NovelToon NovelToon

SAVIRA : Sang Pengejar Mimpi

SATU

Ini hanya sebuah kisah biasa, bukan kisah percintaan, bukan juga kisah kebanyakan remaja pada umumnya. Tetapi, hanya semua kisah kehidupan seorang gadis biasa yang berjuang ditengah kemerosotan ekonomi keluarga, di lingkaran hutang yang melilit, dan di lingkungan masyarakat yang menjunjung tinggi kasta sosial.

Ini kisah seorang gadis yang mengejar impian yang dianggap terlalu tinggi, dan takkan mungkin bisa ia gapai. Kendati demikian, ia takkan pernah menyerah pada mimpinya.

Dialah SAVIRA yang bersumpah untuk terus berjuang mengejar impiannya demi kebahagiaan keluarganya.

...****...

Pagi ini, matahari bersinar terang seakan memberi semangat baru bagi mereka yang tak pernah letih untuk berjuang. Sama hal nya dengan Savira yang sudah siap untuk menempuh pendidikan tingkat akhirnya di sekolah yang tak terlalu jauh dari tempat tinggalnya.

Melangkahkan kakinya untuk menapakin jalan setapak menuju tempat ia menimba ilmu, berjalan dengan yakin meninggalkan gubuk tua yang menjadi saksi keberlangsungan hidupnya.

Savira menempuh pendidikan di sekolah yang bisa dibilang lumayan elit dengan berbasis beasiswa yang ia dapat sejak dulu, walaupun tak jarang ia sering dihina karena keterbatasan ekonomi, tapi Savira takkan pernah mengeluh, dan selalu berjanji untuk tidak akan mengeluh.

Sekolah dimulai dari jam 7 pagi, hingga jam 2 siang. Selepas dari sekolah biasanya Savira akan lanjut bekerja part time di cafe depan sekolahnya hingga jam 8 malam, gajinya mamang tak besar, tapi setidaknya cukup untuk membeli makanan dan mencicil sedikit hutang kedua orang tuanya, serta jajan sehari-hari kedua adik kecilnya.

Savira memang bekerja untuk membayar hutang dan kebutuhan rumah, tapi bukan berarti orang tua Savira hanya berongkang-ongkang kaki, mereka juga bekerja. Ayah Savira bekerja sebagai tukang becak, sedang kan ibunya hanya buruh cuci di rumah-rumah besar tak jauh dari tempat tinggal mereka.

"Vira!! " panggilan itu membuyarkan lamunannya.

"Kenapa Sar? " tanya Savira.

Sarah Ayuna, satu-satunya orang yang ingin berteman dengannya. Tenang, Sarah tulus berteman dengan Savira, tak pernah memandang kasta yang terbentang diantara mereka, bahkan tak jarang Sarah sering memberikan mainan untuk kedua adik Savira.

"Ini, kemarin gue baru pulang dari semarang, oleh-oleh untuk lo sama keluarga lo, semoga suka ya! " ujarnya dengan riang menyerahkan dua paper bag kepada Savira.

"Wah, makasih ya Sar, aku jadi ga enak sama kamu, "

"Sans aja kali Vir, lo mah kaya sama siapa aja. " tuturnua seraya mengibas-ngibaskan tangannya.

Savira hanya tersenyum sebagai tanggapan. Setelahnya hening, tak ada lagi percakapan, keduanya sibuk memandang langit di atas sana. Sekarang sedang jam istirahat, dan kebiasaan mereka berdua selalu berada di taman untuk menikmati semilir angin sejuk di bawah pohon rindang.

"Vir, punya saudara itu enak ga? " tanya Sarah mendapat atensi penuh dan Savira.

"Enak kok, kenapa? "

"Gue juga pengen punya adik Vir, tapi nyokap bokap gue sibuk terus sama kerjaannya, jadinya rumah sepiii banget, "

Savira tersenyum sejenak, jelas paham kondisi sang sahabat, Sarah hanya anak yang terlahir ditengah gemerlap nya harta, tapi minim kebersamaan keluarga. "Kalau kamu mau, kamu bisa main ke rumah aku. Ayu sama Dino pasti seneng kalau kamu berkunjung. "

"Ga ngerepotin? " tanyanya lagi.

"Tidak. Bapak sama Ibu juga bakal senang kalau kamu mau datang, "

"Okee!! Minggu ini gue ke rumah lo, " serunya semangat. Savira hanya membalas dengan anggukan ringan.

Kriinnngg~ kriiinnng~

Bel tanda masuk bergema memenuhi seluruh pelosok sekolah, tanda pelajaran selanjutnya dimulai, membubarkan semua murid yang masih berkumpul diberbagai tempat untuk masuk ke kelas, begitu pun dengan Sarah dan Savira yang berjalan bergandengan tangan menuju kelas.

