"40 menit lagi ...." desah seorang gadis berparas menarik dengan raut gelisah.
Matanya yang bernetra coklat terang dengan bulu yang lentik tak henti menatap jam dinding. Berharap jarum itu berpindah pada angka 12 secepatnya.
"Orang itu belum datang, M'mselle (Nona). Sepertinya tidak jadi malam ini." Seorang gadis yang sebaya dengannya duduk bersimpuh di samping kursinya yang berbalut beludru merah.
"Semoga saja Anne, semoga saja ...." jawabnya penuh harap.
Berkali-kali sudah ia menghela napas. Lalu menggosok-gosokkan tangan yang terasa membeku.
"Apa anda kedinginan?" tanya Anne dengan raut khawatir. "Saya akan menambah kayu bakar di perapian," sambungnya sembari bergegas bangkit.
"Tidak, tidak perlu. Aku bukan kedinginan. Aku cuma ... merasa tegang," larang gadis belia berkulit putih kekuningan itu. Pipinya yang halus tampak merona merah diterpa hangatnya api perapian.
"Baik, M'mselle."
Anne kembali duduk. Matanya kini ikut menatap jam dinding. Berharap bandul besi yang tergantung di bawah angka-angka itu bergoyang dan berdentang. Agar ketakutan nona-nya segera berakhir.
"Anne, begitu jarum menitnya sampai di angka 11, cepatlah bersiap menutup gerbang bersama Marc!"
"Baik, saya akan panggil saudara saya itu sekarang," jawab Anne. Gadis itu segera bangkit dan buru-buru ke belakang.
Sang Nona pun ikut bangkit. Kemudian berjalan mondar-mandir sembari mengipas-ngipasi lehernya dengan tangan.
Tubuhnya kini malah merasa gerah. Tak terbiasa dengan gaun panjang dan mengembang seperti yang dikenakannya saat ini.
Kalau bukan karena malam penting ini, ia lebih suka memakai pakaian yang sederhana.
Namanya Naeva, Naeva de Gaulle. Gadis keturunan bangsawan Perancis.
Namun kehidupannya jauh dari kata mewah. Naeva dan ayahnya hidup serba kekurangan, dan bahkan kini gadis berusia 17 tahun itu telah kehilangan hak atas dirinya sendiri.
Nasibnya begitu malang, menjadi taruhan judi sang ayah yang kemudian kalah telak dalam permainannya.
Dua Minggu lalu ayahnya menghembuskan nafas terakhir, karena tak sanggup menahan penyesalan. Kini Naeva hanya bisa memasrahkan hidupnya pada takdir dan tentunya pada orang yang telah memenangkan dirinya dalam taruhan itu.
Entah akan dijadikan apa dirinya nanti. Yang pasti bukan istri atau saudari calon pemilik nya. Karena kabarnya, orang yang telah mendapatkan hak atas dirinya itu adalah seorang Bangsawan yang suka mempermainkan wanita dan mudah bersikap kejam pada siapa saja.
Naeva tidak mengenalnya. Laki-laki itu berasal dari kota yang jauh. Ia hanya mengetahui wajah laki-laki itu dari selembar foto hitam putih yang di tunjukkan ayahnya.
"Mademoiselle," seorang laki-laki bertubuh tegap dengan rambut pirang datang bersama Anne, kemudian membungkuk padanya penuh hormat.
Naeva menoleh cepat.
"Sudah di angka sebelas, Marc! Cepat bersiap tutup gerbang!" perintahnya panik. Ujung jari-jemari nya semakin dingin dan ngilu. Detak jantung pun seolah bertalu dengan cepat.
Hatinya terus memohon, semoga ... semoga saja mereka masih sempat menutup gerbang sebelum jemputan itu datang.
Dor!
Suara letupan senjata terdengar di tengah sunyinya malam.
Gadis itu tersentak. Detak jantungnya yang sedang bertalu, seketika berhenti berdetak.
"Suara apa itu?" desisnya tegang.
Naeva tahu persis itu suara senjata, tapi ia bingung karena selama ini tak pernah ada suara senjata di sekitar tempat tinggalnya.
Kastil tua mereka berada di dekat hutan besar. Banyak pemburu yang datang, tapi belum pernah ada yang memakai senjata api hanya untuk menembak hewan buruan, karena harga peluru lebih mahal daripada hewan yang mereka dapatkan.
