NovelToon NovelToon

Suamiku Milik Ibunya

Kedatangan Ibu mertua

" Ibu jadi datang Mas?" aku bertanya pada mas Hamdan pagi ini setelah kami sarapan.

" Iya, dek! ini mas baru mau jemput Ibu ke stasiun!"

Aku mengangguk mengerti dan gegas membereskan meja makan.

Namaku Joya Jasmine, aku berusia 23tahun. Mas Hamdan adalah suamiku, kami menikah dua tahun lalu, usia kami terpaut tidak jauh, hanya 3 tahun. Mas Hamdan pria yang lembut, selama menikah aku sangat bahagia.

Kami belum dikaruniai anak, bukan menunda, tetapi memang belum diberi kepercayaan oleh Allah, meski begitu kami tidak menjadikannya beban pikiran, kami masih menikmati keindahan pernikahan kami, ya..bisa dibilang menikmati kebersamaan seperti pasangan kekasih, hanya saja kami menikmati nya dalam hubungan halal.

Ini adalah kunjungan pertama Ibu mertuaku, selama menikah kami tinggal di rumah yang dihadiahkan Ayah padaku, biasanya mas Hamdan yang mengunjungi Ibunya, aku juga tidak terlalu akrab dengan Ibu mas Hamdan, karena selama menikah baru empat kali aku dibawa berkunjung ke kampung halaman mas Hamdan.

" Dek, mas berangkat dulu!"

Aku buru-buru menghampiri mas Hamdan dan mencium punggung tangannya dengan takzim sebelum mas Hamdan pergi bersama kendaraan roda empatnya.

Jarak stasiun kereta dari rumah hanya sekitar 30 menit, jadi tidak heran ketika mas Hamdan kembali setelah pergi tidak sampai dua jam lamanya.

" Assalamualaikum"

Mendengar suara salam, aku segera menghampiri mas Hamdan yang kini mengandeng tangan seorang wanita paruh baya yang ku tahu beliau adalah Ibu mertuaku.

" Waalaikumsalam" Jawabku sambil menyalami tangan keduanya.

" Masuk Bu." Aku menuntun beliau untuk duduk di ruang tamu kecil kami, rumah yang kami tempati memang tidak besar hanya memiliki dua kamar, dapur, ruang tamu dan tempat menonton televisi.

Ibu mas Hamdan terlihat acuh, mungkin beliau capek.

" Dan, Ibu mau minum teh hangat tawar" Ibu mertuaku mengatakannya sambil melirik sinis padaku.

" Iya Bu, Dek' kok Ibu tidak di ambilkan minum!" begitu suara mas Hamdan menegurku, aku bukannya lupa mengambilkan minum untuk Ibu, hanya saja ku pikir beliau duduk dulu nyaman, baru aku akan menyiapkan suguhan yang memang sudah ku siapkan untuk menyambut Ibu suamiku.

Tidak mau Ibu menunggu lama, aku gegas melangkah ke dapur.

Setelah menyiapkan teh tawar hangat dan beberapa kue yang ku buat sendiri aku buru-buru menyuguhkan kepada Ibu mertuaku.

Tidak ada ucapan apapun dari Ibu mertuaku, Ibu mas Hamdan langsung meneguk teh yang ku buat dan menikmati kue-kue yang ku hidangkan.

" Ibu sudah makan?" tanyaku, Ibu terlihat lahap sekali menikmati kue yang ku hidangkan barang kali beliau lapar, aku juga sudah menyiapkan makanan untuk Ibu.

" Sejak kapan di kereta api ada restoran?" tanyanya sinis yang membuat aku terkesiap. Bukan seperti itu maksud ku, aku hanya hendak menawarkan makan, namun ingin basa-basi terlebih dahulu. Apakah beliau tidak menyukai ku? tapi kenapa?.

Aku melirik mas Hamdan yang hanya diam membisu, kenapa mas Hamdan tidak membantuku, setidaknya menjelaskan pada Ibunya jika aku sudah jauh-jauh hari menyiapkan kedatangan Ibu ini.

