Ini lah kisah nyata yang pernah aku alami di tahun 2016 silam. Menjadi seorang wanita penghibur, di salah satu tempat karaoke yang berada di kota Batam.
"Sini, sayang!"
Panggil Haris, dia melambaikan tangan nya pada ku. Dia memilih ku untuk menemani nya minum dan bersenang-senang.
"Iya bentar, bang!" jawab ku.
"Aku pamit duluan ya man teman." seru ku.
Aku berpamitan dan melambaikan tangan kepada para waiters lain nya, yang masih setia menunggu para tamu lain datang.
Aku berjalan dengan langkah cepat, untuk menghampiri Haris yang sudah menunggu ku di depan pintu utama.
"Ayo, bang!" ajak ku pada Haris.
Aku tersenyum dan menggandeng lengan Haris. Aku membawa nya masuk ke dalam ruangan karaoke tersebut.
"Duduk di sini dulu ya, bang! Aku mau pesan minuman nya dulu ke kasir sebentar."
Haris menuruti ucapan ku, dia duduk manis di tempat yang sudah aku pilih kan untuk kami berdua.
Aku segera bergegas menuju boks tempat penyimpanan tas para waiters, yang terletak di samping meja kasir untuk menyimpan tas ransel ku.
Setelah itu, aku mengambil ponsel dan memasukkan nya ke dalam saku celana panjang ku.
Aku memakai celana jeans putih panjang, dan kemeja hitam kotak-kotak. Pakaian kami semua nya memang harus sopan. Bos melarang keras para pekerja waiters nya memakai pakaian yang terbuka dan seksi.
Biar pun pekerjaan kami di mata orang-orang terlihat hina dan rendah, kami tetap harus menjaga penampilan agar tetap tertutup dan rapi.
Itu lah salah satu peraturan yang di terapkan di tempat kerja ku saat ini. Aku berjalan ke meja kasir, untuk memesan tiga botol minuman dan sebungkus rokok.
"Bil, pesan tiga botol minuman sama rokok sebungkus, ya!" pinta ku pada Billy.
"Oke, Ndah. Untuk meja no berapa, Ndah?" tanya Billy.
"Meja no lima, Bil." aku tersenyum manis kepada Billy sang kasir.
"Jangan senyum-senyum gitu, Ndah! Ntar malah kepincut pulak kau dengan wajah tampan ku ini." sindir Billy.
"Widiih, ge er banget si bambang tamvan ini!" balas ku.
Aku meledek Billy dengan menjulurkan lidah ku kepada nya. Kemudian, aku berlalu pergi dari hadapan Billy.
Aku menenteng tiga botol minuman, dan sebungkus rokok menuju ke meja no lima, dimana tempat Haris duduk tadi.
Sampai di meja, aku duduk di samping Haris dan menuangkan minuman itu ke dalam gelas. Aku menuangkan secara perlahan, agar minuman nya tidak berbusa.
Aku memasukkan beberapa butir es batu ke dalam gelas minuman itu. Setelah itu, aku menyerahkan gelas itu ke tangan Haris yang duduk tepat di samping kiri ku itu.
"Ini minuman nya, bang!"
Haris menerima gelas itu dari tangan ku, dan aku pun mengajak nya untuk bersulang.
"Ayo kita bersulang, bang!" ajak ku.
"Oke, sayang." balas Haris.
Aku dan Haris pun mengangkat gelas masing-masing dan "cheers." Kami berdua meminum minuman itu sampai tandas dalam satu nafas sekaligus.
Mata ku langsung terpejam, karena menahan kan rasa pahit yang amat sangat dari minuman tersebut. Kepala ku langsung terasa berat dan pusing akibat minuman itu.
Karena pada dasarnya aku bukan lah seorang peminum. Maka dari itu aku mudah pusing, walaupun hanya meminum sedikit saja minuman keras tersebut.
Setelah pusing di kepala ku sudah agak mendingan, aku mengambil rokok dan menyalakan nya. Sambil menghisap rokok, aku sempat kan melirik sedikit kepada Haris, yang berada di samping ku.
Dan ternyata, dia sedang melihat ku dengan tatapan yang aneh. Namun, aku sama sekali tidak menghiraukan nya, dan tetap pura-pura acuh dengan tatapan nya itu.
