Menjadi pengantin adalah impian wanita di seluruh dunia. Berdiri bersama seorang pria yang kaucintai dan mencintaimu. Menjalani hidup bersama penuh dengan kejutan-kejutan manis.
"Cantik sekali anak Ibu" aku yang sedang bersiap untuk menikah pagi ini sedang merias diri di kamar. "Apakah ini tidak terlalu berlebihan Bu?" Aku takut calon suamiku yang menjadi kekasihku selama tiga tahun merasa aku terlalu berlebihan.
"Kau sangat cantik Anna. Dimas pasti buta karena melihatmu yang terlalu berkilau" Candaan yang keluar dari Manda sahabat terbaikku membuat aku kesal.
Tapi dia adalah satu-satunya sahabat yang bisa kuandalkan selama 10 tahun, sejak kami berada di bangku sekolah menengah atas.
"Cepat, cepat. Pengantin pria sudah datang" dadaku berdetak kencang mendengar perkataan ayah. Akhirnya hari ini aku akan menikah dengan laki-laki yang kucintai.
Mas Dimas adalah pria baik yang kukenal sejak 3 tahun yang lalu. Kami bertemu di tempat kerja yang sama, lalu jatuh cinta karena merasa nyaman satu sama lain. Walaupun aku harus berhenti dari tempat kerja karena peraturan perusahaan, aku tidak keberatan.
Karena hari ini mas Dimas akan mengambil seluruh tanggung jawab akan diriku selamanya. Memikirkannya membuatku sangat senang dan sedikit takut.
Setelah mas Dimas mengucapkan kalimat ijab maka kami resmi menjadi suami istri. Ibu dan Manda menangis melihatku menikah. Aku sangat bahagia dan ingin segera mengecup tangan suamiku.
Tapi raut muka mas Dimas terlihat sangat berbeda dengan sebelumnya. Apakah dia juga berdebar dan takut di waktu yang sama? Kami mungkin menikah di usia yang sama-sama muda. Dia 27 tahun dan aku 25 tahun.
Aku bingung melihat Mas Dimas yang sepertinya tidak bahagia dengan pernikahan kami. Bahkan setelah pesta pernikahan usai, wajahnya masih menunjukkan dia tidak ingin berada di tempat ini.
"Mau kemana, Mas?" Ini malam pertama yang seharusnya kami lewati dengan bahagia dan mesra. Tapi tidak dengannya, mas Dimas berganti pakaian dan pergi membawa mobilnya keluar tepat di malam pertama kami.
"Lho ... Dimas mau kemana, An?" aku menggeleng bingung melihat pria yang berbeda dari sebelumnya. "Mungkin ada urusan di rumahnya"
Dimas mungkin lebih tua dariku. Tapi dia adalah anak tunggal kesayangan keluarganya yang kaya. Mungkin dia tidak nyaman dengan keadaan rumahku yang sederhana.
Tapi mas Dimas tidak kembali sampai keesokan harinya. Bahkan dia tidak kembali selama seminggu setelah kami menikah. Ayah yang merasa bingung dengan kelakuan menantu barunya pergi ke rumah orang tuanya.
Tapi mas Dimas tidak ada di rumah orang tua atau teman-temannya. Kemana sebenarnya dia pergi? Kenapa ponselnya selalu dimatikan dan tidak bisa dihubungi sama sekali?
Setelah dua minggu menunggu tanpa kejelasan, aku pergi ke perusahaan untuk mencarinya sekali lagi. Mungkin kalau aku datang ke perusahaan tepat sebelum semua pegawai pulang, aku bisa bertemu dengannya.
"Apa Mas Dimas ada di kantornya?" Teman-teman kerja yang sebelumnya juga teman kerjaku tidak menjawab dan hanya menundukkan kepala. "Sebaiknya kamu pergi ke hotel sebelah untuk mencarinya" Akhirnya ada petunjuk yang kutemukan dari teman kantor yang paling baik.
"Makasih Mba Prily" Mba Prily tersenyum walaupun hanya sebentar. Tapi kenapa Mas Dimas berada di hotel sebelah kantor? Apa dia terlalu gugup menikah lalu kabur kesini?
Banyak pertanyaan yang bermunculan di pikiranku. Lebih baik aku menemuinya dan bertanya perlahan agar dia tidak takut.
Setelah bertanya nomor kamar yang disewa mas Dimas. Aku bergegas untuk kesana bersama ayah dan Manda.
