NovelToon NovelToon

Mr. Bully

Youth - Troye Sivan

“Weh Varo bangun, kuliah! Ngorok mulu lu kayak kuda nil!"

Varo berdecak tidak senang ketika Bima masuk ke kamarnya tanpa permisi. Cowok bertubuh gempal itu menarik paksa kaki Varo sampai tubuhnya turun ke lantai. Mata kanan Varo melirik Bima sinis, tapi setelah itu ia kembali cuek meringkuk di atas lantai sementara Bima mondar-mandir memakai pomade dan menyemprot parfum ke seluruh tubuhnya, syuuuu bahkan kaos kaki Bima ikut terkena parfum.

“Lu kelas nggak?”

“Skip, gue titip absen”

“Yaudah, mana kartu mahasiswa lu?”

Sejak tiga semester lalu, sistem absen kampus mereka mulai menggunakan tapping kartu ID mahasiswa. Aturan ini dilakukan dengan harapan tidak ada lagi mahasiswa yang berani titip absen, tapi faktanya tetap saja ada makhluk seperti Varo yang jauh lebih pintar untuk menitip kartu ID kepada temannya sementara ia tetap tertidur lelap di kosan.

“Di dalam tas.” Mata Varo terpejam tetapi tangannya menunjuk tas hitam di pojok dekat pintu. Ia kemudian menarik selimut dari atas tempat tidur, membiarkan Bima mengubek-ngubek isi tasnya.

“Buset bau banget tas lu, pernah ada bangkai ya disini?” dengus Bima bersin-bersin mengambil kartu ID Varo lalu melangkah keluar, membiarkan sang pemilik kamar kembali tertidur pulas melanjutkan mimpinya menjadi mahasiswa berprestasi dalam tidur.

Sekitar pukul sebelas siang suara ponsel membuat Varo terjaga dari tidur. Tangannya bergerak mencari benda berisik itu dan memaksa matanya untuk terbuka lebar, ada panggilan masuk dari Arini pacarnya.

“Kenapa?” Suara serak Varo membuat kening Arini berkerut dari seberang, ia tahu pacarnya baru bangun tidur.

[Kamu masih tidur ya?]

“Hmm..enggak”

[Bangun ih, kamu kan ada kelas pancasila, katanya kemarin mau rajin masuk kelas, kok belum bangun? gimana sih kamu? ntar ngulang kelas baru tau rasa!] omel Arini tidak percaya. Varo mengangguk-angguk melirik jam weker, kelas pancasila akan dimulai tiga puluh menit lagi. [Bangun Alvaro! Mandi! Kuliah!]

“Iya, ini lagi otw. Udah dekat indomaret” balas Varo setengah terpejam. Ia buru-buru mematikan sambungan telepon dan bergegas mengambil handuk untuk mandi, hampir terpeleset di dekat pintu dapur karena ada Tigor karyawan swasta berumur tiga puluh lima tahun duduk jongkok sibuk menyemir sepatu.

“Wih tumben mau mandi, kesambet apa ente?” nyinyir Tigor nyaring persis seperti ibu-ibu julid ketika melihat anak tetangga bangun siang.

“Karl Marx” jawab Varo sembarangan berlari masuk ke dalam kamar mandi, langsung jebar jebur mandi seenak sendiri dan setelah itu keluar dengan handuk melilit di pinggang dengan jangka waktu kurang dari lima menit.

Tigor melongo keheranan. “Buset, lu mandi apa ngeludah diri sendiri sih? cepet bener”

“Yang penting mah basah” balas Varo cuek masuk ke dalam kamar buru-buru mengenakan pakaian dan keluar setelah meraih tas dekil dan kunci motor. Sempat bertemu Mang Idris pembersih kosan buaya sibuk menyapu kosan.

“Rapi bener lu tong kayak tukang kredit” tegur Mang Idris. Varo nyengir lebar tidak menjawab, ia sibuk mencari kaos kakinya yang dipinjam Bima semalam.

 “Varo, ntar pas pulang titip rujak depan warung Mang Alih ya. Bengkoangnya dibanyakin” teriak Tigor dari dapur. Varo tidak menjawab, ia berlari keluar menyalakan mesin motor dan tancap gas menuju kampus. Tidak butuh waktu lama bagi Varo untuk sampai di kampus karena letak kos dan kampusnya masih berada di satu daerah yang sama. Varo memarkirkan motor dan berlari memasuki koridor utama, tubuhnya bergerak gesit menyelip diantara lalu lalang mahasiswa yang baru selesai kelas atau yang juga terburu-buru berlari karena hampir telat di kelas berikutnya.

“Bebek aja antri!” sindir seorang cewek ketika Varo tanpa permisi memotong antrian cewek itu masuk ke dalam lift. Varo hanya nyengir dengan ekspresi masa bodoh karena jam tangan menunjukan ia sudah telat sepuluh menit. Wajah Varo muncul dari balik kaca pintu masuk, matanya menangkap sosok dosen pancasila sibuk berbicara dengan seorang mahasiswa di depan kelas. ‘Aman’ gumam Varo dalam hati langsung menyelinap masuk.

“Wah jam berapa ini?!” teriak Dimas tiba-tiba dari kursi belakang membuat semua perhatian tertuju ke arah Varo.

‘Brengsek!’ maki Varo tahu Dimas sengaja berteriak agar dosen pancasila menotice kedatangannya dan benar, ekspresi Pak Pangaribuan berubah begitu melihat Varo, kening dosen tua itu berkerut dengan tatapan tajam.

“Kamu kenapa telat?” tanya Pak Pangaribuan tenang tapi jelas mengisyaratkan bahwa jawaban Varo menentukan nasibnya di kelas itu. “Kamu tahu tidak kelas saya dimulai pukul 11.30? Apakah kamu tidak memiliki jam?”

“Maaf pak, saya punya jam tapi tadi mati” jawab Varo kumat gilanya, sekelas cekikan geli.

Pak Pangaribuan mendengus. “Siapa nama kamu?”

“Alvaro Wijaya pak”

“Duduk sana, minggu depan kalau telat lagi kamu tidak usah masuk mata kuliah saya”

“Iya maaf pak, tidak akan saya ulangi lagi, makasih pak” jawab Varo sopan melangkah ke arah belakang, tangannya meninju bahu Dimas yang tertawa geli. 

“Bajingan lu!” umpat Varo pelan duduk di sebelah Dimas. Selama tiga puluh menit kemudian matanya menatap bosan ke arah Pak Pangaribuan yang sibuk menerangkan materi sambil sesekali berdebat dan berdiskusi dengan mahasiswa di barisan depan, jauh berbeda dengan para calon cendekiawan di barisan belakang, wajah-wajah suntuk jelas menunjukkan pergi kuliah hari ini adalah salah satu kegiatan yang dilakukan agar tidak gabut di rumah.

