Gadis yang baru saja lulus sekolah menengah atas itu terlihat tak berkedip saat melihat lelaki dewasa di hadapannya.
Terlihat berwibawa dan sangat berpendidikan ketika berbicara dengan ayahnya.
Belva namanya. Dia tak peduli dengan apa yang saat ini dibicarakan oleh lelaki tampan itu dengan ayahnya.
Sejak tadi fokusnya hanya pada lelaki itu. Menyangga dagunya dengan kedua tangannya. Tersenyum sendiri dan menggigit bibirnya dengan manis saat tak sengaja kedua matanya bertatapan dengan lelaki itu.
Lelaki itu adalah Gilang. Duda tampan berusia dua puluh sembilan tahun namun masih terlihat seperti lelaki yang baru berusia dua puluh dua tahun.
Berbeda dengan Belva yang nampak bahagia saat melihat Gilang, Gilang sendiri justru merasa risih ditatap sedemikian rupa oleh Belva.
Gadis yang diceritakan oleh ayahnya bahwa dia beru saja lulus sekolah menengah atas kemarin.
Belva cantik, Gilang akui itu.
Tapi sayangnya dia masih sangat belia. Dan Gilang pun tak berminat untuk menyukainya.
Gilang menginginkan seorang perempuan dewasa untuk dijadikan pendamping hidup setelah perceraiannya dengan Mikha dua tahun yang lalu.
Sayangnya, baru beberapa Minggu setelah pernikahan Mikha dan Gavin, Gilang baru bisa move on dan menerima kenyataan bahwa Mikha bukan lagi miliknya.
Miliknya? Tidak, Gilang tak pernah memiliki Mikha.
Gilang hanya mengikat Mikha dalam sebuah pernikahan tanpa adanya cinta. Hingga waktu yang membuat Mikha memilih untuk menggugat cerai Gilang karena satu persatu kesalahannya di masa lalu terungkap.
Sudahlah, itu semua sudah berlalu. Penyesalan pun tak akan membuat Mikha kembali menjadi istrinya. Sekarang Gilang harus terima kenyataan bahwa Mikha sekarang adalah kakak iparnya.
Hampir setiap hari Gilang disuguhkan dengan kemesraan keduanya. Belum lagi malam panas yang sempat terdengar olehnya malam itu. Ah, Gilang tak mau membayangkan apa yang terjadi.
Dia pun pernah melakukannya meskipun bukan dengan Mikha.
"Belva, kita bisa pergi sekarang."
Darmawan, Papa Belva, lelaki Jawa namun berwajah bule, berucap namun tak didengar oleh Belva yang sedang asyik memandangi wajah Gilang.
Darmawan sampai merasa sungkan dengan ulah anaknya. "Maafkan Belva ya, Lang," ucapnya pada Gilang.
Gilang tersenyum tipis. "Tak masalah, Om."
"Belva, kita pergi sekarang."
Belva tak juga mendengar ucapan ayahnya.
"Belva!" Panggilan Darmawan naik satu oktaf. Tak kasar, namun sedikit keras. Ditambah juga dengan menyenggol lengan Belva pelan. Barulah Belva tersadar dari lamunannya akan Gilang.
"Kenapa, Pa? Mau jodohin Belva sama Kak Gilang, ya?" ucap Belva ngaco.
"Ssstt... Sembarangan kamu. Bikin malu papa aja. Tapu gitu tadi papa nggak ngajak kamu. Ayo pergi. Papa sama Gilang sudah selesai meeting."
"Kok, udah selesai, sih, Pa? Belva belum puas lihatin Kak Gilang," rengek Belva semakin menguat Darmawan malu.
Tak ada cara lain selain menarik tangan Belva agar Belva mau beranjak dari tempat duduknya dan membawa Belva pergi dari hadapan Gilang sebelum Darmawan dibuat semakin malu oleh tingkah anak semata wayangnya.
***
"Dia cantik, bos. Bos nggak naksir sama dia?" tanya Juan, sekertaris Gilang.
"Cantik sih, cantik, Ju. Tapi dia masih bocah."
"Justru karena masih bocah, Bos, masih polos. Enaklah buat eksperimen gaya baru."
"Mulutmu, Ju."
Juan tertawa terbahak mendengar ucapan Gilang. Juan yakin ucapannya tadi pasti sudah mengganggu perasaan Gilang saat ini. Entah ucapannya yang mengatakan bahwa Belva cantik, atau Belva yang masih polos sehingga bisa diajak bereksperimen gaya baru.
"Sialan!" umpat Gilang yang disambut tawa oleh Juan. Juan yakin ucapannya benar-benar mengganggu pikiran Gilang.