Aku terus saja menghisap rokok yang ada di tangan ku, dengan pandangan kosong lurus ke depan.
"Kamu sedang mikirin apa, Ndah?" Haris bertanya sambil terus memandangi wajah ku.
"Kepala ku lagi pusing, bang. Terlalu banyak masalah yang harus aku hadapi saat ini."
Jawab ku jujur sambil memegangi kepala yang mulai berdenyut-denyut nyeri.
Sedikit cerita tentang Haris, dia adalah salah satu tamu langganan di tempat karaoke kami. Setiap kali Haris datang, dia selalu meminta ku untuk menemani nya.
Dia tidak ingin di temani dengan waiters lain selain dengan ku. Waktu itu pernah sekali dia datang, sewaktu aku libur atau of kerja. Saat Haris datang, dia langsung mendatangi teman-teman ku.
Haris memandangi satu persatu, wanita yang ada di bangku panjang tersebut. Lalu, dia bertanya kepada salah satu teman ku yang ada di tempat itu.
"Indah gak kerja ya, dek?" tanya Haris.
"Gak, bang. Si Indah lagi of malam ini." jawab teman ku Tia.
"Ada perlu apa dengan si Indah, bang?" tanya Tia lagi.
"Oh, dia sedang libur, ya. Gak ada perlu apa-apa sih, dek. Cuma pengen ketemu aja sama, si Indah." jawab Haris.
"Abang, mau minum ke dalam?" tanya Tia.
Teman ku Tia tersenyum kepada Haris, lelaki yang sedang mencari ku itu.
"Maaf ya, dek. Lain kali aja saya datang lagi kesini, kalau si Indah sudah masuk kerja."
"Oke sip, bang." balas Tia.
Tia mengacungkan jempol pada Haris. Haris menjadi salah tingkah, dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal sambil tersenyum.
"Oke lah kalau begitu, saya pamit dulu ya, dek!" pamit Haris.
Haris mulai melangkah kan kaki nya, dan meninggalkan tempat karaoke itu.
"Oke, hati-hati di jalan ya, bang." ucap Tia.
"Iya, dek." balas Haris.
Tia memandangi Haris yang sudah berlalu pergi dari hadapan nya. Haris berjalan menuju mobil nya yang sedang terparkir di depan gedung karaoke.
Itu lah salah satu kejadian yang di ceritakan oleh teman ku Tia. Tentang salah satu tamu yang mencari keberadaan ku, sewaktu aku of atau libur kerja. Dia lah lelaki yang sedang aku temani minum saat ini.
"Ini masalah tentang ayah ku, bang." jawab ku.
Aku kembali menghisap rokok dengan pandangan menerawang. Sedang kan Haris, dia menopang kan dagunya sambil memandangi wajah ku.
"Kenapa dengan ayah mu, Ndah? Apa ada masalah di sana?" tanya Haris lagi.
Aku menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskan nya secara kasar. Kalau boleh jujur, sebenarnya aku malu untuk mengatakan tentang sifat ayah ku kepada orang lain.
Tapi, dada ini rasa nya sesak bila tidak mencurahkan semua keluh kesah ku itu. Karena melihat ku sedari tadi hanya terdiam, Haris pun kembali bersuara.
"Ceritakan saja masalah mu itu dengan ku, Ndah! Jangan kamu pendam sendiri, aku siap kok jadi pendengar keluhan mu itu." lanjut Haris lagi.
"Ini masalah uang, bang." jawab ku ragu.
Aku langsung menunduk setelah mengucap kata-kata itu. Sedangkan Haris, dia langsung memeluk tubuh ku dari samping. Dia seakan-akan tahu kalau saat ini aku sedang bersedih.
Ya, aku memang sedang bersedih, aku terluka, dan aku lelah.
Di tengah dentuman musik yang sangat memekakkan telinga, aku dan Haris meneguk kembali sisa minuman yang ada di gelas masing-masing. Aku dan Haris saling pandang memandang satu sama lain.
"Oke, kalau kamu gak mau cerita sekarang gak papa. Nanti kita berdua keluar aja ya! Kita cari tempat yang enak buat cerita." usul Haris sembari memeluk erat tubuh ku.