“Lu tau nggak? maba-maba disini kurang ajar, masa tadi Nando masuk disalam, dikira dosen” cerita Dimas tiba-tiba. Varo spontan cekikikan geli sementara Nando mendengus pura-pura tidak mendengar. Kelas pancasila adalah salah satu mata kuliah umum yang dapat diambil oleh mahasiswa di semester berapa pun, seperti sekarang misalnya Varo yang berada di semester tujuh sekelas dengan adik tingkat semester awal. Tapi berhubung Nando sudah tiga kali cuti kuliah dan wajahnya berjenggot ala kambing gunung, penampilan cowok itu justru terlihat lebih mirip rektor dibandingkan mahasiswa. Bahkan terkadang seringkali ada adik tingkat salah mengira Nando sebagai satpam kampus.

“Entar malam ke club yuk” ajak Dimas.

“Dalam rangka?"

“Mau ngerayain Agung habis disunat pas liburan bulan kemarin” jawab Dimas serius.

“Agung udah sunat? Bukannya pas idul adha besok?”

"Dipercepat pas liburan semester kemarin, katanya malu kalau ke kampus harus pake sarung"

"Ah paling diketawain sama mahasiswa lain, dikira orang gila" balas Varo kalem.

Dimas ketawa geli. "Kata Agung kemarin motongnya susah, hampir kepleset, makanya malam ini mau syukuran keberhasilan sunatan Agung"

"Udah kayak motong kerbau aja" sambung Nando dari samping.

"Ah lu nggak tahu sih, punya Agung bentuknya zig zag gue sempat ngintip kemarin" canda Dimas membuat Nando ketawa ngakak, spontan ia menjadi pusat perhatian sekelas.

“Iya itu mas yang di belakang kenapa? Kamu tidak setuju sama statement saya?” tanya Pak Pangaribuan heran.

“E-enggak kok pak, saya setuju”

“Setuju ya?” Mata Pak Pangaribuan menyipit dengan pandangan curiga.  “Coba kamu jelaskan kenapa kamu setuju?”

Otak Nando mendadak beku, tidak siap dilempar pertanyaan menjebak seperti itu. Matanya melirik kiri kanan meminta bantuan tapi tidak ada satupun temannya yang terlihat ingin membantu, mereka justru sibuk menahan tawa dari balik punggung orang yang duduk di depannya.

“Emm….itu, anu…. anu pak… anu….saya" gagap Nando masih berpikir keras, wajahnya jelas menunjukan ia sama sekali tidak mengerti materi apa yang disampaikan Pak Pangaribuan hari ini. “A-anu...saya”

“Ya, anu kamu kenapa? Ada yang salah dengan anu kamu?” kejar Pak Pangaribuan membuat sekelas langsung terbahak keras sementara Nando melemparkan tatapan melongo.

......................

“Woi! Beli risol gue dong.” Bima menaruh kardusnya du atas meja kantin melemparkan tatapan memaksa. "Astaga cantik banget Arini, harum lagi” puji Bima ada maunya langsung mencium-cium rambut Arini.

“Pacar gue” tegur Varo menjauhkan Arini dari Bima.

“Iye..iye tau. Sensitif lu macam bapaknya Arini” dengus Bima. “Yang beli risol, akan gue bawa harapan kalian dalam doa gue tiap malam”

“Marketing lu nggak bekerja Bim. Lagian Tuhan sibuk, nggak punya waktu buat ngeladenin elu” teriak Dimas nyaring dari samping.

"Babi" maki Bima.

“Berapa risol lu?”

“Dua ribu”

“Buset mahal amat. Mana ukurannya kecil lagi, gedean jempol kaki Varo mah ini. Udah gitu warnanya kurang orens, nggak niat nih yang goreng. Asal ngerjain yang penting jadi, jatuhnya makan uang haram” ujar Dimas cerewet memilih-milih risol yang bagus, sesekali diterawang risol Bima sampai pemiliknya jadi sewot sendiri menarik risolnya kembali.

“Risol gue mahal karena digoreng pakai minyak bumi Arab” bentak Bima ketus lalu memaksa Jaya yang kebetulan lewat di situ untuk membeli risolnya. “Bapak lu caleg kan? Kebetulan kakek gue masih menjabat sebagai ketua RT, ntar gue bilang ke kakek biar warga RTnya milih bokap lu. Ayo beli risol gue”

“Sialan lu! Kakek lu kan tinggal di Solo, bokap gue nyaleg di Jakarta, mana nyambung!” maki Jaya terpaksa membeli risol karena tampang Bima sudah jelas menunjukan ia tidak menerima penolakan.

“Haram tau ngambil duit hasil paksaan gitu” kata Arini sambil menyodorkan uang sepuluh ribu. “Risol lima biji. Sayang kamu mau nggak?” tanya Arini, Varo menggeleng membuat Bima mencibir.

“Dibayarin malah nggak mau. Dasar cowok aneh. Beli yang banyak dong, buat dana acara organisasi gue nih.”

“Lima udah cukup, ntar kalo kebanyakan gue kena radang lagi”

“Alah kalo radang minum air hangat juga sembuh. Lagian ada Varo siap siaga buat beliin lu obat.”

Arini tertawa geli. “Organisasi lu ada acara apa sih? Perasaan dari semester kemarin lu rajin bener jualan risol” tanyanya menyadari setiap semester Bima selalu berjualan sesuatu untuk mencari dana. Entah berapa banyak organisasi atau acara organisasi yang ia ikuti, tapi di kampus Bima jauh lebih mahir berjualan risol dibandingkan menjelaskan tentang bagaimana strategi manajemen perusahaan dalam memberikan keuntungan bagi investor.

“Wedding ketua organisasi” dengus Bima sembarangan. “Brengsek emang ketua organisasi. Gue masuk organisasi kan niatnya mau nyari pengalaman dan memperluas koneksi, eh malah disuruh jualan risol”

“Lu makanya jangan kebanyakan ikut organisasi. Ntar UAS lu keteteran, waktu lu habis buat jualan risol” tegur Sandra, cewek berambut pirang itu menatap Bima kasihan.

“Calon rektor mah gitu. Ikut organisasi lebih dari satu, biar koneksinya luas” sindir Dimas. Bima tersenyum pahit, hanya bisa menatap nelangsa kearah risol-risolnya, tetapi kemudian senyumnya berubah cerah begitu melihat Ete mendekat dengan buku tebal teori akuntansi dalam pelukan. 

“Aduh Ete cantik, jangan bawa yang berat-berat dong, sini abang bawain” kata Bima buru-buru mengambil buku Ete dan mempersilahkan cewek itu untuk duduk. “Panas ya jalan dari kelas ke kantin? sini abang kipas,mau pakai bibir atau buku?”

“Lu kipasin gue pake bibir, gue tonjok lu” ancam Ete ketus. Bima nyengir lalu mengipas Ete dengan bukunya. “Lu pasti ada maunya kan Bim?”

“Tau aja sih lu. Udah cantik peka lagi. Ini alasan kenapa gue cinta sama lu. Beli risol gue dong, gue malas banget mau nawarin kemana-mana” cerocos Bima langsung menyodorkan risol.