Ketika memasuki kelas, semua mata memandang mereka, hanya sekilas, karena memang sudah biasa melihat kedekatan Sarah dan Savira. Si kaya dan si miskin, si cantik dan si culun, begitulah sebutan mereka. Savira tidak culun dan dia juga cantik, itu menurut Sarah, hanya saja gaya berpakaiannya yang tidak modis sesuai dengan keuangan yang tak mendukung.

"Vir, lo masih kerja di cafe itu? " tanya Sarah ketika mereka sudah duduk di bangku mereka.

"Masih kok, " jawab Savira sambil membuka buku untuk pembelajaran jam ini.

"Lo ga capek, Vir? "

"Huuh, kalau ditanyakan capek, ya pasti capek. Tapi mau gimana lagi, itu salah satu cara supaya hutang Bapak sama Ibu lunas. Kan kamu tau penghasilan Bapak sama Ibu ga bakal cukup." terang Savira seadanya.

"Kan gue udah bilang, masalah hutang bisa gue bantu lunasin. "

"Ga perlu Sar. Sama aja, ujung-ujungnya aku juga harus ganti uang kamu, "

"Ga usah ganti juga ga papa kok. "

"Ga papa Sar, aku masih sanggup kok, lagian kerjaan aku cuman jaga kasir, ga capek kali kok, "

"Huuh! Lo keras kepala banget ih! "

"Hahaha, jangan ngambek ah, aku cuman ga mau dikira manfaatin kamu, "

"Siapa juga yang fikir gitu. Gue tu mau bantu lo tau, "

"Cukup suport aku aja Sar. Itu udah sangat cukup, "

"Iya deh, iya. " Sarah mengalah, memang jika berdebat dengan Savira itu tidak akan pernah menang. Setelah itu tak ada lagi percakapan diantar keduanya karena guru yang mengajar telah datang.

...****...

Kriiinngg~ kriinnngg~

Bel berbunyi, tanda seluruh kegiatan telah usai hari ini. Setelah guru mengucapkan salam dan meninggalkan kelas, semua murid pun berbondong-bondong untuk pulang dengan tujuan yang berbeda, ada yang sudah lapar membayangkan makan siang yang tersaji di meja makan, ada juga yang langsung bermain bersama teman-teman, ada pula yang bekerja, salah satunya Savira.

"Sar, aku duluan ya, ga enak kalau aku telat. Assalamu'alaikum.. " tutur Savira seraya melambaikan tangan pada Sarah.

"Waalaikumsalam, semangat kerjanya Viraa!!! " sahut Sarah tak kalah semangat melambaikan tangan tanda perpisahan untuk hari ini.

*CAFE*

Tring~

"Ouh, Hai Savira!" sapa salah seorang waiter yang sedang melayani pelanggan, sebut saja Wawan.

"Hai kak, maaf Vira telat, hehe"

"Ga telat kok. Yaudah kamu ke belakang aja terus, gantiin Sinta di kasir! " pinta Wawan.

Savira membalas dengan anggukan disertai ancuan jempol, setelah itu langsung menuju ke belakang, tepatnya ruang ganti para pekerja di cafe tersebut, untuk mengganti baju sekolahnya dengan baju seragam yang sudah diberikan ketika pertama kali ia mulai bekerja.

"Kak Sinta, " sapa Savira ketika ia sudah selesai menggati pakaiannya dan menuju kasir untuk berganti shift.

"Ouh, Savira. Kamu udah makan? Makan dulu atuh kalau emang belum, " ujar Sinta sembari melayani pelanggan yang hendak membayar, ada juga yang ingin memesan.

"Belum sih, hehe" jawabnya disertai cengiran yang menggemaskan menurut Sinta.

Ouh iya, dari semua pekerja di cafe ini, cuman Savira sendiri yang masih sekolah tingkat akhir, yang lainnya ada yang kuliah, ada juga yang tidak. Dari karena itu, semua memperlakukan Savira dengan penuh sayang, mereka juga tau seperti apa kehidupan si gadis itu, walau tak rinci, setidaknya jika ada yang bertanya, siapa Savira? Atau bagaimana Savira itu? Mereka sudah tau jawabannya.

"Makan dulu sana, nanti sakit loh kalau telat makan, "

"Emm, emang ga papa kalau Savira makan dulu? Tapi ini kan udah jatah Savira, kakak ... "

"Ga papa sayaangg... " gemas Sinta seraya mencubit halus pipi Savira yang tak terlalu tirus, tapi juga ga gembil.

"Yaudah, Savira makan dulu yaa, ga lama, janji, " ujarnya dengan menunjukkan jari kelingking tanda ia berjanji. Sinta hanya mengangguk dengan senyuman cantiknya.

Tak lama, selang 20 menit, Savira sudah berada di kasir, menggantikan Sinta yang harus ke kampus 5 menit yang lalu.

Waktu terus berjalan, tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 8, waktu bagi Savira dan seluruh pekerja membersihkan cafe sebelum ditutup.

Setengah 9 lewat 45 menit, Savira sampai di rumah, ketika sampai ia langsung disambut senyuman hangat dari sang Ibu yang menjadi penyembuh bagi letihnya.