🌻🌻🌻
Beberapa Minggu ini, Gilang sudah sering pulang pergi Surabaya - Jakarta untuk menjalankan proyek baru milik ayahnya yang diamanahkan pada Gilang. Bekerjasama dengan Darmawan yang merupakan teman Anton semasa kuliah dulu.
Jika dilihat kembali antara Darmawan dan istrinya, usia mereka terlihat terpaut begitu jauh.
Darmawan seumuran ayahnya. Sedangkan istrinya terlihat masih sangat muda. Apalagi anak yang mereka miliki hanya Belva seorang, yang baru saja lulus SMA.
Itu artinya tak masalah juga jika Gilang menyukai Belva.
"Ah, apalah otakku ini?" Gilang merutuki pikirannya sendiri. Bisa-bisanya dia berpikir untuk menikah dengan Belva yang masih belia itu.
Gilang tidak mau jika harus direpotkan dengan sifat manjanya nanti.
"Kak Gilang!!!"
Gilang menghentikan langkahnya setelah mendengar suara cempreng yang begitu dia kenali. Tak perlu menoleh, Gilang yakin itu adalah Belva.
Tak perlu juga Gilang bertanya-tanya kenapa Belva ada di sini, di kantor Darmawan.
"Ih, untung Belva ke sini, ya, Kak. Kalau nggak mana Belva tahu kalau ada kak Gilang di sini. Papa nggak bilang kalau kak Gilang mau ke sini."
Belum apa-apa, Belva sudah begitu bawel dengan menggandeng tangan Gilang. Catat, tanpa mau Belva melakukannya. Padahal kini keduanya sudah menjadi pusat perhatian para karyawan di kantor Darmawan.
"Kak Gilang mau ketemu Papa, ya? Bareng aja, yuk."
"Iya. Tapi nggak usah gandeng begini."
"Kenapa?"
"Malu dilihatin karyawan Pak Darmawan."
Meskipun terlihat enggan, Belva melepaskan tangan Gilang begitu saja. Harapan Gilang gadis itu memilih untuk tidak bareng dengan Gilang untuk naik ke ruangan Darmawan.
Namun gadis itu tetap mengikuti Gilang sampai Gilang masuk ke dalam lift.
"Kak Gilang udah lama jadi duda?"
Gilang tersedak air liurnya sendiri. Bisa-bisanya Belva menanyakan hal tersebut kepada dirinya.
"Nggak cemburu lihat mantan istri jadi kakak ipar, kak?"
Pertanyaan Belva tak dijawab oleh Gilang.
"Nikah sama Belva yuk, Kak, biar nggak disangka gagal move on. Belva siap untuk nikah muda, kok. Memangnya kakak nggak capek jadi duda terus? Tidur nggak ada yang meluk, baju nggak ada yang nyiapin, kemana-mana nggak ada yang nungguin di rumah, nggak ada yang tanya kapan kakak pulang, nggak ada yang diajak gandengan waktu jalan-jalan. Memangnya kakak nggak capek?"
Kedua mata Gilang melebar dengan sempurna. Baru kali ini ada gadis seusia Belva yang terang-terangan mengajaknya menikah.
Dia pikir menikah itu apa? Memangnya menikah hanya seperti apa yang dia ucapkan barusan?
Tidak hanya sekedar aku suka sama kamu lalu kita menikah. Tapi dimana pernikahan adalah menyatukan dua pikiran yang berbeda. Menyatukan visi dan misi untuk kehidupan rumah tangga.
Gadis manja seperti Belva ini tau apa soal pernikahan? Pikir Gilang meremehkan Belva.
Beruntung lift terbuka sebelum Gilang bisa menjawab ucapan Belva. "Nggak usah ngomong apa-apa ke papamu soal ucapanmu tadi," ucap Gilang sebelum masuk ke ruangan Darmawan.
"Ih, Kak Gilang mau ngobrol berdua sama aku dulu, ya?"
Gilang menghembuskan napasnya dengan sedikit kasar. Akhirnya dia menganggukkan kepalanya agar gadis itu segera menutup mulutnya dan gak berkata apapu lagi di hadapan ayahnya nanti.
***
"Anak Mama udah pulang? Duduk dulu, yuk. Ada teman Mama dan anaknya."
Jika sudah berkata seperti itu, Gilang sudah yakin bahwa Yunita pasti akan menjodohkan dia dengan anak teman mamanya itu.
Hal ini sudah terjadi berulangkali dengan teman mamanya yang berbeda. Dan Gilang selalu menolak jika diminta untuk mengenal lebih dekat lagi.
"Aku capek, Ma. Bersih-bersih dulu, ya?"
"Sebentar aja, kok. Mereka juga udah mau pulang karena udah lama di sini."
