MOHON TEKAN BINTANG LIMA ⭐⭐⭐⭐⭐ TERLEBIH DAHULU 🙏
...SELAMAT MEMBACA NOVEL RECEH INI...
Namaku Zahra. Aku baru saja lulus dari salah satu Sekolah Menengah Atas di kotaku. Aku terlahir dari kalangan biasa saja, bahkan bisa dibilang kurang mampu. Jika aku tidak mengandalkan beasiswa, mungkin aku tidak bisa mengenyam pendidikan hingga SMA karena masalah ekonomi keluarga. Sebagai anak sulung, aku juga harus membantu keuangan keluarga dengan cara berjualan kue kering secara online.
Tak pernah ku sangka jika setelah pengumuman kelulusanku, ibu mengenalkan ku pada seorang pria. Dia adalah mas Alzam. Kata ibu dia adalah calon suamiku. Ibu telah merencanakan pernikahanku dengan mas Alzam tanpa sepengetahuanku. Saat itu perasaanku sangat hancur. Aku harus menikah dengan pria asing yang baru dua Minggu ku kenal. Seberapa kuat aku menolak, aku tak bisa melawan kuasa ibu. Air mataku seakan kering untuk menangis setiap hari.
Pernikahan ini terjadi begitu saja. Bahkan aku belum siap untuk menjadi seorang istri. Setelah resmi menjadi istri mas Alzam, aku langsung dibawa ke rumah miliknya yang berada di tengah-tengah kota.
Malam hari ketika ingin ku rebahkan tubuhku di tempat tidur, mas Alzam datang dan mendekatiku. Jantungku berdesir, aku takut dan belum siap untuk memberikan apa yang seharusnya menjadi milik mas Alzam.
"Aku tahu kamu belum siap untuk melayaniku, tapi saat ini kamu telah menjadi istriku. Mau tidak mau, melayaniku adalah kewajiban mu!" ujarnya sambil membelai rambutku. Dadaku pun berdebar tak menentu ketika tangan mas Alzam mulai menyapu rambutku.
"Ibumu yang memaksaku untuk menikahimu, karena dia tidak bisa membayar hutang-hutangnya padaku. Anggap saja saat ini ibumu telah menjual mu padaku." Tangan mas Azam mulai menyentuh pipiku dengan lembut hingga menimbulkan debaran jantung yang tak beraturan.
"Bersyukurlah saat ini kamu tidak dijual ke tempat pelacuran oleh ibumu." Tangan mas Alzam perlahan mulai membuka satu-persatu kancing bajuku.
"Mas," lirihku sambil menepis tangan mas Alzam.
"Jangan menolak jika tidak ingin aku menggunakan cara kekerasan! Aku menginginkanmu malam ini!"
Aku tidak bisa berbuat apa-apa ketika mas Alzam sudah menindih tubuhku. Hanya air mata yang bisa menggantikan jerit dan tangisanku ketika mas Alzam sudah melakukan penyatuan tubuhnya denganku.
Aku merasa kesakitan, tatapi rasa itu perlahan mulai hilang dan gantikan rasa yang tak bisa dijabarkan dengan kata-kata. Mas Alzam melakukannya dengan lembut hingga membuatku terbuai dalam penyatuannya malam ini.
Mentari pagi telah menyingsing, menyadarkan ku dari alam bawah sadar. Perlahan ku coba untuk membuka mata. Sosok mas Alzam yang semalam tidur disampingku kini sudah tidak ada. Tubuhku terasa sangat pegal. Saat aku hendak melangkah ke kamar mandi ada rasa yang mengganjal diarea kewanitaan ku. Aku meringis pelan menahan rasa sakit, berharap bisa segera sampai di kamar mandi.
Setelah menyelesaikan ritual mandi, aku pun keluar kamar. Disana aku melihat wanita paruh baya sedang menata hidangan diatas meja.
"Sudah bangun, cah ayu?" tanyanya padaku.