“Ye elu maunya duit doang tapi nggak mau usaha”

“Lah kan gue nawarin elu beli termasuk usaha”

“Bim, mau tau caranya dapat duit tanpa jualan risol nggak?” cetus Agung tiba-tiba bersuara. Bima melemparkan tatapan tertarik. “Jual diri ke tante-tante”

“Tolol, itu mah intinya jualan juga” tawa Dimas terdengar paling kencang. “Tapi emang tante-tante mau sama Bima? Kan terakhir kemarin waktu lagi gitu-gitu yang keluar cuman angin, bunyinya puuss"

“Ih kalian mulutnya, mesum banget!” geleng Arini ketika teman-temannya tertawa geli, ia berpaling pada Varo. “Rambut aku berantakan nggak?”

“Enggak”

“Make-up?”

“Kamu pake make-up?”

Mata Arini membulat kesal. “Kamu mah gitu, aku potong rambut aja kamu nggak notice loh. Malah Dimas yang notice, kamu itu pacar aku atau Dimas yang pacar aku?”

“Aku pacar Dimas” celetuk Varo santai.

Arini nyengir tapi tidak berkata apapun. Sifat cuek Varo memang permanen dari lahir, bahkan meskipun mereka sudah berpacaran selama tiga bulan cowok itu tidak berubah. Arini pernah bertengkar hebat dengan Varo karena Varo memblokir nomornya ketika sedang bermain PS dua hari dengan Dimas, dan korbannya adalah ponsel Bima yang terus berdering sepanjang hari menerima panggilan masuk dari Arini. Jadi percuma saja kalau mengajak cowok itu berdebat karena masalah make up.

"Pulang bareng ya, aku mau singgah di gramedia sebentar" kata Arinj.

Varo mengangguk singkat sebagai jawaban, tangannya bergerak mengelus-elus pelan rambut Arini. Tanpa banyak bicara Varo menyandarkan keningnya ke bahu Arini, hanya sebentar, lalu mengecup pelan bahu cewek itu, membuat jantung Arini seakan ingin loncat dari tempatnya. Ini alasan kenapa Arini tidak bisa melepas Varo, sebrengsek-brengseknya cowok itu tapi Varo tahu benar bagaimana cara memperlakukan Arini dengan manis.

“Aku ke kelas sekarang” kata Arin melirik jam tangan lalu mengajak pergi Sandra dan Ete.

Lovesick Girl - Blackpink

Jam tujuh malam Varo sibuk mondar-mandir mencari jaket denim hitamnya yang raib entah kemana, padahal baru ia cuci empat hari lalu tapi tidak nampak jaket kesayangannya itu tergantung di jemuran. Susah payah Varo mencari di antara tumpukan baju, rak buku, rak piring, rak sepatu, dan baru ketemu jaketnya asik nongkrong bersama kain lap dekil dapur kosan.

“Kurang ajar! Siapa nih yang berani-berani taruh jaket keren gue disini?” teriak Varo marah-marah. Penghuni kos buaya memang kadang suka sembarangan menaruh barang orang. Jaket pindah jadi kain lap, kain lap jadi lap muka, sepatu dipakai ganjal lemari, bahkan minggu kemarin printer Tigor dijadikan ganjalan pintu kamar mandi. Kurang ajar banget!

“Oh itu jaket lu, gue kira buat lap kompor” balas Bara kalem sibuk mengaplikasikan masker ke wajahnya ditemani Ray sedang asik main PS di ruang tengah. Tidak nampak dalam raut wajah Bara perasaan bersalah mendengar umpatan panjang Varo dari dapur. “Sorry habis mirip keset.”

Varo mendengus pura-pura tidak mendengar, ia masuk ke dalam kamar Bima dan terkejut begitu melihat cowok itu sudah rapi dengan setelan jas warna coklat tua. “Apa-apaan sih lu? Lu mau nikah?”

Bima lantas melemparkan pelototan tajam. “Yee… sembarangan aja lu, ini jas turunan dari bokap gue sejak tahun 80an, pernah dipakai waktu nyambut presiden datang ke RT rumah bokap gue dulu. Keren kan?”

“Iye keren" jawab Varo tidak tertarik, bahkan meskipun jas itu adalah warisan turun temurun dari zaman kerajaan majapahit. "Tapi saran gue mending lu ganti"

“Baju gue yang bagus cuman ini.”

Kening Varo berkerut memperhatikan selera berpakaian Bima yang selalu necis, lengkap dengan rambut licin seperti habis berendam di kolam pomade. Tapi bukannya terlihat keren, Bima justru seperti om-om yang sedang berusaha menawarkan investasi bodong ke anak di bawah umur. Bima memang paling payah untuk urusan tata busana, menurutnya selama nyaman tidak jadi masalah. Yang bermasalah tentu saja teman-temannya, karena busana Bima suka tidak melihat kondisi. Ke acara ulang tahun pakai baju hitam dari atas sampai bawah, pas di acara layatan pakai kaos merah tua. Bahkan ia pernah menggunakan baju merah dengan celana hijau, katanya sih mau meniru busana idol Korea, tapi jatuhnya kayak semangka dari Korea Utara. Ngejreng! Bikin sakit mata.

“Gue kalau pakai baju lu nggak bakalan muat, lemak perut gue nggak bisa dikandangin” jelas Bima menepuk-nepuk perut buncitnya.

Varo berpikir sejenak lalu keluar dan tanpa permisi mengambil celana cargo pendek dari dalam lemari Bara, tidak memperdulikan teriakan cowok itu menyumpah siapapun yang memakai celananya akan bisulan. Varo kemudian menarik kaos polos dari lemari Bima. “Pakai ini aja”

“Tapi ntar nggak keren”

“Lu keren kok sumpah. Lu kalau dari samping kayak Sebastian Stan”

“Kalau dari depan?”

“Kayak kerbau”

“Sialan lu!”

Wajah Varo meringis karena tangan besar Bima meninju punggung belakangnya keras sampai terdengar bunyi kecil, mungkin tulang belakangnya patah. “Buruan”

“Iye..iye cerewet” jawab Bima ketus memberikan kode ke arah Varo.

“Apa lagi?”

“Keluar, lu mau lihat gue bugil? Eh tapi nggak papa sih, gue suka pamer adik gue kemana-mana. Bangga aja gitu, punya adik gede.”

Varo mendelik dongkol, langsung melangkah keluar kembali bergabung dengan Bara dan Ray di ruang tengah.

“Aduh, pusing kepala gue” kata Ray melepas stik PS dan bersandar di sofa. “Gue akhir-akhir ini jadi sering cepat pusing, kayaknya mata gue mulai minus dan harus pakai kacamata."

Bara melemparkan tatapan serius. “Oh itu mah bukan minus. Temen gue ada yang gejalanya sama kayak lu, tiba-tiba pusing padahal nggak ngapa-ngapain”

Ray menatap tertarik. “Oh ya? Sakit apa emang teman lu?”

“Miskin…..gejala kemiskinan salah satunya sering pusing” jawab Bara kalem membuat Varo tertawa ngakak, Ray mencibir lalu melangkah pergi ke dapur.

“Varo mau pergi kemana lu?” Tigor muncul berkolor ria keluar dari kamar dengan perlengkapan mandi, dari raut wajahnya sih kelihatan baru bangun tidur.