Tanpa pikir panjang, Naeva mengangkat gaun panjangnya dan berlari ke arah pintu masuk.
Di bawah penerangan bulan purnama, gadis itu bisa melihat Anne yang sedang meringkuk di bawah tembok benteng, sementara Marc berusaha secepatnya menutup gerbang seorang diri.
Kaki jenjang yang terbuka sampai ke betis itu kemudian terayun cepat ke arah gerbang. Ia ingin membantu Marc. Pasti ada sesuatu di luar sana, hingga Anne meringkuk ketakutan.
Udara dingin tengah malam langsung menyambut kulit halusnya. Naeva tak peduli, ia bukan gadis manja yang takut kedinginan.
Namun, baru setengah jarak ditempuhnya, tiba-tiba dari arah luar muncul seseorang dengan tampang mengerikan. Bukan, bukan mengerikan seperti Monster. Tapi lebih tepatnya seperti korban Monster.
Wajahnya berlumuran darah, begitupun dengan bajunya.
Orang itu berlari tertatih-tatih ke arahnya.
Langkah Naeva seketika terhenti. Matanya yang indah tampak membulat kaget. Kakinya seolah terpaku di tanah berumput hijau itu.
Tubuh Naeva benar-benar membatu. Seperti melihat hantu yang hendak menerkam, ia tak bisa bergerak juga tak mampu berteriak.
Sementara itu, Marc masih terus sibuk menutup gerbang dan memasang palang kayunya tanpa melihat ada yang telah memasuki halaman kastil.
Tak perlu menunggu lama, wajah berdarah itu semakin mendekati Naeva. Saking takutnya, gadis itu sontak menutup mata rapat-rapat.
"Ya Tuhan, tolong aku ... tolong aku ...." Hanya hatinya yang bisa berteriak meminta tolong.
Dengan mata yang terpejam, ia bisa mendengar suara-suara teriakan di luar sana.
"Cepat!! Tangkap laki-laki itu sekarang! Jangan sampai dia lolos!!!"
"Mungkin dia masuk ke dalam kastil ini, mari kita cari ke dalam!"
"Tidak bisa! Ini sudah jam dua belas malam. Pemilik kastil ini pasti tak akan membukakan gerbangnya lagi! Sepertinya dia kabur ke hutan. Lekas bergerak! Jangan cuma menerka-nerka!"
Naeva menahan napasnya.
Ia bingung dan ketakutan, apa yang terjadi sebenarnya?
Bruk!
Suara orang terjatuh terdengar tepat di depan kakinya.
Naeva tak berani membuka mata. Hidungnya bisa mencium bau amis darah. Sungguh ia ketakutan. Padahal Naeva bukanlah gadis penakut, tapi melihat sosok berlumuran darah bergerak cepat ke hadapan wajah, siapa yang tidak ketakutan??
"M'mselle! Anda tidak apa-apa?" Suara Marc terdengar khawatir di dekatnya.
Perlahan Naeva membuka mata. Raut tampan Marc tampak cemas menatapnya.
Netra coklat terang Naeva kemudian melirik ke bawah. Ya, sosok itu telah tersungkur tepat di ujung kakinya.
Sontak kaki tak beralas Naeva tertarik mundur.
"Si-siapa dia?" paniknya.
"Saya juga tak tau, M'mselle. Maafkan saya yang tak melihatnya masuk."
Naeva memperhatikan sosok malang itu sejenak. Kondisinya sangat mengenaskan.
"Sebaiknya anda masuk ke dalam, biar saya yang mengurus ini," ujar Marc. "Anne cepat temani M'mselle masuk!" perintahnya pada saudarinya yang masih meringkuk ketakutan.
"Tu-tunggu Marc. Coba kau periksa napasnya. Apa orang ini masih hidup?"
"Baik, M'mselle." Marc berjongkok di samping tubuh itu, lalu menaruh telunjuknya di hadapan hidung yang berlumuran darah itu.
"Masih, M'mselle!"
"Syukurlah. Bawa orang itu masuk ke dalam. Mudah-mudahan kita masih bisa menolongnya!" perintah Naeva. Jiwa kepeduliannya langsung muncul seperti biasa, gadis itu tak bisa mengabaikan orang yang membutuhkan pertolongan.