"Assalamu'alaikum, Ibu. " ucapnya seraya bersalim takzim pada malaikat dihidupnya.

"Waalaikumsalam nak, gimana hari ini? Pasti capek ya sayang, " ucap sang Ibu sambil mengelus sayang kepala sang buah hati.

"Enggak kok, Bu. Capeknya udah hilang kalau liat Ibu, hehehe"

Nila hanya tersenyum menanggapi ucapan putri sulungnya ini, sudah terlalu sering mendengar sang putri mengatakan hal itu, hanya untuk menghibur hatinya yang selalu merasa bersalah pada ketiga buah hatinya.

Nila dan Ridwan, orang tua dari Savira, Ayu, dan Dino. Awalnya kehidupan Ridwan dan Nila sangat makmur, kehidupan mereka selalu serba tercukupi, Ridwan yang bekerja sebagai pegawai di sebuah perusaan dengan gaji yang lumayan besar, membuat kehidupan keluarganya bahagia. Namun sayang nya, ketika umur Savira menginjak 10 tahun, terjadi phk besar-besaran di negara ini, membuat banyak pekerja yang menjadi pengangguran, salah satunya Ridwan.

Disitu kehidupan mereka menjadi sangan sulit, terlebih sang istri yang sedang mengandung anak ketiga mereka, membuat biaya kehidupan bertambah banyak. Karena itu pula, Ridwan maupun Nila banyak berhutang, hanya demi sesuap nasi untuk ke tiga buah hati mereka.

"Ibu, Vira ada bawak makanan untuk Ibu, Bapak, sama adik-adik, " ucapnya seraya menunjukkan kantong plastik berisi makanan dari cafe. "Ini juga ada oleh-oleh dari Sarah. " Lalu ia menyerahkan dua paper bag pemberian Sarah tadi.

"Masya Allah, baik banget neng Sarah. Jangan lupa bilang makasih sekalian titip salam dari Ibu untuk nak Sarah ya, sayang. "

"He'em, " Angguk Savira.

"Yasudah, kamu teh bersih-bersih dulu sana, terus kita makan sama-sama, "

...****...

Setelah makan malam yang bisa di bilang telat tadi, Savira kembali ke kamar, kamarnya tak luas, juga tak terbuat dari beton seperti rumahnya dulu, hanya rumah yang terbilang sangat sederhana, terbuat dari triplek-triplek yang sudah nampak tua.

Hanya saja, sekarang sudah ada lampu yang menerangi, karena dari gajinya juga Savira bisa membayar listrik rumah. Jika dulu, awal-awal pindah, rumah ini hanya di terangi lampion jaman, jadi jika mau belajar pun, harus duduk dekat dengan lampion tersebut, agar nampak jelas.

Saat ini Savira sedang membuat tugas sekolahnya, tak susah, karena Savira sendiri memang siswi berprestasi di sekolah. Setelah 15 menit, tugasnya pun selesai. Ia menyimpan buku tugas nya, dan juga langsung menyiapkan buku-buku untuk pelajaran besok.

Dirasa belum mengantuk, Savira pun memilih membuka laptop miliknya, sekedar untuk mencari info beasiswa untuk jurusan yang ia inginkan. Laptop ini bukan ia beli, tapi hadiah ulang tahun dari Sarah tahun lalu, sudah dijelaskan bukan, Sarah itu memang anak yang tidak pelit, terlebih untuk sang sahabat yang sudah ia anggap keluarga itu.

"Emm ... Seoul National University, " ucapnya, membaca nama univ yang sedang membuka beasiswa bagi murid-murid berprestasi.

"Tapi ini di Korea, jauh sekali jika harus kesana. Belum lagi biaya untuk berangkatnya, hemm... "

Gerakkan jarinya mengetuk-ngetuk dagu memikirkan berapa kira-kira keseluruhan biaya yang ia perlukan.

"20 juta setidaknya uang yang harus ada, walaupun tempat tinggal memang disediakan, tapi aku tetap butuh pegangan selama di sana, " gumamnya. "Bahkan jika aku kumpulkan uang jajan bulanan dari beasiswa sekarang, digabung gajiku pun takkan cukup, "

Ia menarik nafas panjang, netranya menatap kalender yang ada, " 5 bulan lagi ujian kelulusan, jika memang ingin mengambil beasiswa ini, setidaknya sebelum ujian kelulusan uangnya harus ada kan? "

Memejamkan mata sejenak untuk merilekskan otak, setelahnya satu keputusan ia dapat.

"Huuh, baiklah sepertinya aku harus bekerja lebih keras dan lebih berhemat untuk sekarang. Bagaimanapun aku akan buktikan pada dunia, bahwa aku bisa menjadi salah seorang dokter yang hebat. Jika aku sudah sukses nantinya, Bapak, Ibu, Ayu, dan Dino akan ku ajak ke Korea untuk tinggal bersama ku. " ucapnya disertai senyuman ketika membayangkan hal itu akan terjadi.