Ayah mengetuk pintu kamar dan keluarlah seorang wanita yang kukenal sedang mengenakan pakaian tidur yang seksi. Dina adalah anak baru yang diterima bekerja kurang lebih tiga bulan yang lalu di perusahaan.
Dina terlihat polos ketika kami pertama kali bertemu. Tapi tidak sekarang, dihadapanku Dina berubah menjadi wanita yang berbeda.
"Mba Anna. Gimana Mba tau kalau kami disini?" Kami??? Aku merasakan rasa sakit di leher belakangku dan penasaran apa yang Dina lakukan di kamar yang disewa mas Dimas.
"Siapa Sayang?" Mataku melotot mendengar suara mas Dimas. Ayah yang tidak sabar membuka pintu kamar dan terkejut.
Mas Dimas berbaring setengah telanjang di ranjang hotel dengan raut muka yang senang. "Apa yang Bapak lakukan? Kenapa kau ada disini Anna?" Mas Dimas terlihat sangat kesal karena kedatangan kami.
Aku hanya bisa terdiam di belakang Manda melihat Bapak yang melampiaskan kemarahannya pada mas Dimas. "Saya akan menceraikan Anna sekarang juga karena Saya tidak mencintainya lagi. Yang Saya cintai adalah Dina"
Ayah semakin marah dan menampar wajah Mas Dimas. "Ayah ... sudah" Aku takut situasi semakin tidak terkendali. Manda mencaci maki Dina karena merasakan kesedihanku. Tapi mereka berdua berpelukan dan semakin mesra. Melihatnya membuatku merasa aneh.
Sesampainya kami bertiga di rumah, ibu bertanya kenapa wajahku sangat pucat. Tidak ada yang berkata apapun tentang kejadian malam ini pada ibu, karena takut ibu tidak bisa menerimanya dengan baik. Tapi perlahan Ayah akan memberi tahu Ibu tentang masalah ini.
"Biarkan Anna sendiri dulu" Ayah pergi ke kamarnya dengan tenang. Aku berjalan tanpa tenaga ke dalam kamar yang masih terhias kata-kata KAMAR PENGANTIN BARU.
"Tante, Saya pulang dulu. Besok Saya akan kesini lagi untul menjenguk Anna saat pulang dari kantor" Ibuku hanya mengangguk mendengar Manda pamit.
Tepat sebulan setelah aku menikah, proses perceraian kami berjalan. Tidak ada kata maaf yang keluar dari mulut Mas Dimas dan Dina selalu menemaninya setiap kali kami bertemu.
Karena tidak ada niat dari kami berdua untuk tetap menjalani pernikahan, maka proses perceraian berjalan sangat cepat.
"Aku ceraikan kau Camelia Anna Hamid putri Bapak Anwar Hamid" Dengan kalimat itu maka kami resmi bercerai dari sisi agama dan negara.
Mas Dimas sama sekali tidak melihatku ketika pergi dari pengadilan. Manda memelukku dengan erat seakan dia merasakan kesedihan di hatiku.
Aku mengunci diri di kamar sejak bercerai. Impian pernikahan yang kuinginkan tidak terwujud dan berganti dengan surat cerai ditanganku.
"Anna terlalu suci untuk disentuh. Dia seperti malaikat yang membuat orang disekitarnya merasa buruk" Itu adalah alasan yang diberikan mas Dimas pada hakim saat proses pengadilan.
Aku menjaga kesucianku karena ingin memberikan padanya sesuatu yang sangat berharga pada diriku. Tapi semuanya sia-sia dan membuatku terlihat bodoh.
"Anna ... Anna ... " Walaupun ibu dan Manda terus memanggilku dari balik pintu tapi aku tidak ingin bertemu siapapun saat ini.
Aku resmi menyandang gelar janda sebulan setelah menikah. Tangisanku yang tertahan selama ini akhirnya tumpah. Aku menjerit karena kesal dengan diriku dan kejadian yang menimpaku saat ini.
Ibu dan Manda berusaha membuka pintu kamar tapi aku tidak bergeming. Mungkin mereka khawatir padaku tapi saat ini aku hanya ingin menangis sendirian.
Keluarga Reynand adalah pemilik perusahaan properti terbesar di Indonesia. Diversifikasi usaha Perusahaan Reynand berupa hunian, kota mandiri, mall, hotel, rumah sakit, apartemen hingga kawasan industri.