Suasana pun menjadi hening seketika, di antara kami sudah tidak ada yang berbicara lagi. Aku dan Haris saling berdiam diri, dan menatap lurus ke depan dengan pandangan kosong.
Kami berdua sibuk dengan pikiran masing-masing, sambil terus memandangi layar tv besar, yang menampilkan videoklip dari lagu yang di putar kan oleh DJ.
Masih dengan posisi yang sama, Haris masih tetap memeluk erat tubuh ku. Aku menoleh pada Haris dan bertanya pada nya.
" Mau nyanyi gak, bang?" tanya ku.
"Boleh, mau nyanyi lagu apa kita?" tanya Haris balik.
"Lagu duet aja gimana, bang?" usul ku.
Aku mengambil pena dan kertas kecil yang sudah tersedia di kotak tisu yang terletak di atas meja. Setelah mendapatkan nya, aku pun langsung mencatat judul lagu yang di sebutkan Haris.
Selesai mencatat, aku segera berdiri dan berjalan menuju ruangan tempat di mana sang DJ berada.
"Bayu, ini lagu kami di meja dua ya!" ujar ku.
Aku menyodorkan kertas kecil yang sudah ada catatan lagu di dalam nya, kepada sang DJ karaoke kami.
"Oke, Ndah." balas Bayu.
Bayu tersenyum dan menyerahkan dua buah microfon kepada ku. Aku membalas senyuman nya dengan mengangguk kan kepala dua kali, sambil menerima microfon dari tangan nya.
Setelah itu, aku langsung melangkah dan kembali menghampiri Haris yang masih duduk di sofa meja kami tadi.
"Ini mic nya, bang! Abang pegang satu, aku pegang satu." ujar ku.
Aku menyerahkan microfon itu kepada Haris, dan dia pun langsung menerima nya. Kami berdua mulai bernyanyi ria dan bersukacita bersama.
Tidak perduli suara kami enak di dengar atau tidak. Yang terpenting adalah, kami berdua bisa happy dan bahagia bersama.
Setelah selesai bernyanyi, tidak terasa malam pun semakin larut. Haris melihat jam kecil yang melingkar di pergelangan tangan nya.
"Sudah jam satu, Ndah. Kita chas keluar aja ya? Kita cari tempat buat istirahat!" ujar Haris sembari menatap wajah ku.
"Emang nya kita mau kemana, bang?" tanya ku penasaran.
Aku mengerutkan kening mendengar ucapan Haris. Jujur saja, sebenarnya aku sedikit bingung dengan Haris. Mau kemana dia membawa ku selarut ini.
"Kita ke hotel, Ndah!" jawab Haris.
Haris mendekatkan wajah nya pada ku, dan tiba-tiba "cup." Haris mencium kilat pipi ku.
Aku langsung reflek menoleh pada Haris. Aku memasang wajah cemberut dan bibir mengerucut di hadapan nya.
"Jangan marah ya, Ndah. Aku khilaf, hehehe." ujar Haris sambil cengar-cengir salah tingkah.
"Iya, gak papa, bang." balas ku santai.
Aku berpura-pura acuh dan cuek, padahal hati ku sudah dag-dig-dug tidak karuan gara-gara ulah konyol nya barusan.
"Ya udah, ambil nota nya sana. Ndah!" titah Haris.
Dia membuka dompet dan mengeluarkan uang merah sebanyak lima lembar.
"Ini uang nya, Ndah. Sekalian bayar kan uang chas keluar nya, ya!" ujar Haris.
"Oke, bang." balas ku.
Aku langsung bergegas berjalan menuju meja kasir. Selesai pembayaran, aku langsung mengambil tas yang ada di samping meja kasir.
Setelah itu, aku pun kembali berjalan menghampiri Haris yang masih duduk santai di tempat nya.
"Ayok, bang!" seru ku.
Aku tersenyum semanis mungkin pada Haris, dan dia pun langsung berdiri dan merangkul pundak ku. Kami berdua berjalan beriringan menuju pintu keluar, dan langsung menuju ke parkiran mobil.
Haris membukakan pintu mobil nya untuk ku, aku pun langsung masuk ke dalam dan duduk di samping kemudi.