"Semangat Savira!! "

...****...

DUA

Satu minggu lagi akan diadakan Olimpiade Sains tingkat nasional yang akan diselenggarakan di Bandung. Sebagai siswi berprestasi, dan banyak memenangkan piagam Olimpiade, sudah pasti untuk kali ini Savira juga yang akan mewakilkan sekolah. Bisa dibilang, ini Olimpiade terakhir nya sebelum ujian kelulusan.

Maka, mulai minggu ini Savira menjadi lebih sibuk untuk mempersiapkan Olimpiade. Ia harus menang, karena uang hasil lomba kali ini bisa membantu menambahkan simpanannya.

"Vir, nanti lo di Bandung nya berapa lama? " tanya Sarah, saat ini mereka sedang berada di taman, setelah tadi dari perpustakaan, untuk mencari beberapa buku yang diperlukan Savira.

"Emm, kemungkinan seminggu atau lebih, itupun kalau masuk final. " Sarah hanya menganggu sebagai jawaban. Ia yakin, teman terbaiknya ini sudah pasti akan masuk final.

"Gue lapar Vir, lo lapar ga? Gue beliin makanan ya di kantin. Dadaahh, " Tanpa menunggu jawaban, Sarah langsung melesat pergi begitu saja. Savira hanya menggelengkan kepala melihat kelakuan temannya itu.

"Kayanya udah lapar banget, kekeke" gumamnya di akhiri kekehan.

Sudah 10 menit, tapi Sarah belum juga kembali dari kantin, begitupun Savira yang terlalu fokus dengan buku di depannya, tanpa menyadari ada 3 siswi yang berjalan ke arahnya dengan senyum licik terpatri di wajah salah satu di antaranya.

"Wiihh, lihat gaes ada rakjel di sinii!" seru Jeje, murid yang sudah tidak usah di ragukan lagi kenakalan nya. Namun sayang nya, tak ada guru yang berani menegur ataupun menghukumnya, hanya karena orang tua Jeje salah satu donatur terbesar di sekolah. Savira hanya diam, tetap fokus pada kegiatan awalnya, mencoba mengabaikan Jeje.

Merasa tak di gubris, Jeje pun maju untuk lebih dekat dengan Savira, lantas merebut paksa buku yang sedang di pegang Savira. Tentu Savira yang terkejut, secara spotan berdiri menatap tajam Jeje. Hanya sebentar, efek dari keterkejutan nya, setelah itu menundukkan pandangannya, tak berani melawan lebih. Setidaknya ia sadar siapa dirinya, dan siapa lawannya.

"Apa!? Berani lo lawan gue!? " bentaknya. Savira menggelengkan kepala.

"Mana berani dia lawan lo. Lo kan anak orkay, Bokap lo donator sekolah, sedangkan dia cuman rakjel yang ga tau diri, " ketus Ica.

"Masuk ke sini juga karena beasiswa, mana mampu orang tuanya biayain ni sekolah, secara Bokapnya aja cuman tukang becak, " sambung Naifa.

"HAHAHAHA" tawa ketiganya, merasa puas menghina orang lain. Savira tetap diam, ia tak punya keberanian lebih untuk melawan, lagian bukan sekali dua kali ia dihina seperti ini.

"Ohhhhh, dan jangan lupa nyokapnya yang cuman buruh cuci, hahahaha. Bisa kali ya, sesekali nyokap lo suruh cuci baju di rumah gue, hahahah. "

Savira sudah mati-matian menahan air mata yang sudah menggenang di pelupuk matanya, hatinya begitu sakit seakan sebilah pisau menyayat kulit. Tak sanggup, sungguh tak sanggup ia mendengar hinaan untuk keluarganya. Apa salah keluarganya? Keluarganya bahkan tak pernah mengganggu ketenangan orang lain, tapi kenapa orang lain selalu mengusik kehidupan keluarganya?

Salahkah menjadi miskin? Apa serendah ini rakyat jelata dimata masyarakat? Kami juga manusia, sama seperti yang lain, hanya saja perekonomi keluarga tidak mendukung. Tapi bukan berarti boleh dihina seperti ini. Kenapa harus ada starta sosial dalam masyarakat, jika dengan adanya membuat orang menjadi semena-mena pada orang lain.

Namun sekali lagi, seperti kata mereka, Orang-orang seperti kami memang tak memiliki kekuasaan apapun, sehingga ketika dihina pun kami memilih diam. Jika melawan pun, keadilan tidak akan berpihak pada kami kan?

"Maaf Je, bisa tolong kembalikan bukunya? " pinta Savira seraya menatap Jeje memohon.

Jeje menaikkan sebelah alisnya, "Lo mau ini? " Sambil mengangkat buku yang ia pegang. Setelah lihat anggukan Savira, dengan pongah ia berucap, "Cium dulu kaki gue, baru gue kasih ni buku" perintahnya.