"Tapi M'mselle, orang ini pasti bukan orang yang baik. Dia sepertinya sedang dikejar sekelompok orang yang ingin membunuhnya," sela Anne yang menghampiri dengan wajah pucat.
"Itu urusan nanti. Kita hanya akan menolong sampai nyawanya tidak lagi terancam saja," tegas Naeva.
"Baik, M'mselle!" jawab Marc sigap. Ia memang tak pernah menolak keinginan sang majikan. Nona-nya sangat pintar dan selalu mengambil tindakan yang tepat. Lagipula, ia akan siap menjadi tameng sekaligus senjata untuk Nona Naeva.
***
"Ada apa ini?!" panik seorang pria tua, melihat Marc membopong masuk seseorang yang berlumuran darah.
"Ada orang yang terluka, Père (Ayah). Kita harus memanggil tabib segera!" jawab Marc dengan napas tersengal menahan beban tubuh yang jelas lebih tinggi dan tegap dibanding tubuhnya.
"Apa? Apa kau sudah meminta izin M'mselle terlebih dahulu?"
"Sudah Adam, aku yang meminta Marc membawanya masuk," jawab Naeva yang baru muncul dari luar.
Naeva tahu, luka separah itu harusnya ditangani dokter dari kota, tapi ia tak punya uang untuk memanggil seorang dokter.
"Baik M'mselle," jawab Adam.
Lelaki tua itu langsung tergopoh-gopoh ke ruang belakang. "Emma! Cepat bersiap! Kita akan memanggilkan tabib!" teriak Adam sembari mencari istrinya di dapur.
Sementara Anne cepat-cepat mengambilkan air hangat dan alkohol.
Naeva terdiam sejenak, menatap getir ke empat orang yang sangat disayanginya itu sibuk melakukan perintahnya.
"Ya Tuhan ...." Naeva mendesah sedih.
Ia sungguh tak ingin berpisah dari mereka, orang-orang yang telah menemaninya sejak kecil.
Setelah ibunya meninggal, ayahnya benar-benar terpuruk dan menghabiskan setiap detik hidupnya di meja judi. Keluarga pelayannya lah yang selalu setia menemaninya. Padahal semakin lama gaji mereka semakin berkurang karena semua harta simpanan nyaris dihabiskan ayahnya untuk berjudi, tapi keluarga Adam Pomeroy tak pernah mengeluh.
Naeva segera mengusap matanya yang mulai berembun. Kalau sampai Emma melihatnya, wanita tua yang berhati lembut itu pasti akan ikut menangis.
Setidaknya ia bisa bernafas lega malam ini. Walau hatinya tetap mencemaskan esok hari, jika calon pemiliknya benar-benar datang.
"Ada apa, M'mselle?" tanya Marc yang melihat wajah khawatir Naeva.
"Ah, tidak apa-apa," jawab gadis itu sembari bergegas menghampiri Anne yang membawa ember besar berisi air hangat.
"Biar aku yang bawa dan bersihkan lukanya." Tangan Naeva menggapai embernya.
"Tapi, ini berat, M'mselle?" tolak Anne tak tega.
"Tak apa, aku bisa."
Naeva segera membasahi selembar kain, dan memeras airnya. Namun begitu tangannya terulur ke arah wajah berdarah itu, gerakannya terhenti.
Mengerikan. Sepertinya darah itu keluar dari kepala.
Tenggorokan Naeva serasa tercekat melihatnya.
Perlahan tangannya membasuh wajah itu. Hingga sedikit demi sedikit, warna kulitnya mulai terlihat. Kulit yang sangat halus dan terawat untuk seorang pria.
Setelah berusaha keras, akhirnya wajah laki-laki itu telah bersih seluruhnya.
Diterangi nyala lilin yang berkelok-kelok dibelai angin, Naeva memperhatikan wajah itu sejenak. Tampan ... sangat tampan. Itulah kata pertama yang terpikir oleh Naeva.
Namun kemudian, raut kagum Naeva tiba-tiba berubah kaget. Ia benar-benar terperanjat. Sampai tubuhnya terlonjak berdiri.
Wajahnya seketika memucat dengan mata menatap ketakutan pada pria yang masih terbujur pingsan di hadapannya.