Ya, bahkan dua hari sebelum Ibu kesini, aku sudah bikin ini-itu untuk menyambut beliau, aku tidak ingin beliau kecewa di kunjungan pertamanya.

Segera ku ajak beliau menuju meja makan, aku dan mas Hamdan tidak ikut makan, karena dua jam yang lalu kami baru makan.

" Kalian cuma tinggal berdua, bikin makanan kok banyak sekali?" Tanya Ibu tidak ada keramahan sama sekali.

Aku meremas tanganku, kenapa sepertinya Ibu mas Hamdan tidak menghargai segala usahaku.

" Hamdan kan suka ayam goreng Bu, istri Hamdan ngak suka jadi menunya beda, Joya suka berkuah kalau lagi sarapan, sedangkan Hamdan suka yang di goreng-goreng" setelah sekian purnama suara mas Hamdan baru terdengar, namun bukannya memaklumi perkataan Ibu malah seperti kembali menyalahkan aku.

" Jadi istri jangan cerewet, harus pinter menyesuaikan diri, apa yang di sukai suami ya itu aja yang dimakan, kalau kayak gini jatuhnya boros!"

" Ya sudah, Ibu makan aja, nanti biar Hamdan nasehati Joya" ucap mas Hamdan lembut, tetapi cukup untuk menyakiti hatiku, maksudnya apa? jadi aku ngak boleh masak apa yang aku suka? belum ada satu jam Ibu disini aku seperti terpenjara.

Malam hari, aku yang masak di dapur di datangi Ibu.

" Hamdan ngak suka cumi, kenapa mau masak cumi?"

" Ini untuk Joya Bu. Mas Hamdan sudah Joya masakan" aku berusaha menjawab se-ramah mungkin, tatapan beliau tidak pernah bersahabat, entah apa salahnya.

" Tadi kan sudah tak nasehati to kamu..masak ngak usah macem-macem, wis opo sing di suka suamimu itu kamu makan!" Ibu ngegas sampai aku terkejut.

" Hamdan." Lebih membuatku bingung, Ibu malah memanggil mas Hamdan.

" Iya, Bu." Mas Hamdan yang sepertinya baru selesai mandi ter-gopoh mendengar panggilan ibunya

Beberapa air masih menetes dari rambutnya, ya Allah..sangking kagetnya kah dia?

" Katae tadi mau kamu nasehati, nyatane kok masih gini, Iki boros Lo "

Ibu mas Hamdan memang datang dari Trenggalek Jawa timur, memang ngak begitu fasih berbahasa Indonesia, namun aku tetap faham apa yang Ibu adukan.

Mas Hamdan menatapku. Mas Hamdan paling tau jika aku sudah beberapa hari ini ingin sekali makan cumi, tidak mungkin kan karena teguran ibunya, ia sampai tega melarang ku .

" Dek, cuminya di masak besok aja, itu kan sudah ada ayam goreng" katanya yang membuatku mendongak. Aku ngak bisa makan ayam, bagaimana dia tega melarang ku memasak apa yang ingin ku makan, lagian aku yang masak sendiri tidak merepotkan siapapun.

Sepanjang makan malam, aku sama sekali tidak bersuara, aku sakit hati, ku usap perutku, keinginanku makan cumi asam manis harus ku kubur, bersamaan dengan menguapnya rasa lapar ku.

Aku hanya makan beberapa suap, kemudian membereskan meja makan, karena Ibu mertuaku dan mas Hamdan sudah selesai sejak tadi.

Saat mencuci piring tidak terasa air mataku menetes, aku anak tunggal, selama ini segala keinginan ku selalu di utamakan oleh orang tua ku, begitu juga oleh mas Hamdan, tapi hari ini...

" Dek." buru-buru ku hapus air mataku saat melihat mas Hamdan mendekat.

" Ibu bilang akan tinggal sama kita, beliau kesepian tinggal sendirian, kamu tidak keberatan kan?"