“Ngapel”

“Pacar?”

“Enggak, dosen” geleng Varo. Tigor tertawa ngakak menghilang ke kamar mandi, sempat berteriak keras karena Ray iseng menyepak kakinya sampai cowok itu jatuh berguling-guling masuk ke dalam kamar mandi.

 “Ganteng nggak gue?” tanya Bima ketika keluar dari kamar, kedua tangannya naik membentuk pose memamerkan otot dengan kaos hitam polos dan celana milik Bara, tidak lupa rambutnya klimis bukan main serasa baru mandi minyak goreng.

“Lu kayak bapak-bapak parlente mau nawar pinjaman” komentar Bara disambut tawa keras Varo dan setelah itu keduanya pergi dari situ.

......................

“Welcome to heaven my friend. Ganteng banget lu gila” sambut Aditya sok asik ke arah Bima. Aditya adalah teman Angga dan bekerja sebagai DJ di club situ, tampangnya cakep tapi urangkan dengan anting di telinga dan tato di sekujur tubuh. Varo hanya bisa nyengir lebar langsung duduk di sebelah Agung, mereka cuman telat tiga puluh menit tapi topik obrolan sudah melambung jauh, kelihatannya sih sedang membicarakan barisan cewek-cewek cantik di meja seberang.

“Cewek yang mana?” tanya Varo pada Angga. Bibir Angga maju menunjuk ke salah seorang cewek berambut pendek dengan kacamata dan rokok di tangan sedang mengobrol bersama teman-temannya. Sesekali ia melirik ke arah meja Varo tapi tidak terlihat jelas pada siapa pandangannya benar-benar tertuju.

“Liburan ini lu kemana?” tanya Angga menyodorkan gelas alkohol. Varo menegak sampai habis kemudian menyalakan rokok sembari mengangkat bahu dan duduk bersandar di sofa.

“Kayaknya gue magang”

“Di perusahaan bokap?”

“Enggak.”

Angga tersenyum kecil. “Nggak ke New York?”

“Nggak, ngapain? Gue sibuk kuliah dan New York jauh”

“New York yang jauh atau hati lu yang menjauh?” tawa Angga, raut wajahnya berubah kemerahan tanda setengah dari tubuhnya sudah terkendalikan oleh alkohol. “Tante Kinasih ada nelpon nyokap gue kemarin. Dia curhat karena lu susah dihubungi. Sampai gue harus ngarang cerita ponsel lu dicopet” cerita Angga. Varo menghisap rokok pelan. Angga adalah sepupu sekaligus satu-satunya orang yang tahu detail seluk beluk kehidupan Varo, bahkan sampai sisi tergelap dan terapuh sekalipun. “Punya nyokap tuh dijaga.”

“Gimana gue mau jaga kalo nyokap yang ngelepas gue duluan?” Senyum Varo pahit menunjukan bahwa kepergian Kinasih beberapa tahun lalu masih menjadi pukulan berat dan luka bagi dirinya.

“Cantik banget kan, gue coba deketin kali ya?" Suara Agung membuat Varo dan Angga berpaling. Tampak seorang cewek cantik yang sejak tadi menjadi incaran Agung sedang berdiri sendirian di meja bar. “Bakalan gue bungkus itu cewek malam ini.” Agung terlihat sangat percaya diri, pengaruh alkohol membuatnya tanpa ragu bangkit berdiri menghampiri cewek itu. Teman-temannya hanya melihat dari kejauhan dan kemudian melemparkan tatapan iri ketika Agung mengedipkan mata ditengah obrolannya.

“Varo, ajarin gue biar bisa dapetin cewek dong. Kan gue mau juga dibungkus” rajuk Bima tiba-tiba.

Kening Varo berkerut bingung. “Lu berguru aja sama Dimas, dia lebih jago”

“Lah kok gue? yang dulu tiap pulang sering bawa cewek kan elu, bukan gue. Lu lebih ahli dalam bungkus membungkus”

“Itu kan dulu”

“Dulu sebelum jadi bucinnya Arini” ujar Bima monyong “Ayo dong bagi-bagi ilmu, masa lu tega ngeliat gue gini-gini aja. Sayang banget nih ketampanan bokap yang nurun ke gue kebuang sia-sia.”

Satu tarikan nafas terdengar, Varo memang paling tidak tahan mendengar Bima merengek, ia lantas melepaskan jaketnya. “Lu pakai jaket ini terus lu beli minuman dan tawarin ke cewek-cewek yang ada di-” perkataan Varo mendadak terpotong ketika matanya tanpa sengaja menangkap sosok seorang cewek melangkah ke arah meja yang ia tunjuk. Cantik. Itu adalah kata pertama yang muncul dalam benak Varo, bahkan meskipun lampu di ruangan itu remang-remang. Mata Varo mendadak terpaku pada gerak-gerik cewek itu, ia  tertawa geli ketika bergabung bersama teman-temannya. Dengan kaos crop top berwarna hitam dan celana jeans pendek, Varo berani mengakui cewek itu adalah cewek terseksi yang pernah ia lihat selama berada di club.

“Kita lagi ngeliat orang ya sama kan?” senggol Bima. Varo tidak menjawab, ia malah meraih gelas alkohol tapi pandangan matanya masih tertuju pada cewek itu. Ada sesuatu dalam diri Varo yang mengatakan bahwa ia harus mengajak cewek itu berkenalan, entah bagaimanapun caranya.

Dari meja seberang tempat dimana cewek itu berdiri, tampak salah seorang dari antara mereka berbisik kepadanya sembari menunjuk ke arah meja Varo. Cewek itu lantas berpaling tepat ke arah Varo dan sebuah senyum kecil terukir manis di bibirnya, membuat degup jantung Varo tanpa sadar berdetak kencang.

“Dia tadi senyum ke arah kita, emang bener jaket lu pembawa berkah!” seru Bima malah girang sendiri.

“Cewek yang mana sih?” korek Dimas ikut tertarik, sejak tadi ia sibuk kadal-kadalan dengan cewek di meja sebelah, sementara teman-temannya yang lain sudah berpencar entah dimana dengan kenalan masing-masing, kecuali Angga yang menyandarkan kepalanya ke sofa tanda mulai mabuk berat.

“Yang itu, yang pakai baju hitam” tunjuk Bima. Ketiganya sama-sama memperhatikan cewek itu. Cara ia berbicara, tersenyum, dan menegak air mineral membuat mereka terpesona. Tubuh Varo seakan mati rasa, gerak-geriknya benar-benar membuat Varo tidak bisa berpaling. Sesaat ia melihat cewek itu berbicara dengan seorang waitress dan tangannya menunjuk ke arah meja Varo.

“Dia lagi ngomongin kita” bisik Bima semangat. Tidak lama kemudian waitress tadi datang ke meja Varo, ia tersenyum sopan membawa segelas jim beam dan menyodorkan ke arah Varo.

“Mas, ada titipan dari cewek baju hitam di sana” kata waitress itu kemudian melangkah pergi ketika gelas tadi sudah berpindah ke tangan Varo. Varo tertegun menatap gelas di tangannya, setelah itu ia mendongak ke arah cewek itu dan menegak alkoholnya dengan siratan penuh makna. Cewek itu tersenyum lebar lalu berpaling ke arah teman-temannya seolah tidak terjadi apapun.

