"Aku tak sanggup hidup seperti ini, Bu! Rasanya aku mau mati saja!" Ucap gadis itu lirih.
Pandangannya kosong, seperti tak ada harapan lagi untuk hidup.
Plak....
Ibunya menamparnya sambil menangis. Gadis itu seketika menoleh, memandang wajah lesu ibunya yang entah sudah berapa kali menangis dalam sebulan ini. Mungkin ia juga tak makan dengan teratur. Badannya terlihat agak kurus. Ya, ibu manapun pasti sedih dan sakit melihat putri satu-satunya seperti itu. Entah sudah berapa kali ia harus mengantarkan putrinya keluar masuk rumah sakit karena mencoba mengakhiri hidupnya sendiri.
Semua ini terjadi karena Vano, lelaki yang sangat dicintainya. Ia sudah merancang pernikahan yang benar-benar tak akan dilupakan oleh siapapun. Padahal hanya tinggal selangkah lagi, namun tiba-tiba ia tak hadir dan tak ada kabar sama sekali. Nomor ponselnya juga tak aktif, rumahnya kosong. Tak ada seorang pun yang datang menjelaskan apa yang terjadi sebenarnya terhadap Vano. Apakah dia masih hidup atau malah sudah mati. Hilang begitu saja. Siapapun yang mengalami hal ini mungkin jika tak kuat iman pasti akan melakukan hal yang sama seperti Qiara, nama gadis malang itu.
"Sampai kapan kau mau hidup seperti ini! Ibu hanya punya satu putri. Jika kau mau mati tolong ajak ibu juga. Karena ibu tak rela kehilanganmu dengan cara seperti ini!" Isak nya sambil memeluk Qiara.
"Jangan sakiti dirimu demi seorang pria yang bahkan tak jelas keberadaannya di mana. Sadarlah! Sadarlah! Kau tak sendirian hidup di dunia ini. Masih ada ibu, masih ada ayah! Kami akan selalu ada untuk mu!" lanjutnya.
Qiara membalas pelukan ibunya dan ikut menangis bersamanya.
"Maafkan Rara karena sudah membuat ibu dan ayah sedih. Rara berjanji tak akan membuat kalian cemas lagi. Maafkan Rara, bu!" mereka berdua menangis sejadi-jadinya.
"Dimana ayah sekarang, Bu?" Tanyanya setelah menenangkan diri.
"Ayah diluar sedang berbicara dengan paman Fandi." jelasnya
Sementara itu diluar kamar,
"Bagaimana kondisi Qiara saat ini?" tanya ayah Qiara.
"Keadaan fisiknya sejauh ini baik-baik saja. Tapi kondisi kejiwaan nya sangat labil. Jika dibiarkan seperti ini terus mungkin akibat nya bisa fatal. Ia akan terus memikirkan hal lain lagi untuk mengakhiri hidupnya" jelasnya.
"Lalu apa yang harus kita lakukan?" tanyanya cemas.
"Akan lebih baik jika saat ini kalian pergi berlibur atau mungkin pindah dari sini! Suasana lingkungan yang baru mungkin bisa mengobati rasa sakit hatinya. Atau setidaknya bisa berkurang. Perlahan-lahan dia bisa pulih kembali. Tolong kalian pikirkan hal ini baik-baik. Ini akan sangat membantu nya." Sarannya.
"Tapi...." Ucapnya ragu.
"Itu semua kembali pada kalian. Aku hanya bisa memberikan saran. Apa yang menurutmu baik, maka lakukanlah. Aku mengerti pasti ini keputusan berat yang harus kau ambil. Tapi tak ada salahnya jika di coba." sambungnya sambil memegang pundak sahabat nya itu.
Ayah Qiara hanya bisa menunduk kan kepalanya. Dalam diam dia menangis memikirkan putri semata wayangnya yang sangat disayanginya. Tapi ia juga merasa berat jika harus pindah dan meninggalkan rumah yang penuh dengan kenangan ini. Apalagi harus melepas usaha yang sudah dirintisnya sejak lama. Namun dia hanya punya satu anak. Apapun pasti akan ia korbankan untuk kebahagiaan putrinya. Ia hanya berharap bisa melihatnya tersenyum kembali.
_____________
Cast visual para pemain " My beloved wife". Foto ini hanya untuk mencocokkan setiap karakter saja ya. Tidak ada unsur kesengajaan atau lainnya. Semoga suka ya dengan ceritanya.
jangan lupa sertakan like dan komen nya sehabis baca. Karena itu adalah salah satu penyemangatku untuk tetap menulis. Terima kasih dan salam kenal dariku.