Ya Allah..apa maksudnya akan tinggal di sini? aku akan menjawab tapi Ibu lebih dulu bersuara.

" Ngapain kamu tanya pada istri mu Dan, istri itu harus patuh apa kata suami nya"

Hari ini aku syok berkali-kali, bagaimana jika Ibu tinggal disini? baru beberapa jam saja aku seperti kehilangan kebebasan ku, bagaimana kalau selamanya.

Ketakutan ku menjadi kenyataan, satu Minggu Ibu di rumah ini, semua berubah, keadaan rumah berubah, menu makanan berubah, kebiasaan berubah, bahkan suamiku pun ikut berubah.

" Joy, kenapa kamu senang sekali berdebat dengan Ibu?" tanya mas Hamdan begitu baru pulang bekerja. Apalagi ini ya Allah, apa lagi yang di adukkan Ibu pada suamiku?

Dan lihatlah, bahkan kata dek sudah tidak di ucapkan lagi.

" Aku....

" Biar Ibu kembali ke Trenggalek aja Hamdan, istri mu ngak suka Ibu disini!"

Ku pejamkan mata rapat-rapat, kalau sudah begini aku yang akan di salahkan oleh mas Hamdan.

" Minta maaf sama Ibu!" suara mas Hamdan meninggi, tanda tak mau dibantah, sementara aku masih tak bergeming hingga mas Hamdan kembali bersuara.

" Apa kamu mau jadi istri durhaka ha?"

Aku menangis dalam hati, hidupku benar-benar berubah, jika seminggu yang lalu aku yang selalu di utamakan di manjakan, kini aku tak ubahnya seperti babu.

Bahkan setelah dengan kasarnya mas Hamdan memaksaku minta maaf, sampai dua hari yang ku lewati dengan sejuta luka pria itu malah tidak pulang, yang ku dengar dari Ibu mas Hamdan pergi keluar kota, bahkan kini jika ada apa-apa mas Hamdan akan lebih mengabarkan pada Ibu. Aku seperti tidak kasat mata dan tak dianggap keberadaan ku.

Nafkah yang terbagi.

Nafkah yang terbagi.

Author POV

" Harus berapa kali mas katakan, Ibu hanya punya aku, ngak mungkin aku tega membiarkan Ibu tinggal sendirian di sana, ini hanya masalah bunga, Joya!"

Joya menatap suaminya tidak percaya, 'hanya masalah bunga katanya?' ini sudah kesekian kalinya Ibu Hamdan melarang ini-itu pada Joya, mengapa suaminya tidak mengerti juga, bahkan meskipun baru pulang dari luar kota, bukannya melepas rindu seperti yang sudah-sudah, Hamdan langsung menasehati Joya karena aduan sang Ibu.

Joya melepas tangannya yang menggenggam tangan Hamdan.

Harusnya saat ini Joya bisa bergelanyut manja pada suaminya, bercerita kesehariannya seperti dulu saat Hamdan baru datang dari perjalanan kerja, namun ini?.

Sekarang pikiran Joya sedang mencari-cari, sebab apa Ibu Hamdan tidak menyukainya, padahal selama ini ia sudah berusaha menjadi istri dan menantu yang baik.

Wanita mana yang betah tinggal bersama Ibu mertuanya jika sepanjang hari Ibu mertuanya selalu berbicara dengan ketus, semua yang dilakukan selalu salah, belum lagi sikap pengaduan yang selalu membuat suaminya salah faham.

Air mata Joya berdesakan ingin keluar, hatinya sangat sedih.

Ini bukan hanya soal bunga, tetapi juga menyangkut hak nya di rumah ini, sepanjang tinggal di rumah ini, Joya sudah terbiasa membeli bunga-bunga segar untuk mengisi beberapa sudut rumah mereka, bunga segar yang tidak hanya harum tetapi juga indah untuk di pandang, tiga sampai empat hari sekali biasanya Joya akan menggantikan bunga yang sudah layu, namun karena langganan toko bunganya tutup beberapa hari belakangan, Joya baru sempat membelinya hari ini, namun lagi-lagi kebahagiaannya di ganggu oleh kata-kata ketus Ibu mertuanya.

