“Kang Jaka, apa aku boleh ikut ke Jakarta?” tanya Dara sambil berurai air mata saat dirinya mendatangi tetangganya yang kebetulan bekerja di Jakarta dan sedang pulang ke kampung halamannya.
“Ya ampun, itu pipi kamu kenapa? Apa Yoga melakukannya lagi?” tanya Jaka saat melihat pipi Dara yang memar dan membiru.
“Hem, seperti biasalah,” jawab Dara lesu.
Sungguh semua orang di sekitar rumah Dara tahu bagaimana Yoga, kakak lelaki satu-satunya Dara termasuk kedua orang tuanya tak segan memukul bahkan menyiksa Dara jika gadis yang merupakan tulang punggung bagi keluarganya yang semuanya pemalas itu.
Yoga, kakak laki-lakinya yang seangkatan dengan Jaka, di usianya yang sudah menginjak 25 tahun itu masih betah menganggur dan mengandalkan uang pemberian dari adik perempuannya yang sekolah sambil mencari uang untuk makan seluruh keluarganya.
Sementara ayahnya yang hanya bekerja serabutan di ladang itu tak pernah memberi uang pada ibunya karena semua uang hasil kerjanya dipakai untuk bermain perempuan.
Begitu pun dengan Tuti, sang ibu yang setiap hari hanya membicarakan masalah uang, uang, dan uang saja, tak ada yang lain.
“Apa orang tuamu akan mengizinkan jika kamu ikut aku ke Jakarta untuk bekerja?” Tatapan Jaka begitu miris melihat nasib tragis yang di alami tetangga rumahnya itu, dulu saat dirinya masih tinggal di desa dirinya sering menjadi saksi kebiadaban keluarga itu memperlakukan Dara.
“Ayolah, Kang. Mereka pasti akan mengizinkan, karena yang penting bagi mereka adalah uang, asal aku menjanjikan akan memberi mereka uang yang banyak , mereka pasti akan mengizinkan.”
Tatapan Dara begitu mengiba, membuat Jaka tak tega untuk menolaknya.
Benar saja setelah Dara menjanjikan akan memberi uang lebih banyak pada keluarganya, tanpa pertanyaan apa pun, Dara diizinkan untuk ikut tetangganya itu bekerja di kota sebagai buruh pabrik, kebetulan memang Jaka memberi tahu dirinya kalau sedang ada lowongan pekerjaan untuk buruh bagian produksi atau buruh kasar di pabrik tempatnya bekerja, dan dengan senang hati Dara langsung tertarik untuk ikut bekerja di sana.
**
Seminggu sudah Dara bekerja di pabrik makanan ringan terkenal itu, meski hanya bekerja sebagai buruh rendahan dengan penghasilan yang pas-pasan, Dara sangat semangat dalam bekerja. Beruntungnya pabrik itu juga menyediakan mes untuk para buruhnya, sehingga Dara tak perlu memikirkan biaya kost, meskipun untuk para buruh yang menginginkan untuk ngekost sendiri, ya tentu saja di perbolehkan. Mes disediakan hanya untuk yang memerlukannya saja seperti halnya Dara yang memang tak mempunyai bekal apa-apa saat berangkat ke ibu kota, bahkan untuk sekedar ongkos pun Jaka yang membayarnya.
Mengingat penghasilannya yang pasti akan sangat kurang jika dipakai untuk biaya kehidupannya di kota dan untuk mengirim keluarganya di kampung, Dara memutuskan untuk ikut kerja lembur di mana upah yang dibayarkan akan dihitung per jam, jadi bisa untuk menambahpemasukannya.
Malam itu sekitar pukul setengah delapan malam, Dara baru selesai lembur, hari itu memang agak sepi, hanya sekitar kurang dari 20 orang yang bekerja lembur seperti dirinya, sehingga saat melewati lorong menuju pintu keluar terasa sangat mengerikan, karena sebagian lampu sudah dimatikan, karena merasa tak berani lewat lorong yang biasa para pekerja lewati, akhirnya Dara memutuskan untuk berputar lewat pintu kantor utama yang masih terlihat terang, pintu kantor utama memang bukan diperuntukan bagi para buruh rendahan seperti dirinya, itu akses khusus para pejabat-pejabat tinggi perusahaan, tapi bukankah di jam segini mereka pasti sudah berleha-leha di rumah mereka masing-masing dan berkumpul bersama keluarga tercinta sembari menyantap makan malam mewah, tak seperti dirinya yang masih harus kerja lembur demi agar esok tetap bisa makan.