Wajah itu ... ia sangat mengenalnya!!
Bagaimana tidak? Setengah jam yang lalu ia baru saja menatap wajah itu dalam selembar foto hitam putih tanpa henti.
Ya, dialah Comte Abellard Marseille. Pemilik Naeva de Gaulle saat ini!
Naeva menutup mulutnya yang spontan terbuka lebar.
Bagaimana bisa ia menolong orang yang ternyata ingin dihindarinya sampai mati?
"Ada apa, M'mselle?" tanya Marc seraya menghampiri dengan wajah khawatir. "Kalau anda takut, biar saya yang membersihkannya."
"Di-dia, Marc!" jawab Naeva terbata.
"Dia kenapa, M'mselle?"
"Dia ... ternyata dia ... laki-laki yang telah membeli ku!"
"Maksud anda?" Marc menatap tak percaya.
Laki-laki yang dibopong nya tadi adalah orang yang akan membawa nona-nya pergi?
"Dia orang yang telah memenangkan taruhan dengan ayahku, Marc."
Keduanya terdiam membeku. Kenapa takdir membuat mereka membawa masuk orang ini? Padahal sebelumnya mereka sangat ingin menutup gerbang untuk pria ini.
Anne yang sempat mendengar penuturan Naeva bahkan sampai menjatuhkan kain bersih dari tangannya dengan raut terkejut.
"Bagaimana ini, M'mselle? Kenapa kita malah menolong orang ini? Ya Tuhan ... Apa yang akan terjadi setelah Tuan ini sadarkan diri? Apa dia akan langsung membawa M'mselle-kami pergi?" racau Anne setengah meratap. Gadis itu mengibas-ngibaskan tangannya dengan raut panik.
"Aku akan melemparkannya kembali keluar!" ujar Marc sembari menyingsingkan lengan bajunya sampai ke siku.
Namun baru saja ia hendak mengangkat tubuh pria itu. Suara Adam, ayahnya, terdengar dari pintu masuk.
"Saya sudah membawakan tabibnya, M'mselle!" seru Adam dengan berjalan tergopoh-gopoh.
Di belakangnya ikut Emma beserta seorang laki-laki paruh baya yang membawa sebuah tas kulit berukuran lebar.
Marc langsung melepaskan tangannya dari tubuh pria itu. Matanya kemudian melirik Naeva yang berdiri kaku dengan wajah tegang.
"Cepatlah Tabib! Tolong orang ini!" pinta Emma tak sabar.
"Ya, saya akan memeriksanya terlebih dahulu," jawab Tabib. "Mademoiselle, boleh saya ditinggal bersama pasien sebentar?"
Naeva menoleh kaget, lalu mengangguk ragu.
"Ah, i-iya." Kakinya mundur perlahan untuk memberi ruang.
**
"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" desah Naeva sembari mondar-mandir gelisah.
Tangan kiri terlipat di depan dada, sementara yang kanan digigiti kukunya.
"Saya akan menyuruh tabibnya pergi sekarang, kalau anda mengizinkan," jawab Marc yakin, ia tak bisa melihat nona-nya ketakutan seperti itu.
"Tidak, tidak. Itu akan memancing kecurigaan Tabib, dia bahkan bisa berpikir kalau kita yang menyebabkan laki-laki itu celaka," tolak Naeva.
"Sebenarnya ada apa?" tanya Adam dan Emma hampir bersamaan. Mereka tak mengerti kenapa keberadaan sang tabib yang susah payah mereka cari sekarang malah ingin disuruh keluar?
"Père, Mère, (ayah, ibu) laki-laki yang terluka itu ternyata adalah orang yang akan menjemput M'mselle pergi!" jelas Marc pada kedua orangtuanya.
"Oh, mon Dieu! (ya Tuhan)" kaget Emma sembari menutup mulutnya.
"Ini ... takdir yang aneh. Kenapa kita dibiarkan menjemput orang yang ingin kita jauhi?" desah Adam dengan bahu kuyu.
Semuanya terdiam. Ruangan besar tempat mereka biasanya bercengkerama di malam hari sembari menunggu kantuk tiba, kini terasa senyap dan membeku dalam ketegangan. Sementara lilin putih di atas meja bundar itu terus meleleh sedikit demi sedikit dibakar api.