“Wow, mimpi makan apa lu semalam? Gila! Lucky banget!” geleng Dimas tidak percaya, begitu juga dengan Bima yang sempat-sempatnya bertepuk tangan ria. Varo ketawa lebar kembali mencuri pandang ke arah cewek itu, tapi sayangnya ia sudah tidak menatap Varo lagi.

......................

Menjelang jam satu malam suasana club semakin ramai, beberapa pasangan tanpa merasa canggung berciuman di sudut-sudut club, sementara ada juga yang terlihat kepayahan harus bersusah payah keluar dari situ dibopong temannya. Varo sendiri sedang berdiri di depan pintu toilet wanita, kedua tangannya berada di saku jaket, jelas menunjukan ia sedang menunggu seseorang.

“Hai” sapa Varo tersenyum tipis. Cewek yang sejak tadi menarik perhatiannya kini berdiri di depannya. 

“Hai” balas cewek itu agak terkejut melihat Varo disitu. Tapi dengan cepat ekspresinya berubah ramah.

“Em-,” Varo mendadak terdiam menimbang-nimbang apa yang harus ia katakan kepada cewek di depannya ini. Rasanya sedikit aneh karena kehadiran cewek itu justru membuat Varo kaku, seolah otaknya mendadak berhenti bekerja begitu saja.

“Kamu Alvaro kan? Alvaro Wijaya. Dulu kapten basket di SMA Merah Putih?” tanya cewek itu membuat Varo terperangah. “Aku Olivia, teman sekolah kamu dulu” lanjutnya mengulurkan tangan.

“Alvaro.”

Olivia tertawa geli. “Aku tau nama kamu Alvaro, nggak usah kamu kasih tau lagi.”

Manis. Itu adalah kata kedua yang terlintas dalam benak Varo ketika Olivia tersenyum pada dirinya. Dengan wajah cantik, proporsi tubuh mengagumkan, dan penampilan seksi, Olivia sukses membuat seluruh perhatian Varo terpusat padanya. Sampai Varo lupa Angga sedang terlelap sendirian di sofa lantai atas.

“Kamu dulu seangkatan sama aku? atau...adik kelas?” tanya Varo ragu agak sulit mengingat  cewek cantik nan seksi bernama Olivia, teman sekolahnya dulu.

“Ya ampun kamu beneran nggak inget aku ya?” tawa Olivia membuat Varo terkesima. “Aku dulu seangkatan sama kamu. Tapi wajar sih kalau kamu nggak inget, kita nggak pernah sekelas, aku dulu anak sepuluh tiga, terus pas kenaikan kelas dua aku pindah sekolah”

“Ohh...” balas Varo kikuk.

“Nggak papa kalo kamu nggak inget, yang penting aku inget sama kamu” kata Olivia membuat Varo tersenyum canggung menyesali kapasitas daya ingatnya yang tidak begitu bagus. “Ngomong-ngomong kamu tambah cakep ya, aku kira pas lulus SMA udah berhenti cakep”

“Kamu juga, tetap cantik” balas Varo cepat agak kaget mendengar pujian keluar dari bibir Olivia, memberikan kesan seakan mereka adalah teman dekat yang baru saja bertemu setelah berpisah selama bertahun-tahun.

“Bisa aja kamu, padahal kamu nggak inget aku” kekeh Olivia senang. “Kamu masih main basket?” lanjutnya bertanya, ia bersandar di dinding ketika beberapa orang terburu-buru melewati koridor toilet.

“Udah enggak”

“Kenapa? Padahal kamu keren banget kalo main basket”

“Aku sibuk kuliah” jawab Varo. Olivia mengangguk kemudian tanpa permisi tangannya naik menyentuh bahu kiri Varo.

“Bahu kamu udah nggak papa kan?” tanyanya membuat Varo bingung. “Kamu dulu kan pernah cedera pas tanding basket, sampai pakai gips lagi”

“Udah nggak papa kok.”

Varo memang bukan pengingat yang baik, tapi ia tidak akan pernah lupa kejadian mengerikan beberapa tahun silam ketika bahu kirinya cedera parah dan hampir membuatnya harus berhenti bermain basket. Tapi anehnya, sekarang, ketika ia mendengar orang asing bertanya sembari melemparkan ekspresi peduli pada kejadian itu, Varo merasa ada sesuatu yang merayap naik ke dalam hatinya, seperti perasaan senang yang tidak berujung.

“Aku dulu taruhan sama temen aku, kalo kamu nggak jadi kapten basket lagi gara-gara cedera bahu, pasti tim sekolah kita kalah. Eh taunya berapa bulan kemudian bahu kamu sembuh. Aku senang” cerita Olivia ringan. Pandangan Varo berubah serius, mendadak banyak pertanyaan menarik muncul dibenaknya tentang Olivia. Seperti apa sosok Olivia saat SMA dulu? Sejauh apa ia mengenal Varo Beberapa pertanyaan lain juga terus datang silih berganti di benaknya, membuat Varo terdiam bagai orang bodoh menatap Olivia. Pesona cewek itu mampu membuat lidah Varo mendadak terikat tidak mampu untuk menanyakan apapun.

“Oliv!” Panggilan keras seseorang dari ujung koridor membuat keduanya berpaling, tampak seorang teman Olivia memanggilnya sembari memberikan kode untuk pergi ke tempat lain.

“Aku balik duluan ya, temen aku udah nungguin” kata Olvia tersenyum kikuk kemudian melangkah pergi, tapi baru tiga langkah tubuhnya kembali berbalik ke arah Varo. “Kalau ketemu lagi, kamu mau makan bareng nggak?”

“Boleh” angguk Varo balas tersenyum tidak berniat untuk menolak ajakan itu. Olivia melambaikan tangan kemudian melangkah pergi bersama temannya. Varo menarik napas dengan perasaan senang, ia merasa seperti ada kupu-kupu kecil terbang di dalam perut sehingga menimbulkan sensasi geli. Baru pertama kali Varo merasa bahagia berbicara dengan seorang cewek asing, mungkin karena dimata Varo Olivia itu cantik sekali, jadi tidak ada alasan bagi Varo untuk tidak merasa tertarik. Tapi sesaat kemudian senyum Varo menghilang ketika menyadari sesuatu. “Sial! gue lupa minta nomornya.” Dan begitu Varo melangkah mencari Olivia, ia sudah tidak menemukan cewek itu, bahkan Varo sampai menyusuri semua sudut ruangan. Seakan Olivia sudah menghilang ditelan pusaran bumi.

Lonely - 2ne1

Jam satu siang setelah UAS hari ketiga berlangsung, ruang anak pencinta alam tampak penuh dengan barisan beberapa mahasiswa yang baru selesai ujian atau sedang menunggu ujian di jadwal selanjutnya.

“Wess, cepat banget ya lu kalo urusan makan, giliran latihan aja malas betul” sindir Brandon ketua pencinta alam ketika Dimas dan Agung masuk ke dalam ruangan dan tanpa basa-basi langsung mengambil potongan pizza.