“Aduh!” Dara meringis saat seseorang menabrak bahunya sampai dia terjatuh bersimpuh di lantai.
“Akh, maaf. Aku terburu-buru, apa Anda baik-baik saja?” Seorang pria mengulurkan tangannya seraya menawarkan bantuan agar Dara bisa bertopang pada tangannya untuk berdiri.
“Saya baik-baik saja, maaf saya juga sedikit melamun tadi.” Dara meraih tangan kokoh yang terulur di hadapannya sebagai tumpuan untuk berdiri.
Namun saat Dara mengangkat wajahnya dan pandangan mata mereka beradu, tiba-tiba pria itu melepaskan genggaman tangan Dara yang sedang bertumpu padanya untuk berdiri, sontak saja Dara jatuh tersungkur untuk ke dua kalinya.
“Auwh!” pekik Dara kesakitan karena bagian belakang tubuhnya terantuk dengan lantai cukup keras.
“Ka-kamu?!” cicit pria tampan berperawakan tegap itu memucat sambil terus memandangi wajah Dara bak sedang melihat setan.
“Ishh, sakit sekali rasanya, kenapa Anda melepaskan tangan saya?” Dara terlihat sedikit kesal, karena bukannya membantunya untuk berdiri, pria itu malah mematung solah menonton dirinya yang jatuh ke lantai untuk ke dua kalinya karena perbuatan dirinya itu.
“S-siapa nama kamu?” tanya pria itu tak memedulikan omelan Dara yang ditujukan padanya.
Ditanya seperti itu Dara malah melengos dan meninggalkan pria yang menurutnya sangat arogan itu tanpa sepatah kata pun. Alih-alih menanyakan keadaan atau menolongnya, pria itu malah bertanya nama, padahal mereka baru saja bertemu kali ini. Hal itu membuat Dara mengambil sikap untuk segera pergi meninggalkan pria yang menurutnya ingin menggoda dirinya itu, dia juga takut terjadi sesuatu jika pria itu macam-macam padanya, sementara keadaan pabrik sudah sangat sepi saat ini.
“Hei, tunggu! Siapa namamu?!” teriak pria itu lagi sambil berusaha mengejar Dara yang semakin mempercepat langkah kakinya meskipun terpincang-pincang akibat menahan rasa sakit di panggulnya.
“Dara!” panggil Jaka yang kebetulan malam itu melintas di depan gerbang pabrik selepas dia mencari makanan untuk makan malamnya.
“Kang Jaka!” Wajah Dara langsung terlihat lega saat motor Jaka berhenti tepat di depan gerbang pabrik.
“Kenapa jalanmu seperti itu?” Jaka heran melihat Dara yang terpincang.
“Ah, ceritanya panjang, tadi ada pria mesum yang ingin menggodaku, untung aku bisa melarikan diri darinya,” adu Dara menceritakan apa yang baru saja dialaminya.
“Pria mesum?” Jaka mengernyit. “Ayolah naik, aku antar kamu pulang!" Ajak Jaka sambil sesekali matanya menyapu sekeliling pabrik mencari tahu pria mesum mana yang Dara maksud, tak mungkin kalau itu Pak Tono sekuriti pabrik yang sudah berumur dan selama ini dia tak pernah kurang ajar pada pekerja wanita mana pun.
Sementara di lobi dekat pintu keluar pabrik, pria tadi sedang menelepon seseorang.
“Panji, kau selidiki siapa wanita yang barusan bertubrukan denganku di lorong kantor, kau cek cctv dan info lengkap tentang wanita itu harus sudah ada besok pagi di mejaku saat aku masuk kantor!” titahnya tanpa menerima bantahan sedikit pun.
**
Benar saja, keesokan harinya saat pria yang ternyata pemilik pabrik itu datang ke ruangannya, beberapa lembar kertas telah tertumpuk rapi di meja kerjanya.