Sedangkan Haris, dia langsung mengitari mobil nya untuk masuk ke dalam. Dan dia pun duduk di belakang stir sambil memasang sealbeat nya.
"Kenapa belum dipasang sealbeat nya, Ndah?" tanya Haris sambil menaikkan kedua alis nya.
Haris heran melihat ku yang belum memasangkan sealbeat ke tubuh ku.
Aku hanya diam sambil berpura-pura tidak mendengar ucapan nya.
"Hmm, pura-pura gak dengar kuping nya ini ya!" ledek Haris.
Haris menjewer telinga ku pelan, lalu memasang kan sealbeat itu di tubuh ku.
Aku terpaku di tempat dengan mata yang membulat sempurna. Dada ku juga berdebar semakin kencang, saat Haris memasang kan sealbeat itu pada ku.
Wajah Haris berhenti tepat di depan wajah ku. Aku langsung reflek memejamkan mata, dan merasakan deru nafas nya yang saat ini sedang menerpa seluruh wajah ku.
Perlahan, aku pun mulai membuka mata. Aku melihat manik mata Haris yang hitam, sedang menatap ku dengan jarak yang sangat dekat. Jujur, aku sangat gugup saat ini.
"Kenapa, Ndah? kok gugup gitu, sih." tanya Haris dengan santai nya.
"What? Kenapa dia masih bertanya seperti itu pada ku? Apakah dia sama sekali tidak bisa merasakan detak jantung ku yang hampir copot akibat ulah nya?" gerutu ku dalam hati.
"Gak papa, bang. Ayo kita jalan, aku udah ngantuk banget nih! Pengen istirahat sekarang, hoam." ujar ku.
Aku berpura-pura menguap di depan Haris untuk menutupi kegelisahan hati ku saat ini.
"Oke, sayang ku. Kita jalan sekarang, ya!" jawab Haris.
Haris menyalakan kendaraan roda empat nya menuju jalan raya. Dia melajukan mobil nya dengan kecepatan sedang. Haris mencari salah satu hotel yang berada tidak jauh, dari tempat ku bekerja.
Hati ku selalu berbunga-bunga saat mendengar kata-kata sayang, yang sering terucap dari bibir Haris. Dia selalu saja memanjakan ku dengan kata-kata yang indah dan romantis.
Dan aku selalu menanggapi semua kata-kata nya itu dengan senyuman, untuk menutupi kegugupan ku.
"Andaikan kau tau, isi hati ku saat ini, bang. Mungkin kau akan tertawa terbahak-bahak, atau mungkin kau akan meledek ku, atau bisa juga kau akan menjauhi ku."
Aku membatin sambil terus mencuri-curi pandang pada Haris, yang sedang fokus memandang lurus ke jalanan.
Setelah puas mencuri pandang pada Haris, aku mulai memejamkan mata dan sesekali mengintip sedikit kepada nya. Haris mengemudi kan kendaraan roda empat nya dengan fokus dan serius.
"Mendingan, aku pura-pura tidur aja ah. Kalo kelamaan memandang wajah nya, bisa-bisa aku lemah jantung pula nanti nya, hihihi."
Aku terkikik geli dalam hati. Aku sedang mengkhayal kan hal yang tidak mungkin bisa aku dapat kan. Ya, aku sadar dengan status ku yang bekerja sebagai wanita penghibur.
Menemani banyak lelaki setiap malam nya, mabuk-mabukan, dan seorang perokok berat tentu nya.
Mana mungkin ada laki-laki yang sudi, menjadi kan ku sebagai istri nya. Kalau pun ada, seribu satu untuk mendapatkan nya.
Itu lah sebab nya aku selalu minder, jika ada laki-laki yang ingin mendekati ku. Menyatakan cinta nya pada ku, dan bahkan ingin menikahi ku.
Aku tidak pernah percaya atas semua gombalan-gombalan mereka.
Tapi aku juga tidak munafik, aku juga ingin hidup normal seperti wanita-wanita lain nya. Hidup bahagia dengan pasangan hidup nya.
Namun, semua itu harus pupus dan kandas. Karena tuntutan dan tanggungan keluarga, yang harus aku penuhi dan juga aku cukupi.