"Mademoiselle! Mademoiselle!"
Panggilan panik Anne membuat semuanya menoleh kaget.
Emma sampai terlonjak dan mendekap dadanya.
"Ma Fille! (anakku, untuk anak perempuan) Tak bisakah kau menjaga jantung ibumu sekali saja?! Selalu berteriak panik dan membuat orang terkejut!" tegur Emma kesal.
"Pardon, Mère (maaf, Ibu). Tabib telah selesai memeriksa laki-laki itu. Dia akan segera sadar!" jawab Anne sama sekali tak meredam kepanikannya.
"Tak apa. Saya akan membawa laki-laki itu pergi jauh dari sini setelah Tabib itu pulang!" ujar Marc berusaha menenangkan semua orang, terutama nona-nya.
Semua terdiam. Tak ada yang menjawab setuju, namun tak ada pula yang melarangnya. Mereka tenggelam dalam ketegangan.
Kemudian Naeva melangkah lebih dulu ke arah ruangan yang berada di bagian kiri kastil, di mana pria itu diobati. Pria yang diberitahu almarhum ayahnya bernama Abellard.
Abellard Marseille. Pewaris tunggal dari bangsawan paling ternama di wilayah Marseille. Bangsawan yang memiliki pabrik sutra terbesar di Eropa.
"Tuan ini akan sadar sebentar lagi. Saya juga sudah mengeluarkan pelurunya," jelas sang Tabib.
"Peluru? Apa orang ini tertembak di kepala?" tanya Naeva, mengingat banyaknya darah yang keluar dari kepala.
"Tidak. Tuan ini tertembak di bahunya Kepalanya berdarah bukan karena tembakan peluru. Tapi terkena sabetan senjata tajam. Di bagian belakang kepala ada lebam besar, sepertinya baru terbentur dengan keras. Namun tak ada retakan di tempurung kepalanya."
Naeva menghela nafasnya. Ia lega, tak ada nyawa yang perlu melayang secara tragis di dalam kastilnya. Tapi hatinya juga risau memikirkan apa yang akan terjadi setelah ini.
Membayangkan Marc membawa laki-laki ini keluar dalam keadaan belum pulih, sementara masih ada ancaman bahaya dari orang-orang yang sedang memburunya, membuat jiwa kemanusiaan Naeva merasa tak tega.
"Merci, Monsieur (terimakasih, Tuan)." Naeva mengucapkan terimakasih sembari menganggukkan kepalanya.
"De rien, (sama-sama) Mademoiselle. Sebaiknya anda melaporkan kasus ini. Karena Tuan sepertinya baru mengalami penganiayaan yang brutal," saran Tabib sembari menjinjing tas kulitnya.
"Baik," jawab Naeva.
Sepuluh menit telah berlalu setelah Tabib pergi.
Kelima penghuni kastil tua di tepi hutan itu berdiri mengelilingi satu sosok tubuh yang masih terbaring dengan mata terpejam.
Semua tenggelam dalam pikiran masing-masing yang bergumul dalam kecemasan.
"Saya akan membawa laki-laki ini sekarang. Kita tak bisa membiarkan pria ini tersadar di sini!" Raut Marc terlihat tak sabar.
Namun Marc tak mungkin bertindak sebelum ada lampu hijau dari Naeva. Tapi gadis cantik berwajah Maroko bercampur Perancis itu masih bergeming sembari menggigit ujung kukunya.
Tiba-tiba jari telunjuk Abellard bergerak. Begitu pun dengan kelopak matanya.
Oh, tidak!
Semua melihatnya. Semua membeku dalam waktu yang sama. Was-was menatap kelopak mata yang mereka takutkan akan terbuka.
"Saya harus membawanya pergi, M'mselle! Saya tak bisa membiarkan orang ini melihat anda!" seru Marc seraya menghampiri Abellard.
Namun, begitu tangan Marc terulur, mata itu pun terbuka!
Sedikit demi sedikit Naeva bisa melihat netra biru tua yang begitu memikat.
Setelah terbuka sempurna. Mata itu mulai menjelajah ke sekeliling. Menatap satu persatu orang yang mengelilinginya.
Dengan gerakan cepat, Marc bergeser dan berdiri tepat di hadapan Naeva untuk menutupi sang Nona dari pandangan Abellard.