Senyuman pria bernama Bagas Prawira itu langsung merekah saat data-data yang semalam dia minta pada asisten pribadinya yang bernama Panji itu sudah lengkap di hadapannya. Panji memang selalu bisa diandalkan dalam mengerjakan pekerjaan apa pun, pujinya dalam hati.
“Panji, datang ke ruanganku!” perintah Bagas lewat saluran telepon di mejanya.
“Ya, Bos. Apa ada yang kurang, data yang saya berikan?” tanya Panji saat bosnya itu tak memalingkan pandangannya sedetik pun pada lembaran-lembaran kertas di tangannya.
“Tidak, ini sudah cukup. Kerjamu memuaskan seperti biasanya, tugasmu sekarang angkat pegawai bernama Dara Jelita ini ke bagian staf pemasaran.” Bagas tersenyum miring saat memikirkan rencana yang akan di lancarkannya untuk Dara.
“Bagian pemasaran? Ta-tapi bos!”
“Pindahkan dia di bagian pemasaran atau aku angkat dia menjadi asisten pribadiku dan kau pindah ke bagian produksi menggantikan posisinya!” bentak Bagas, karena merasa Panji menentang keinginannya.
“S-sekarang, Bos?” Tanya Panji lagi.
“Detik ini juga!” pekiknya membuat Panji langsung kabur keluar ruangan bos galak dan arogannya itu.
Dara merasa takut sekaligus gugup saat manajer bagian produksi memanggilnya dan menyuruhnya untuk menemui asisten direktur di ruang kepala pemasaran. Dara sungguh tak tahu kesalahan apa yang telah di perbuatnya sampai yang memanggilnya langsung asisten dirut perusahaan.
“Nona Ka—ah, Dara Jelita?” sapa Panji mempersilakan Dara untuk masuk ke ruangan Ester, kepala pemasaran, sama halnya dengan Bagas, Panji juga terlihat kaget melihat wajah Dara, memang dia melihat foto dara di dokumen yang dia kumpulkan semalam, namun wajah asli Dara mengingatkan dia pada seseorang.
“Iya, saya Dara Jelita, Pak.” Jawab Dara terdengar agak gugup.
“Jadi, atas permintaan langsung dari Bos Besar, Anda diminta untuk pindah ke bagian pemasaran, nanti Ester yang akan membimbing secara langsung pekerjaan yang akan kamu lakukan, sementara dari saya seperti itu saja cukup, untuk lebih lanjutnya jika ada yang ingin ditanyakan, silakan dibicarakan langsung dengan Ester yang akan menjadi atasanmu sekarang.” urai Panji panjang lebar.
Dara sampai menganga tak percaya dengan apa yang dia dengar saat ini, mimpi apa dirinya semalam, tiba-tiba mendapatkan promosi sebagus ini, bahkan dirinya belum genap sebulan bekerja di perusahaan itu.
Pun begitu dengan Ester yang terkaget-kaget dengan apa yang disampaikan Panji padanya, tiba-tiba saja ada anak produksi rendahan pindah ke bagiannya, dan dirinya di minta untuk membimbingnya secara langsung, ‘Siapa sebenarnya wanita ini?’ tanya Ester dalam hati.
“Kau ada hubungan apa dengan Pak Bagas? Apa kau saudaranya, atau—” Ester menatap Dara dari ujung kepala sampai ujung kaki, hatinya berkata tak mungkin jika wanita ini ada hubungan dengan Bagas, bos besar yang selalu menjadi incarannya itu, sementara penampilan Dara saja jauh dari kata layak, dirinya yang selalu tampil modis saja tak pernah bisa menarik perhatian Bagas, apalagi Dara yang kucel dan kumal, batinnya.
“Emh, tidak. Saya tidak kenal siapa itu Pak Bagas.” Dara menggeleng.
Tak ingin ambil pusing dan merasa Dara bukan saingan yang sebanding dengan dirinya, Ester mengabaikan rasa penasaran yang bergejolak di hatinya, dan memilih untuk melaksanakan tugas yang sampaikan oleh Panji padanya, yaitu menempatkan Dara di staf bagian pemasaran.
“lho, kok kamu di sini?” tanya Jaka yang juga bekerja di bagian pemasaran, merasa kaget.