🌼 Thiea 😘😘
"Nona! Nona Rara!" Panggil seorang gadis muda membuyarkan lamunan Qiara.
Saat itu ia berada di toko bunga miliknya. Toko itu sudah berjalan hampir dua tahun lamanya. Ia merintis usaha itu dari nol dengan modal seadanya yang ia pinjam dari ayahnya. Dengan tujuan agar ia punya kegiatan rutin dimasa-masa pemulihan dari depresi yang dideritanya selama dua tahun belakangan ini. Toko ini buka dari pagi hari sampai sore hari.
"Ada apa?" tanyanya sambil menatap gadis muda yang tengah berdiri diambang pintu ruangannya.
"Semua pesanan sudah selesai diantar nona! Jika nona sudah tidak ada keperluan lain lagi, aku dan Ningsih mau izin pamit untuk pulang! Karena sudah pukul setengah enam sore." ia tampak ragu saat menjawab pertanyaan bos nya itu.
Qiara langsung melihat jam tangannya. Benar saja sudah hampir pukul enam sore.
"Ya sudah kalau begitu. Kau dan Ningsih boleh pulang. Biar aku saja yang menunggu Anto dan menutup toko." ucapnya ramah.
"Ehm... apa nona yakin? Aku bisa pulang terakhir nona. Biar aku saja yang menunggu Anto." Ucapnya.
"Tidak apa-apa, Sekar! Kalian pulang saja duluan. Ini sudah hampir malam." ucapnya pada gadis bernama Sekar itu.
Akhirnya sekar menuruti ucapan Qiara. Tak lama setelah mereka pulang, Anto, kurirnya, datang dan menyerahkan semua bukti penerimaan padanya dan izin pamit untuk pulang.
Sebelum pulang, Qiara terlebih dahulu mengecek keadaan toko bunganya dengan hati-hati. Toko bunga ini sudah dirintis nya selama hampir dua tahun lamanya. Dia hanya punya tiga orang pegawai saja karena memang tokonya tidak begitu besar. Dia lebih suka berbisnis sendiri dari pada bekerja bersama orang lain. Mungkin itu sudah turunan dari ayahnya yang juga punya toko material yang sangat sukses.
Setelah menutup tokonya, dia pun pulang. Entah kenapa hari ini jalanan terlihat macet tidak seperti biasanya. Qiara seketika bertanya pada pengemudi motor yang berada disebelah mobilnya.
"Maaf, tuan! Ada apa ya? Kenapa tiba-tiba macet total seperti ini?" tanyanya heran.
"Ada kecelakaan mobil didepan nona. Tapi sepertinya sebentar lagi jalanan sudah kembali normal karena sudah ditangani oleh polisi. " Jelasnya.
Qiara hanya bisa menunggu sambil sesekali mengecek ponselnya nya. Ternyata ada banyak panggilan tak terjawab dari ibunya.
Dia segera melakukan penggilan balik.
"Rara.... Kau dimana? Kenapa tidak menjawab telpon dari ibu?" Tanya ibunya dengan nada cemas.
"Maaf Bu! Tadi aku sedang banyak pesanan. Jadi tidak sempat menjawab panggilan telpon dari ibu. Aku sedang dalam perjalanan menuju rumah sekarang. Tapi sepertinya agak lama karena jalanan sedang macet saat ini." Jelasnya sembari menenangkan ibunya yang cemas.
"Iya sudah tidak apa-apa. Hati-hati mengemudi mobilnya, ya! Sepertinya sebentar lagi juga akan hujan." pesannya.
"Iya Bu!" Ucapnya mengakhiri pembicaraan.
Tiba-tiba mesin mobilnya mati. Dia mencoba men - starter beberapa kali. Namun sepertinya mobilnya benar-benar tidak bisa menyala. Padahal posisi mobilnya tepat ditengah jalan. Dan tampaknya lalu lintas sudah kembali normal. Sudah terdengar bunyi klakson disepanjang jalan. Mungkin saat ini orang-orang sedang memakinya. Entah kenapa ia merasa sial hari ini.
"MOBIL NYA MOGOK!" Qiara berteriak pada pengemudi mobil dibelakangnya setelah mendapatkan belasan klakson sedari tadi.
Tak jauh dari tempatnya, tampak beberapa polisi sedang sibuk mengatur mobil-mobil yang sedari tadi terjebak macet. Seorang polisi tampak sedang melihat kearah belakang karena kebisingan yang terjadi.
"Seperti nya ada masalah di sana! Coba kau periksa!" perintah seorang polisi pada seorang polisi lainnya.
