Lea berdiri di ujung lorong sebuah rumah sakit. Jam yang melingkar di tangannya menunjukkan pukul 12 malam. Langkahnya berat, lorong panjang di depannya terlihat gelap.
Sejak hari pertama ayahnya rawat inap di rumah sakit, Lea paling benci lorong ini. Udara yang mengisi ruangan lebih dingin dari ruangan lain. Hampir tidak ada aura mahkluk bernyawa di sekitarnya. Bahkan suara hewan malam pun tidak terdengar.
Dengan langkah berat Lea memaksakan diri berjalan. Dia menggenggam sekantung obat yang ditunggu sang ayah.
Lea berjalan hampir berlari, berpikir lebih cepat melewati lorong semakin baik. Setiap kali dia melewati sebuah bohlam, lampu yang dilewati itu akan mati lalu hidup lagi. Ketika lampu mati maka ekor matanya menangkap sesosok bayangan memakai baju putih berjalan di belakangnya. Semakin cepat dia memacu langkah maka semakin cepat pula bayangan itu mengikutinya.
Keringat mulai membasahi tubuh, satu persatu jajaran bohlam di langit-langit bisa terlewati, dan bayangan sosok makhluk itu terus mengikuti. Tinggal satu buah lampu lagi yang tersisa. Pandangan Lea tertuju lurus pada cahaya lampu di depannya. Dalam hati dia merapalkan mantera, “Jangan mati, sedikit lagi aku melewati lorong ini,” yang diucapkan berulang-ulang.
“Sedikit lagi."
Tepat ketika kaki tinggal selangkah, tiba-tiba tap…semuanya gelap. Tidak tampak apapun di depannya. Dengan cepat tangannya menutupi wajah. Kakinya bergetar karena gemetar.
“Aku tidak akan membuka mataku,” bisiknya ketakutan.
Dia merasakan sesuatu yang dingin menyentuh bahunya. Tengkuknya menggigil merasakan gerakan udara yang muncul dan menghilang. Makhluk itu bernapas tepat di belakang gadis muda itu.
“Siapa kamu?” bisik Lea hampir tak bersuara.
“Kau ingin tahu? Bukalah matamu.”
Lea menggeleng, “tidak akan.”
“Baiklah, maka aku akan memaksamu membuka mata!”
Tangan dingin itu bergerak perlahan. Naik keatas dari bahu menuju pipi Lea. Membelai dan menebarkan teror menakutkan. Bermain sebentar lalu dengan cepat tangan itu berpindah di depan mulut dan membekap Lea kuat-kuat.
“Ah…argh, le…pas,” susah payah Lea berusaha melepaskan tangan itu tapi gagal. Napasnya mulai tersengal tinggal satu-satu, “le…pass.”
Cengkeraman tangan dingin itu terlalu kuat.
“Buka matamu!” perintah makhluk itu dengan suara tidak jelas lebih mirip *******.
“Ahp…ahp, ba…ik, lepaskan dulu tanganmu,” Lea meminta tanpa bersuara.
Yang mengejutkan makhluk itu paham apa yang diminta Lea. Perlahan tangan itu melepaskan cengkeramannya bersamaan dengan Lea yang membuka matanya.
“Hua…,” terdengar makhluk itu berteriak tepat di depan muka Lea dengan mulut menganga yang beraroma darah dan wajah mengerikan, bersamaan dengan itu Lea berteriak, “aaa…”
Lea terduduk dan kembali menutup wajah dengan kedua tangannya, tubuhnya gemetar.
“Pergi kamu…pergi!!” teriak Lea kuat-kuat ketika dia merasakan bahunya disentuh lagi oleh seseorang.
“Mbak…mbak, mbak baik-baik saja?”
Itu suara manusia, Lea mendongak. Di depannya berjongkok seorang lelaki tengah baya menunjukkan wajah khawatir.
“Kamu baik-baik saja?” tanya lelaki itu memberikan sebotol air mineral.
“Saya baik-baik saja,” napas Lea masih memburu, tubuhnya masih bergetar.