Anak tunggal mereka yaitu Evan Harold Reynand memiliki wajah perpaduan antara ayahnya yang asli Indonesia dengan ibunya yang keturunan Belanda.
Evan memiliki tinggi badan 182 cm dan berat 70 kg dengan badan yang sangat terbentuk oleh olahraga membuatnya menjadi pria yang banyak diincar oleh perempuan dari berbagai kalangan.
Berita pernikahannya yang beredar membuat banyak perempuan patah hati. Dia akan menikah dengan model terkenal kota Paris, Freya Grisshom.
"Evan, Freya menghilang" Tiba-tiba Arman, teman Evan mengatakan hal yang sulit dipercaya. "Apa maksudmu?" Evan mengira itu adalah lelucon yang digunakan Arman untuk menggodanya.
"Dia tidak ada di kamar, juga tidak ada di hotel. Semua keluarganya dan pihak keamanan sudah mencari tapi dia tidak ditemukan" Evan sangat terpukul dengan kejadian ini.
Freya adalah perempuan tercantik yang pernah dia kenal saat berkuliah bersama Arman di London. Lima tahun bersama membuat cinta Evan terus tumbuh dan memberanikan diri untuk melamarnya.
Freya menjawab "Iya" ketika Evan berlutut di depannya dihadapan Menara Eiffel. Tapi menghilangnya Freya membuat Evan bingung.
"Aku sudah memerintahkan beberapa orang mengawasi bandara" Arman adalah teman yang bisa diandalkan.
Evan segera pergi ke Bandara ketika salah satu orang suruhan Arman melihat sosok yang mirip dengan Freya. "Freya" Evan memegang tangan Freya dengan kuat.
Freya membawa semua baju dan kopernya. "Apa yang kau lakukan?" Melihat air mata di pipi Freya membuat Evan semakin bingung.
"Maafkan aku Evan. Tapi aku tidak siap untuk menikah denganmu. Aku akan pergi ke Italia untuk melanjutkan mimpiku menjadi model. Maafkan aku"
Perkataan Freya membuat Evan terpukul. Dia sama sekali tidak mengira kejadian ini terjadi padanya. "Tidak bisakah kau menjadi istriku dan model bersamaan?" Evan mencoba menahan Freya disisinya.
"Aku ingin bebas dan tidak terikat pernikahan. Sebaiknya kita tetap berkencan dan memikirkan pernikahan beberapa tahun lagi" Tangis Freya terhenti dan mencoba mempengaruhi Evan.
"Pergilah!" Evan melepas tangannya dari tangan Freya.
"Evan" Freya menyentuh tangan Evan
"Aku tidak akan menahanmu, Pergilah!" Evan menarik tangannya dan berbalik pergi meninggalkan Freya.
Freya juga berbalik dan berangkat ke Itali. Arman melihat seluruh kejadian yang dialami Evan. Dia sangat tahu bahwa sahabatnya iitu berusaha menguatkan diri.
"Bagaimana dengan keluarga Freya?" kata Arman ketika menghadapi Evan yang memiliki aura gelap.
"Pulangkan mereka! Aku ingin tidur" Arman membawa Evan ke kamar hotel yang telah disiapkan untuk pengantin baru. Evan benar-benar tertidur di ranjang dengan nyenyak.
Arman menghubungi asisten keluarga Reynand yang bernama Graham dan menceritakan semuanya. Walaupun sedikit terkejut, Graham memahami semua dan akan melaksanakan semua perintah Evan yang diwakili oleh Arman.
Graham memberikan berita tidak menyenangkan ini kepada orang tua Evan. Awalnya mereka tidak percaya, tapi ketegasan Graham membuat mereka sangat terpukul mendengar pernikahan ini harus dibatalkan.
Seluruh keluarga Freya pulang siang itu ke Inggris dengan air mata dan banyak kata maaf. Tidak ada satupun keluarga Reynand yang mengantar kepergian mereka selain Graham.
"Semua sudah dilaksanakan Pak Arman. Tolong jaga tuan muda disana" Graham menghubungi Arman setelah mengantar kepergian keluarga Freya, mengurus hotel dan para undangan.