" Kasian sekali anak ku, punya istri bisanya cuma menghambur-hamburkan uang untuk hal yang tidak penting" kalimat itu sudah cukup menyakitkan, di tambah kini suaminya ikut menegurnya, suami yang biasanya paling mengerti dirinya kini berubah.

" Dek" mendengar suara Hamdan, Joya buru-buru menghapus air matanya.

Hamdan memberikan sebuah amplop coklat, Joya menerimanya seperti biasa.

Joya memeriksa karena merasa sedikit berbeda, terlihat Hamdan salah tingkah dan mengaduk tengkuknya.

" Anu, itu sebagian mas berikan kepada Ibu untuk peganggan."

Tidak ada kata yang Joya ucapkan untuk menanggapi penjelasan suaminya, toh jikapun ia proses pasti tidak akan ada gunanya.

Menghela napas lelah, Joya masuk kedalam kamar.

Lelah sekali hati Joya beberapa Minggu ini, kehadiran Ibu suaminya membuat kebahagiaan rumah tangganya terenggut.

" Dek" ternyata Hamdan menyusul. " Kamu marah karena sebagian gaji aku, ku berikan sama Ibu?" tanya Hamdan yang membuat Joya malas menanggapi.

" Dek" Hamdan terlihat sangat lelah membuat hati Joya tidak tega.

" Ngak pa-pa kok mas" jawab Joya pada akhirnya, karena biar bagaimanapun Hamdan sudah terlanjur memberikan sebagian gajinya pada sang Ibu.

" Kalau begitu senyum dong, mas lelah dek' proyek disana cukup berat"

Meski kesulitan untuk tersenyum. Tapi Joya paksakan senyum itu tetap muncul, agar Handan bisa istirahat, Joya tidak tega membuat Hamdan kepikiran.

Usai makan malam yang terasa hambar bagi Joya, Ibu Hamdan kembali berpendapat.

" Harusnya uang gaji kamu kasih Ibu semua Hamdan, biar Ibu yang mengelola keuangan kalian, Ibu lihat istri mu ngak pintar ngatur uang, bagaimana mau punya simpanan kalau istri mu terlalu boros"

" Iya, Bu, bulan depan Hamdan kasih gaji Hamdan sama ibu semua"

Air mata Joya tidak terbendung, tidak mengatakan apa-apa, Joya berlalu meninggalkan meja makan.

Samar-samar masih Joya dengar Ibu mertuanya mencibirnya namun Joya tidak perduli.

Hamdan tidak menyusul Joya hingga tengah malam membuat luka hati Joya kian menganga.

Mana Hamdan yang dulu selalu memanjakannya? mana Hamdan yang dulu selalu memiliki ribuan jurus untuk membujuknya kala ia ngambek, mana Hamdan yang dulu selalu manis dalam bertutur kata dan tidak pernah melarang Joya melakukan apa yang ia suka, mengapa Hamdan berubah?.

Hampir dini hari Hamdan baru menyusul istrinya, tidak biasanya Joya tidur seperti itu, dengan posisi memunggungi pintu.

Perlahan tangan Hamdan terulur dan memeluk Joya.

" Maaf" bisik lelaki itu yang masih bisa Joya dengar.

***

Ketika bangun Hamdan sudah tidak mendapati keberadaan istrinya, setelah beberapa saat bersiap, Hamdan menuju meja makan dan tidak menemukan masakan apa-apa.

" Joya tidak masak Bu?" tanya Hamdan yang menghampiri ibunya yang sedang menggoreng tahu.

" Istri mu sejak kamu tinggal ke luar kota memang ngak pernah masak" Rubiah melirik putranya.

Hamdan termenung mendengar ucapan sang Ibu.

