Seorang wanita dan memakai hijab berwarna putih tengah berdiri di depan sebuah lemari kaca, dia menatap sebuah gaun berwarna putih di dalam lemari kaca itu. Seminggu yang lalu, dia dan tunangannya berniat akan meresmikan pernikahan, namun siapa sangka semuanya hanyalah mimpi. Dia kehilangan sosok pria hebat setelah ayahnya, dia kehilangan pria yang ia cintai, dia kehilangan seluruh jiwanya, belahannya, hatinya sangat hancur tanpa tersisa. Bahkan kini ia merasa hidupnya tidak berguna lagi.
Brak
Pintu itu di dorong dengan kasar. Sebuah langkah kaki kian mendekat. Kedua tangannya terkepal, bibirnya terkatup rapat, air matanya mengalir dengan derasnya, ia tidak ingin menoleh dan melihatnya.
Brak
"Ini, tandatangani surat ini. Setelah kau melahirkan anak, kita akan resmi bercerai," ucap seorang Pria memakai jas berwarna hitam. Pria berhidung mancung dengan mata berwarna cokelat itu menatap wanita yang tengah memakai kebaya itu.
Dia sangat membenci wanita di depannya, karena dirinyalah, dia kehilangan putra satu-satunya, putra almarhum istri pertamanya.
Dan sekarang, ia menikah lagi dan istri keduanya tidak bisa memiliki anak karena rahimnya telah di angkat.
"Kau akan menjadi simpanan ku dan ingat, aku tidak ingin pernikahan ini di dengar oleh siapa pun," ucapnya dengan nada dingin. Dari awal dia memang tidak merestui hubungan wanita di depannya dengan putranya, karena wanita miskin dan yatim piatu yang tidak jelas asal usulnya.
"Satu lagi, kau tidak akan tinggal di sini. Karena dirimu tidak layak di sini."
Pria itu pun langsung bergegas pergi, ia muak dengan wanita di depannya dan tidak ingin berlama-lama berada di sana. Baginya, wanita di depannya adalah kotoran yang tak pantas di perdulikan layaknya berlian.
Setelah kepergian pria itu, wanita berlesung pipi itu menjatuhkan tubuhnya ke lantai, dia menangis sejadi-jadinya, menepuk dadanya yang terasa sesak, sakit hatinya belum sembuh, kini di torehkan lagi.
Dulu ada seorang pria yang akan melindunginya, tapi sekarang, ia sebatang kara. Hidupnya kini seolah tidak di harapkan oleh siapa pun.
"Azzam," lirihnya dengan hati yang amat sesak. Dia begitu merindukan almarhum kekasihnya, ia sangat merindukan senyumannya. "Aku merindukan mu,"
"Kenapa? kenapa harus seperti ini? kenapa kau tidak membawa ku saja? aku tidak kuat, aku takut."
Dia merangkak, menatap gaun berwarna putih dengan butiran mutiara itu, sebulan yang lalu almarhum tunangannya memesan gaun itu dari Prancis, lengkap dengan satu set berlian.
"Aku mohon kembalilah pada ku atau kau bisa membawa ku, Azzam." Lirihnya begitu pilu, persis setelah Azzam di kebumikan, dia langsung di seret secara paksa oleh mantan mertuanya. Pria yang memiliki watak kejam itu bahkan mengikatnya dengan rantai, bukan di sangkar emas, tapi di sangkar besi yang sangat panas. Jika ia mencoba menerobos besi itu, seakan tubuhnya akan melepuh.
Bahkan luka jahitan di dahinya masih terasa berdenyut, dia tidak memperdulikan denyutan dahinya, karena di hatinya ada yang jauh lebih menyakitkan.
"Sayang, aku mohon bawa aku. Dengan begitu, aku tidak akan merasa kesakitan lagi." Dia sangat putus asa, dia menyandarkan tubuhnya di lemari kaca itu. Gaun yang menjadi saksi dirinya pernah di atas awan, namun di jatuhkan dalam sekejap.