"Aku akan bersamanya untuk menghindari hal buruk. Tenangkan paman dan bibi" Arman berbicara tepat di depan Evan yang berbaring. "Semua sudah diselesaikan. Tidurlah dengan nyenyak"
Arman pergi dari hadapan Evan dan duduk di kursi dengan tetap mengawasi temannya itu. "Pergilah. Aku tidak akan melakukan hal yang buruk" Arman bangun dari kursi dengan tetap melihat temannya itu.
"Aku akan pergi sekarang. Jangan mengacau!" Evan masih bisa tertawa mendengar perkataan Arman yang serius. Walau sedikit khawatir, Arman meninggalkannya untuk memberi penjelasan pada orang tua Evan.
Evan menatap langit-langit kamar setelah kepergian Arman. Apa yang salah dengan menjadi istrinya? Dia tidak pernah melarang Freya melakukan segala yang disukainya walaupun itu berpose dengan laki-laki lain tanpa busana.
Sudah lima tahun mereka bersama tapi Freya tetap tidak ingin melepas kebebasannya untuk Evan. Apakah kali ini dia harus mengejar Freya ke Italia dan menyeretnya ke sini?
Orang tua Evan sebenarnya tidak suka dengan Freya. Diana Reynand yang merupakan keturunan Belanda menilai Freya adalah perempuan yang sulit diatur. Bagi ayah Evan, Damar Reynand, Freya tidak memiliki latar belakang keluarga yang baik.
Untuk Evan, mereka meredam segala keinginan memiliki menantu sempurna dan menerima Freya.
"Aku sudah tahu kalau ini pasti terjadi" Diana Reynand sangat kesal dengan Freya. "Aku tidak akan memperbolehkannya masuk ke dalam kehidupan Evan lagi" Sepertinya dia sangat kesal.
"Sudahlah ma, yang terpenting sekarang adalah perasaan Evan" Damar Reinand meredam kemarahan istrinya. "Benar. Bagaimana keadaan Evan sekarang, Arman?"
"Sepertinya akan buruk" Arman merasa Evan akan bertingkah kali ini. Dengan hati yang sakit, Arman tidak bisa memperkirakan kelakuan Evan berikutnya.
Tapi semua prediksi Arman tidak terjadi. Evan kembali ke Indonesia keesokan harinya dan mulai bekerja. "Apa kau baik-baik saja?" Arman tetap merasa khawatir dengan keadaan Evan. "Aku baik-baik saja. tidak perlu khawatir padaku"
Arman meninggalkan kantor Evan dengan hati yang tidak tenang. "Graham. Jangan pergi dari sisinya!" Graham mengangguk mendengar perintah Arman.
Evan bukanlah pria pemabuk dan tidak bertanggung jawab. Tapi dengan kepergian Freya, Arman dan orang tuannya khawatir hal ini menjadi pemicu perubahan sikap Evan. Mengingat Evan sangat mencintai Freya.
"Aku akan mengemudi sendiri" Evan menolak bantuan Graham. "Sebaiknya Saya mengantar tuan muda ke rumah Tuan Besar" Graham berusaha menghalangi Evan pergi.
"Aku bukan anak kecil lagi Graham. Usiaku sudah 30 tahun. Aku akan baik-baik saja" Graham mendeham pelan dan memberikan jalan untuk Evan.
Mobil sport Jerman berwarna abu metalik adalah milik Evan pribadi. Dia sangat menyukai kecepatan yang dihasilkan mobil ini. Tapi hingga sekarang Evan tidak pernah mengendarai mobilnya dengan kecepatan maksimal.
Perlahan tapi pasti, kecepatan mobil Evan bertambah. Dia mendahului beberapa mobil dengan sempurna dan melaju lurus ke arah laut.
Graham mengikuti dari belakang sejak Evan pergi. Tapi kecepatan mobil Graham tidak sebanding dengan mobil sport Evan. Akhirnya Graham menyerah di tengah jalan dan menghubungi Tuan Besarnya.
"Saya kehilangan Tuan muda. Tapi sepertinya Saya tahu tujuan Pak Evan" Orang tua Evan juga menduga ini terjadi. Karena itu Damar Reynand memerintahkan Graham untuk selalu mengikutinya. "Jangan menghalanginya. Ikuti saja!"
Evan sampai di tepi pantai di bawah langit gelap. Terdengar debur ombak dari kejauhan dan membuat pikirannya sedikit lega.
"Anna, makan dulu, Nak" suara ibu putus asa memanggilku keluar kamar. Setelah beberapa menit, aku membuka pintu. Ibuku menangis karena senang dan memelukku erat.