Aku mengangguk pelan. "Iya, Buk," jawabku pelan. Aku sendiri tidak tahu siapa wanita ini karena mas Alzam tak mengatakan apapun. Bahkan saat kami baru tiba tadi malam, tak ada siapapun yang menyambut kedatangan kami.
"Jangan panggil ibu! Panggil saja mbok Inah. Saya pembantu di rumah ini," jelasnya.
"Oh, iya maaf Mbok, saya tidak tahu," ucapku sambil nyengir kearah mbok Inah. "Mas Alzam kemana ya, Mbok?" tanyaku yang celingukan mencari keberadaan mas Alzam.
"Den Al sudah berangkat kerja, Non. Tadi beliau berpesan kalau malam ini tidak bisa pulang cepat karena ada lembur," ujar mbok Inah sambil mengambilkan nasi untukku.
Satu harian berada di rumah membuatku merasa bosan, terlebih aku tidak bisa berbuat apa-apa. Mbok Inah sama sekali tidak mengizinkanku untuk membantu pekerjaannya. Aku hanya lontang-lantung seperti gelandang yang yang menyedihkan. Bahkan dihari pertama aku menjadi seorang istri, aku tidak bisa mengucapkan kata selamat pagi kepada suamiku.
"Non Ara sibuk?" tanya mbok Inah. Aku yang menonton televisi mendongak lalu menggelengkan kepala. "Gak mbok," jawabku singkat.
"Kalau begitu mari Mbok ajak Non Ara untuk melihat-lihat isi rumah ini. Mbok juga akan menunjukkan satu kamar yang tak boleh non Ara buka."
Aku pun mengangguk untuk mengikuti langkah mbok Inah. Mbok Inah membawaku mengelilingi isi setiap ruangan yang ada di rumah mas Alzam. Dia menjelaskan setiap ruangan yang ada. Dan kini tiba saatnya mbok Inah berhenti di depan sebuah kamar yang menggunakan kunci password.
"Non Ara harus ingat, jangan pernah mendekati ataupun masuk ke kamar ini, apapun alasannya. Den Alzam akan sangat marah pada siapapun yang masuk kesini, bahkan mbok sendiri juga tidak tahu ada apa didalam sana," jelas mbok Inah dengan serius.
Aku pun sebenarnya juga penasaran dengan kamar tersebut, mengapa sampai diberi sistem password. Apakah ada sebuah rahasia besar didalam? Aku tidak tahu.
Setelah puas mengelilingi isi rumah mas Alzam, mbok Inah meninggalkanku di teras karena aku suntuk berada di dalam. Pikiranku tak lepas dari pernikahan kami yang sepertinya tak berarti. Bagaimana tidak, mas Alzam hanya terpaksa menikah denganku agar hutang-piutang ibu lunas. Tak ada cinta diantara kita. Mas Alzam hanya ingin menggunakan ku untuk menyalurkan hasratnya saja. Bahkan dia sama sekali tak menganggap ku sebagai istrinya.
Lamunanku tersentak saat suara wanita menyapaku. "Kamu siapa?" tanyanya.
Wanita cantik yang memiliki kulit putih dan rambut panjang itu semakin mendekatiku.
"Kamu pembantu baru ya? Oh iya, apakah Al ada di dalam? Dari tadi malam aku mencoba untuk menghubunginya tetapi tak direspon. Apa dia baik-baik saja?" tanya wanita itu panjang lebar.
"Mas Al sudah berangkat kerja. Kamu siapa ya?" Aku memberanikan diri untuk bertanya pada wanita itu.
Dengan senyum yang terukir indah, wanita itu menjawab, "Perkenalkan aku Aira, tunangannya Al." Wanita itu mengulurkan tangannya kepadaku. Seketika jantungku berdebar dengan kuat bahkan saat menyalami Aira, tanganku terasa sangat bergementar.
"Kamu kenapa gugup seperti itu?" tanyanya lagi.