Savira ragu, ia tak ingin melakukannya, walaupun sering direndahkan, tapi ia tak ingin menjadi serendah ini.

"Kok diam? Cepat! Katanya mau buku lo gue balikin, "

"Ta-tapi Je-" Belum selesai kalimat itu keluar dari kedua bilah bibirnya, tubuhnya dipaksa untuk sujud di hadapan Jeje.

"Lama tau ga!? " sentak Ica. Iya, Ica dan Naifa lah yang melakukan ini.

Dengan air mata yang sudah meluruh, perlahan ia mulai mendekatkan wajahnya pada kaki Jeje. Tapi, tepat sebelum hal itu terjadi, sang malaikat penolong dalam hidupnya datang. Sarah datang dan langsung mendorong mundur Ica dan Naifa, lalu membantu sang teman untuk berdiri.

"Lo apa-apaan sih Je! " sentak Sarah.

"Ck, ganggu aja sih lo. Suka-suka gue lah! Orang kaya dia pantas diperlakukan kaya gitu. " ucapnya dengan nada suara yang ia tinggikan. "Lagian lo kok mau-mau aja sih Sar berkawan sama rakjel gini? Gue sih iyuuhh, ga level banget, " Lanjutnya.

"Lo tu kalau punya mulut dijaga ya!? Ga dididik tatakram lo sama nyokap bokap lo, ha! " Sepertinya emosi Sarah sudah mencapai batasnya, ia tak bisa menahan lagi untuk tidak memaki orang yang sering menyakiti sahabatnya. " Gue mau berteman sama Savira karena dia tu beda dari lo!? Memang dia bukan orang kaya, tapi setidaknya dia punya ATTITUDE! Ga kaya lo, yang orang kaya, tapi minim attitude! " ucapnya tegas, menekan kata kesopanan.

"Tau apa lo tentang attitude, Sar? Asal lo tau, kita sama, Sama-sama orang kaya yang kerjaannya nindas orang lemah. " balas Jeje.

Seketika Sarah tertawa mendengar ucapan tersebut, mengundang gurat bingung dari yang lain.

"Memang gue sama kaya lo. TAPI ITU DULU SEBELUM GUE KENAL SAMA SAVIRA!? " bentak Sarah. Iya, ia mengaku memang pernah berada di posisi Jeje, hanya karena kekayaan, menindas orang lain adalah hobinya. Bahkan Savira pun, awal-awal ia masuk sudah menjadi bahan bully Sarah.

Tapi sekarang berbeda, Sarah sudah sadar, apa yang ia perbuat itu salah, dari karena itu ia meminta maaf pada Savira, dan mulai bertema dekat dengannya. Setelah lama berteman, ada sebuah kehangatan yang selama ini tak pernah menyentuh hatinya, ketika ia berkunjung ke rumah Savira, melihat sendiri bagaimana kehangatan itu terjalin dalam keluarga sederhana tersebut. Seumur hidup, itu pertama kali ia merasakan kehadiran keluarga, yang betul-betul keluarga baginya.

"Ck, ga usah munafik deh Sar, lo pasti cuman pura-pura baik aja kan di depan ni rakjel" tuduhan Jeje, dibalas tatapan jengah dari Sarah.

"Lo kira, gue itu lo? Dan asal lo tau Je, ga ada yang namanya sahabat pura-pura, kalau teman mungkin ada, noh kayak dua dayang lo, deketin lo cuman karena lo kaya." balas Sarah. Mengundang pekikan tak terima dari Ica dan Naifa.

"Lo jangan asal tuduh dong Sar! "

"Gue ga nuduh kok, gue cuman bicara fakta. " tutur Sarah dengan senyum mengejek. "Yaudah, kita balik kelas aja yuk Vir, jangan lama-lama di sini, gerah gue. Bentar lagi juga bel masuk, " ajaknya sembari menarik tangan Savira. Namun baru beberapa langkah, Sarah berhenti, lalu berbalik badan, berjalan ke arah Jeje dan mengambil buku milik Savira yang tertinggal, kemudian melanjutkan langkahnya mengajak sang sahabat meninggalkan taman.

"Lo ga perlu pikirin apa yang mereka bilang, oke? Bagi gue lo yang terbaik, " ucapnya memberi semangat.

Dibalas anggukan serta senyuman manis dari Savira, "Makasih ya Sar, "

"Sama-sama, "

...****...

Tak terasa sudah seminggu Olimpiade Sains berlangsung, dan hari ini merupakan hari terakhir, babak final penentu pemenang. Ada 5 siswa dari sekolah berbeda yang berhasil bertahan hinggal final, Savira salah satu diantaranya.

Savira gugup, walaupun sudah ajab kali mengikuti lomba seperti ini, tapi sensasi gugup itu tak pernah hilang. Rasanya selalu sama, seperti ini lomba pertama dalam hidupnya.

"Savira semangat ya, Ibu yakin kamu pasti bisa!" tutur guru yang selama ini membimbingnya.

"He'em, Vira bakal lakuin yang terbaik, Bu! " balasnya dengan semangat.