"Pergilah ke gunung atau pantai untuk menjernihkan pikiranmu. Jangan membuat ibumu terus khawatir!" Baru kali ini ayah marah padaku.
"Iya Sayang. Berliburlah ke Bali atau Lombok. Ibu bisa membiayai kemanapun kamu ingin pergi" Aku tidak menjawab kata-kata ibu dan tetap memeluknya.
Ayahku adalah pemilik toko roti yang besar di kota ini. Tiap hari kami memproduksi jenis dan jumlah roti cukup banyak untuk memenuhi permintaan pelanggan. Yang paling terkenal di toko roti kami adalah roti isi kacang merah. Rasanya sangat enak bila dimakan saat panas.
Karyawan Ayah yang menjalankan toko roti sekarang, karena Ayah sering sekali sakit. Aku tidak akan setega itu menggunakan uang mereka untuk berlibur ke tempat yang jauh. "Tidak perlu. Aku hanya ingin berjalan-jalan di pantai sendiri"
"Ibu akan ikut, atau Manda saja yang ikut" Aku melepas pelukan ibuku. "Aku tidak akan melakukan hal yang ibu takutkan" Aku meyakinkan ibu agar tidak pernah mengira aku akan melakukan hal yang nekat.
"Pergilah naik mobil Ayah!" Ayah memberikan kunci mobilnya padaku dan aku memeluknya. "Terima kasih. Terima kasih karena Ayah selalu menemaniku melewati semua ini" Aku benar-benar berterima kasih atas segala yang dilakukan orang tuaku.
Aku berangkat ke pantai di saat matahari mulai tenggelam. Menikmati angin senja yang meniup rambutku adalah salah satu cara menikmati kesendirianku. Setelah berkendara selama 30 menit, sampailah aku di pantai dengan pasir putihnya yang bersih.
Pemandangan matahari tenggelam terlihat di ujung horizon. Langit jingga membawa ketenangan dalam hati dan pikiranku. Kalau kembali sekarang, aku pasti akan sedih lagi. Kuputuskan untuk berbaring di pasir putih yang hangat.
Tak disangka aku tertidur selama beberapa jam dan bangun saat mendengar teriakan seseorang di dekatku.
"FREYAAAAAA"
Berisik sekali pria ini. Menganggu ketenangan malamku saja.
"WHY???"
Wajah pria yang terus berteriak ini tidak terlihat karena gelapnya malam. Tapi dari bentuk tubuh yang terlihat, sepertinya dia memiliki tubuh yang bagus.
"FREYAAAA"
Kenapa dia menyebut nama yang sama berulang-ulang dari tadi.
"Hei, bisa tidak kau berteriak di tempat lain?" jeritku tidak tahan lagi mendengar teriakannya.
"ASTAGA. Siapa kau?" aku duduk agar dia bisa melihatku. "Aku orang yang menginginkan ketenangan di pantai ini. Kau teriak saja di sebelah sana!" aku menunjuk karang yang terlihat mengerikan.
Dia mendekat ke arahku. "Kalau kau ingin ketenangan, berdiam dirilah di rumah. Kenapa kau pergi ke pantai?" Rupanya pria ini ingin bertengkar denganku.
Aku berdiri dan melihat perbedaan tinggi kami yang cukup jauh. Wajah pria ini tampan bila dilihat dari dekat. "Terserah aku, mau ke gunung atau pantai. Tidak ada urusannya denganmu" balasku.
Evan sangat terkejut mendengar suara perempuan yang muncul tiba-tiba. Yang lebih mengejutkan, perempuan ini cantik sekali. Tingginya sekitar 160 cm, rambutnya panjang dan memiliki wajah yang mungil dan cantik.
Tapi dia memiliki masalah dengan temperamennya. Evan berkata "Pantai ini milikku. Kau yang pergi!"
Huh pria ini percaya diri sekali menyebutkan dia yang memiliki pantai sebesar ini. Aku akan membuatnya pergi kali ini. "Aku baru saja bercerai dari suami yang berselingkuh. Aku berhak untuk menjernihkan pikiranku di pantai ini" teriakku.
"Pernikahanku batal karena calon istriku kabur kemarin" Evan berteriak tidak mau kalah.
Ternyata kami sama-sama ke pantai untuk menjernihkan pikiran dan melepas kesedihan. Aku dan pria ini sekarang sama-sama terdiam. Kami duduk berdampingan menatap ombak yang menggulung.