“Gak tahu, Kang. Aku dipindahtugaskan di sini katanya mulai hari ini,” jawab Dara dengan wajah yang masih terlihat bingung, entah harus senang atau sedih, atau bahkan merasa tak enak hati karena tiba-tiba saja dirinya yang dimasukan kerja oleh Jaka itu kini malah menjadi setaraf dengannya yang sudah sekitar 5 tahun bekerja di sana.
Untungnya Jaka tak ambil pusing dan justru ikut senang dengan rezeki yang diterima Dara itu, setidaknya gadis itu bisa memperbaiki taraf hidupnya menjadi lebih baik.
Belum ada 30 menit Dara bekerja di tempat barunya itu, para karyawan lain khususnya karyawan wanita di ruangan itu langsung heboh seketika saat ada kurir yang membawa satu buket bunga mawar merah atas nama Dara Jelita.
“Selamat bekerja di tempat baru, semoga selalu semangat. With love, Bagas.”
Tulisan di kartu yang di selipkan pada buket bunga itu membuat wajah Dara seketika menyala merah karena malu dan tak tahu harus berbuat apa, sementara dirinya saja tak tahu siapa Bagas itu.
“Maaf, Pak, sepertinya Anda salah orang, bukan Dara Jelita saya yang dimaksud, karena saya tidak mengenal si pengirim bunga ini,” tolak Dara hendak mengembalikan buket bunga itu, namun sang kurir keukeuh tak mau menerima kembali buket bunga itu karena merasa sudah mengantarnya pada tujuan yang benar.
Para karyawan langsung geger dan heboh dengan kejadian itu, membuat Dara merasa tak enak hati dan perlu mengklarifikasi masalah ini langsung dengan bos besarnya, karena dia tak merasa mengenal pria bernama Bagas yang tiba-tiba mempromosikan dirinya , lantas mengiriminya bunga. Bagi Dara, hal ini sudah berlebihan.
Saat istirahat makan siang tiba, Dara akhirnya memberanikan diri untuk menemui orang nomor satu di perusahaan itu, guna meluruskan masalah yang terjadi, apalagi gosip yang beredar di kalangan para karyawan kalau dirinya ada hubungan dengan bos yang sama sekali tidak di kenalnya itu.
“Masuk!” Seruan dari dalam ruangan mempersilahkan Dara yang mengetuk ruangan Bagas untuk masuk.
Baru dua langkah kakinya menginjakkan kaki di ruangan luas nan mewah itu, dirinya langsung membelalak saat ternyata direktur yang di maksud adalah pria yang dikiranya mesum dan membuatnya jatuh dua kali itu.
“Ada apa, Dara?” sambut Bagas seolah tahu akan kedatangan gadis buruannya itu.
“Maaf, apa Anda Pak Bagas ?” gugup Dara takut-takut.
“Hem,” Bagas hanya menjawabnya dengan dehaman seraya menganggukkan kepalanya.
“Kenapa Bapak mempromosikan saya ke bagian pemasaran, lantas Bapak juga mengirimi saya buket bunga ini?” Dara menyodorkan buket bunga mawar merah yang tadi dia terima.
“Kalau kamu tanya alasan kenapa aku melakukan semua itu, jawabannya karena aku menyukaimu, dan berharap kau mau menjadi kekasihku,” jawab Bagas dengan enteng dan cueknya.
Dara hanya bisa diam tergugu saat Bagas yang baru sekali ditemuinya itu tiba-tiba saja menyatakan cinta dengan santai dan cueknya.
“Maaf, Pak. Apa maksud Bapak? Tolong jangan permainkan saya, jika semua ini karena kejadian tadi malam yang secara tidak sengaja saya menabrak dan membentak Bapak, saya benar-benar minta maaf atas tindakan saya apabila memang itu telah menyinggung perasaan Bapak,” ucap Dara akhirnya memberanikan diri berbicara setelah beberapa saat terdiam, meski dengan raut ketakutan.