Lelaki itu mengamati Lea dan kembali bertanya, “yakin kamu baik-baik saja?”
Lea mengangguk sebagai jawabannya.
“Kalau begitu kamu bisa saya tinggal?” Lea diam. Laki-laki itu berjalan meninggalkan Lea.
Bergegas Lea berdiri dan berlari mengikuti orang itu dari belakang. Suara langkah keduanya terdengar jelas saking sunyinya malam itu, ‘tap…tap…’ begitu terus bergantian.
“Rupanya kamu takut?” ucap lelaki yang berjalan di depannya, Lea tetap tidak menjawab.
Ruang perawatan bapak sudah terlihat di depan. Tiba-tiba lelaki itu berhenti dan berbalik badan. Lea terpaksa menghentikan langkahnya dan berdiri tepat di depan orang itu.
“Lain kali, minta ditemani kalau takut.”
“Lihat itu wajahmu masih pucat.”
Lea baru menjawab ketika lelaki setengah baya itu meninggalkannya, “terimakasih,” teriak Lea.
Waktu Lea sampai di kamar perawatan, bapak masih tidur. Selang oksigen masih menancap, tetapi bapak bernapas dengan lebih baik, tidak lagi tersengal.
Lea membelai rambut bapak. Menaikkan selimut yang mulai turun dan berkumpul di area kaki. Diatas nakas ada sisa nasi. Rupanya bapak masih belum menghabiskan makannya malam ini.
Perhatian Lea terpecah saat mendengar suara tangisan diiringi teriakan dari kamar sebelah. Lea berlari keluar.
Rupanya pasien sebelah baru meninggal. Lea berjalan menuju kamar itu. Seperti ada kekuatan yang menariknya untuk mendekat.
Mulut Lea menganga setelah mengintip wajah pasien yang meninggal. Bapak itu, dia terbujur kaku diatas tempat tidur.
“Sedang melihat apa?” seseorang menepuk bahunya dari belakang. Belum juga keterkejutannya hilang. Dia makin gemetar melihat siapa yang berdiri di hadapannya kini.
“Bapak?!” di depannya kini berdiri lelaki dengan wajah yang sama.
Lea melihat kebawah, berusaha menangkap bayangan kaki orang di depannya. Apakah kakinya menginjak tanah? Tidak! Kakinya tidak menginjak tanah.
Lea ingin lari tapi badannya kaku tak bisa bergerak. Wajahnya makin pucat. Lelaki yang berdiri di depannya tersenyum. Tapi baginya senyum itu menakutkan. Lea melaknat dirinya sendiri karena masih takut melihat hal-hal yang seumur hidup dilihatnya. Marah dalam hati karena kakinya selalu lemas seperti jeli ketika melihat makhluk-makhluk tak kasat mata seperti sekarang.
“Maaf!”
Lea berlari kembali ke kamar bapak. Keringat dinginnya membasahi punggung dan wajah. Di hatinya terus membaca doa-doa, doa apapun yang dia ingat, jangan sampai laki-laki tua itu datang ke kamar.
Tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk. Lea duduk merapat ke tubuh bapak. Dia berharap bapak bisa melindunginya meskipun dengan mata tertutup.
Tangan lea memegang erat bantal. Dia beringsut makin menempel pada kepala ranjang.
Gagang pintu perlahan bergerak kebawah. Bunyi derit pintu nyaring terdengar memecah malam.
“Pergilah...” bisik Lea.
Perlahan pintu terbuka, remang cahaya menerobos dari balik pintu. Seseorang melongok ke dalam kamar, pakaiannya berwarna putih setinggi lutut. Wanita itu...Lea mulai gemetar.
“Mbak...”
Lea bergegas menutup matanya. Dia menjerit pelan tapi bahkan suara pun tidak mau keluar dari bibirnya.
Derap langkah itu mendekat, ‘tok...tok...tok.
Itu suara sepatu ber-hak tinggi. Mana ada perawat zaman sekarang yang sepatunya pakai high heels.
“Mbak,” orang itu menyentuh tangan Lea. Tangannya dingin, apakah ini sosok yang tadi mengikuti aku di lorong?