Setelah Ibunya kembali melanjutkan kerjaannya, Hamdan mencari keberadaan sang istri.

" Dek" Hamdan buru-buru menghampiri istrinya yang sedang susah payah menjemur bad cover ke atas penjemuran.

Hamdan ikut membentangkan kain tebal yang masih meneteskan air itu ke atas penjemuran, mesin cuci mereka memang kecil, kapasitasnya tidak mampu untuk mengeringkan bad cover nomor satu, itu sebabnya biasanya dua Minggu sekali Joya akan memakai jasa laundry untuk mencuci kain tebal itu, namun tentu saja sejak Ibu Hamdan datang, Rubiah mengatakan itu sebuah pemborosan dan lagi-lagi Joya tidak bisa melawan.

" Kenapa tidak di diamkan dulu agar kadar airnya kurang, biar tidak terlalu berat menjemurnya?"

" Aku malas mas berdebat sama Ibu!" ketus Joya.

Hamdan hanya memandang istrinya sendu, biasanya setiap hari Minggu mereka akan mengawali pagi dengan olahraga bersama kini semenjak ada ibunya istrinya terlihat lebih murung.

Hamdan baru saja akan bicara, namun suara Rubiah membuatnya tidak jadi bersuara.

" Ayo makan" ajak Hamdan pada Joya.

" Yang di panggil Ibu sarapan mas Hamdan bukan aku" jawab Joya acuh.

Hamdan lagi-lagi hanya menghela napasnya, menghampiri ibunya yang beberapa kali memanggil namanya.

Ternyata yang dikatakan Joya benar, Ibunya hanya memasak untuk mereka berdua, ingin Hamdan protes tetapi tidak berani.

Hamdan melirik ke ujung meja makan, di sana juga sudah tidak ada bunga segar yang beberapa Minggu masih memanjakan mata mereka, di sudut ruangan juga tidak ada, padahal biasanya hari Minggu Joya akan bersemangat mengajaknya jalan dan juga membeli bunga segar untuk hiasan rumah cantik mereka.

Menyapu pandangan ke sekitar Hamdan juga menyadari banyak perubahan di rumahnya setelah sang Ibu tinggal.

Kantong-kantong plastik di selip dimana-mana, warna sarung bantal sofa berbeda, bunga-bunga hias yang biasanya menyambut di depan kamar mandi juga tidak ada, kenapa dia baru menyadari?

" Bu, bunga-bunga yang di depan kamar mandi Ibu yang pindahkan?" tanya Hamdan pada ibunya.

" Iya, Ibu taruh di samping rumah, istri mu itu ngak becus Dan, mosok bunga kok di taruh dalam rumah, bikin kotor"

" Itu bunga mahal Bu, memang untuk di dalam rumah, ngak bisa kena matahari secara langsung"

" Ibu nyesel sudah kasih restu kamu nikahi Joya, boros, Dan!"

Hamdan tidak bisa berkata-kata, dan kini matanya menemukan Joya yang berdiri di pelantara pintu dapur dan ruang makan.

Bicara

Hari demi hari berlalu, Joya semakin tak di hiraukan perasaannya, Rubiah mengambil alih peran yang selama ini ia jalankan, termasuk dalam mengurus Hamdan.

Mengharapkan Hamdan mengerti nyatanya Joya harus kecewa karena Hamdan sendiri terlalu takut melukai hati ibunya.

Hari ini tepat tiga bulan berlalu, Rubiah sudah seperti tuan rumah, sementara Joya hanya pesuruh yang pekerjaannya tidak pernah di hargai.

" Joya, Ibu mau kenalin kamu sama seseorang" siang itu Joya sedang berada di kamar saat Rubiah memanggilnya. Meskipun enggan namun Joya tetap memenuhi panggilan wanita yang sudah melahirkan suaminya.

Ikut melangkah di belakang Ibu mertuanya.

Melangkah ke ruang tamu, di sana Joya melihat gadis muda sedang duduk menunduk malu-malu.