"Tidak ada, Mbak. Aku hanya grogi saja. Maklum ini adalah hari pertamaku bekerja di sini," dusta ku pada Aira.
"Oh iya? Kamu santai aja. Al itu orangnya baik. Ngomong-ngomong nama kamu siapa?"
Aku tersenyum tipis melihat senyum yang mengembang di wajah Aira dan berkata, "Namaku Zahra."
Karena Mas Alzam tidak ada di rumah, Aira pun mengatakan ingin menemuinya ke kantor. Entah mengapa tiba-tiba hatiku terasa nyeri saat mendengar jika wanita itu adalah tunangan dari suamiku. Ku buang napas kasar ku kemudian berlalu menuju ke kamar.
'Ya Tuhan, cobaan apalagi yang Engkau berikan kepadaku? Ternyata aku adalah orang ketiga di antara hubungan mas Alzam dan Aira. Sanggupkah Aku menjalani hari-hariku sebagai istri dari mas Alzam?'
Tanpa kusadari air mataku menetes begitu saja. Hatiku semakin sakit, jika membayangkan hari-hariku selanjutnya hidup tanpa cinta.
"Seharusnya pernikahan ini tidak pernah terjadi." Ku seka jejak air mata yang telah membasahi pipiku. Percuma saja jika aku menangis, karena air mata ini tidak akan berarti.
...~BERSAMBUNG~...
Tes-tes 1 2 3 ... Mana suara? Kalau Ramai aku lanjutkan. Seperti biasa cerita ini membutuhkan dukungan dari kalian. Tekan tanda hati untuk menambah ke rak buku dan beri hadiah berupa VOTE, BUNGA DAN KOPI.
Terimakasih sudah menemani teh ijo selama ini 🥰 Dan yang baru gabung, tinggalin komen-nya dong biar rame dikit gitu. Novel kok sepi amet 😞
Malam semakin larut. Pikiranku masih tertuju pada mas Alzam yang belum juga pulang. Meskipun dia sudah menitipkan pesan pada mbok Inah akan pulang larut, tetapi aku masih tetap menunggunya. Hatiku semakin kalut saat mengingat sosok Aira yang ternyata adalah tunangan mas Alzam.
"Non Ara, masih menunggu den Al?" tanya mbok Inah yang melihatku masih termenung di ruang tengah.
Aku mendongak. Meskipun sudah tahu jika mas Alzam akan pulang larut, tapi aku masih bersikeras untuk menunggu mas Alzam.
"Iya Mbok," jawabku singkat.
Mbok Inah berjalan pelan dan duduk di sampingku. "Non Ara tidur saja. Tadi pagi 'kan udah Mbok bilang kalau beliau akan pulang larut."
"Tapi aku ingin menunggunya, Mbok," jawabku penuh harap.
"Non Ara jangan memaksakan diri. Sekarang tidurlah!"
Meskipun berat, aku tetap mengikuti saran mbok Inah. Didalam kamar, hatiku gelisah tak menentu. Bayangan mas Alzam dan Aira terus memenuhi kepalaku hingga akhirnya aku mendengar suara mobil masuk ke garasi.
Ku pandangi jarum jam yang menggantung di dinding, ternyata sudah pukul 11 malam. Tiba-tiba detak jantung ini semakin bergerumuh saat suara pintu dibuka. Aku mencoba untuk memejamkan mata, berpura-pura untuk tidur.
Tak berselang lama, aku merasakan ada sentuhan lembut di tubuhku. Jelas itu adalah tangan mas Alzam.
"Aku tahu kamu hanya berpura-pura tidur saja," bisik mas Alzam di telingaku sambil digigitnya pelan.
Perlahan kubuka mataku. Dengan sigap Mas Alzam mengunci tanganku. Garis tegas di wajahnya terlihat sedikit sayu. Aku mencoba untuk memberontak, tapi lagi-lagi kekuatan Mas Alzam lebih kuat.