“Mbak, tolong minggir sebentar saya mau mengganti infus bapak.”
Barulah Lea berani membuka mata, “eh...iya silahkan.” Napasnya berangsur lega. Padahal sebelumnya Lea ingin menghentakkan tangan itu dan berlari keluar.
“Maaf ya, pak jadi kebangun,” ucap perawat ketika melihat bapak membuka mata.
Lea melihat kebawah mengintip sepatu apa yang dipakai perawat. Bukan high heels, Lea menghela napas, tolong jangan ganggu aku lagi malam ini.
“Sudah selesai pak, silahkan istirahat lagi.”
“Terimakasih sus,” ucap bapak.
“Kamu sudah datang Le?”
“Bapak tidur lagi saja. Lea akan jaga bapak.”
Bapak mengamati wajah anak gadisnya. Kasihan, pasti anaknya lelah, “kamu istirahat le, wajahmu pucat begitu.”
“Mmm.”
Malam makin larut, bapak kembali terlelap. Lea berusaha untuk memejamkan mata meski itu tidak mudah. Harapannya hanya satu, esok hasil pemeriksaan dokter sudah baik. Agar bapak bisa segera pulang.
...***...
Azalea terus tersenyum. Dokter bilang kalau sampai besok bapak tetap stabil, maka bapak boleh pulang.
“Tinggal semalam lagi pak.”
Ucap Lea sambil memegang tangan bapak, “Sabar sehari lagi ya.”
“Dokter bilang bapak musti kontrol rutin,” bapak terlihat memelas mengucapkan itu.
Melihat anak gadisnya yang begitu sayang, membuatnya tidak tega merepotkan terus menerus.
“Jangan dipikirkan, yang penting bapak sehat.”
“Lea berangkat kerja dulu ya pak,” mencium tangan bapak takzim, “hari ini bapak harus banyak istirahat.”
Lea menyiapkan bubur di atas nakas, air mineral dan bungkusan obat yang harus diminum. Setelah itu baru dia berangkat.
Lea bekerja pada sebuah restoran yang cukup laris dan terkenal. Tugasnya adalah menghitung stok bahan yang harus dicek setiap hari. Dia senang bekerja di tempat itu. Nyaman, pemiliknya juga baik hati.
“Ah, ya tuhan...” Lea menjingkat karena terkejut. Di depannya berdiri sosok berpakaian compang-camping sambil meringis.
Lea pura-pura tidak melihat sosok itu. Dia menyibukkan diri menghitung stok bahan yang baru datang.
“Aku tahu kamu mendengarku,” ketika sosok itu berbisik di telinga kanan, Lea mengalihkan gerakan ke arah kiri.
“Jangan pura-pura tidak tahu.”
“Hihihihi,” sosok itu menyeringai mempertontonkan giginya yang merah tepat di depan wajah Lea. Aroma amis tercium sangat kuat.
Ah, mulutnya bau sekali.
Lea berjalan ke sudut lain dari dapur .
Tahan Lea, sebentar lagi dia pasti bosan mengganggumu. Lea bicara pada dirinya sendiri.
“Lea,” teriak Bang Qarun dari dapur. Dia adalah salah satu chef di restoran itu. Kebetulan Lea menjadi asistennya dan Qarun adalah Chef favoritnya.
“Siapkan bahan untuk hari ini.”
“Potong acar dan simpan bahan basah di lemari pendingin!”
“Ya Chef!” teriak Lea lantang.
“Bagus.”
“Nanti siang ada reservasi. Tuan King akan makan siang disini. Siapkan bahan untuk dua orang,” titah Bang Qarun—Lea hanya memanggilnya chef jika di dapur, diluar itu Lea lebih suka memanggilnya dengan sebutan abang. Tuan King adalah pelanggan tetap yang selalu datang dengan asistennya.
Aku benci orang kaya.
Benar saja, pukul sebelas beberapa pekerja gugup menyambut dan mempersilahkan dua lelaki tampan untuk duduk di kursi yang pilihan letaknya tak pernah berubah.