"Aku mohon bawa aku," lirihnya begitu pahit. Seakan dia meminta pada Tuhan, bahwa ia tidak kuat lagi.
***
"Abhi," seorang wanita memanggilnya dengan suara lembut. Wanita itu perlahan mendekat, namun ia tidak berani menyentuh anggota tubuh suaminya yang pernah ia nikahi setahun yang lalu.
Serkan Abhizar Acnaf, seorang pria dewasa yang memasuki usia 40 tahun, berdarah Indonesia dan Turki. Ibunya berasal dari Indonesia, memiliki sebuah pengusaha yang bergerak di bidang Perhotelan sedangkan Ayahnya berasal dari Turki, memiliki berbagai macam Bisnis dan akhirnya di turunkan padanya.
Serkan, seorang raja di dunia bisnis, perhotelan dari sang ibu dan perusahaan sang ayah, kini semakin maju dengan pesat, sebuah perusahaan terkenal di bidang Fashion, perhotelan, Mall dan berbagai macam bisnis lainnya. Dia di kenal sebagai tuan Serkan yang berhati kejam, tidak pernah memandang bulu, kekejamannya sangat di takuti.
Sekali tidak atau iya, maka tidak akan ada yang bisa merubah keputusannya.
"Aku tahu kau sangat sedih,"
Tidak ada sahutan, wanita dengan rambut hitam sebahu itu pun paham. Suaminya tidak bisa di ganggu oleh siapa pun, dia pun pamit pergi dan tak ingin mengganggunya.
Prang
Sebuah sendok dan garpu di jatuhkan secara paksa oleh kedua tangan kekar pria yang tengah duduk menatap jejeran para Art.
"Dimana dia?" sebuah kalimat yang begitu dingin dan mampu membekukan deretan Art di samping meja makan itu. Lima Art itu menunduk, mereka tidak tahu salah mereka terletak di mana?
"Abhi apa?"
"Wanita miskin itu!" caci Serkan nada dingin.
Wanita yang berada di sampingnya pun membuang nafas kasarnya, sejujurnya ia memang tidak suka dengan calon menantunya itu, tapi sekarang menjadi madunya. Ia sudah menolah ide gila suaminya, tapi inilah suaminya, Serkan yang tidak bisa di ganggu gugat oleh siapa pun termasuk dirinya.
"Aku tidak suka kehadirannya di sini, maka aku menyuruhnya pergi," ucap Alena, yang bisa di panggil dengan Lena.
Serkan menatap begitu dingin, dia tidak suka di bantah oleh siapa pun. Inilah dia, seorang pria yang tidak ingin di taklukkan oleh wanita. Semenjak umurnya 20 tahun, dia harus menikah, genap satu tahun pernikahannya, dia di karuniai seorang anak, lalu tabrakan itu membuat istri pertamanya meninggal dan untunglah, Azzam masih bisa di selamatkan. Di usinya yang ke 40 ini, dia menikah lagi dengan Alena lantaran karena bisnis, lalu Azzam yang baru berumur 20 tahun, meminta untuk menikah.
Dia bahkan sudah mencarikan wanita yang pantas untuk putranya, namun Azzam memilih wanita lain yang bernama Hasna, wanita miskin yang ia benci.
"Suka atau tidak suka, kalau aku menginginkan kehadirannya, kau tidak perlu ikut campur."
Alena meremas gaunnya, selalu seperti ini. Ia harus menjadi anjing penurut.
"Kau juga tidak ada apa-apanya dengan Milie," ucap Serkan. Dia menyukai Milie karena wanita itu penurut walaupun pernikahan mereka dari awal adalah sebatas perjodohan.
"Apa aku tidak sebanding?"
"Ya, kalian memang tidak sebanding."