"Mas, kamu mau ngapain?" Aku bertanya meskipun aku tahu apa yang sedang diinginkan oleh mas Alzam.
"Kamu jangan pernah lupa dengan tugas dan kewajiban mu! Aku sudah membeli mu, Ra!" kata mas Alzam dengan tatapan tajam.
"Tapi Mas .... "
Tak bisa terelakkan lagi. Ini adalah malam kedua mas Alzam menjamah ku. Meskipun dengan perlakuan yang lembut, tatap saja tindakan mas Alzam sangat menyakiti hatiku. Percuma saja jika air mata ini terus mengalir, karena mas Alzam takkan pernah sedikitpun peduli. Dia hanya menginginkan hasratnya terpenuhi.
Setelah melakukan penyatuan, mas Alzam langsung bergegas untuk membersihkan tubuhnya. Sedangkan aku masih terisak dalam tangisku.
"Lain kali tidak usah menungguku pulang, karena aku pasti akan pulang larut," kata mas Alzam yang sudah merebahkan tubuhnya disampingku.
"Jangan menangis! Karena aku tidak menyukai air mata!" ujarnya lagi.
Ku usap jejak air mataku dan ku beranikan diri untuk menatap pria yang berstatus sebagai suamiku. Setelah seharian aku menunggu kedatangannya, tetapi apa yang dia lakukan padaku?
"Mas, aku tahu kamu hanya terpaksa menikahiku. Jika memang tidak ada cinta diantara kita, tolong lepaskan aku."
"Kamu pikir mudah untuk melepaskan mu begitu saja? Tidak, Ra! 100 juta bukanlah uang yang sedikit. Kamu pikir jika kamu dijual ke tempat pelacuran bisa tembus 100 juta meskipun kamu masih perawan? Tidak, Ra!"
Kata-kata mas Alzam begitu menusuk hatiku. Aku hanya bisa menahan air mata agar tak berjatuhan. Saat bibirku menganga hendak membahas Aira, ternyata mas Alzam sudah beranjak dengan sebuah bantal yang berada ditangannya.
"Kamu mau kemana, Mas?" tanyaku bingung.
"Sebaiknya kamu tidur. Aku akan tidur di kamar sebelah."
Ku tatap punggung kekar itu hingga tenggelam. Tak bisa lagi ku tahan air mata yang sudah mulai merembes jatuh begitu saja.
"Aku harus kuat, meskipun menyakitkan," lirihku sambil meremas selimut yang membungkus tubuhku.
****
Alarm telah membangunkan tidurku. Aku tak ingin mengulang kesalahan yang sama, dimana aku tidak bisa menyambut mas Alzam pagi ini. Meskipun sikap mas Alzam terlalu dingin kepadaku, tetapi aku ingin berusaha mencairkannya. Bukankah batu karang di laut akan terkikis oleh deburan ombak yang setiap hari menerjangnya? Lalu mengapa hati manusia tidak bisa? Semua akan bisa jika ada udah yang kuat dibelakangnya.
"Lho, kok udah bangun, Non?" tanya mbok Inah yang melihatku menghampirinya.
"Iya Mbok, habis sholat subuh kan gak baik kalau tidur lagi," jawabku dengan memberikan sebuah senyuman kepada Mbok Inah.
"Aku bantuin ya, Mbok," tawar ku padanya.
"Gak usah, Non. Nanti den Al marah."
Aku tak menghiraukan lagi larangan mbok Inah untuk menyiapkan sarapan pagi. Karena hanya untuk sarapan kami berdua, mbok Inah tidak masak banyak yang penting ada sayur hijaunya.
"Mbok, kira-kira makanan yang disukai oleh mas Alzam itu apa ya?" tanyaku di tengah kegiatan memasak.
"Semua jenis makanan disukai sama den Al, kecuali terong, Non," jelas mbok Inah. "Masa terong makan terong," kelekar mbok Inah.