“Maaf Tuan, hidangan sebentar lagi akan siap,” salah satu pramusaji menyambut dengan gemetar.
“Kamu tahu kan Tuan King tidak suka menunggu,” ucap Alwyn, asisten King.
King melirik sekilas dan memalingkan wajah melihat jalanan melalui kaca.
“Awas saja kalau mereka terlambat menyajikan,” gumam King.
Alwyn memandang lurus tanpa komentar hanya menganggukan kepala sedikit.
Dari arah dapur muncul Lea membawa hidangan pembuka dengan diikuti Qarun di belakangnya.
“Mereka tepat waktu tuan,” bisik Alwyn.
Lea meletakkan hidangan yang dibawa di atas meja, “silahkan tuan,”
King melihat hidangan itu dengan seksama, memutarnya beberapa kali lalu mengangkatnya untuk melihatnya lebih dekat.
“Sini kamu!” ucap King dingin ke arah Lea.
King melemparkan piring ke atas meja lebih dekat untuk diambil oleh gadis itu, “amati baik-baik!”
Lea menundukkan kepala lalu mengamati makanan yang tadi dibanting di atas meja.
“Maaf tuan, semua baik-baik saja.”
“Baik-baik saja kamu bilang?!” tatapan mata king serasa membakar orang yang ada di sekitarnya.
King mengambil piring itu, menarik sehelai rambut dan menumpahkan sisanya tepat di kepala Lea.
“Sampaikan pada chef yang mengolah masakan ini untuk lebih berhati-hati waktu memasak.”
Seluruh orang yang berada di tempat itu menundukkan kepala dalam-dalam. Sedangkan Lea diam membeku, tubuhnya berdiri tegak dengan mata fokus pada satu titik. Rambutnya lengket oleh fla dan puding, tapi dia benar-benar tak mampu menggerakkan tubuhnya.
“Jangan ganggu aku sekarang,” Bisik Lea.
Mata King membulat sempurna, “apa yang kamu ucapkan? Berani sekali kamu!”
Qarun menarik tangan Lea, “apa yang kamu lakukan?” kepala Qarun masih menunduk, hanya wajahnya mendongak sedikit berusaha melihat wajah Lea. Tapi Lea tak bergeming, tubuhnya mematung.
“Pecat dia, aku tidak mau melihat gadis ini waktu aku makan disini besok dan selanjutnya!”
“Lea!!” bisik Qarun agak keras.
Pandangan Lea terus tertuju dimana King berdiri, “pergilah dari sini!” ucap Lea lebih keras.
“Kamu benar-benar membuatku marah!”
King berjalan meninggalkan ruangan, “Wyn buat wanita itu dipecat dari sini sekarang juga!”
“Tuan,” Qarun berlari mengejar King dan menunduk tepat di depannya, “tuan tolong maafkan Lea, saya yang salah, saya yang memasak hidangannya.”
Qarun tidak mau melihat Lea menderita, dia tahu bagaimana perjuangan gadis itu untuk hidup.
“Sebaiknya anda ke dapur Chef, saya akan pastikan untuk mengikuti kemauan tuan saya,” Alwyn mendekati Qarun dan mengucapkan kata yang tak berperasaan itu.
Sementara itu lea masih berdiri di tempatnya dan tidak mampu bergerak, hanya tubuhnya yang berputar mengikuti arah gerak King.
“Pergilah!” teriak lea tiba-tiba.
Berani sekali gadis itu.
King menghentikan langkahnya lalu memutar dan berjalan mendekati Lea, “berani sekali kamu.” Dengan satu jari King mendorong dahi Lea sampai gadis itu terhuyung ke belakang.
“Kamu yang berani sekali!” tatapan mata Lea sedingin es.
King mengangkat tangannya dan hampir menampar gadis itu. Alwyn sang asisten hanya melihat, sedangkan Qarun terlalu takut untuk melawan. Bagaimanapun dia menyukai pekerjaannya.
“Kamu tahu kan kalau ada wanita yang selalu mengikutimu?” mata Lea menatap lurus pada lelaki itu.