Sungguh Dara saat ini merasa sedang dipermainkan oleh bosnya itu, bos yang tiba-tiba mengaku suka padanya dan tanpa tedeng aling-aling langsung menyatakan cintanya tanpa angin, tanpa hujan. Sementara pertemuan mereka saja baru pernah terjadi semalam, itu pun tanpa sengaja dan hanya sepintas lalu, bagaimana bisa perasaan cinta itu datang begitu saja, omong kosong kalau sampai alasan Bagas mengatakan itu semua adalah karena dia merasakan cinta pada pandangan pertama, karena bagi Dara, bullshit yang namanya ‘love at fitst sight’ itu, karena sejatinya cinta tumbuh karena seiring waktu yang membentuk simpul keterikatan batin, bukan serta merta datang begitu saja di awal perjumpaan. Bahkan Dara yakin, semalam saat mereka bertemu, Bagas pasti tak tahu siapa namanya, seperti halnya dirinya yang tak tahu kalau orang yang bertubrukan dengannya itu adalah bos besarnya.
“Aku menyukaimu, aku ingin menjadikanmu istriku.”
What? Kegilaan apa lagi yang coba di sampaikan oleh bos anehnya itu, setelah menyatakan cintanya secara tiba-tiba lalu kini mengatakan ingin menikahinya pada perjumpaan mereka yang kedua kalinya ini?
“Maaf, Pak, jika kenaikan jabatan saya ini ada sangkut pautnya dengan keinginan Bapak untuk mempersunting, atau mempermainkan saya seperti ini, saya bersedia dikembalikan ke posisi saya semula di bagian produksi.” Tentu saja dengan kata lain ucapan Dara itu berarti sebuah penolakan secara halus yang disampaikan dirinya pada Bagas, bos gilanya itu.
“Tidak ada hubungannya antara kenaikan jabatan dengan lamaranku ini, karena sebagai apa pun posisimu di kantor ini, kau akan tetap menjadi milikku.” Bagas menyeringai penuh misteri, dirinya seakan sedang menunjukkan seberapa dominannya dia dan betapa keinginannya itu tak mungkin bisa terbantahkan.
“Sekali lagi maaf, Pak, saya memang berterima kasih karena Bapak mempromosikan saya, entah atas dasar apa pun itu, karena pada kenyataannya saya juga sangat membutuhkan pekerjaan ini, dengan senang hati saya terima dan saya akan berusaha sekuat tenaga saya agar bisa mengerjakan tugas baru saya ini, namun untuk masalah lamaran yang bapak sampaikan tadi, mohon maaf, saya tidak bisa menerimanya.”
Penolakan secara tegas dan terang-terangan itu pun akhirnya terpaksa Dara keluarkan dengan berat hati setelah beberapa menit dia tahan dan pertimbangkan untuk tak menyampaikannya dengan pertimbangan menghormati Bagas sebagai bos besar di perusahaan itu.
Mungkin akan banyak orang yang mengatainya bodoh karena telah menolak cinta dan lamaran dari sosok bagas yang tampan, gagah, mapan, dan digilai banyak wanita, namun meski pun Dara lahir dari keluarga serba kekurangan dan hidupnya selalu susah akibat tuntutan keluarganya yang menggantungkan semua kebutuhan seisi rumah di pundaknya, dia tak akan silau karena harta, baginya jika pun dirinya akan menikah kelak, itu harus dengan pria yang benar-benar dia sukai dan sama-sama saling cinta, bukan dengan pria yang baru bertemu sekali dan mengaku-ngaku kalau dirinya sudah merasakan cinta lalu langsung mengajaknya menikah, dasar sakit jiwa!
Sementara Bagas tersenyum miring di kursi kesayangannya menatap punggung Dara yang semakin menjauh keluar dari pintu ruang kerjanya.
“Cih, kucing jalanan kecil yang liar, merasa dirinya macan yang kuat. Tak ada yang bisa menentang keinginan seorang Bagas Prawira, dalam hitungan hari kau akan menjadi peliharaanku, Kucing Liar!” gumam Bagas dengan mata yang terus saja terpaku pada pintu ruangan yang masih terbuka bekas tadi dilewati Dara, bahkan bau cologne bayi masih tersisa samar-samar tertangkap indra penciuman Bagas di ruangan itu.
Tiga hari berlalu sejak lamarannya di tolak dengan tegas oleh Dara, si bos arogan itu hampir tak pernah terlihat batang hidungnya di kantor, Dara juga merasa lega karena akhirnya dia tak perlu bersusah payah menghindari bos absurdnya itu.
Namun saat istirahat makan siang, tiba-tiba ponselnya berbunyi, tak biasanya Tuti sang ibu meneleponnya di waktu jam kerja seperti ini.
