaka, namun papa Juna, Iskan buka lah lelaki yang suka bercanda dan selalu tegas jika ia sudah menginginkan sesuatu.
Juna Takut, takut jika nanti Dirinya akan sungguh-sungguh dijodohkan dengan Ira. Juna berharap, papa hanya bercanda saja.
"Bercanda dari mana, Juna. Senja tadi kamu bilang kalau mau menikah asal dengan perawan, asal dia gadis, bukan janda atau pun bekas orang. Mama pikir, gadis seperti Ira sangat cocok buat kamu. Dia jarang keluar, tak pernah bergaul dengan lelaki, juga gurunya di sekolah selalu bilang kalau dia anak yang tertutup dan tidak pernah neko-neko."
Ningsih mengatakannya dengan berapi-api. Tapi Juna masih enggan untuk menelan mentah-mentah apa yang mamanya katakan. Sungguh sial.
"Ma, Ya ampun. Tapi ini Ira, ma. Ira anak pembantu kita."
"Memangnya kenapa sama Ira? Ira anak yang baik, dia juga anak yang memiliki prinsip, mengedepankan kebahagiaan orang tua dan juga nggak banyak maunya kayak gadis-gadis lain. Ya udahlah, Juna. Jangan banyak membantah. Kebiasaan kamu ini. Mama juga nggak pernah memandang seseorang hanya dari kasta, kedudukan, dan perbedaan golongan. Meski anaknya pembantu kita, Ira memiliki pemikiran yang smart."
Iskan yang sejak tadi hanya diam, tersenyum kecil sembari mengamati suasana. Seperti biasa, Juna memanglah setiap hari selalu bertengkar dengan mamanya. Hanya saja, pertengkaran mereka selalu berakhir dengan tawa setelahnya.
"Ya Tuhan, mama. Enggak, enggak. Aku nggak mau."
"Harus mau karena ini sudah jadi keputusan papa, Juna. Jika Arjuna Sastra Suseno tidak bersedia menjalankan perintah papa, maka papa tak akan mewariskan semua usaha dan aset-aset papa ke kamu. Kamu tahu, kan? Papa gak pernah bermain-main dengan ucapan papa."
Tubuh Arjuna lunglai, lelaki itu lantas merosot dan merebahkan kepalanya di bahu kursi. Sumpah, Jika mama mendengar percakapan dirinya dengan teman-temannya, maka tragedi segera datang. Ini buktinya.
"Tapi, pa..... Ira itu masih kecil, kecil sekali. Dia masih delapan belas tahun, sementara Juna sudah menginjak usia Tiga puluh tahun. Perbedaan usia kami terpaut selisih dua belas tahun. Dia pasti nggak aku sama laki-laki setua aku."
Sekali lagi Juna memelas. Ia tidak tahu lagi harus bagaimana setelah ini. Agaknya, nasib baik tak berpihak padanya.
"Siapa bilang? Kamu nggak tua-tua amat, Juna. Sudahlah, jangan banyak membantah. Untuk Ira, biar nanti jadi urusan papa. Papa nggak akan membuat kamu kecewa. Papa berani jamin, dia masih gadis-dis-dis-dis......." Iskan tersenyum penuh arti. Selisih matanya mengerling menggoda pada putranya. Astaga, Juna takut jika nanti dirinya terkena stroke karena ulah mama dan papa.
"Terserah papa saja."
Disinilah titik terlemah Juna. Lelaki itu betul-betul tidak mampu membuat papanya mengerti dirinya. Apa lagi mama.
"Bagus. Persiapkan dirimu. Pernikahan akan di persiapkan dua bulan lagi."
"APA??!!"
Pernyataan Iskan, cukup membuat Juna benar-benar darah tinggi hingga nyaris stroke sebentar lagi.
--
Ira berdendang pelan dengan bibirnya yang kecil itu, ketika Juna telah keluar dari kamarnya. Majikan muda Ira itu tampak ditekuk wajahnya. Auranya mendung dan membuat Juna tampak aneh pagi ini.
"Ira, kamu mau ke sekolah?" Tanya Juna pelan sembari mengedarkan pandangannya ke arah lain. "Kok siangan baru mau berangkat?"
Tunggal Iskan itu lantas melirik jam tangannya dan menatap Ira, "Udah mau Jam delapan loh ini, kamu baru mau berangkat?"
"Iya, den. Kan ujian baru selesai kemarin. Ira ke sekolah nggak untuk belajar lagi."