Tangan king berhenti di udara.
“Ada tali tambang tergantung di leher wanita itu.”
Perlahan tangan King turun dan menyisakan pandangan mata nanar.
“Di bibir wanita itu ada setitik darah yang terus mengalir, lidahnya sedikit menjulur keluar.”
King meraih leher Lea dan mencengkeram kuat, “hentikan!”
“Egh...ergh,” tangan Lea memegang tangan King yang berada di lehernya, dia mengerang hampir kehabisan napas.
Alwyn menyentuh tangan tuannya, “Tuan,” bisik Alwyn, “banyak orang yang melihat.”
King melepaskan tangannya, “huk...huk,” Lea terbatuk beberapa kali berusaha meraih udara sebanyak-banyaknya.
King berlalu dengan langkah cepat, “pastikan gadis itu dipecat!” titah King diulang lagi.
“Aku suka makan di restoran ini tapi aku tak suka gadis itu.”
“Baik Tuan,” hanya itu yang diucapkan Alwyn. Karena untuk menolak permintaan tuannya sama seperti berharap melihat matahari bersinar di malam hari.
Siapa gadis itu? Mengapa dia bisa melihat apa yang aku lihat?
***
“Kamu sudah gila ya!” manarik telinga Lea kuat-kuat.
“Maafkan aku Bang, tapi apa yang aku lihat memang nyata. Dan dia tahu itu!” teriak Lea mohon ampun.
“Sekarang pikirkan bagaimana aku bisa membelamu kali ini!” teriak Qarun memekakkan telinga.
“Chef dipanggil bos!” salah satu pramusaji menuju ke dapur tempat Qarun dan Lea berdebat.
“Lihat, habislah kau!” mendorong kepala Lea dengan satu jari.
Di dalam ruangan manager Qarun mati-matian membela Lea.
“Dia tidak sengaja melakukannya, lagi pula itu kesalahan saya. Dia nggak ikut masak!”
Entengnya Qarun membantah manager restoran karena dia adalah chef yang paling dicari di seantero negeri.
“Tapi kali ini kesalahannya fatal Un,” teriak manager sama putus asanya.
“Jangan panggil aku Un.”
“Apakah itu penting sekarang?! Maafkan aku, tapi kali ini Lea harus benar-benar pergi dari restoran.”
Qarun menendang udara karena marah.
Sialan! Andai aku bisa ikut keluar dari restoran ini...
Qarun keluar ruangan sambil membanting pintu. Manager restoran tak bisa melakukan apapun tentang hal ini.
Dengan emosi yang masih tampak jelas Qarun mendekati Lea, “maafkan aku.”
Lea melepaskan apron yang dipakai, melipat, dan meletakkannya di atas meja dengan hati-hati, “tidak apa-apa bang, aku akan baik-baik saja.”
“Datangi aku kalau kamu butuh bantuan,” pesan Qarun.
Lea mengangguk, langkahnya berat meninggalkan restoran.
Bapak, sekarang aku punya banyak waktu untuk merawatmu. Maaf kalau sementara ini kita akan hidup dari tabungan sampai aku menemukan pekerjaan lagi.
...***...
Lea berjalan di bawah terik matahari. Langkahnya terseok. Debu bertebaran tersaruk kakinya. Asap kendaraan memenuhi rongga dadanya.
Dasar manusia arogan...
“arrghhh...” Lea menendang udara. Tangannya juga meremas ruang kosong membayangkan wajah menyebalkan lelaki arogan itu di depannya.
Jam tangannya menunjukkan pukul satu siang. Masih terlalu pagi baginya untuk kembali ke rumah sakit. Pasti bapak akan bertanya-tanya.
Dari kejauhan Lea melihat beberapa bangku pinggir jalan berjajar di dekat sebuah pemberhentian bis. Dia duduk di salah satu sudut yang terlindung pohon rindang. Tidak jauh dari situ ada perempatan dengan lampu lalu lintas berdiri menggantikan tugas polisi mengatur jalanan.