“Ada apa sih ini, tumben kok makan-makan? Nyokap lu kepilih jadi gubernur?” tanya Dimas cuek mengunyah potongan pizza, ia duduk di sebelah Varo yang terlihat sibuk sendiri menatap layar ponsel.

“Ngerayain ceweknya Brandon lagi tiga bulanan. Iya kan Bran? kemarin kan lu nunjukin hasil test packnya ke gue” cetus Bima sembarangan langsung mendapat pelototan tajam dari Brandon.

“Heh heh mulut kau, ku cabe ya mulut kau. Nggak pernah ada kejadian cewekku hamil diluar nikah. Bisa stop jantung mamaku di Medan” protes Brandon merasa terancam dengan pernyataan Bima.

“Alah sok-sokan bawa-bawa mamak, kau pun kalo nggak ada aku, udah sembarang lah kau main kemana-mana” ujar Togar dari samping.

“Kaulah! Kau yang sering main-mainin cewek. Pacarku cuman satu. Kau tuh pantas sekolahkan adik kau dengan benar” dengus Brandon tidak mau kalah. Cekcok antara keduanya tentu saja memancing tawa satu ruangan, cukup menghibur membuat semua orang lupa kalau tiga puluh menit lagi masih ada jadwal ujian. Tapi tentu saja tidak semua orang tertawa mendengar lelucon itu. Tampak dipojokan seorang makhluk dengan kaos hitam terlihat sedang uring-uringan. Ya, ia adalah Varo,  manusia yang sejak tadi hanya membuka tutup home ponsel dengan ekspresi jenuh. Selera humor Varo mendadak merosot jauh, terutama sejak pertemuannya dengan Olivia beberapa waktu lalu. Memori ingatannya yang kurang begitu bagus untuk mengingat sosok orang lain justru merekam sosok Olivia secara sempurna, membuat Varo harus berkali-kali meneriaki kata goblok pada dirinya sendiri karena tidak sempat meminta nomor Olivia. Ia terlihat seperti pemburu yang membiarkan buruannya melenggang bebas melewati jebakan.

“Kenapa lu narik-narik napas gitu? asma?” tanya Dimas heran. “Masih kepikiran sama si cewek cantik dari club itu?”

“Olivia” koreksi Varo pendek.

“Ya itulah, siapapun namanya” angguk Dimas tersenyum geli melihat Varo seperti orang frustasi baru kehilangan sesuatu.

“Gue udah nanya Rebeca, dia sampai ngecek buku tahunan berkali-kali buat ngeliat nama anak angkatan kita yang pindah sebelum lulus, dan nggak ada yang namanya Olivia” lapor Angga dari samping menunjukan layar ponsel. Tampak banyak foto yang diambil Rebeca dari buku tahunan sekolah dan tidak ada satupun siswi bernama Olivia atau memiliki unsur nama Oli dan Via.

“Emang ada berapa anak angkatan kita yang pindah?”

“Katanya sih dua puluh lebih”

“Buset itu jumlah anak yang pindah apa mau bangun paguyuban?” Bima ikut nimbrung.

 “Emang cantik banget ya?” Angga mulai tertarik. Ini adalah pertama kalinya Angga melihat Varo uring-uringan frustasi karena seorang cewek. Angga jadi ingin tahu seperti apa sosok Olivia yang akhir-akhir ini menjadi topik hangat di antara mereka.

“Cantik banget! Seksi lagi. Paket lengkap lah, kayak model victoria secret. Kalah Arini, beda jauuuh” jawab Bima semangat.

“Ah lebay lu, masa sih?” Angga masih skeptis.

“Kalau secantik itu kenapa lu nggak minta nomornya?”

“Karena dia cantik makanya gue lupa” jawab Varo singkat.

“Cantiknya mampu buat lu jadi bego” tambah Bima. Untuk terakhir kali Varo mendengus lalu meraih tas dan melangkah keluar ruangan, ujian mata kuliah selanjutnya akan diadakan jam dua siang dan ia masih punya waktu lima belas menit sebelum telat.

“Eh, tapi lu yakin namanya Olivia?” tanya Dimas ketika mereka berjalan di koridor utama kampus.

Kening Varo berkerut bingung. “Maksud lu?”

“Lu yakin nama SMAnya Olivia? gak ada nama lain?”

“Nggak tau sih, tapi dia bilang namanya Olivia. Emang bisa orang punya banyak nama?” tanya Varo bodoh.

Dimas tertawa geli. Wajah tampan Varo ternyata tidak serta merta menunjukan kapasitas kinerja otaknya. “Lu tau nama asli Bima siapa?”

“Putra Sadewa Kaindra” jawab Varo lugu mencoba mencerna maksud Dimas, keningnya masih berkerut tapi sesaat kemudian tangannya bergerak naik menepuk dahinya kuat-kuat. “Wah bodoh banget, harusnya gue nanya nama SMAnya dulu”

“Sebenarnya lebih bodoh ketika lu nggak minta nomornya sih” kata Dimas. Varo berdecak masuk ke dalam lift diikuti Dimas.

“Lu mau ikut gue ke Depok nggak, besok?”

“Ngapain?”

“Jalan.”

Bahu Varo terangkat tidak yakin. Jalan dalam kamus Dimas itu berarti kencan bareng cewek-cewek asing yang entah ia ajak kenalan dimana. “Cewek lu kali ini anak mana?”

“Bekasi”

“Kenapa mainnya jauh sampai ke Depok?”

“Soalnya yang satu lagi anak Depok.”

Varo spontan melemparkan tatapan takjub pada Dimas yang terlihat cuek menekan tombol lift menuju lantai dua. “Malas ah, jarak dari Depok ke Bekasi jauh, berasa lagi adventure” geleng Varo. Mereka keluar dari lift dan berpisah di depan ruang ujian masing-masing.

“Varo, kalo lu nggak bisa jawab ujian, tenang aja masih ada gue teman buat ngulang kelas semester depan” kata Dimas lalu masuk ke dalam ruang ujian. Varo nyengir, terkadang mahasiswa memang begitu, level optimis buat mengulang mata kuliah jauh lebih tinggi dibanding optimis untuk lulus mata kuliah. Dan setelah itu ketika Varo melangkahkan kaki masuk ke ruang ujian, dengan cepat ia melupakan semuanya, termasuk rumus-rumus yang sudah ia pelajari semalam. Bahkan untuk sementara masalah Olivia disingkirkan dulu jauh-jauh.

......................

Seminggu berlalu, dua minggu berlalu, UAS berakhir dan libur panjang menanti. Dengan langkah santai Varo bersiul-siul masuk ke dalam kos, matanya menatap usil ketika melihat Dion, senior tingkatnya sedang mengerjakan sesuatu di laptop.

“Woi bos, ngapain lu?”

“Ngerjain skripsi”

“Oh. Gue kira lu udah mengundurkan diri dari kampus.”