“Ya, Mak, ada apa?” tanya Dara to the point.
Wajahnya seketika memucat dan matanya seketika berkaca-kaca setelah mengakhiri pembicaraannya di telepon.
“Ada apa?” Jaka yang kebetulan sedang bersamanya saat itu merasa sangat khawatir dengan keadaan Dara.
“Bapak sakit, Kang. Sekarang kondisinya kritis. Aku diminta untuk pulang.” Suara Dara terdengar gemetaran.
“Ayo tunggu apa lagi, cepat pulang. Biar nanti Bu Ester aku yang urus, kamu pulang sekarang juga,” titah Jaka.
Tanpa pikir panjang lagi, Dara langsung mengikuti saran Jaka untuk segera pulang ke kampung halamannya, seburuk apa pun Aceng, sang ayah memperlakukannya selama ini, Dara sangat menyayangi kedua orang tuanya dan juga kakak laki-lakinya, baginya dia tak pernah keberatan meski harus banting tulang mencari nafkah menggantikan tugas Aceng asalkan semua keluarganya bisa makan dan tak kelaparan.
Setelah menempuh perjalanan yang sangat panjang, sampailah dia di kampung halamannya, jantungnya berdetak semakin kencang tatkala dirinya turun dari ojek dan rumahnya sudah di pasangi tenda, bahkan banyak orang berkumpul di rumah sederhananya itu.
Pikiran buruk tentang kondisi ayahnya yang di kabarkan sang ibu sedang sakit parah pun seketika muncul di benaknya membuat air matanya jatuh bercucuran.
Setengah berlari meski kakinya terasa lemas dia berusaha melebarkan langkahnya agar lebih cepat sampai ke rumah dan mendapat kepastian tentang apa yang terjadi di sana.
“Akhirnya, mempelai wanita datang juga, cepat bersiap, penghulu sudah menunggumu dari tadi!” Tuti sang ibu yang sudah berpakaian rapi dengan kebaya baru yang terlihat sangat mahal, di tambah lagi bapak dan kakak laki-lakinya yang dengan gagahnya mengenakan jas yang tak kalah mahalnya membuat Dara seperti orang linglung, apa dirinya kini sedang bermimpi?
Dari mana keluarganya mendapatkan pakaian mewah dan mahal itu, lalu makanan prasmanan beraneka rupa yang tersaji di meja panjang ruang tengah rumahnya, ada apa ini sebenarnya, belum lagi tentang bapaknya, tentang berita sakitnya Aceng itu apa semua hanya berita bohong yang sengaja disampaikan ibunya hanya agar dirinya pulang ke kampung dengan segera.
Ada satu hal lagi yang membuat Dara sedari tadi tak nyaman, ibunya tadi memanggil dirinya dengan sebutan ‘mempelai wanita’ apa maksud semua ini?
Kepala Dara seakan mau pecah saat memikirkan semua itu, semua hal yang membuatnya tak mengerti dan seakan menjadi satu-satunya orang bodoh di sana karena tak mengetahui apa pun yang sedang terjadi sebenarnya.
Tuti tergopoh-gopoh menghampiri Dara yang masih mematung di antara keramaian hiruk pikuk orang-orang yang berlalu lalang di rumah sempitnya itu, pikirannya tiba-tiba membeku seketika tak dapat mencerna apa yang terjadi sebenarnya.
“Dara, kenapa masih berdiri di sana, cepatlah ke kamar, perias pengantin sudah menunggumu sejak berjam-jam yang lalu!” titah sang ibu yang seolah tanpa dosa dan dengan entengnya mengatakan semua itu.
“Mak, apa maksud dari semua ini?” lirih Dara dengan pandangan yang sayu, mengharap sebuah jawaban yang benar-benar dapat memuaskan dan menjawab semua rasa ke penasarannya.
Mendengar pertanyaan lirih putrinya, Tuti justru malah menarik paksa tangan Dara, sampai gadis itu terseok karena saking kencangnya Tuti menarik pergelangan tangan kanan Dara yang kurus kering itu. Mereka masuk ke dalam kamar pribadi Dara yang kini sudah berubah menjadi kamar yang penuh dengan seserahan berisi barang-barang mewah yang di hias beraneka rupa.