Lea memperhatikan jajaran mobil yang berhenti ketika lampu merah menyala dan mereka akan berjalan bergantian ketika lampu hijau yang menyala.
Nikmat sekali hidup kalian, kemana-mana naik mobil. Tak seperti aku yang selalu bergaul dengan panas dan debu jalanan.
Apakah dalam salah satu mobil itu ada kamu tuan king?
Aku doakan semoga mobilmu kehabisan bensin dan tak bisa berjalan lagi, mogok di tengah jalan.
Lea tertawa kecil membayangkan itu. Lucu sekali kalau hal itu sampai terjadi sekarang, saat ini, di depannya. Dia akan bersorak dan berteriak girang seperti orang gila.
Tiba-tiba di depannya berhenti sebuah mobil.
Ah...masa iya apa yang aku pikirkan bisa kejadian.
Lea menunggu penumpang di dalamya keluar.
Kenapa harus keluar dari pintu sisi yang sebelah sana sih...
Saking penasarannya Lea berdiri berjinjit untuk bisa melihat lelaki yang keluar dari mobil. Ketika dia berhasil melihat, dia kecewa. Yang keluar adalah lelaki tua dengan perut gendut tetapi membawa seorang wanita cantik di dalamnya. Lelaki itu berkali-kali menendang ban mobil sambil menggerutu tidak jelas.
Sukur, kualat sama istri kali...
Masih sempatnya dia memaki dalam hati padahal hidupnya sendiri tidak beruntung.
Rupanya harapannya terlalu tinggi. Ingin melihat tuan King yang terkenal kaya itu kehabisan bensin?! Itu adalah pemikiran yang bodoh.
***
Di salah satu sisi lampu lalu lintas yang sedang menyala warna merah, berhenti sebuah mobil mewah. Di dalamnya duduk seorang lelaki yang matanya fokus ke jalanan. Di depan duduk seorang sopir yang berpakaian rapi dan di sebelahnya duduk lelaki tampan yang lain.
“Wyn, bagaimana perkembangan negosiasi harga dari gedung yang akan kita beli?” tanya King yang duduk di belakang.
“Harganya bagus tuan, karena tersebar rumor yang merugikan. Banyak yang bilang gedung itu berhantu," jawab Alwyn.
“Baguslah, memang itu kan yang kita cari. Hubungi agen propertinya Wyn. Segera selesaikan jika harga sesuai.”
“Baik Tuan.”
King yang selalu melihat keluar menangkap sosok Lea yang sedang duduk termenung di bangku halte bis dibawah pohon rindang.
“Wyn berhenti!” pinta King tegas.
Alwyn terkejut. DI tengah jalan begini paling tidak mereka harus meminggirkan kendaraan lebih dulu. Tapi seperti biasanya perintah King adalah titah raja baginya.
“Ko, minggir,” Alwyn menyentuh lengan Joko sopir yang membawa mobil.
“Baik tuan,” joko meminggirkan mobilnya perlahan.
Mobil berhenti agak jauh dari posisi Lea duduk. King memandang lekat gadis itu dari kaca spion.
“Wyn, kamu melihat gadis itu?” tunjuk King pada spion dengan matanya. Alwyn memutar tubuh melihat langsung ke belakang melalui kaca.
“Iya, tuan.”
Anda lihat tuan, kasihan sekali gadis itu bukan?!
Alwyn menghela napas.
“Wyn, turun!”
“Tanyakan padanya apakah dia masih bekerja di restoran itu?”
“Apa Tuan?!”
“Kamu mendengarku dengan jelas Wyn.” Ucap King dingin tanpa merubah pandangannya.
“Baik Tuan.”
Alwyn turun, dia berjalan mendekati tempat Lea duduk. Dia harus menata hatinya untuk bertanya pada gadis itu. Tapi bagaimana lagi, itu adalah keinginan tuannya.
“Selamat siang,” sapa Alwyn menundukkan kepala.
“Selamat...,” Lea menghentikan kalimatnya ketika dia tahu siapa yang menyapa lalu membuang muka, “mau apa kau?”