Dion nyengir, ia memang sudah berada di semester empat belas, semester dimana peluang untuk drop out dari kampus sangat besar. Varo iseng melirik, terlihat Dion sibuk menyelesaikan bab satu, tampangnya yang semula datar mendadak muram ketika otaknya buntu untuk merangkai kata demi kata menjadi sebuah karangan indah.

 

“Bisa-bisanya kuliah sampai empat belas semester. Lu magang jadi dosen?”

Biarpun Nando adalah manusia paling malas yang pernah Varo temui, tapi untuk gelar juara super pemalas tetap menjadi milik Dion. Malas pergi kuliah, malas mengerjakan tugas, malas mengerjakan skripsi, dan mungkin kalau tanpa bernafas masih bisa tetap hidup Dion sudah pasti akan menjadi orang pertama yang berhenti bernafas. Dion adalah tipe manusia yang menjalani hidup karena memang sudah terlanjur dilahirkan.

“Ya selagi masih ada waktu untuk bersantai dan orang tua masih kaya, untuk apa cepat-cepat lulus?” balas Dion cuek. “Lagian ya kuliah itu bukan tentang lulus tepat waktu, tapi tentang apa yang lu dapat saat kuliah”

“Emang apa yang udah lu dapat di bangku kuliah?”

“Enggak ada” jawab Dion cengengesan. Varo duduk di sofa depan Dion sambil melepas sepatu dan melempar ke sembarangan tempat. Selalu begitu pembelaan Dion setiap kali membahas masalah skripsi dan kapan lulus, susah memang kalau menjalani kuliah hanya karena ingin terhindar dari cemoohan tetangga, delapan puluh persen diisi dengan tidak niat kuliah, malas kuliah, dan strategi bakar kampus biar auto lulus.

“Judul lu jadinya udah diterima?”

“Udah dong” jawab Dion bangga. Setelah lima kali gonta ganti judul sampai disindir pembimbing, akhirnya Dion bisa berbangga hati sudah mulai mengerjakan bab satu. “Gue itu bukan bodoh, cuman emang kurang hoki aja buat dapat dosen pembimbing yang baik”

“Ngerjain skripsi susah nggak?”

“Tergantung”

“Apa?”

“Tergantung lu dapat dosen kayak gimana. Ada dosen yang merhatiin tulisan lu detail, tapi ada yang acuh nggak acuh sama tulisan lu. Temen gue kemarin dapat dosen yang detail, centimeter kertasnya diukur pakai penggaris, udah gila!” cerita Dion.

“Dari skala satu sampai sepuluh, sesulit apa lu ngerjain skripsi?”

“Lima belas…..Lima nulis skripsi, sepuluh ngikut kemauan dosen yang random habis” jawab Dion serius. “Gue kalo meninggal di tengah ngerjain skripsi bukan karena gue bingung mau nulis apa, tapi karena gue udah capek sama dosen gue. Lu jadinya magang dimana?”

“Yogyakarta, di tempat penginapan sepupunya Bima”

“Daerah mana?”

“Gunung Kidul”

“Naik gunung dong? dingin banget berarti”

“Enggak, di pantai kok”

“Lah katanya tadi gunung, terus sekarang pantai. Jadi yang benar yang mana?”

“Gunung di dalam pantai” jawab Varo asal. Dion nyengir kembali sibuk mengetik paragraf keempat ketika sebuah ide terlintas dalam benaknya.

“Lu doang yang kesana?”

“Enggak. Bareng Bima sama Dimas.”

Setelah UAS selesai, ada libur tiga bulan, tapi karena Varo adalah anak semester akhir maka dengan sangat terpaksa waktu liburnya harus ia habiskan untuk magang -sebagai tugas wajib kampus- di daerah pantai Gunung Kidul, tempat kakak sepupu Bima membuka usaha penginapan.

“Gue masuk duluan” kata Varo masuk ke dalam kamar. Ia langsung berbaring di atas tempat tidur, niatnya untuk terlelap runtuh ketika ponselnya berbunyi nyaring Varo berdecak membaca nama Putra, sekretaris pribadi Amirah, kakak keduanya.

“Kenapa Pak?”

[Ini aku] terdengar suara Amirah dari ujung membuat Varo menyesal mengangkat panggilan itu. [Kamu blok nomor aku ya?]

“Iya, habis kakak berisik” aku Varo jujur. Terdengar tawa Amirah dari ujung telepon.

[Unblock aku, mulai besok aku udah nggak di Indonesia, siapa tau aku butuh kamu buat ditelpon

"Kakak mau kemana?”

[New York]

“Oh” balas Varo singkat, tidak bertanya apapun.

[Mama lagi ada masalah sama suaminya dan butuh temen. Bang Rava nggak bisa kesana karena harus ke Singapura dan kalo kamu, pasti kamu nggak mau]

“Kakak udah tau gitu terus tujuan kakak aku gue biar apa?” ketus Varo agak tidak suka dengan sifat Amirah yang terlalu berbelit-belit ketika membicarakan sesuatu.

[Mama kangen sama kamu, dia pengen ngomong sama kamu, tapi kamu selalu menghindar]

“Bilang ke mama bukan cuman mama yang nggak aku ajak ngomong, papa juga” ketus Varo tidak peduli. Amirah menghela nafas panjang, ia sepenuhnya sadar efek perceraian kedua orang tua mereka masih membekas di hati Varo. Adik bungsunya itu tumbuh menjadi seorang yang dingin dan tidak peduli pada siapapun. Tapi tetap saja, akhir-akhir ini Amirah mulai merasa geram dengan sikap Varo yang menurutnya mulai keluar dari batas.

[Kamu besok bisa ke rumah? Amelia ulang tahun yang pertama] kata Amirah mengganti topik membicarakan adik tiri mereka.

“Menurut kakak aja”

[Alvaro denger ya. Kamu boleh benci papa, mama, atau Mami Linda, tapi kamu nggak boleh benci Amelia, dia nggak ngerti apa-apa] nasehat Amirah.

“Mami Linda? bagus tuh namanya” sindir Varo membuat Amirah bungkam.

“Udah ya kak, aku mau tidur, kakak kalo perlu chat aku aja, ntar aku unblock kalo mood aku bagus” lanjut Varo tenang langsung mematikan sambungan telepon, tidak memperdulikan teriakan Amirah dan panggilan yang terus menerus masuk. Varo lantas mematikan ponsel dan memejamkan mata.

......................

Sekeliling rumah Arini dipenuhi pohon jambu, buahnya tumbuh lebat bahkan sampai berjatuhan ke tanah. Halaman rumah itu kecil, tidak sebanding dengan milik Varo, tapi tetap tenang karena rumah Arini berada di daerah kompleks yang jauh dari jalan raya utama. Sreet. Varo menarik tirai jendela kamar Arini untuk menutup arah sinar matahari dan kembali berbaring di atas kasur. Matanya mengintip dengan senyum kecil ketika melihat Arini keluar dari kamar mandi. Cewek itu mengenakan celana pendek dan kaos berwarna putih agak transparan sembari membicarakan sesuatu yang sebenarnya tidak begitu Varo mengerti. Lekat-lekat Varo mengarahkan pandangannya. Ia selalu suka dengan cara berpakaian Arini yang seperti itu, cantik dan seksi. Meskipun tidak seperti Olivia. Deg. Degup jantung Varo berdetak kencang, ia langsung menggelengkan kepala ketika untuk beberapa sesaat sosok Olivia muncul dalam benaknya. Lucu, karena pertemuan singkat mereka justru mampu menarik seluruh perhatian dan ingatan Varo.