Polisi tersebut segera pergi untuk memeriksa keadaan. Dia bertanya pada Qiara yang tampak kesal karena tak seorangpun yang berinisiatif menolongnya. Mereka hanya terlihat bersemangat untuk memakinya.
"Selamat sore nona! Apa ada masalah? Karena sepertinya mobil anda menghalangi kendaraan yang lainnya?" tanyanya.
Rara yang sedari tadi terus mencoba menghidupkan mobilnya semakin kesal mendengar pertanyaan itu. Ia menoleh kearah orang yang bertanya. Ia tampak sedikit terkejut karena didatangi seorang polisi.
"Maaf! Saya juga tidak bermaksud untuk menghalangi jalan orang lain. Tapi mobil saya tidak bisa dinyalakan. Mobil saya mogok. Dan tidak ada seorangpun yang berniat untuk membantu saya. Jadi maaf jika saya mengganggu kenyamanan pengendara lainnya." ia tampak menggerutu kesal.
Ia lalu menyuruh Qiara untuk mengemudikan setir mobil nya. Ia lalu memanggil dua orang temannya untuk membantu mendorong mobil Qiara ke tepi jalan agar tidak menghalangi laju kendaraan lain.
"Terima kasih tuan!" Ucap Qiara pada polisi yang sudah membantu mendorong mobilnya.
Tampaknya disekitar sana tidak ada bengkel yang terlihat. Ia pun segera menghubungi bengkel mobil langganan nya. Namun, tidak ada montir yang bisa dikirim kesana saat itu juga. Akhirnya terpaksa mobil itu di derek ke bengkel.
Qiara mencoba menelpon untuk memesan taksi, tapi sedari tadi jaringannya sibuk. Akhirnya Qiara seketika menelpon ayahnya untuk menanyakan apa ia bisa menjemput nya atau tidak.
"Bisa! Tapi ayah baru bisa datang sekitar dua jam lagi. Apa tidak apa-apa? Atau sebaiknya kau pulang naik taksi saja! Langit juga terlihat mendung. Ayah takut jika kau kehujanan." jawabnya.
"Rara sudah mencoba menghubungi taksi, tapi dari tadi jaringannya sibuk terus, yah! Ya sudah tidak apa-apa. Rara tunggu ayah saja." Ucapnya.
"Ya sudah! Ayah akan berusaha secepatnya menjemputmu ya!"
Qiara mematikan ponselnya. Selang setengah jam kemudian mobil derek datang dan membawa pergi mobilnya. Langit terlihat semakin gelap. Tiba-tiba hujan deras seketika mengguyur tubuhnya. Disana juga tidak terlihat tempat yang bisa disinggahinya untuk berteduh. Sekujur tubuhnya kini telah basah. Sialnya hari itu dia hanya menggunakan dress floral selutut untuk membalut tubuh rampingnya. Qiara hanya bisa pasrah dengan keadaan. Ia tampak bersedekap untuk melindungi tubuhnya yang kedinginan.
Namun, tiba-tiba ia merasa ada seseorang yang sedang memayunginya dari arah belakang. Ia segera menoleh. Ternyata orang itu adalah polisi yang menolongnya tadi. Qiara seketika sadar bahwa polisi itu ternyata sangat tampan. Walaupun tatapan matanya terlihat tajam dan raut wajahnya sangat dingin. Kehadiran pria itu membuat Qiara terpana sejenak.
"Apa kau hanya ingin menatapku saja? Bisakah kau memegang payung ini sendiri? Atau kau ingin ku payungi? "tanyanya membuyarkan lamunan Rara.
Ia langsung mengambil payung itu dengan gelagapan. Dan mengucapkan terima kasih padanya. Polisi itu mengajak Rara berteduh di pos polisi yang letaknya tak jauh dari tempatnya berdiri. Mereka berdua berteduh disana. Melihat Qiara yang menggigil kedinginan, ia berinisiatif memberikan jaketnya.
"Pakai ini!" perintahnya sembari menyodorkan sebuah jaket kulit padanya.
" T-Terima kasih!" Ucapnya terbata-bata sambil memakai jaket itu.
"Apa sudah ada yang menjemput mu?" Tanyanya memastikan.
"Ayahku yang akan menjemput ku! Mungkin dia sedang dijalan!"
"Baguslah jika seperti itu. Temanku sedang menungguku diseberang sana. Aku harus segera pergi. Apa kau tidak apa-apa menunggu seorang diri disini?" tanyanya lagi.
Qiara tampak ragu. Ia sebenarnya takut jika harus menunggu seorang diri disini. Apalagi jalanan yang tadinya ramai, seketika mendadak sepi. "Iya! Tidak apa-apa!" Qiara memberanikan dirinya sendiri.