Nyes
Perih dan sakit yang Alena rasakan saat ini, hatinya begitu perih saat Serkan selalu membandingkan dengan orang yang sudah meninggal dan anaknya pun sudah meninggal. Kalau bukan karena cinta, ia tidak akan mau menikah dengan Serkan. Sekalipun kaya, Serkan tetaplah Serkan yang tidak memiliki perasaan.
Serkan langsung berdiri, dia melangkah tanpa menoleh pada wanita yang telah ia sakiti dengan ucapannya. Dia pun membuka pintu kamar Hasna yang terletak di ruang tamu.
"Sampai kapan kau akan berdiri wanita murahan!"
Serkan menarik lengan Hasna dengan kasar dan mencengkramnya dengan kuat. Hingga Hasna menatap tangannya dan tersenyum getir.
"Kalau kau berada di sini, kau harus melayani semua kebutuhan ku."
"Sampai kapan Om? sampai kapan Hasna akan di perlakukan seperti ini?"
"Karena kau memang layak, karena kau wanita miskin dan membuat putra ku tiada. Kau tahu, aku sangat mencintai mendiang istri ku, tapi gara-gara wanita miskin seperti mu." Serkan mendorong kepala Hasna ke samping dengan jari telunjuknya. Hingga jilbab itu sedikit miring. "Aku kehilangan permata ku."
Hasna semakin menangis, ia memang patut di salahkan. Seandainya dia tidak meminta Azzam untuk membelinya buah nanas, tentu saja ia tidak akan kehilangan Azzam.
Wanita bertubuh mungil mendongak, dia menatap nanar ke arah suaminya, suami yang tak pernah ia inginkan. Perlahan dia menjatuhkan tubuhnya ke lantai dan memegang kedua kaki suaminya. Sedangkan sebelah tangannya masih di cekal oleh Serkan.
"Maafkan aku, Om. Kau benar, seharusnya aku tidak hadir dalam kehidupan Azzam, tapi percayalah. Seandainya bisa, aku ingin menukar nyawa ku dengan Azzam. Aku sangat mencintainya."
Dada Serkan membuncah, dia menarik wanita di dekatnya hingga wanita itu berdiri kembali. "Cinta? kalau kau cinta? seharusnya kau tidak mendekatinya, aku sudah memperingati mu sejak awal agar jangan mendekatinya."
Serkan mendorong tubuh Hasna ke belakang hingga jatuh ke lantai.
"Mulai saat ini kau tidak akan tinggal di rumah ku lagi dan jangan pernah mengatakan pada siapa pun tentang pernikahan ini."
"Kemasi barang mu, cepat!" teriak Serkan. Suaranya menggema di ruangan itu dan membuat wanita lemah itu bangkit menuju ke arah lemari. Hanya ada beberapa pakaian yang ia bawa, sedangkan pakaian sebelumnya berada di rumahnya.
#Semoga saja umurnya gak salah haih
Hasna turun dari mobil hitam itu, kemudian seorang pria setengah baya ikut turun. Dia mendorong sedikit kaca matanya ke atas hidungnya untuk membenarkan kaca matanya, pria yang memiliki sedikit uban itu menunduk seakan memberikan hormat.
"Anda sudah sampai Nyonya," ucapnya tersenyum. Pria yang bernama Pak Aren itu yang kini menjadi ketua pelayan di rumah Serkan dan sudah berpuluh-puluh tahun itu kenal betul dengan sifat Serkan. Didikan keras yang Serkan rasakan membuatnya berhati keras. "Saya harap Nyonya bersabar," imbuhnya lagi.
"Terima kasih," ucap Hasna. Tidak banyak barang yang ia bawa, melainkan hanya beberapa pakaian saja.
"Saya harap anda bersabar." Pak Aren kembali menunduk dan lalu masuk mobil. Serkan sengaja menyuruhnya untuk mengantar Hasna karena tidak sudi mengantarnya.