" Sini, nak." Rubiah meminta sang tamu duduk mendekat kearahnya. Sementara Joya masih berdiri memerhatikan keduanya.

" Namanya Ayenir" ucap Rubiah memperkenalkan, dan sama sekali tidak perduli meskipun Joya masih berdiri.

" Dia calon istri muda Hamdan"

Bagai di sambar petir di panas terik, Joya mendengar ucapan Rubiah, Kesabarannya di sepelekan, kepatuhannya di anggap kebodohan. dadanya seperti di sayat belati dengan keji, ternyata orang yang dihormatinya selama ini justru menciptakan maka petaka untuk rumah tangganya, bagaimana mungkin seorang Ibu tidak bisa menghargai keputusan anaknya.

" Selama ini Joya diam karena Joya menghormati Ibu, tetapi Joya rasa Ibu sudah sangat keterlaluan, ini hidup kami Bu, Ibu tidak berhak ikut campur" tegas Joya dengan luapan kekesalan yang tak terbendung.

" Oh, rupanya Hamdan terlalu memanjakan mu sampai kamu berani meninggikan suara mu di hadapanku ya..? dengar Joya! ku pastikan Hamdan tetap menikahi Ayenir dengan atau tanpa persetujuan mu"

" Ibu"

" Joya"

Joya reflek mengangkat tangannya bersamaan dengan Hamdan yang tiba-tiba datang dan menyerukan namanya.

" Apa-apaan kamu?" bentak Hamdan mendorong Joya menjauh.

" Hamdan, inilah yang Ibu tidak suka dari istri mu, dia tempramental nak" adu Rubiah memeluk anaknya dengan Isak tangis.

Wajah Hamdan memerah, mendengar ucapan ibunya.

Joya mengeleng tidak percaya dengan drama yang di buat oleh Ibu mertuanya, meskipun hampir mengangkat tangannya, tetapi ini pertama kali Joya khilaf, namun ternyata Rubiah memanfaatkan keadaan untuk membuat putranya semakin salah faham.

" Dengan kamu berani melukai Ibu, itu berarti kamu juga sudah melukai ku Joy!" Hamdan menatap Joya tajam, tangan Hamdan terkepal kuat di sisi tubuhnya.

Ini keterlaluan, Joya tidak bisa lagi menahan luka hatinya, cukup sudah dia bersabar, cukup ia tersiksa secara batin.

" Kamu berubah mas, kamu tidak pernah lagi mendengarkan aku, Ibu, Ibu, Ibu terus Ibu! aku juga berhak membela diri, Ibu mu sudah keterlaluan, Ibu mu itu raja drama, aku...

' Plak'

Ucapan Joya mengambang di udara begitu Hamdan memutus suaranya dengan sebuah tamparan keras.

Tidak hanya luka hati yang Joya dapatkan, tetapi juga luka fisik yang tidak pernah terpikirkan oleh Joya jika Hamdan benar-benar tega melakukannya.

Tersengal-sengal, Joya menyingkir, tidak perduli apapun, Joya berlari kedalam kamar, mengurung diri merasakan luka hati yang teramat sangat.

Malam itu Joya tidak menghiraukan panggilan ataupun ketukan pintu dari Hamdan. Joya menangis sampai terlelap.

Pagi hari Joya terpaksa bangkit meskipun kepalanya terasa berat, hati dan fisiknya terluka, selesai mandi, Joya keluar kamar.

Hamdan yang melihat istrinya keluar kamar buru-buru menghampiri dan mengenggam tangannya.

" Dek, kamu tidak apa-apa, pipinya masih sakit?" kini tangan Hamdan mengusap bekas tamparan di pipi sang istri.

" Mas minta maaf, andai saja kamu tidak menyakiti Ibu, mas tidak akan melukai mu juga"

Mendengar ucapan Hamdan membuat Joya muak.