Dan aku juga menyadari siapa diriku ini. Hanya lah seorang wanita pendosa yang kotor dan bergelimangan dosa.
Di sepanjang perjalanan menuju hotel, aku terus memejamkan mata. Aku pura-pura tertidur, untuk menutupi kegelisahan hati yang sedang dag-dig-dug tidak karuan, akibat ulah Haris yang memasang kan sealbeat pada ku.
"Udah sampe, Ndah." ujar Haris.
"Oh iya, bang." balas ku.
Hanya itu lah yang terucap dari bibir ku saat aku membuka mata. Aku bergegas membuka sealbeat yang terpasang di tubuh ku. Tapi, aku bingung cara melepas kan nya, hihihi.
Maklum lah, mungkin karena keseringan naik angkot atau bus selama di Medan. Jadi, aku tidak tahu cara memakai dan melepaskan sealbeat di mobil pribadi.
Haris yang melihat aku kesusahan melepaskan sealbeat, langsung mendekat dan mengarahkan tangan nya ke sisi kiri bawah ku. Dan dalam sekejap "klek," sealbeat pun terlepas.
"Hufff, akhirnya." gumam ku pelan.
Haris mengambil tas kecil milik nya, dan aku juga mengambil tas ku yang ada di jok belakang.
"Ayo, Ndah. Kita check in dulu ke dalam!" ajak Haris.
Haris menggenggam tangan ku, lalu kami berdua pun jalan berdampingan menuju meja resepsionis.
"Mbak, ada kamar kosong?"
Haris bertanya kepada resepsionis wanita yang sedang bertugas malam ini. Aku hanya berdiam diri di belakang Haris, sambil mengeratkan genggaman tangan ku pada nya.
"Ada, mas. Kamar no 123 lantai dua ya." jawab nya.
Resepsionis wanita itu menyodorkan kunci yang tertera no kamar tersebut. Haris langsung menerima kunci itu sambil tersenyum, dan mengucapkan terima kasih kepada nya.
"Oke, makasih ya, mbak." jawab Haris.
Aku yang tadi nya berjalan di samping Haris, kini hanya mengekori nya dari belakang. Haris tetap menggenggam tangan ku, dia tidak ingin melepaskan genggaman tangan nya itu, sebelum sampai di depan pintu kamar hotel tersebut.
Sesampainya di lantai dua, kami berdua langsung berjalan ke lorong sebelah kanan, sampai di ujung lorong kami berhenti, tepat di depan pintu kamar 123. Haris segera membuka pintu kamar itu, dengan tangan kanan nya dan memutar kunci itu dua kali.
"Ceklek,"
Pintu pun langsung terbuka lebar, Haris menempel kan kunci itu ke dinding, di tempat para sakelar lampu berada dan "jrenggg" hidup lah semua lampu, TV dan AC. Aku mengamati sekeliling kamar ini sambil berkata...
"Bagus juga kamar nya." gumam ku.
"Sayang!" panggil Haris.
Haris berjalan perlahan menuju ke arah tempat ku berdiri. Dia berhenti tepat di hadapan ku. Setelah itu, Haris langsung memeluk erat tubuh ku, bahkan sangat erat. Sampai-sampai aku kesusahan untuk bernafas.
"Abang, iiihhh lepasin!" rengek ku manja.
Aku meronta-ronta di dalam pelukan Haris, dan berusaha untuk melepaskan diri dari dekapan nya.
"Tadi kan abang udah janji. Gak bakalan macam-macam tanpa seizin ku." ujar ku kembali mengingatkan nya.
"Cuma peluk aja kok, sayang." jawab Haris sembari menjalar kan tangan nya ke atas perut ku.
"Iya, tapi lama kelamaan bisa menjalar kemana-mana nanti tuh." balas ku sewot.
"Iya deh, aku ngalah." ucap Haris pasrah.
Akhirnya, Haris melepaskan pelukan nya. Dia duduk di sisi kanan ranjang yang berukuran size king tersebut. Aku ikut duduk di sebelah lah nya, sambil mengambil rokok yang ada di dalam tas ku.
Aku meletakkan tas itu kembali di atas meja rias, lalu melirik sedikit pada Haris. Dia tampak sedang murung, dan wajah nya juga di tekuk lesu.