Arya berjalan perlahan meninggalkan Qiara. Ia sebenarnya takut menunggu sendirian. Tapi ia berusaha untuk tenang. Selang setengah jam ayahnya akhirnya datang. Wanita itu segera masuk kedalam mobil karena ia sudah sangat kedinginan. Setelah mobil mereka pergi, dari seberang jalan terlihat sebuah mobil polisi yang terparkir tak jauh dari pos polisi tersebut. Di dalam mobil ada dua pria. Yang satu tampak sedang asyik memainkan telpon genggam nya. Yang satunya lagi tampak seperti orang yang sedang bosan menunggu.
"Sampai kapan kita disini?" gerutunya.
Pria yang sedari tadi sibuk memainkan telpon genggam nya mengarahkan pandangannya ke mobil yang baru saja pergi dari hadapannya. Pria itu lantas menyuruh teman nya untuk pergi sekarang.
"Apa yang sebenarnya sedang kau lakukan, Arya" Serunya sambil menggelengkan kepalanya.
Arya hanya menyunggingkan senyum pada sahabatnya yang tengah kesal.
_________________
Sore ini langit terlihat bersahabat. Awan tak lagi mendung seperti beberapa Minggu terakhir ini. Hari ini benar-benar hari yang cerah. Secerah hati seorang wanita yang sedang berjalan-jalan dengan kakak tersayangnya.
"Kak Arya tunggu aku! Jalanmu cepat sekali. Kita bukan mau pergi berperang. Kita sedang berbelanja." Pinta gadis itu sambil berusaha mengikuti langkah lelaki di depannya.
"Kau ini lambat sekali. Jalanmu seperti siput. Aku sudah terbiasa jalan cepat. Lagipula kenapa kau memaksaku menemani mu berbelanja. Apa kau tak punya teman ?" Keluhnya sedikit kesal.
"Aku punya banyak teman. Tapi aku sedang ingin ditemani oleh kakak kesayanganku!" Godanya sambil merangkul mesra lengan kakaknya yang berotot itu.
"Apa kau sudah tidak waras?" Tanyanya kesal.
Adik manisnya itu hanya tersenyum padanya. Nama wanita itu Alisa. Walaupun terkadang dia menyebalkan, tapi Arya sangat menyayanginya. Bisa dibilang dia sangat memanjakannya. Dia juga terlalu protektif pada setiap pria yang ingin mendekatinya. Pernah sewaktu adiknya kuliah dulu, ada seorang pria yang mengganggunya dan membuatnya menangis, tanpa pikir panjang Arya langsung menghajarnya sampai pingsan. Untunglah masalah itu bisa berakhir damai.
Sejak saat itu Alisa jadi agak menjaga jarak dengan pria manapun yang ingin mendekatinya. Dia tak mau kakaknya terlibat masalah lagi. Apalagi kini dia seorang polisi. Mungkin saja dia akan menggunakan kekuasaannya untuk memberi pelajaran pada para lelaki tersebut.
"Kau mau beli apa? Dari tadi kita hanya berputar-putar saja disini!" gerutunya.
Alisa hanya tersenyum melihat kakaknya tak berhenti menggerutu semenjak tadi.
"Sabar, kak! Kau sedang bersama dengan makhluk bernama wanita. Jadi tingkat kesabaranmu sedang diuji saat ini." Ucap Alisa dengan gurauan.
"Dasar wanita!" serunya kesal.
Saat sedang berjalan, seorang wanita menabraknya cukup keras dengan sebuah trolli.
"Aduh...!" Seru Arya mengaduh kesakitan sambil memegangi kakinya.
"Maaf! Aku tidak sengaja. Aku tidak melihatmu!" Pinta orang yang menabraknya itu.
"Sebesar ini masih juga tidak kelihatan? Kau letakkan dimana matamu?" Arya benar-benar kesal hari ini. Namun, sepertinya ia mengenali wanita itu. "Kau!" serunya.
"Kau polisi yang kemarin, kan. Sekali lagi aku minta maaf. Aku benar-benar tidak melihatmu, tuan!" Pintanya lagi.
Alisa yang sedari tadi hanya diam, mencoba mengenali gadis itu. Sepertinya ia terlihat familiar dengan wajahnya.
"Qiara! Kau Qiara kan?" Tanyanya memastikan.
Qiara tampak ragu saat pertama kali melihat wanita itu. Tapi sepertinya ia juga mengenali wanita yang berada disamping pria itu sembari menggandeng tangannya.