"Maaf, M'mselle," bisiknya.
Perlahan kening Abellard mengernyit bingung.
"Kalian siapa?" tanya pria itu kemudian. Suaranya tebal dan gentle.
"Kami orang yang telah menolong anda dari kejaran sekelompok orang yang ingin membunuh Anda," jawab Marc.
"Membunuh?"
"Ya. Sekarang anda bisa pulang ke tempat tinggal anda sendiri. Saya bisa mengantarkan. Dengan syarat anda harus menutup mata, karena kami tak ingin anda kembali kemari dan membawa masalah untuk kami," ujar Marc. Ia tak ingin Abellard sadar sedang berada di kastil yang memang menjadi tujuannya.
Abellard terdiam dalam waktu yang lama. Hingga Marc kembali mengajaknya.
"Mari Monsieur (Tuan), saya akan mengantarkan anda!"
"Tapi ... saya tak tahu kemana harus pulang. Saya tidak ingat apa-apa."
"Maksud anda?"
"Entahlah, saya benar-benar tidak ingat apapun."
Marc terdiam.
Dari belakang tubuh tegap Marc, muncul wajah cantik Naeva. Gadis itu menatap was-was pria yang sedang berusaha untuk bangkit dari tidurnya dan duduk di tepi dipan kayu itu.
"Anda tak ingat siapa anda sebenarnya?" Naeva bertanya dengan nada hati-hati.
Abellard mengernyit sembari memegang kepalanya yang telah terbalut perban. Ia merasa pusing saat kepalanya tiba-tiba berdenyut nyeri.
Matanya kemudian bergerak ke arah orang yang barusan bertanya. Netra biru tuanya bertemu dengan netra coklat terang milik Naeva.
Abellard terpaku sesaat.
"Tidak. Saya tidak mengingatnya," jawabnya kemudian.
Mata indah Naeva seketika membulat mendengar jawaban Abellard. Wajah cantiknya tampak sedang memikirkan sesuatu.
Menit kemudian, kedua sudut bibirnya tertarik ke atas membentuk sebuah senyuman.
Dengan mata berbinar, ia menghampiri laki-laki yang telah kehilangan ingatannya itu.
"Kamu adalah Richard. Satu-satunya sepupuku!" serunya penuh semangat.
Bab 3
"Apa anda yakin, M'mselle? Anda mengatakan bahwa dia adalah sepupu anda. Itu berarti dia masih akan tinggal di sini?" tanya Emma setelah mereka meninggalkan Abellard untuk beristirahat.
"Ya, Emma. Sejujurnya, aku tak tega membiarkan laki-laki itu pergi keluar dengan keadaan sakit seperti itu. Orang-orang yang sedang memburunya pasti masih tak jauh dari sini, laki-laki itu bisa dengan mudah ditemukan dan dibunuh. Kalau kita membiarkannya mati setelah pergi, buat apa kita repot-repot menyelamatkannya tadi?"
Jawaban Naeva membuat Emma mengangguk-angguk. Ia tahu betul karakter gadis belia yang telah tumbuh bersamanya sejak kecil itu. Tak pernah ragu untuk membantu.
"Tapi M'mselle, laki-laki itu adalah seorang Comte (Bangsawan yang kedudukannya setingkat dengan Earl/Pangeran), Comte dari Marseille. Keluarganya yang hebat pasti akan mencari ke setiap daerah," Adam memperingatkan dengan nada bijak.
"Aku tau, Adam," lirih Naeva. "Itu pasti akan terjadi."
Tatapan Naeva kemudian beralih pada Marc.
"Marc, esok pagi temani aku ke pasar. Aku akan membeli beberapa pakaian untuknya. Bajumu sepertinya tak akan muat jika kita pinjamkan untuknya."
"Baik, M'mselle," jawab Marc tanpa bantahan. Selalu dan akan selalu, keputusan nona-nya adalah keputusan yang tepat menurutnya.
"Seharusnya, kalian sudah pergi hari ini. Kastil ini bukan lagi milik kita. Dan aku juga sudah tak sanggup menggaji kalian. Entah apa yang akan terjadi setelah malam ini. Tapi, aku akan bertahan di kastil ini sampai takdir menentukan," lirih Naeva. Kemudian bibirnya memaksakan sebuah senyuman, walau matanya tak bisa menutupi kesedihannya. "Aku tak mengapa, jika kalian ingin pergi. Kalian juga harus mencari kehidupan yang lebih baik."