"Oh iya." Juna lantas menepuk jidatnya sendiri. Akibat tekanan dan paksaan dari orang tuanya semalam, rupanya cukup membuat Juna pikun secara perlahan.
"Sekalian berangkat bareng saja, yuk?"
Juna ingin bicara sesuatu pada Ira, namun tidak di rumah hingga nanti berujung mendapat ledekan dari kedua orang tuanya. Tidak tidak, Juna tidak ingin itu terjadi.
"Apa..... nggak apa-apa, den?"
Ira bertanya ragu. Tapi sudut hatinya yang lain, ia berharap Juna memaksanya. Astaga, sejak kapan Ira memiliki harapan yang aneh-aneh?
"Nggak apa-apa. Sudah, ayo kita berangkat." Juna memandangi Ira yang tampak bengong.
Di perhatikan Ira yang mematung. Ditatapnya lekat Ira yang terbengong itu. Wajah Ira tak buruk juga.
Pembawaan wajahnya yang imut, dengan kulit seputih pualam, matanya yang sipit dengan bulu mata lentik yang bergetar saat berkedip, hidungnya yang mungil namun tinggi, alisnya yang tebal nan rapi, serta bibir ranumnya dengan lesung Pipit yang berada di kedua sudut pipinya, membuat Ira tak kalah cantik dengan wanita kelas sosialita. Rambutnya yang hitam legam, dengan tinggi tak lebih dari seratus lima puluh dua sentimeter, membuat Ira cukup sedap di pandangan mata Juna.
"Ra, kamu kenapa?" Juna mengejutkan Ira yang melamun.
"Oh, nggak apa-apa, deh. Tunggu sebentar, Ira minta uang saku ke ibu untuk ongkos angkot pulang sekolah nanti."
Pipi Ira kedapatan bersemu merah karena malu. Gadis itu lantas berlalu begitu saja dan setengah berlari menuju kamarnya yang ia tempati berdua dengan sang ibu.
"Jangan lama, Ra. Saya nggak mau terlambat ke kantor." Ira tak menjawab kalimat Juna.
Dengan langkah lebar, Juna lantas membawa tas kerjanya menuju ke mobil. Sepertinya, Juna perlu membujuk Ira agar Ira bersedia diajak untuk kompromi.
Saat Ira berada di samping mobil Juna, Juna mengangkat sebelah alisnya, lelaki itu lantas membuka kaca mobil dan berseru pada putri pembantunya itu.
"Masuk, Ra. Kenapa nggak masuk?"
"Nggak bisa buka, den." Seloroh Ira dengan polosnya. Astaga, Juna kembali menepuk jidatnya sendiri. Tentu tingkah keduanya ini tak lepas dari si penguntit, Ningsih. Iskan juga tampak masih berada di balkon kamar, ikut mengamati Juna yang ngotot tak mau dijodohkan dengan Ira, tapi kini sedang membukakan pintu mobil untuk Ira.
"Lihatlah, ma. Juna itu munafik menurutku. Dia nggak segan-segan mengantar Ira sekolah, padahal selama ini ia nggak pernah memberi tumpangan pada Ira." Iskan menyenggol lengan istrinya.
"Maka dari itu, percepat saja pernikahannya." Ningsih mengutarakan keinginannya pada sang suami.
"Resepsi besar-besaran tak bisa dilakukan malam nanti, ma. Mungkin dua atau tiga bulan lagi, itu saja sudah serba cepat."
"Atau begini saja, bagaimana kalau dinikahkan secara sederhana saja dulu, asal pernikahan mereka tercatat. Tiga bulan lagi, kita buatkan pesta meriah untuk mereka?"
"Ide bagus. Nanti sore ayo kita keluar ke rumah bapak dan ibu, kita tanyakan hari yang baik untuk pernikahan sederhana Juna dan Ira."
"Ya, papa akan transfer uang ke mama dan persiapkan saja segala sesuatu dan kebutuhan pernikahan mereka nanti."
Hati Ningsih berbunga-bunga sambil melepas suaminya untuk ke kantor. Lihat saja, bisa-bisa Juna akan terkena stroke sungguhan kalau tahu rencana kedua orang tuanya.
**
Jangan lupa tetap tinggalkan jejak untuk kisah Juna dan Ira, ya. kasih ulasan, banyakin komen, kasih vote, maka aku akan update minimal dua kali sehari, seperti hari ini.
Terima kasih buat yang sudah dukung. Aku sayang kalian🥰
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!