"Apa kau Alisa?" Tanyanya balik mencoba untuk memastikan.
"Iya ini aku. Kau ada disini? Kenapa kau tidak mengabari ku?" Tanyanya sambil memeluknya erat.
Qiara awalnya ragu membalas pelukannya. Tetapi ia tetap memeluknya. Alisa ternyata adalah sahabat baiknya di sekolah menengah atas dulu. Tapi mereka harus berpisah saat kelulusan. Karena Alisa harus pulang kembali ke kota asalnya.
"Maaf! Ponsel lamaku hilang. Jadi semua kontak yang ada di ponselku juga ikut hilang. Termasuk nomor ponselmu. Aku juga tidak tahu dimana alamatmu. Jadi aku benar-benar tidak bisa menghubungimu" Jelasnya setelah melepaskan pelukan Alisa.
"Lalu kenapa kau bisa ada disini. Apa kau sedang liburan?" tanyanya penasaran.
"Tidak aku sudah dua tahun tinggal disini." jelasnya sambil tersenyum.
"Dua tahun? Dan kita baru bertemu sekarang. Apa kau pindah bersama orangtuamu. Atau... Oh ya Stela sempat memberitahuku bahwa kau akan menikah. Kau pasti ikut dengan suamimu pindah kemari, kan? Apa sekarang kau tinggal bersama suamimu disini? Dimana dia? Apa dia tidak ikut berbelanja denganmu?" Alisa memberikan begitu banyak pertanyaan untuk Qiara.
Qiara sampai kebingungan menjawab pertanyaannya. Ia juga bingung menjelaskan tentang pernikahannya yang batal. Apalagi harus menjelaskan didepan orang lain.
"hmm.. Aku pindah bersama orang tuaku." jawabnya ragu.
"Lalu suamimu?" tanya Alissa.
Qiara tampak ragu ingin menjawab. Arya yang sedari tadi diam saja pura-pura batuk untuk memberikan kode pada mereka bahwa dia masih ada di sana.
"Oh ya! Aku hampir saja lupa. Perkenalkan! Dia adalah kakakku, Arya!" Ucap Alissa.
Qiara mengacungkan tangan nya untuk berjabat tangan. Namun sepertinya Arya tak menggubrisnya. Qiara menarik tangannya kembali.
"Apa kau tidak jadi berbelanja? Aku ada janji lain! Atau kau mau pulang naik taksi saja!" Keluhnya sedikit kesal.
Melihat Arya yang sangat kesal, Qiara segera mengambil inisiatif untuk segera pamit. Lagipula dia juga bisa menghindari pertanyaan seputar pernikahannya.. Jujur sampai saat ini dia juga tidak tahu apa. yang terjadi pada Vano. Pria itu benar-benar tidak bisa dihubungi.
"Tunggu dulu! Kita baru bertemu kembali setelah sembilan tahun berpisah. Aku masih ingin mengobrol denganmu. Aku masih kangen padamu." Alissa menahannya.
"Bukan begitu! Aku juga masih ada keperluan lain. Hmm... Begini saja , berikan ponselmu. Biar aku beri nomorku. Kita bisa bertemu lagi lain waktu." ucap Qiara.
Ia langsung mencari ponselnya di dalam tas. Tapi tidak ketemu. Mungkin tertinggal di mobil. Ia lalu meminta ponsel kakaknya dengan paksa. Qiara segera memasukkan nomor nya ke ponsel Arya.
"Nanti jangan lupa hubungi aku ya! Aku pergi dulu, ya!" Ucapnya setelah mengembalikan ponsel dan memeluk Alissa.
Ia pergi sambil melambaikan tangannya pada Alissa. Ia tampak setengah berlari ke arah eskalator untuk turun kebawah.
"Dia seperti sedang menghindari ku? Apa jangan-jangan aku salah bicara, ya? " Gumamnya yang terdengar oleh kakaknya.
"Lain kali jika kau ingin bertanya, lihat situasi dan kondisinya terlebih dahulu!" Ucap Arya sambil menyentil keningnya.
"Memangnya kenapa? Apa aku sudah salah bicara?" tanyanya lagi.
"Kau jadi belanja atau tidak? Aku ada janji lain? Cepatlah!" desaknya.
"Iya iya! Aku juga mau kesana?" Dia menunjuk ke arah toko kosmetik.
Arya menyuruhnya masuk seorang diri. Sementara ia menunggu diluar. Ia mulai memeriksa ponselnya. Melihat daftar kontak. Lalu menemukan satu nama yang membuatnya penasaran.
Qiara.
Ia tampak memikirkan sesuatu.
________________
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!