Bu Rina, guru pembimbing Olimpiade dan juga guru yang mendampingi Savira disini tersenyum lembut ke arah murid kesayangannya ini, ia yakin kemampuan Savira tak bisa dibantah. Ia juga tau cita-cita muridnya ini, Rina juga menjadi suport sistem bagi Savira, untuk lebih giat meraih mimpi.

"Savira sudah tau mau sambung ke Universitas mana? Siapa tau Ibu bisa bantu kamu untuk cari beasiswa, "

"Savira dapat kok, Bu "

"Di Universitas mana? "

"Seoul National University, Korea Selatan, fakultas kedokteran. " jawabnya mantap.

"Ibu suka semangat kamu, jangan mudah jatuh hanya karena omongan orang kaya okay? Karena ibu yakin kamu pasti bisa raih mimpi kamu, asal jangan pernah menyerah di tengah jalan, karena mau di mana pun kamu berada, tetap ada Allah bersama kamu. "

"Iya Bu. Makasih selama ini udah mau jadi suport sistem nya Savira. Vira sayang Ibu!" ujarnya sembari memeluk sang guru yang tentu langsung dibalas dengan pelukan lembut kan menenangkan.

"Nah, sekarang kamu siap-siap gih, bentar lagi acara di mulai. Fighting!! "

Anggukan semangat Savira berikan kepada sang guru.

...****...

Huuh, bosen banget gue kalau ga ada Savira, " gumam Sarah. Saat ini ia sedang berada di tempat favorit mereka, yaitu taman sekolah.

Ia sendirian di sini, sebenarnya banyak yang ingin berteman dengannya, hanya saja dia tak nyaman jika bukan bersama Savira. Sudah di bilang, Savira itu memberi kenyamanan tersendiri untuknya.

"Vira kapan ya balik? Aggrhh gue kangen Viraaa!! " serunya tak peduli ada yang lihatnya seperti orang gila. Saat sedang asik-asiknya meracau tak jelas, seketika sebuah ide terlintas di kepalanya.

"Aha!? Gue tauuu. Kenapa gue ga ke rumah si Vira aja sih, yaaa walaupun ga jumpa juga, setidaknya gue bisa jumpa Ibu sama Bapak, belum lagi 2 bocah kesayangan gue. Okay! Fiks, pulang sekolah gue bakal ke rumah Savira. "

Setelah itu ia langsung membersihkan bungkusan bekas makanan dan minumannya, lalu kembali ke kelas karena 5 menit lagi bel akan berbunyi.

...****...

TIGA

Sesuai rencana, sepulang dari sekolah, Sarah langsung menuju ke rumah Savira, setelah sebelumnya membeli beberapa makanan untuk dimakan bersama. Ia tak pulang dulu ke rumah, memilih langsung pergi, karena mau dia pulang juga percuma, tak ada orang di rumah, hanya ada beberapa maid dan penjaga, karena orang tuanya sedang berada di luar negeri.

Orang tua Sarah itu orang baik, mereka tak pelit, jadi tak heran jika kebaikan itu menurun pada sang anak. Hanya saja kenakalan Sarah dulu, sebagai pelampiasan rasa sepi yang ia rasa selama ini. Orang tuanya menyayangi nya lebih dari apapun, dan ia jelas tau itu. Hanya saja, orang tuanya tak paham, apa sebenarnya yang paling dibutuhkan Sarah.

Sarah memang membutuhkan uang, dan kemewahan, tapi lambat laun, semakin ia dewasa, ia semakin paham, bahwa itu semua tidak ada artinya jika selama ini ia sendiri di sini, tak ada yang menemaninya, tak ada yang memberi rengkuhan seperti yang selalu kedua orang tua Savira lakukan pada nya ketika ia berkunjung. Karena itu, baginya Savira dan keluarga adalah rumah ke dua tempatnya mengadu atau sekedar meminta pelukan hangat.

"Paman pulang aja dulu, nanti jemputnya abis magrib aja yaaa, " pintanya pada sang supir sekaligus bodyguard pribadinya ketika ia sudah sampai di depan rumah temannya.

"Baik Non. Jangan lupa telpon saya jika terjadi sesuatu, "

"Siap paman! "

Sang supir tak langsung pergi, ia menunggu Nona mudanya memasuki rumah tersebut.

Tok tok tok

"Assalamu'alaikum, Ibuuu, Bapaakk, ini Sarah, "

Setelah mengucapkan itu, terdengar satuan seorang wanita dari dalam rumah, setelah itu pintu rumah itu terbuka, menampilkan sang empu rumah.

"Waalaikumsalam, eh ada nak Sarah. " Seperti biasa, selalu rengkuhan hangat yang menyambut nya ketika ia datang.

"Hehe iyaa, Sarah kangen tau sama Ibu. Minggu lalu mau kesini, tapi ga sempat" adunya.