“Kamu kenapa?”

“Hah?”

“Geleng-geleng gitu. Sakit?”

“Ambeien”

“Ambeien di kepala. Pantat kamu pindah di kepala?” tawa Arini meraih hair dryer dan duduk di lantai mengeringkan rambut. “Kamu beneran mau magang di Yogyakarta?”

“Hmm.”

Arini melepas hair dryer dan balik badan menatap Varo yang memeluk erat gulingnya. “Aku jadi pengen ikut”

“Kamu masih semester empat, ngapain ikut? Mending kamu liburan, aku kalo bukan karena magang itu wajib, aku udah skip. Males”

“Tapi kalo aku kangen gimana?”

Varo tidak menjawab, ia duduk bersandar dan memberikan kode pada Arini untuk duduk di pangkuannya. Tangan Varo memainkan ujung rambut Arini yang masih setengah basah. Baju putih setengah transparan samar-samar menunjukkan pemandangan indah dari balik kain itu dan seakan berteriak ingin membangunkan sisi liar Varo.

“Kemarin waktu aku ke toilet sama Ete, ada cewek yang ngomongin kamu” cerita Arini. “Katanya kamu cakep, makanya dia mau masuk pecinta alam. Coba kamu tebak siapa?”

Varo menggeleng.

“Sekar”

“Oh dia…”

“Kamu tau Sekar?”

“Tau” angguk Varo singkat, tangannya berpindah ke leher Arini dan dengan gerakan pelan namun sensual menggosok bagian sensitif dari kulit luar cewek itu, Arini menggigit bibir menahan hasratnya yang perlahan mulai meronta-ronta. “Waktu malam perkenalan aku dapat surat cinta dari dia.

“Dia ngasih kamu surat? Berani banget, dia nggak tau apa kamu pacar aku?” omel Arini pelan tapi sesekali lenguhan keluar dari bibir. “Kayaknya aku harus masang foto kita berdua di ruang pecinta alam, biar semua orang tau kamu pacar aku” lanjut Arini, rasa cemburunya memang terkadang suka melewati batas.

Mata Arini menatap Varo lekat-lekat. Varo memiliki semua yang diinginkan Arini. Tinggi, cakep, dan nama yang disandang oleh cowok itu, Wijaya. Mungkin terdengar biasa saja, tapi jika Wijaya yang dimaksud adalah pemilik Wijaya group, maka cukup sudah alasan bagi Arini untuk tidak melepas Varo begitu saja. Cowok itu terlalu sempurna untuk pergi dari kehidupan Arini.

Bibir Varo tersenyum tipis menyadari Arini menatapnya dalam tatapan memuja, tangannya menarik wajah Arini perlahan dan memberikan ciuman manis di atas bibir cewek itu. Lembut tapi menuntut. Tangannya mengelus bagian tubuh Arini membuat cewek itu mulai menggila dengan perasaan berdebar-debar. Mata Arini terpejam membalas ciuman Varo, ia bisa merasakan gairah dan sensasi menggelitik dari bibir Varo. Ciuman itu cukup mampu membawa Arini berada di puncak sensasi yang tidak bisa ia jelaskan. Sebuah perasaan bahagia dengan letupan-letupan gairah memenuhi dada Arini. Tapi ketika perasaan itu hendak berkembang lebih jauh, saat itu juga Varo menarik wajahnya menjauh. Arini spontan menggigit bibirnya sendiri dengan perasaan kecewa. Ia ingin lebih dari itu, tapi otaknya jelas memberi perintah agar ia tetap diam menunggu kemana Varo akan membawanya pergi. Varo pacarnya, tapi terkadang seperti sekedar status tanpa makna. Cowok itu selalu menarik batas antara dirinya dengan orang lain, termasuk Arini. Sebuah batas tipis tapi mampu membuat Arini paham bahwa ia belum memiliki akses kuat untuk melewati batas itu. Dan karena itu, Arini hanya bisa menunggu. Menunggu Varo untuk memulai dan mengakhiri apa yang ia inginkan.

“Cakep banget sih pacar aku” puji Arini menutup rasa kecewanya dengan mengelus pelan rambut Varo. “Tampang kamu yang cakep gini buat aku jadi nggak tega biarin kamu magang di tempat jauh. Gimana kalo kamu digigit buaya?”

“Dengar ya, aku itu magang jadi akuntan, bukan penjaga satwa liar” balas Varo nyengir lebar.

Arini terkekeh geli, ia bahagia. Ekspresinya terlihat semakin jelas betapa besar ia memuja Varo. Sejak awal dan sejak dulu, hanya Arini yang menyukai Varo. Arini lebih dulu mengejar, memberikan hatinya, dan tanpa sadar terluka karena cowok itu. Tapi Arini tidak peduli, bahkan meskipun ia tahu Varo tidak pernah sekalipun membalas perasaan Arini. Karena itu setiap malam dalam doanya, Arini selalu meminta pada Tuhan, agar suatu saat nanti Varo akan membalas perasaan Arini. Mencintainya sama seperti rasa cinta yang diberikan Arini pada Varo. Namun, ada satu hal yang tidak diketahui Arini. Varo menerima Arini, karena ia tidak ingin merasa kesepian.

“Kamu mau nginep? Mama, Papa baru balik lusa”

“Enggak, aku udah janji mau main PS sama Bara” geleng Varo menolak. Arini mendadak cemberut menyandarkan wajahnya ke bahu cowok itu.

“Tiga bulan itu lama” gumam Arini. “Kita telponan ya setiap malam?”

“Tergantung” balas Varo membuat wajah Arini mendongak menatapnya. “Tergantung aku mager atau enggak”

“Kamu mah! Pacar sendiri digituin”

“Kalo gitu tergantung aku capek atau enggak” kata Varo nyengir. Arini merengut dengan wajah tertekuk tapi tidak ingin menjauh dari Varo.

Ponsel Varo bergetar. Kening cowok itu langsung berkerut ketika membaca pesan dari Bima.

Bima     : Pak Putra datang, nyariin elu. Katanya mau jemput elu balik ke rumah.

“Aku berubah pikiran” ujar Varo membuat Arini kembali mendongak. “Aku mau nginap.”

Senyum Arini langsung merekah lebar. “Kalo gitu aku minta Mbok Mirah buat nyiapin makan siang. Kamu tunggu bentar ya disini” kata Arini riang buru-buru melangkah keluar kamar.

Varo tersenyum manis, tapi dalam sekejap ekspresinya berubah begitu punggung Arini menghilang. Jari tangannya mengetik membalas pesan Bima dan setelah itu ia langsung mematikan ponsel, tidak ingin diganggu oleh siapapun.

Varo    : Bilangin Pak Putra gue lagi adventure mengelilingi Jabodetabek.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!