Wajah tampan itu menatap penuh rasa sesal pada luka lebam di sudut bibir istrinya. Hamdan rindu pada kehangatan rumah tangganya, tetapi Joya malah semakin susah di atur, Hamdan hanya ingin tinggal bersama sang Ibu, karena ibunya hanya memilikinya. Sudah menjadi kewajiban Hamdan untuk membahagiakan ibunya, namun istrinya justru cemburu dan bertindak ke kanak-kanakan seperti semalam.

" Mau kemana?"

Sama sekali tidak ada jawaban dari bibir Joya.

" Dek!"

" Cari sarapan" jawab Joya singkat.

" Kenapa tidak sarapan di rumah?" tanya Hamdan lembut.

" Ngak selera"

" Ibu dan Ayenir sudah masak banyak lo!"

Wah, wah, wah..hati Joya bersorak, bahkan gadis itu sudah mendapat tempat dirumahnya.

Saat hendak ingin kembali bersuara, suara Ibu Hamdan kembali terdengar.

" Handan, ayo sarapan, Ayenir sudah masak banyak, rajin memang Ayenir ini ngak kayak istri mu yang bahkan jam segini baru bangun.

Tidak perduli dengan sindiran yang semakin membuatnya sakit hati Joya memilih pergi tidak menghiraukan panggilan Hamdan.

Malam itu Hamdan menunggu Joya sampai malam, tadi Joya sudah mengirimkan pesan jika akan pulang malam karena sedang ingin menenangkan diri.

" Dek" Hamdan memulai pembicaraan. " Ibu memintaku untuk menikahi Ayenir"

Hamdan menatap sang istri yang tidak bergeming.

Joya tidak mengatakan apapun, dan tidak bereaksi apapun, meskipun sebenarnya hatinya kini berdarah-darah.

" Mas tidak bisa menolak karena ini untuk pertama kalinya Ibu meminta sesuatu padaku, dek' dulu Ibu membesarkan ku seorang diri, rela mengorbankan apapun untuk menjadikan mas seperti sekarang, rela tidak menikah demi membiayai sekolah agar mas bisa menjadi orang sukses, banyak pengorbanan Ibu untuk mas, untuk itu mas tidak berani melawan beliau, mas tidak mau dianggap sebagai anak durhaka." jelas Hamdan panjang lebar.

Joya bergeming. Jika soal pamrih, jika keinginan Ibu Hamdan bukan sesuatu yg buruk, jika mereka punya kemampuan untuk memenuhi keinginannya, ia tidak akan keberatan untuk ikut mengabulkannya, sebagai rasa terima kasih sudah merawat dan menjaga sang suami semasa kecil, tetapi mengabulkan permintaan Ibu mertuanya yang tidak masuk akal seperti ini? itu bukan bakti namanya! Namun pengorbanan. Dan Joya tidak mampu untuk mengabulkannya, jika memang sang suami tidak bisa menolak keinginan ibunya, maka Joya yang akan menepi, menguatkan hati dan akan mulai membiasakan melanjutkan hidup tanpa Hamdan, mungkin tidak secara langsung, namun perlahan menyingkir dengan rencana matang.

" Mas janji akan bersikap adil dek" lirih Hamdan meraih tangannya.

Joya muak. Sangat muak, Joya menyesal sudah memilih lelaki seperti Hamdan, seorang suami yang tidak berguna, suami yang menuruti semua keinginan ibunya, mengapa tidak sejak awal Ibunya mencarikan jodoh untuk Hamdan, mengapa baru kini, disaat Joya sudah memberikan segalanya pada lelaki ini?

Air mata yang di tahan-tahan akhirnya luruh juga, Joya tidak mengiyakan, ia juga tidak melarang, biarlah semua terjadi seperti keinginan Ibu Hamdan, mencegah pun tak berguna.

Joya membaringkan tubuhnya, mengistirahatkan seluruh jiwa raganya, tidak menghiraukan ucapan maaf berkali-kali dari Hamdan. Cukup. Joya tidak akan perduli lagi.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!