***
Hasna memandang langit malam, kerlap kerlip bintang yang begitu indah, terasa hangat untuk sang bulan. Dia duduk di teras depan sambil menekuk kedua lututnya. Kilasan saat dirinya bersama Azzam kembali melintas, rasa manis yang pernah ia rasakan kini di ganti dengan rasa pahit. Sebuah rasa yang tak mungkin ada penawarnya.
Hati yang rapuh itu semakin rapuh, kedua bahunya bergetar, menangisi seseorang yang amat ia cintai setelah kedua orang tuanya meninggal. Azzam, pria itu selalu menghiburnya dan tidak pernah mengeluh, apapun yang ia inginkan, yang ia minta selalu di penuhi.
"Aku sangat merindukan mu,"
"Apa aku bisa menjalaninya? apa kau akan marah karena yang menjadi suami ku adalah ayah mu?"
Hasna menghapus air matanya, ia tidak tahan lagi dengan kerinduan di hatinya. Dia pun bergegas masuk ke dalam rumahnya, mengambil tas selempangnya, lalu mengunci kedua pintu. Ia tidak tahan lagi dengan kerinduan di hatinya.
Dia berlari melewati beberapa gundukan tanah, hingga sampailah dirinya di depan makam tunangannya, sekalipun banyak orang yang tidak mengetahui pertunangannya dengan Azzam, tapi ia bersyukur memiliki Azzam.
Duk
Hasna menjatuhkan tubuhnya tepat di samping Azam, sebuah batu nisan yang terukir nama Azzam.
"Aku merindukan mu,"
Tangannya gemetar mengusap batu nisan itu, sebuah foto kecil yang terletak di depan batu nisan itu.
"Kau pernah mengatakan kau ingin memiliki anak dengan ku, kau pernah mengatakan kita akan menua bersama, kau mengatakan akan membahagiakan ku sampai akhir, kau mengingkarinya."
Hasna mengambil foto itu, dia memeluk foto itu dengan erat dan dada yang begetar, yang begitu sesak seakan di himpit oleh batu tajam.
"Kau mengingkari semuanya Azzam,"
Dia menjatuhkan kepalanya di gundukan itu, meremas tanah yang masih basah itu. Hatinya sekarang tak berbentuk lagi, ia kehilangan semuanya, tentangnya. "Azzam .."
***
Sedangkan seorang pria berjas hitam, dia merapikan jas hitamnya dengan sebelah tangannya, sedangkan sebelahnya memegang sebuah dokumen.
Dia pun berjalan melewati beberapa Art yang sedang memotong rumput di halaman depan dan mengepel lantai di teras depan.
"Dimana Tuan?' tanya Andres, Asisten Serkan sekaligus yang menjadi kaki tangannya.
"Tuan berada di ruang kerjanya," ucap Pak Aren. Kebetulan sekali dia berpapasan dengan Andreas saat sedang mengecek para Art yang membersihkan ruang tamu. Setiap pagi sebagai seorang ketua pelayan, dia harus mengecek para pekerja ruang utama, lantai yang harus kinclong dan tidak boleh berdebu sedikit pun.
Andres berlalu, dia pun mengetuk pintu ruang kerja Serkan.
"Masuk!" teriak Serkan.
Andres membuka pintu kaca itu, lalu berbelok kanan dan ada sebuah dinding yang menjadi pembatas pintu kaca dan dinding kaca. Serkan mendesain sendiri ruang kerjanya, separuhnya ruang untuk keluarga.
"Tuan saya membawa laporan baru," pria berhidung mancung itu melaporkan sesuatu sesuai penyelidikannya.
"Tuan muda Azzam telah membeli sebuah Apartement untuk nona Hasna dan Hasna pun sudah tahu memegang paswordnya, tapi sampai sekarang nona Hasna belum menginjakkan kakinya ke Apartement itu."
"Apartement? apa Azzam sudah gila? entah apa yang di pakai wanita miskin itu sampai Azzam segila itu padanya?"
"Awasi Hasna, laporkan setiap saat aktivitasnya pada ku."
"Baik Tuan,"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!