Aku pun ikut tertawa. Ternyata mbok Inah bisa diajak bergurau. Aku pikir dia adalah orang yang selalu serius. Namun nyatanya dia bisa membuatku tertawa.
"Oh iya mbok, orang tua mas Alzam tinggal dimana ya? Soalnya aku tidak melihat kehadiran orang tua mas Alzam saat hari pernikahan. Dan mas Alzam juga tidak memberitahu kami tentang keberadaan orang tuanya.
Tiba-tiba mbok Inah membeku untuk beberapa saat. Bahkan gorengan yang ada di teplon pun hampir saja Gosong. Aku tidak tahu apakah ada yang salah dengan pertanyaanku.
"Mbok, tempenya mau gosong!" ujarku sambil menyenggol bahunya. Ketika wanita tengah baya itu tersadar dari diamnya.
"Mbok, kenapa?" tanyaku heran saat melihat perubahan wajah Inah yang tertekuk.
"Berjanjilah kepada Mbok, kalau Non Ara tidak akan pernah menanyakan pertanyaan seperti ini kepada den Al. Mbok berjanji akan memberitahu Non Ara, tapi tidak untuk sekarang."
Aku mengerti dengan ucapan mbok Inah yang sepertinya sedang menyimpan sesuatu mengenai orang tua mas Alzam.
Tak berapa lama mas Alzam sudah rapi dengan pakaian kerjanya. Jika dilihat dari dekat, wajah mas Alzam terlihat tampan den berwibawa. Namun, sikapnya tidak bisa ditebak.
"Sepertinya ada masakan baru. Apakah ini kamu yang memasaknya?" tanya mas Alzam padaku.
Aku mengangguk pelan. "Iya Mas. Cobain ya," tawarku sedikit ragu.
Tak ada penolakan dari mas Alzam. Jelas saja aku menarik kedua garis bibirku dengan penuh bahagia.
Namun, senyumku harus pudar manakala mas Alzam mengangkat sebuah panggilan telepon dengan wajah yang berbinar.
"Kamu tunggu saja, setelah sarapan aku jemput kamu."
Aku sudah bisa memastikan jika yang menelepon adalah Aira. "Siapa Mas?" tanyaku pura-pura.
Sorot mata tajam itu seakan menusuk mataku. "Jangan melewati batas! Meskipun kamu adalah istriku, tapi aku tidak mencintaimu. Kedepannya jangan pernah mencampuri urusan pribadiku!"
Setelah mengucapkan kata-kata itu, mas Alzam berlalu tanpa berpamitan kepadaku. Aku hanya bisa mengelus dadaku dengan pelan seraya berdoa agar Tuhan tetap menguatkan hati ini.
Mbok Inah yang melihat segera mengelus lenganku. "Yang sabar ya, Non. Teruslah berdoa kepada Gusti Allah, semoga den Al bisa luluh kepada non Ara."
Ku anggukan kepalaku dan mencoba untuk biasa saja. Ternyata pernikahan yang baru berjalan dua hari ini terasa amat menyakitkan.
"Iya Mbok, aku gak papa, kok."
...~BERSAMBUNG~...
TERIMA KASIH ATAS KEHADIRAN KALIAN UNTUK MERAMAIKAN NOVEL INI 🙏
Tak terasa pernikahanku sudah berjalan tiga bulan. Tak ada yang berbeda dengan sikap mas Alzam padaku. Malah semakin hari hubungan mas Alzam dengan Aira semakin dekat. Bahkan tak ragu-ragu mas Alzam sering membawa Aira pulang ke rumah. Dan yang lebih parahnya, di depan Aira aku hanya dianggap sebagai pembantu oleh mas Alzam.
"Pagi Zahra, mas Al masih di rumah 'kan?"
Aku mendongak menatap Aira yang baru saja datang. Ku sambut kedatangannya dengan seuntai senyum yang mengembang di bibirku. "Mas Al baru saja berangkat," jawabku dengan sopan.