"M'mselle! Tolong jangan berkata seperti itu," sela Emma dengan mata yang berkaca-kaca. "Kami tak akan meninggalkan anda. Tak akan pernah! Kami akan menanti apa yang akan ditakdirkan Tuhan bersama anda!"
"Ya, jangan pikirkan tentang uang. Kami akan bekerja di kebun untuk memenuhi kebutuhan kita," timpal Marc.
Naeva menggigit bibir bawahnya, hatinya benar-benar perih dan nelangsa. Ia menengadah, menatap langit-langit kastil tuanya agar air mata yang telah menggenang tak luruh di pipi.
Kisah seperti apa yang akan ditakdirkan Tuhan untuknya setelah ini?
***
Subuh menjelang. Naeva menunaikan ibadah sucinya yang berbeda dari orang lain di seantero jagad Perancis itu. Ibadah yang ia dapatkan dari ibunya yang berasal dari negara muslim, Maroko.
Almarhumah ibunya adalah salah seorang tawanan dari bangsa jajahan Perancis. Ia dibawa paksa untuk menjadi budak di Negara penjajah nya.
Namun ternyata, kecantikannya membuat seorang pemuda dari kalangan bangsawan jatuh cinta dan menikahinya. Karena itu, sang bangsawan didepak dari keluarga besar yang tentu saja menentang pernikahan dengan budak.
Bangsawan muda yang tak lain adalah ayah Naeva itu hanya mendapatkan sebuah kastil tua dan beberapa aset pribadi milik neneknya.
Wajah Naeva menoleh ke kanan dan ke kiri sembari mengucapkan salam.
Namun matanya seketika membesar saat melihat ke arah pintu.
Abellard berdiri di sana dengan raut bingung.
"Apa yang kau lakukan disini?!" gusar Naeva.
Ya Tuhan, kenapa seorang bangsawan ternama bisa masuk ke kamar orang lain seenak jidat?
Mungkinkah dulu laki-laki ini sering menyalahgunakan kekuasaannya untuk masuk ke kamar wanita manapun yang dia inginkan?
Naeva baru menyadari, walaupun Abellard hilang ingatan, tapi kebiasaan hidupnya tetap terbawa.
Gadis itu segera melipat kain putih yang baru dipakainya untuk menutup aurat saat mengerjakan shalat.
Lalu berdiri tegak dengan mata menatap tajam. Naeva merasa pria dewasa di hadapannya itu harus diajari tata krama!
"Apa yang kau lakukan?" tanya Abellard sebelum Naeva sempat menegur.
"Ini ibadahku!" ketusnya. "Kenapa kau masuk sembarangan ke kamar wanita tanpa izin dan ketuk pintu terlebih dahulu?!"
"Apa memang seharusnya minta izin dahulu?"
Naeva mendengus. Ternyata memang benar dugaannya. Pria ini pasti sudah sering masuk sesuka hati ke dalam kamar wanita.
"Ya, kau tak bisa masuk sembarangan ke kamar orang lain apapun alasannya! Jika kau memang orang beradab."
Abellard terdiam. Seperti sedang mencerna kata-kata pedas yang dilontarkan Naeva. Setelah beberapa saat, kakinya perlahan melangkah mundur dan menutup pintu kamar Naeva kembali tanpa berkata apa-apa.
Kini giliran Naeva yang terpaku. Ia bingung melihat ekspresi Abellard yang datar. Mungkinkah laki-laki itu kini menjadi linglung?
Saat sarapan tiba, Naeva sengaja memperhatikan gerak-gerik Abellard. Begitu pun dengan Marc, Anne, Adam dan Emma yang ikut sarapan di meja yang sama.
"Apa tak ada pisau dan garpu?" tanya Abellard, tanpa merasa canggung ditatap orang-orang di sekelilingnya.
"Tidak. Kita semua makan memakai tangan kosong. Apa kau lupa?" Naeva langsung memperagakan caranya makan dengan tangan.
Tampak Abellard melihat gadis itu makan dengan tatapan jijik. Tapi ia tak punya pilihan lain. Sepertinya memang tidak ada pisau dan garpu. Mungkin ia juga lupa, bahwa dulu dirinya pun makan langsung dengan tangan.