"Sayang, kenapa muka nya jadi jelek gitu?" ledek ku.
Mendengar ledekan ku, Haris pun langsung mendongak kan kepala nya, untuk melihat ku yang sudah berdiri tepat di depan nya.
"Udah mulai nakal ya sekarang." balas Haris.
Haris memeluk pinggang ku, dan menempel kan wajah nya di perut ku. Aku hanya tersenyum melihat tingkah nya, yang kadang-kadang seperti anak kecil yang suka merajuk.
"Bang, aku mau curhat. Mau dengerin gak?" tanya ku.
Aku membelai rambut Haris yang masih menempel di perut ku. Dengan posisi Haris yang duduk di tepi ranjang, dan kaki yang menjuntai ke bawah. Sedangkan aku, aku hanya berdiri di depan nya.
"Cerita kan lah, biar aku dengar kan!" Haris menjawab sambil melepaskan pelukannya di pinggang ku.
Aku langsung merubah posisi yang enak untuk bercerita. Aku duduk membelakangi Haris, dengan kedua kaki nya yang di selonjorkan di sisi kanan dan kiri ku.
Badan nya menempel di punggung ku, dan kedua tangan nya melingkar cantik di pinggang ramping ku. Sesekali Haris menciumi rambut ku yang lurus, dan terurai panjang sampai ke pinggang.
Kadang-kadang, ciuman nya itu sampai nyasar ke tengkuk, dan leher samping ku. Dan itu berhasil membuat ku merinding tidak karuan di buat nya.
"Abang, iiiiihh. Jangan gitu, aku jadi geli tau gak!" rengek ku.
Bukan nya berhenti, Haris malah semakin brutal dengan aksi nakal nya. Dan, "aahh." Akhirnya aku mulai mendes*h akibat ulah nya tersebut.
"Kapan aku curhat nya kalo tingkah nya begini terus. Bisa-bisa, malah yang lain pula nanti yang bakalan terjadi." batin ku.
Akhirnya, dengan terpaksa aku pun menjitak kepala nya. Agar dia berhenti dari ulah gila nya, yang bisa membuat ku panas dingin tidak karuan.
"Satu, dua, tiga, pletak!"
"Auww! sakit, Ndah." pekik Haris.
Haris langsung terpekik kuat sambil meringis. Dia memegangi jidat nya yang baru saja terkena jitakan ku.
"Hahahaha, kapok! Siapa suruh dari tadi genit nya gak siap-siap? Aku sampe merinding tau gak, nahan kan nya!" ledek ku sembari tergelak.
Aku tertawa terbahak-bahak, ketika melihat wajah Haris yang sedang meringis, karena menahan sakit di jidat nya.
"Jahat banget sih nih cewek." gerutu Haris.
"Biarin, weekk." balas ku cuek.
Aku menjulurkan lidah untuk meledek nya. Persis seperti biawak yang lagi melet-melet, hahaha. Haris hanya tersenyum, menanggapi tingkah aneh ku tersebut.
"Bang, aku cerita kan sekarang ya!" ujar ku lagi.
"Iya, cerita lah." jawab Haris lirih.
"Oke, aku akan mulai dari tujuan utama ku merantau ke kota Batam ini. Itu karena aku ingin bekerja, dan mendapat kan uang yang banyak buat ayah ku." jelas ku.
"Awal nya, aku bingung mau kerja apa disini. Sedang kan aku, cuma tamatan SD saja. Trus, ada teman yang nawarin untuk bekerja di tempat karaoke." lanjut ku.
Aku berhenti sejenak untuk menyalakan rokok, lalu menghisap perlahan. Setelah beberapa kali menghisap nya, aku pun kembali bercerita kepada Haris.
"Masuk kerja jam delapan malam, pulang nya jam empat subuh. Tugas nya hanya menemani minum dan berkaraoke saja." sambung ku.
"Gaji pokok nya satu juta lima puluh ribu. Dapat uang chas duduk, lima puluh ribu per meja." lanjut ku.
Haris hanya diam, sambil terus mendengarkan penuturan ku. Setelah menghela nafas panjang, aku pun kembali melanjutkan cerita ku.