Gilang tak bisa lagi menolak. Tidak ada pilihan lain selain mengikuti kemauan mamanya agar dia duduk di hadapan dua perempuan berbeda usia tersebut.
Jihan nama wanita itu. Gilang pernah melihat nama dan wajahnya ada di daftar perempuan muda yang menjadi seorang pengusaha sukses.
Meskipun baru merintis, tapi brand pakaian modern miliknya sudah terkenal di kalangan para kaum menengah ke atas.
"Kata Mama kamu, kamu baru dari Surabaya, ya, Lang?" tanya Mama Jihan yang Gilang anggap hanya sebagai basa-basi saja. Sudah tau dari Yunita kenapa masih bertanya padanya?
"Iya, Tante. Saya ke kamar dulu, ya. Mau bersih-bersih dan istirahat."
Meskipun Yunita menatapnya dengan tatapan tak suka dan seolah meminta Gilang untuk tetap duduk, Gilang tak menggubrisnya.
Setelah berpamitan Gilang langsung naik ke lantai dua dimana kamarnya berada. Juga tanpa menatap Jihan sedikitpun.
♥️♥️♥️
"Sampai kapan, sih, Lang, kamu tu mau nolak kalau Mama mencoba mendekatkan kamu dengan perempuan? Ingat umur, Lang. Mama juga pengen punya cucu."
"Kalau masalah cucu kan, di Gavin sama Mikha udah buat tiap hari, Ma."
"Mereka udah usaha. Kamu kapan usahanya?"
"Usaha apa? Bikin cucu?"
"Cari istri buat diajak bikin cucu buat Mama dan Papa juga."
Seperti anak kecil yang sedang memiliki sebuah keinginan, Yunita mengikuti kemanapun Gilang pergi. Bahkan saat Gilang berenang pun Yunita menunggunya di pinggir kolam renang.
"Kenalan aja dulu, Lang. Pendekatan dulu. Kalau emang nggak cocok Mama nggak akan maksa, kok," ucap Yunita.
Gilang yang tengah menggosok rambutnya dengan handuk pun menghela napas berat.
"Jihan anaknya baik, kok. Dia udah tahu masa lalu kamu dan dia dan orangtuanya nggak masalah akan hal itu."
Bukan masalah masa lalu Gilang yang menjadi alasan Gilang untuk tidak mau mengenal wanita-wanita itu lebih dekat. Namun lebih ke perasaan yang tidak mudah untuk berlabuh setelah perceraiannya dengan Mikha.
Gilang hanya takut siapa yang nantinya akan dekat dengannya akan merasa dirinya hanya sebagai pelarian saja. Gilang tak ingin lebih banyak menyakiti hati wanita.
"Mama ngapain coba ngikutin aku terus?" tanya Gilang saat Yunita membuntutinya dari belakang saat Gilang naik ke lantai dua untuk bersiap berangkat bekerja.
"Mama nggak akan berhenti ngikutin kamu sebelum kamu mau dekat dengan Jihan. Atau yang lain, deh. Sama Mella, misalnya. Atau Yasmin yang keturunan Arab itu."
Lagi-lagi Gilang hanya bisa menghembuskan napas dengan kasar. Jika seperti ini terus tentu hidup Gilang juga tidak akan pernah tenang dan selalu diusik dengan kemauan mamanya.
Apalagi kini Yunita menggunakan cara yang menurut Gilang itu kekanakan. Mengikuti kemanapun Gilang pergi.
"Oke, fine! Sama Jihan aja. Tapi kalau nggak ada kecocokan, Mama nggak boleh marah."
Senyuman lebar terukir di bibir Yunita mendengar persetujuan dari Gilang. Dia peluk tubuh Gilang yang terbalut handuk kimono. Sedikit basah, tapi tak jadi masalah.
"Makasih, sayang. Mama selalu berdoa semoga dia yang terbaik buat kamu," ucap Yunita bahagia.
"Aamiin-in, dong," protes Yunita saat Gilang diam saja.
Gilang mengangguk terpaksa. "Iya, aamiin," ucapnya setengah hati.
"Oke. Besok kalian nga-date, ya."
"Aku besok ke Surabaya lagi, Ma."
"Ya udah. Ajak Jihan ke Surabaya sekalian biar dia tahu pekerjaan kamu."
Gilang melebarkan kedua matanya. "Nggak, deh, Ma. Nggak mau bawa pergi anak gadis orang. Ada apa-apa nanti aku yang disalahin."
"Kamu tenang aja. Nggak akan ada apa-apa kalau kamu mau nurut omongan Mama. Ini nomor Jihan udah Mama kirim ke handphone kamu. Telepon dia, dan ajak dia ke Surabaya besok."