Perlahan tangan kanannya terjulur ke arah makanan dan menyuapnya dengan perasaan tak menentu.
***
"Hua ha ha!" Naeva tergelak di atas kereta kuda yang di bawa Marc menuju pasar.
Ia teringat dengan raut jijik Abellard saat makan dengan tangan.
"Apa kau tak merasa geli, Marc? Seorang bangsawan pemilik pabrik sutra terbesar di Eropa makan tanpa pisau dan garpu nya? Orangtuanya pasti akan syok jika melihat pewarisnya makan seperti budak!" serunya di sela tawa.
Marc tersenyum simpul melihat tingkah nona-nya. Benar-benar menggemaskan.
Naeva mengusap air mata yang keluar di ujung matanya setelah puas tertawa.
"Nanti, kita akan membelikannya pakaian biasa Marc. Bukannya jahat, tapi dia harus kita ajarkan untuk tak mementingkan harta dan kasta," ujarnya penuh semangat.
"Baik, M'mselle," jawab Marc.
**
Naeva menatap kantung yang telah berisi beberapa potong baju di tangan Marc dengan tatapan puas.
"Kita pulang sekarang, M'mselle?"
"Tunggu dulu, aku akan memilihkan baju untukmu juga."
Tatapan Naeva tertuju pada satu setel pakaian yang terlihat paling bagus di toko itu. "Kemari lah, Marc! Coba baju ini!" panggilnya.
"Tapi, M'mselle ... sebaiknya anda jangan boros untuk hal yang tidak penting," tegur Marc ragu, karena ini pertama kalinya ia menegur nona-nya.
"Bagiku ini penting. Aku tak tahu entah sampai kapan aku masih bisa melihatmu. Jadi selagi kau masih di sini, aku ingin merasa bahagia dengan memberikanmu hadiah."
Marc terpaku. Matanya menatap sang Nona dengan hati yang terasa penuh. Penuh dengan rasa terharu, bahagia dan ... entahlah.
Marc tak berani terbawa perasaan. Ia tak berani lancang mencintai gadis baik hati yang telah menganggap dirinya dan keluarganya saudara, bukan pelayan.
Perlahan kakinya menghampiri Naeva yang telah merentangkan baju itu dengan senyuman lebar ke hadapannya.
"Ini bagus sekali. Aku yakin sangat pas untuk ukuran mu."
Marc hanya bisa diam tak berkutik. Ia membiarkan saja Naeva mencocokkan baju itu di pundaknya. Namun hatinya begitu takut, debar jantungnya akan terdengar oleh sang Nona.
Selesai belanja, Naeva keluar dari toko itu diikuti Marc di belakangnya.
BUK!!
"Aw!" kaget Naeva sembari memegang lengan kanannya yang membentur sesuatu.
Seseorang tiba-tiba lewat dengan tergesa dan menabraknya.
"M'mselle! Anda tidak apa-apa?" sigap Marc menghampiri nona-nya.
"Kenapa berjalan sembarangan?!!" bentak seorang laki-laki muda berseragam prajurit yang menubruk Naeva.
"Anda yang menabrak saya!" bantah Naeva kesal. Jelas-jelas laki-laki itu yang tergesa dan sembarangan.
"Sudah, sudah! Kita harus menemukan Monsieur Comte Abellard sekarang!"
Seorang prajurit lain datang melerai perdebatan kecil itu.
Naeva dan Marc seketika terpaku.
Tuan Abellard?
Benar seperti yang dikatakan Adam. Laki-laki itu sudah mulai dicari. Naeva tak mengira akan secepat ini. Karena jarak antara Marseille dengan desanya harus ditempuh dua hari dua malam lamanya.
Tentu keluarga Abellard yang hebat itu akan menggunakan jasa prajurit yang bertugas menarik upeti di daerah sini.
"Coba kau ambil sketsa wajah Monsieur Comte, mungkin mereka pernah melihatnya," ujar prajurit yang melerai, pada temannya.
Naeva segera memberikan kode untuk mengajak Marc pergi. Keduanya langsung berbalik dan buru-buru menjauh.
"Hey! Tunggu dulu!" panggil sang Prajurit.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!