"Aku masih bingung saat itu. Sedang kan aku, sudah sebulan nganggur di kota ini, karena belum ada kerjaan yang cocok buat ku."
"Uang yang aku bawa dari kampung juga sudah habis. Belum lagi mikirin ayah yang sudah sibuk menghubungi ku, untuk minta kiriman uang."
Aku kembali menghela nafas lalu menghisap rokok. Setelah itu, aku pun kembali bercerita panjang lebar.
"Otak ku jadi buntu, blom lagi buat bayar kos lima ratus ribu perbulan nya. Apa gak makin stres aku mikirin nya?"
"Dan akhirnya, aku pun terpaksa menerima kerjaan yang ada di Karaoke itu. Lumayan lah, dari pada nganggur pikir ku." lanjut ku.
Aku berhenti sesaat, sambil menghisap kembali rokok yang ada di tangan ku. Melihat aku terdiam, Haris pun mulai bertanya pada ku.
"Trus, gimana lagi kelanjutan nya?" tanya Haris.
Haris masih tetap anteng duduk di belakang ku, sambil sesekali mencium rambut dan leher ku.
"Gajian pertama, aku cuma dapat dua juta saja. Trus aku kirim kan buat ayah satu juta lima ratus ribu, sisa nya buat kebutuhan ku dan bayar kos." lanjut ku lagi.
"Belum ada dua minggu setelah aku mengirim kan uang itu, ayah sudah menghubungi ku lagi. Kata nya butuh uang lagi."
Aku menjeda cerita ku, lalu kembali menghisap rokok. Setelah itu, aku melanjutkan kembali ceritaku tadi.
"Ya, terpaksa lah aku harus kasbon sama bos lima ratus ribu. Trus waktu gajian lagi, ayah malah target kan aku. Harus bisa kirim uang di atas satu juta lima ratus setiap bulan nya. Kata ayah sih, buat beli tanah."
"Oke, aku turuti permintaan nya. Biar ayah senang, batin ku. Biar lah aku sengsara di sini, asal kan ayah senang di sana. Itu lah pikiran ku saat itu pada ayah."
Mendengar kata target, Haris pun kembali membuka suara nya.
"Loh, kok di target kan gitu sih?" tanya Haris heran.
"Ya aku juga gak tau, bang. Itu semua adalah permintaan ayah. Oke, aku lanjutkan cerita nya ya!"
"Tapi lama kelamaan, ayah malah semakin bertambah parah. Gak perduli hari, gak perduli minggu. Ayah minta uang terus menerus, sampai-sampai aku sakit memikir kan nya. Aku sakit malaria selama seminggu."
Aku menarik nafas dalam-dalam, dan kembali bercerita tentang kehidupan yang sedang aku jalani kepada Haris.
"Aku gak bisa kerja, gak bisa kemana-mana, asli tergeletak di kamar kos sendirian. Untung saja ada kawan yang baik yang mau membantu ku, merawat ku, dan memberiku makan."
"Bahkan, obat-obatan ku juga di tanggung oleh nya. Sampai akhirnya, puncak kesabaran ku pun telah habis, aku marah besar kepada ayah."
Aku menerawang sejenak, mengingat pertengkaran ku dengan ayah waktu itu.
"Ndah, ada uang gak? Ayah butuh sekarang juga!" pinta ayah di panggilan telepon.
"Buat apa, yah?" tanya ku.
"Buat bayar listrik sama bayar hutang." jawab ayah dengan santai.
"Ya Allah, yah." ucap ku lirih.
Aku mendengus kesal, lalu menarik nafas panjang dan menghembuskan nya dengan kasar.
"Ayah tau gak, gimana kehidupan ku di kota asing ini? Aku anak perempuan merantau sendiri. Tanpa saudara, tanpa ada yang kenal satu orang pun." omel ku.
"Kalau aku sakit, kalau aku di siksa orang, kalau aku mati di bunuh orang, kalau aku gak makan, karena gak ada duit, dan masih banyak kalau-kalau lain nya. Apakah ayah tau semua itu? Gak tau kan, yah?" tanya ku. semakin kesal.
Aku meneteskan air mata. Sedih rasa nya hati ini bila mengingat semua nya.