Barang-barang mahal dan bermerek itu seakan memenuhi setengah dari luas kamarnya yang tidak seberapa luas itu. Kamar berukuran 3x3 meter itu pun harus terasa semakin sempit karena seorang MUA menggelar alat make up miliknya di sebuah meja kayu yang Dara sangat ingat kalau itu berasal dari tuang tamu rumahnya.
“Ah, sudah datang rupanya mempelai wanitanya, mari kita mulai merias.” Seorang pria kemayu menghampiri Dara yang terlihat ketakutan dan risi karena pria itu memegang-megang bahunya dengan leluasanya.
“Mbak Cellin bisa keluar sebentar, saya mau bicara dengan putri saya sebentar,” pinta Tuti pada pria kemayu yang dia panggil dengan nama Cellin itu.
Dengan sedikit kesal pria itu keluar dari kamar, dia sedikit bete akibat menunggu berjam-jam lamanya, dan setelah yang dinantikan tiba, dirinya malah di suruh untuk keluar.
“Kau lihat semua ini, dan lihat ini, kita dapat rezeki besar!” pekik Tuti menunjuk barang seserahan, lalu menyingkap lengan baju kebaya panjangnya memperlihatkan gelang emas dan cincin yang sangat berkilauan.
“Apa maksud semua ini, Mak? Rezeki apa? Lantas apa hubungannya dengan aku yang harus menjadi pengantin, apa Emak menjualku?” Dara memicingkan matanya, merasa curiga dengan ibunya.
“Bocah kurang ajar! Berani-beraninya menuduh ibumu sendiri yang tidak-tidak, aku hanya ingin memberimu kebahagiaan, dan juga kebahagiaan untuk keluarga kita, ratusan tahun kau bekerja juga kau tak akan mungkin memberikan ini semua padaku, lagi pula pria yang akan menikahimu itu bukan pria sembarangan, dia tampan, kaya dan sepertinya sangat tergila-gila padamu.”
“Ta-tapi siapa dia, Mak?” Otak Dara tak bisa berpikir apa pun, tak ada bayangan juga tentang siapa yang akan tiba-tiba menjadi calon suaminya itu.
“Aku, aku yang akan menjadi suamimu, cepat berdandan, waktuku tak banyak, selesai akad kita harus kembali ke Jakarta, dan kau tinggal di rumahku.” Sosok Bagas tiba-tiba muncul dari balik pintu menginterupsi perdebatan antara Dara dan ibunya.
“Pak Bagas? Kenapa Anda berada di sini? Apa maksud semua ini, apa ini ulah Anda?” sentak Dara kaget, kakinya mundur beberapa langkah ke belakang saat Bagas berjalan mendekat ke arahnya.
“Kau benar, ini semua ulahku. Bukankah sudah aku bilang sebelumnya, kalau aku akan mendapatkan apa pun yang aku mau dengan cara apa pun, hem?” bisik Bagas tepat di telinga Dara yang tak bisa lagi menghindar dari bosnya itu karena kini punggungnya sudah menyentuh dinding kamarnya.
“Tapi ini sungguh tidak benar, kita bahkan tidak saling mengenal, bagaimana bisa kita menikah?” gugup Dara.
“Dara Jelita, tepat 21 tahun pada tanggal 3 bulan September mendatang, penyuka warna hijau, ukuran baju S, ukuran celana nomor 27, sepatu nomor 38, aku juga tahu ukuran pakaian dalammu, apa itu masih belum cukup di katakan mengenalmu?” Bagas menyeringai memperlihatkan deretan gigi putihnya seakan mengejek ketakutan yang kini sedang dirasakan oleh Dara.
“Sakit jiwa, aku tak akan pernah mau menikah dengan pria arogan sepertimu.”
“Sayangnya orang tuamu sudah menerima sejumlah uang dan satu hektar sawah dariku, kalau kau menolaknya kau harus mengganti itu semua tiga kali lipat!” Bagas tersenyum miring.
Seketika Dara menoleh ke arah sang ibu yang berpura-pura tak memperhatikan interaksi antara putri dan calon menantu kayanya itu.
“Mak, jelaskan semua itu!” Mata Dara memicing ke arah Tuti yang gelagapan.