Aira mengangguk pelan lalu mengajakku untuk masuk. Tangannya yang menenteng beberapa papar bag langsung diserahkan kepadaku. Aku hanya bisa tersenyum tipis. Sampai kapan Aira menganggap ku pembantu. Namun, aku tak bisa berbuat apa-apa karena peringatan mas Alzam yang melarang ku untuk tak ikut campur dalam urusan pribadinya.
"Mbok Inah mana, Ra?" tanya Aira saat matanya mengedar tak menemukan sosok mbok Inah.
"Oh, mbok Inah lagi ke pasar," jawabku santai.
"Ra, lusa aku sama mas Al ada reunian ke Bandung, gimana kalau kamu bantuin aku nyari baju. Rencananya aku mau pakai yang senada dengan bajunya mas Al."
Aku tersenyum getir. Mungkin bibirku bisa tersenyum, tapi tidak dengan hatiku yang sedang remuk redam. Istri mana yang sanggup merelakan kepergian suaminya bersama dengan wanita lain.
"Tapi aku sibuk, Mbak," tolak ku pelan.
"Kamu tenang aja, kan ada mbok Inah. Nanti kalau mas Al marah biar aku yang menghadapinya." Aira tetap memaksaku meskipun aku sudah menolaknya.
Di dalam sebuah Mall, Aira membawaku ke toko baju. Tangannya lihai dalam pilih-memilih. Sedangkan aku, hanya sekedar menyentuh saja tanganku sudah bergemetar saat melihat bandrol yang menggantung. Berulang kali Aira menanyakan padaku apakah baju ini cocok dengan dirinya apa tidak.
Semua pilihan Aira aku anggukan, karena semua memang bagus dan cocok ditubuhnya.
"Ra, kamu gak terpikirkan ingin melanjutkan kuliah? Kalau kamu ada tamatan kuliah kan setidaknya kamu bisa kerja di kantoran. Gajinya pun juga lumayan besar. Kamu masih muda lho, Ra. Masa depan kamu itu masih panjang. Masa iya perempuan cantik sepertimu menjadi ART," kata Aira dengan tatapan yang sulit diartikan. Entah apa yang dipikirkan oleh Aira. Apakah dia merasa tidak suka dengan keberadaan ku di rumah mas Alzam atau memang Aira sedang menasehati ku.
"Biaya kuliah mahal, Mbak."
Bukan aku tidak mau untuk melanjutkan ke jenjang kuliah. Saat ini keadaan ku sudah berbeda. Bahkan sampai saat ini tak sepeser pun aku diberi uang oleh mas Alzam untuk biaya kebutuhanku.
"Kan kamu bisa mencari beasiswa, Ra. Kalau kamu mau, aku punya kenalan disalah satu Universitas. Kalau kamu mau, aku bisa membantu mu," tawar Aira. Kali ini aku bisa melihat keseriusan dari wajah Aira.
"Kamu bisa kerja paruh waktu. Jika mas Al marah, kamu bisa panggil aku untuk menjinakkan serigala buas itu."
Aku belum bisa memberikan jawaban. Ada baiknya jika aku berdiskusi terlebih dahulu dengan mas Alzam. Biar bagaimanapun dia adalah suamiku, meskipun sikapnya tak mencerminkan sebagai seorang suami.
Cukup lama aku menemani Aira berbelanja. Kini beberapa papar bag telah ku tenteng. Miris rasanya saat Aira benar-benar percaya jika aku adalah seorang pembantu.
"Ra, makasih ya udah menemaniku berbelanja hari ini." Aira melambaikan tangan setelah menurunkan ku di depan rumah mas Alzam. Aku hanya bisa mengangguk pelan dengan membalas lambaian tangan Aira.
Sesampainya aku di dalam rumah, ku lihat mas Alzam sudah duduk di ruang tamu. Dengan mata yang tajam, mas Alzam bertanya, "Dari mana?" ketusnya.
"Aku mengantar mbak Aira berbelanja, Mas," jawabku gugup karena sorot mata mas Alzam terlihat menyeramkan.