"Yang ayah pikir kan hanya lah uang, uang, dan uang. Ayah gak pernah tanya kan kabar ku, gak pernah tanya kapan aku pulang, gak pernah tanya tentang kesehatan ku? Gak pernah kan, YAH?" lanjut ku lagi.
Aku menjerit dengan emosi yang semakin memuncak. Aku menangis sesenggukan dan kembali berbicara kepada ayah.
"Yang ayah tanya hanya lah masalah uang. Aku capek, yah. Tolong ngertiin aku sekali aja, yah...tolong!" pinta ku memelas.
Aku mematikan panggilan secara sepihak. Aku menangis sendirian di dalam kamar kos. Merenung tentang nasib badan yang sedari kecil hingga dewasa, harus kerja kerja dan kerja terus tanpa ada hasil nya. Aku capek, aku lelah.
"Ya Allah, murah kan lah rezeki ku. Sehat kan lah badan ku, panjang kan lah umur ku. Agar aku bisa menjadi seperti apa yang di harapkan ayah ku. Amin amin ya rabbal a'lamin."
"Itu lah beban yang selama ini aku rasa kan, bang." tutur ku pada Haris.
Haris masih terus memeluk tubuh ku dari belakang, dan menempel kan dagu nya di pundak ku.
"Masih anteng aja ni orang, udah kayak cicak aja nemplok di dinding, hihihi." batin ku terkikik geli melihat Haris.
"Aku sedih dengar kisah mu, Ndah." gumam Haris di telinga ku.
Aku langsung menoleh pada Haris, dan menatap mata nya yang mulai berembun dan sayu. Air mata nya sudah menggenang, dan sedikit lagi hampir menetes di pundak ku.
"Abang yang cuma mendengar kan aja sedih. Apa lagi aku yang menjalani?" balas ku lirih.
"Iya juga sih." jawab Haris pelan.
"Yang sabar ya, sayang. Jalani aja semua nya dengan ikhlas ya. Mohon pada Allah, supaya di beri kelancaran." ujar Haris menasehati ku.
"Iya, bang. Insya Allah aku kuat kok. Aku kan wanita strong, hehehe." balas ku.
Aku menunjuk kan otot lengan ku yang tidak seberapa itu. Tawa Haris pun langsung pecah, saat melihat aksi kocak ku tersebut.
"Hahahaha, gendeng." gelak Haris.
Aku sengaja melakukan hal demikian, agar suasana nya tidak sedih lagi seperti tadi. Aku tersenyum bahagia, melihat Haris yang sedang tertawa lepas seperti saat ini.
"Jadi sekarang gimana, sayang?" Haris bertanya sambil menciumi rambut ku dari belakang.
"Gimana apa nya sih?" tanya ku bingung.
Aku berucap sambil berpura-pura lugu. Aku mau membuat Haris merajuk lagi, seperti di awal tadi.
"Kok gitu sih? Pura-pura amnesia pula dia." jawab Haris kesal.
Haris merengek manja, dia terus saja memeluk tubuh ku dari belakang.
"Lah, emang nya mau ngapain sih?" lanjut ku masih berpura-pura bingung.
"Ya udah, kita tidur aja yok! Aku udah ngantuk nih." usul ku.
Aku menarik tangan Haris ke atas ranjang, lalu menarik selimut yang ada di bawah kaki nya.
"Awas ya, jangan macam-macam!" ujar ku.
Aku mengancam sambil membulatkan mata ku pada Haris.
"Gak janji." jawab Haris santai.
Aku dan Haris pun berbaring dengan posisi yang saling berhadap-hadapan. Baru saja memejamkan mata, tiba-tiba Haris menciumi bibir ku dengan rakus, tanpa meminta izin terlebih dahulu pada ku.
Aku membuka mata perlahan dan, "aaaaaaa." Aku sontak kaget mendapati Haris yang sedang menjarah bibir ku tersebut.
Teriakan ku sedikit tertahan, karena bibir ku yang sedang di sumpal oleh bibir Haris. Lama kelamaan, aku pun mulai terbuai dengan kegiatan nya itu. Dan akhirnya, terjadi lah surga dunia yang tercipta dari tangan nakal Haris.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!