"Hahaha, Ibu tau, Savira ada mengatakannya pada Ibu. Yaudah ayuk masuk, " ajak Nila. " Pak Bayu ga masuk dulu, Pak? Biar saya buatkan kopi, " tawarnya pada Bayu, supir Sarah yang masih berada di sana.

"Makasih sebelum nya Bu, tapi ga perlu repot-repot," tolak beliau sopan. " Lagian saya harus langsung kembali, nanti saya datang lagi untuk menjemput Nona muda. Saya permisi Bu, assalamu'alaikum, "

"Waalaikumsalam, hati-hati pak, "

Tiitt

Bunyi kelekson mobil seakan menjawab ucapan dari Nila.

"Yaudah sayang, ayuk kita masuk, pasti Dino sama Ayu senang, kakak cantiknya datang berkunjung," ucapan Nila membuat kedua pipi Sarah memerah samar.

"Ihhh, Ibu mah bisa aja. Sarah kan maluuu, " rengekannya membuat Nila tertawa, bersyukur sang anak mendapatkan teman sebaik Sarah.

Setelah itu, Sarah bermain dan mengobrol ringan bersama keluarga itu hingga malam tiba, dan sesuai perkataan Sarah siang tadi, Pak Bayu sudah ada di depan rumah.

"Ibu, Bapak, Sarah pamit dulu yaa, nanti Sarah datang lagi, " pamitnya sembari menyalim kedua orang tua sahabatnya.

"Iya Nak, Hati-hati ya, " balas Ridwan.

"He'em. Hai ganteng sama cantiknya kakak, kak Sarah pamit pulang dulu yaa, kapan-kapan kita main lagi, okey?! "

"Okey!! " jawab Dino dan Ayu serempak.

"Yauda, Sarah pulang dulu ya, assalamu'alaikum, " ucapnya, dan langsung melangkah kan kakinya menuju mobil yang sudah ada sang supir menunggunya sembari membuka pintu untuk sang Nona.

"Pak Bayu, Hati-hati ya bawak mobilnya, jangan sampai lecet anak gadis saya, " ucap Ridwan bersenda gurau, walau memang ia dan sang istri sidang menganggap Sarah seperti anak sendiri.

"Siap Pak, tenang aja. Saya pamit ya, assalamu'alaikum, "

"Waalaikumsalam, " Setelah mobil itu tak nampak lagu, barulah Ridwan beserta istri dan anak-anak nya masuk ke dalam rumah.

...****...

Sesuai dugaan Sarah, kali ini pun Savira pulang membawa hasil yang membanggakan. Sebuah piagam terakhir yang akan ia serahkan kepada sekolah.

"Huaaaaaa!!! SAVIRAAAA!! GUE KANGEN BANGET SAMA LOO!! " teriak Sarah antusias saat melihat Savira datang ke sekolah. Memeluk erat sang teman seakan tak ingin kehilangan momen ini.

"Hahaha, aku juga kangenn banget sama sahabat aku yang cerewet ini, " balasnya dengan pelukan hangat.

Mereka mengakhiri pelukan itu setelah merasa puas melepas rindu, kemudian saling melempar senyum.

"Sekolah jadi sepi banget kalau ga ada lo tau. Gue sendirii, " adunya.

"Hmm? Kenapa bisa sendiri? Kan ada yang lain. " tutur Savira. Saat ini mereka sedang berjalan menuju kelas.

"Ihhh beda tauu, mereka ga kaya lo, " ucapnya.

"Hahaha, yaudaahh, kan sekarang aku udah di sini. Jadi jangan cemberut lagii, "

Sarah tersenyum, menyetujui ucapan Savira.

Sesampai di kelas, seperti biasa memang, mereka menjadi pusat perhatian sejenak. Tapi bedanya, biasanya mereka memang melihat memuja pada Sarah, dan hanya acuh pada Savira. Namun kali ini, tatapan acuh itu berubah menjadi tatapan tajam, entah kenapa, Savira juga tak tau. Apa ada masalah selama ia di Bandung?

"Liat guys siapa yang kembali lagi. " Ini Jeje yang berbicara, dia memang sekelas dengan Savira. Entah kenapa tiba-tiba perasaan Savira tak enak seperti ini.

"Eh, si miskin udah pulang rupanya. "

"Ihh ngapain balik sih, padahal suasana kelas tu nyaman banget kalau ga ada lo, ga ada aura aura miskin, hahaah"

"Mistis kalii! "

"Hahahaha"

Hinaan dari seluruh anak kelas membuat Savira ingin pergi saja rasanya. Tapi, berbeda dengan Sarah yang sudah kepalang emosi mendengar segala ejekan untuk sang sahabat.

"Kalian apa-apaan sih? Bisa ga sih, sehari aja lo pada ga ganggu Savira! " ujar Sarah.

"Lo diam deh Sar, ga usah ikut-ikutan, "

"Betul tu! Ga seru banget lo! "

"Lagian ngapain dibela sih Sar, tu orang memang pantes jadi bahan bully"

Sarah semakin marah, kesabarannya sudah di ambang batas. Belum sempat ia membalas, tangannya sudah di tahan oleh Savira.