“Maafkan saya. Saya hanya ingin bertanya.”
Lea melirik sekilas.
“Apakah anda sudah diberhentikan?”
Apa?!
“Hei orang kaya tidak berperasaan.”
Lea berdiri sambil berkacak pinggang. Tangannya lurus menunjuk Alwyn, “apa urusannya aku dipecat atau tidak, hah!”
Alwyn tersenyum.
Harusnya engkau memohon padaku, agar aku bisa memohon pada tuanku. Tapi sepertinya kau adalah gadis keras kepala.
“Melihat tingkah anda, sepertinya anda sudah dipecat.”
“Baiklah, kalau begitu saya permisi dulu,” jawab Alwyn tenang.
Wajah Lea merah padam merasa malu dan marah. Dia melepas sepatu kets nya dan melempar punggung Alwyn yang berjalan menjauh.
“Sialaaann!!” teriak Lea. Sepatu itu melayang tinggi dan tepat jatuh memantul di area punggung Alwyn yang mengenakan kemeja putih. Tapi Alwyn tidak peduli, dia terus melangkah menuju mobil tempat king menunggu.
“Woi...sialan kamu! Sini kamu, kembalikan sepatuku woi...!”
Lea tertatih mengambil sepatunya. Alwyn tersenyum diam-diam.
Ambil sendiri sepatu anda. Siapa suruh melempar sepatu anda pada saya.
Sampai di mobil, King langsung memberi perintah.
“Jalan Ko.”
Tak lama mobil itu berjalan tanpa peduli ada gadis yang berlari mengejar sambil tertatih karena satu sepatunya lepas.
“Dia sudah dipecat tuan.”
King tidak menjawab, tapi muncul senyum tipis di bibirnya.
Ya, aku tahu, semua jelas terlihat dari sikapnya. Nikmatilah lemparan sepatunya Wyn. Hmmm...gadis yang unik.
***
“Aku benci orang kaya,” Lea kembali duduk di tempat yang sama. Telapak kakinya serasa terbakar.
“Selalu itu yang kau ucapkan,” terdengar sebuah suara. Sosok compang-camping yang biasanya mengganggu di dapur restoran kembali hadir. Kali ini dia nongkrong diatas bangku tempat Lea berteduh.
Belum cukup juga gangguanku hari ini.
Lea menatap lurus hantu itu, sambil memasang wajah memelas, “tolong jangan ganggu aku kali ini. jadilah hantu normal yang datang pada malam hari,” tangan Lea memohon di depan dada.
Sosok itu malah tersenyum lebar, “aku tahu kamu melihatku, kenapa selama ini diam saja, sok tidak peduli.” terus mengoceh sambil menghilang dan muncul berpindah-pindah tempat.
Karena kalian menakutiku.
Lea berdiri, berjalan meninggalkan tempat itu. Hantu compang-camping bergigi merah itu terus mengikutinya.
“Sekarang kamu mengabaikan aku lagi, hihihi...,” terkikik tepat di depan wajah lea sambil memamerkan giginya yang kotor dan napasnya yang berbau busuk.
“Diam atau menghilanglah!” teriak Lea. Dia merasa cukup menahan diri. Kakinya berhenti dan dia menghadap pada ruang kosong sambil berteriak.
Beberapa orang yang lalu lalang terkejut melihat Lea berteriak seorang diri, tentu saja dengan melemparkan tatapan mata heran.
Sial...
Lea mempercepat langkahnya, dia berjalan meninggalkan tempat itu. Banyak orang yang tertarik untuk melihatnya. Lebih baik ke rumah sakit daripada dianggap gila karena orang lain tak bisa melihat lawan bicaranya.
Gadis itu berhenti di halte lain yang terdekat. Menanti bis tujuan rumah sakit berikutnya. Hari mulai sore. Matahari perlahan menghilang di ufuk barat. Dia bisa membuat seribu alasan untuk ayahnya kenapa dia pulang lebih awal. Jangan sampai dia benar-benar kehilangan akalnya karena sering berbicara sendiri.
...***...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!