“Aku juga ingin merasakan bagaimana rasanya menjadi orang kaya, berkorbanlah sedikit untuk keluargamu, apa salahnya, sih!” kata Tuti terdengar sangat egois.
Apa, sedikit? Rasa-rasanya kalau tak ingat Tuti adalah ibu kandungnya dia ingin sekali berteriak di hadapan wanita setengah baya yang di kepalanya hanya berisi uang, uang, dan uang saja itu, bahwa selama ini tidak sedikit yang Dara korbankan demi kebahagiaan keluarganya, banyak hal. Di saat anak-anak seumuran dengannya asik bermain, nongkrong bersama teman-temannya, dirinya harus rela bekerja serabutan demi agar keluarganya bisa makan, dan itu dia rasakan dari semenjak usianya menginjak sembilan tahun. Tubuh kecilnya rela berpanas-panasan di ladang dan sawah milik orang lain demi imbalan yang tak seberapa, dan itu bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk di berikan pada ibunya, lalu dengan entengnya Tuti sekarang mengatakan pada Dara untuk berkorban sedikit saja?
Lantas yang dilakukannya selama ini apa, kalau bukan sebuah pengorbanan?
“Sudahlah, jangan berdebat lagi, aku terburu-buru, kalian tak pernah tahu kalau setiap menit waktuku yang terbuang itu berarti puluhan juta yang hilang, cepat berdandan dan kita selesaikan acara pernikahan ini!” lerai Bagas yang merasa ibu dan anak itu hanya mengulur waktu dan membuat semuanya menjadi sangat lambat.
“Mak, aku tidak mau menikah dengannya,” mohon Dara dalam isak tangisnya yang terdengar sangat memilukan.
“Bukankah kau dengar sendiri tadi, kalau dia meminta ganti rugi tiga kali lipat dari semua uang yang telah dia keluarkan, dari mana kita mendapatkannya, bahkan menjual nyawa kita berempat pun tak akan cukup untuk membayarnya, cepatlah lakukan saja!” ujar Tuti tak mau peduli.
Lemas rasanya seluruh tubuh Dara saat semua saksi dan penghulu mengatakan kata “sah” dengan serentak, itu berarti kini dirinya adalah seorang istri dari pria yang sungguh dia sendiri tak tahu bagaimana kepribadiannya, siapa dia sebenarnya, bahkan keluarganya tak ada yang datang satu orang pun, dia hanya datang di temani Panji, sang asisten pribadinya yang selalu setia mengikuti dan mendampingi ke mana pun Bagas pergi.
Satu yang Dara tahu kalau suaminya itu egois dan arogan, selain dia seorang bos besarnya tentu saja.
Benar saja, tak ada hitungan jam setelah selesai acara akad, tanpa basa-basi Bagas langsung membawanya pergi dari rumah orang tuanya menuju ke Jakarta kembali.
Sudah tak ada lagi tenaga untuknya berontak atau menolak, karena semuanya akan terasa percuma dan sia-sia saja, dirinya kini sudah menjadi seorang Nyonya Bagas Prawira, dan segera menempati istana milik suaminya itu.
Mobil yang mereka tumpangi berhenti di sebuah rumah mewah yang benar-benar bagaikan istana, namun sayangnya karena rasa sedih dan kesal di hati Dara, wanita itu bahkan tak punya waktu untuk sekedar mengagumi rumah mewah nan luas itu. Dia sibuk menangisi nasibnya sendiri, yang dinikahi secara siri atas paksaan Bagas dan juga seluruh keluarganya.
Langkahnya begitu lunglai saat mengekor langkah tegap dan cepat Bagas dan Panji yang memimpin di depannya.
Namun langkah Dara seketika terhenti saat sudut matanya menangkap sebuah bingkai berukuran sangat besar berisi foto wanita yang sangat mirip dengan dirinya tergantung di dinding ruang tamu rumah itu.
Jelas sekali kalau itu bukan dirinya, dia sangat hafal dengan tubuh dan gayanya sendiri, tapi wanita dalam bingkai itu sungguh mirip dengan dirinya.
“Tak usah terkaget seperti itu, kau akan menemukan lebih banyak foto serupa di dalam rumah ini,” ujar Bagas yang menyadari kalau Dara kini tengah memperhatikan bingkai berukuran raksasa di ruang tamunya itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!