"Udah Sar, ga papa kok, " bisiknya. Ia hanya tak ingin Sarah terlibat masalah karena dirinya.

"Ga, kali ini gue ga bakal diam, " balas Sarah.

" Udah lah Sar, mending lo jauh-jauh deh dari si miskin, takutnya malah ketularan miskin lagi, upss!" seru Ica. Dibalas gelak tawa anak kelas.

"Lo juga miskin, sadar diri dikit napa. Ga malu lo jalan berdua sama Sarah, secara Sarah kan kaya ya, penampakan nya tu kaya lo babunya Sarah loh. " ucap Naifa. Tangan Sarah sudah menggepal di kedua sisi, amarahnya sudah ada pada puncak, tinggal menunggu meletus saja.

"Lagian ya, Bapak lo cuman tu tukang beca, jadi jangan belagu sekolah di sini. " sinis Jeje, "Saran gue sih, dari pada lo sekolah kenapa ga jadi ***** aja, kan lumayan bisa bayar hutang keluarga lo, Hahahaha"

PLAK!!

...****...

Saat ini, Savira sedang berada di ruangan bk, setelah tadi ia refleks menampar Jeje. Naas nya kejadian tersebut serempak dengan guru yang mengajar masuk ke kelas.

Melihat guru yang mengajar masuk ke kelas, Jeje langsung berpura-pura menangis seakan Savira telah menganiaya dirinya, padahal dia yang salah di sini, dan sayangnya guru tersebut hanya melihat ketika Savira menampar Jeje.

"Bisa jelaskan ke Ibu, alasan kamu nampar Jeje, Savira? " tanya guru bk tersebut, atau panggil saja Bu Lilis.

"Saya enggak sengaja Bu. Saya cuman ga suka dengan apa yang Jeje bilang. Saya akui saya bukan orang berada seperti mereka, tapi setidaknya saya masih memiliki harga diri, sebuah kehormatan yang saya jaga, " Savira berhenti sejenak, menetralkan rasa nyeri di hatinya, "Serendah-rendahnya saya, saya tak akan pernah sudi menjual kehormatan saya, saya-"

"Karena itu kamu melakukan kekerasan? "

Savira memejamkan matanya sejenak ketika sang guru langsung memotong ucapannya. "Saya tidak ada maksud untuk melakukan kekerasan Bu, sumpah lillahi ta'ala saya ga sengaja, "

"Huuhh, gini Savira, " Lilis menjeda sejenak ucapannya, menatap dalam sang murid, "Ibu tau kamu anak baik, Ibu juga yakin memang kamu enggak sengaja. Tapi, kamu tau kan sekarang sedang berurusan sama siapa? Tentu kamu juga tau resikonya? " Savira menganggukkan kepala.

"Beasiswa kamu bisa aja dicabut jika sampai orang tua dari Jeje tau. Orang tuanya penyuntik dana terbesar ke dua di sekolah ini, kar-"

"Saya tau Bu, dan saya paham. Ga papa, saya akan terima hukuman dari sekolah. Asal saya mohon, jangan cabut beasiswa saya Bu, jika beasiswa saya di cabut, saya terpaksa harus berhenti sekolah. Savira mohon Bu, hiks.. " Akhirnya air mata yang selama ini ia tahan agar tak jatuh, meluruh juga, tak sanggup membayangkan jika ia harus putus sekolah.

Bagaimana dengan impiannya selama ini? Jika ia di drop out dari sekolah. Mungkin memang pihak sekolah tidak meng-drop out nya, tapi dengan mencabut beasiswa nya selama ini, sama saja mengeluarkan nya secara halus.

Ini yang Savira takutkan jika ia harus berhadapan dengan Jeje. Savira sendiri juga tak tau, kenapa ia tak bisa menahan amarahnya tadi. Mungkin karena ucapan terakhir Jeje yang begitu merendahkan dirinya.

"Baik, berhubung kamu salah satu siswi kebanggaan sekolah, Ibu cuman akan meng-skor kamu selama 2 minggu. " Putus Bu Lilis. Tak apa, Savira bersyukur, setidak nya ia masih diizinkan bersekolah di sini. "Tapi, jika kejadian yang sama terulang lagi. Maaf kalau kamu harus keluar dari sekolah. "

"Iya Bu, saya paham. Saya pastikan ini yang pertama dan terakhir. " ucap Savira mantap.

Bu lilis tersenyum, "Ibu selalu percaya sama kamu, hanya saja posisi Ibu tak bisa melindungi mu di sini, "

Setelah berpamit, savira berjalan kembali ke kelas, tak apa ia di skorsing selama 2 minggu, itu ta akan lama.

"Kamu anak yang baik Vir, jadi jangan pernah menyerah. Gue bakal dukung lo dari jauh, " ucap seseorang yang saat ini melihat Savira dari lantai atas.

...****...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!