"Mantan suamiku bercinta dengan karyawan baru di perusahaan" aku mengutarakan rahasiaku pada orang yang tidak kukenal. Kemuadian pria itu membalas "Calon istriku pergi ke Paris untuk menjadi model majalah dewasa"
Saat ini aku merasa lebih baik karena ada pria yang memiliki nasib yang sama. Tersakiti oleh orang yang paling kami cintai. "Mantan suamiku mengatakan aku orang yang terlalu suci dan itu membebaninya"
Pria itu diam sesaat sebelum membalas perkataanku. "Kau ingin memberikan padanya sesuatu yang berharga. Dia tidak menyadari hal itu. Bodohnya" Kata-katanya membuatku senang.
"Kau hebat membiarkan wanita yang kau cintai pergi begitu saja" Aku juga ingin membalas kata-kata baiknya. Dia melihat wajahku dan tersenyum. "Aku seperti orang bodoh menunggunya selama lima tahun"
Ternyata ada orang yang lebih bodoh dariku. Pria ini sangat menyedihkan karena menghabiskan waktu lima tahun dan tetap tidak mendapat orang yang dicintainya.
"Aku benci sekali saat dia mengataiku di depan wanita yang dicintainya. Rasanya seperti diriku tidak berharga untuk dicintai" aku benar-benar mencurahkan semua isi hatiku padanya.
"Lebih sakit ketika dikhianati atau ditinggalkan?" Pria ini juga tidak segan menceritakan masalahnya padaku. "Aku tidak tahu" jawabku
Aku tersenyum membayangkan manakah dari situasi tersebut yang lebih buruk. "Kau sangat cantik. Mantan suamimu sangat tidak beruntung" Aku tertawa keras mendengar leluconnya.
"Dan kalau kau memiliki seluruh pantai ini, kenapa kekasihmu meninggalkanmu?" Dia menunduk dan menyembunyikan kepalanya di antara lutut.
Sepertinya pria ini sangat mencintai kekasihnya dan aku salah menanyakan hal yang pribadi untuknya. "Kau bisa menunggu kalau kau mau. Tapi kau juga bisa mencari cinta lain" aku mencoba memberi kenyamanan pada pria ini.
Kami terdiam cukup lama dan menikmati suasana pantai di malam hari. Tangan laki-laki itu mulai memelukku dan membawa tubuhku duduk di pangkuannya. Dia mulai menciumku dan aku membalasnya.
Napas kami bersautan dan dia mulai memasukkan tangannya di dalam kemejaku. Bunyi dering telepon mengganggu apa yang kami lakukan.
Ketika tahu yang menghubungiku adalah ayah, aku mendorong laki-laki itu dan terjatuh ke belakang.
Aku melihat jam di tanganku dan sekarang hampir tengah malam. "Sebaiknya aku pergi" Aku berdiri dan membersihkan pasir yang menempel di bajuku.
Pria itu ikut berdiri dan membantu membawa sepatuku yang tertutup pasir. Kami berjalan di sepanjang pantai ke tempat parkir mobil.
Di dekat tempat parkir terdapat lampu yang cukup terang untuk menyinari kami. Aku melihat pria yang sangat tampan membawa sepatuku. "Ini mobilku" aku menunjuk mobil audi hitam milik Ayah.
Di samping mobilku, mobil sport berwarna abu-abu milik pria itu. Mungkin dia benar-benar memiliki pantai ini, karena harga mobil itu sangat fantastis.
"Sepatuku" aku meminta sepatuku yang dibawa olehnya. Dia teringat dan memberikannya padaku.
Perlahan pria itu mendekat dan berada tepat di depanku. Dia mencium lembut bibirku dan memberikan kehangatan yang tidak pernah kurasakan.
"Kau akan menemukan pria yang lebih baik dari mantan suamimu" katanya.
"Kau juga pasti bisa bersama dengan orang yang kau cintai" aku memberikan semangat untuknya juga.
Sepertinya kami harus berpisah disini. Pria yang aku tidak tahu namanya. Pria yang membuatku kembali nyaman dengan diriku sendiri. Dan pria yang memberiku kehangatan dari bibirdan tubuhnya.
Aku memacu mobil keluar dari kawasan pantai. Sedangkan pria itu berhenti di depan mobil lain yang berada di pintu keluar. Semoga kami bisa bertemu lagi suatu hari nanti.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!