"Apa tujuanmu mendekati Aira? Apakah kamu ingin memberitahu jika kamu adalah istriku agar Aira meninggalkan ku?" tanya mas Alzam dengan sorot mata yang menyala.
"Astaghfirullah, Mas. Meskipun aku tahu jika mbak Aira adalah tunangan mu, tapi aku tak seburuk yang kamu tuduhkan, Mas!" Dadaku yang sesak memilih meninggalkan mas Alzam yang masih menegang.
Ini adalah kali pertama aku memberanikan diri untuk berbicara dengan nada tinggi. Setelah setengah hari aku menemani tunangannya, kini aku malah mendapatkan tuduhan dari suamiku. Seharusnya aku yang marah karena dengan jelas suamiku menjalin hubungan dengan perempuan lain di depan mataku.
"Sudah ku katakan, jangan menangis! Aku benci dengan air mata!" ucap mas Alzam yang sudah berada di belakangku.
Segera ku usap jejak air mata yang baru saja tumpah. Sungguh aku tidak mengerti dengan sikap mas Alzam. Dia tidak memiliki rasa cinta, tetapi hampir setiap malam dia menjamah ku.
"Kamu harus tahu jika Aira adalah satu-satunya perempuan yang aku cintai. Jangan sedikitpun berpikir untuk mencelakai dia jika tidak ingin berurusan denganku!" tekan mas Alzam tepat ditelinga ku.
Aku tidak peduli dengan ancaman mas Alzam karena niatku tulus, meskipun hatiku perih. Selamanya aku tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Aira. Bahkan dari segi keluarga, Aira-lah yang lebih unggul.
***
Hari yang telah nantikan oleh Aira pun telah tiba. Pagi ini dia sudah tiba di rumah mas Alzam dengan koper yang telah dia seret. Setelah mengucapkan salam, Aira langsung masuk dan segera memeluk tubuh mas Alzam dari belakang.
"Mas, aku rindu," ujarnya dengan mengeratkan pelukannya.
Aku dan mbok Inah segera membuang muka saat dua sejoli sedang dimabuk asmara. Tanpa memiliki rasa malu, Alzam pun segera membalikkan badan dan membalas pelukan Aira. "Aku juga sangat merindukanmu. Bagaimana, kamu sudah siap?" tanya mas Alzam pada Aira yang berada dalam dekapannya.
"Sudah dong," jawab Aira.
"Mbok Inah jaga rumah ya. Aku sama Aira hanya pergi 2 hari saja," kata mas Alzam sambil melirik kearahku.
"Tenang saja Den, pasti aman selagi ada Mbok."
Aku sama sekali tak berarti di mata mas Alzam. Percuma saja jika aku berharap bisa mengikis batu karang, jika nyatanya tenagaku tak sekuat deburan ombak di lautan.
"Ra, kami pergi dulu ya." Aira memberikan sebuah pelukan singkat kepadaku. "Kami hanya sebentar, jadi kalian tidak usah merindukan kami," ucap Aira dengan candanya.
Ku anggukan kepalaku dengan pelan sambil berkata, "Hati-hati di jalan," ucapku sambil melirik kearah mas Alzam.
Sepeninggal mereka berdua, mbok Inah langsung mendekatiku. "Non Ara yang sabar ya. Mbok tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantu Non Ara. Teruslah berdoa pada Gusti Allah, semoga pintu hati den Al bisa terbuka lebar," ucap mbok Inah yang berusaha untuk menguatkan hatiku.
"Iya Mbok, aku pasti bisa melewati semua ini," jawabku dengan berat. Padahal aku sendiri tidak yakin apakah aku bisa melewati semua ini dengan kuat.
...~BERSAMBUNG~...
MON MAAF JIKA MASIH BANYAK TYPO BELUM SEMPAT EDIT. HUJAN DERAS, SINYAL ILANG-ILANG TIMBUL.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!