"Ma?" Gilang hendak memprotes. Tapi kedua tangan Yunita yang terangkat membuat Gilang terdiam. Tandanya memang dia harus diam. Yunita tak ingin ada protes apapun yang keluar dari bibir Gilang.
***
"Saya Gilang."
"Oh, Mas Gilang. Ada yang bisa saya bantu, Mas?"
"Mama minta saya buat ngajak kamu ke Surabaya besok kalau kamu nggak sibuk."
"Besok?"
"Iya."
"Kebetulan sekali, Mas. Besok saya juga ada pekerjaan di Surabaya. Kita bisa berangkat bersama."
"Iya. Pesawat besok jam delapan pagi. Kita bertemu di bandara."
"Baik, Mas. Berapa lama di Surabaya?"
"Kalau saya mungkin sekitar tiga harian."
"Oh, baiklah. Saya akan ada di Surabaya selama satu Minggu, Mas."
"Oke."
***
Keesokan harinya, Gilang bersama Juan sudah menunggu Jihan di bandara. Tak sampai sepuluh menit menunggu, Jihan terlihat turun dari mobilnya.
Gilang akui, penampilan Jihan pagi ini cukup menawan. Rambut pirangnya tergerai indah. Kacamata hitam bertengger di hidung mancungnya. Kaki jenjangnya berjalan menghampiri Gilang dan Juan.
"Cantik, bos," bisik Juan pelan.
"Semua wanita kamu bilang cantik."
"Memang wanita itu cantik, bos. Kalau tampan itu aku."
"Nanti kamu tak lempar dari atas pesawat ya, Ju."
"Jangan, bos. Aku belum nikah."
Gilang diam tak menjawab. Memilih berdiri untuk menyambut kedatangan Jihan. Ingat, ini hanya formalitas. Tidak lebih dari itu.
"Udah lama, Mas?" tanya Jihan pada Gilang.
Gilang menggelengkan kepalanya. "Baru sekitar sepuluh menit," jawab Gilang tanpa meninggalkan kesan sikapnya yang dingin.
"Oh, maaf sudah membuat Mas Gilang menunggu," ucap Jihan tak enak hati.
"Tidak apa-apa. Kita harus check in sekarang."
"Iya."
***
Selama di dalam pesawat, keduanya sama-sama diam. Sedangkan Juan lebih memilih untuk tidur saja.
Gilang sibuk dengan iPad yang ada di tangannya. Sedangkan Jihan hanya terdiam sambil menikmati pemandangan dari atas.
Ingin bersuara, ingin mengajak Gilang mengobrol ringan, namun sepertinya iPad di tangannya lebih menarik daripadanya Jihan yang cantik yang ada di sampingnya.
Jihan jadi sungkan sendiri rasanya. Dia tidak biasa untuk berdiam seperti itu jika sedang bersama seseorang. Minimal mengobrol ringan untuk mengakrabkan diri.
"Ada masalah?" tanya Gilang saat melihat Jihan terlihat gelisah.
Jihan menggelengkan kepalanya. "Enggak. Hanya sedikit bosan."
"Nonton film aja kalau bosan. Saya mau tidur sebentar."
Jihan mengerutkan keningnya. Bukan ini yang Jihan harapkan. Jihan ingin mereka mengobrol sebentar saja.
"Ah, nanti juga bisa, Jihan. Sabar!" ucapnya menenangkan diri sendiri.
***
Apa yang diharapkan Jihan ternyata tak berjalan sesuai dengan harapan.
Sesampainya di bandara Juanda, Gilang dan Juan sudah di jemput oleh sebuah mobil mewah. Jihan tak tahu apakah itu milik Gilang sendiri, atau fasilitas hotel, atau mobil sewaan. Dan Jihan juga tidak peduli akan hal itu.
"Saya langsung ke kantor rekan kerja saya, Han. Kamu mau ikut atau saya antar dulu ke hotel?"
Jihan sempat diam kebingungan sebelum akhirnya dia menganggukkan kepalanya dan berkata, "ikut kamu dulu nggak apa-apa. Sekalian jalan-jalan."
"Oke."
Sesampainya di depan kantor Darmawan, Gilang sudah di sambut dengan senyum ceria anak gadis Darmawan yang baru saja keluar dari kantor ayahnya itu.
Namun senyumnya mendadak pudar saat ada perempuan yang turun dari mobil milik ayahnya yang digunakan untuk menjemput Gilang dan Juan.
Belva menatap Jihan dengan sinis. Tak peduli jika usia Jihan jauh lebih tua darinya. "Dia siapa, kak?" tanyanya dengan sinis.
Gilang menaikan kedua alisnya. Mencium bau-bau cemburu dari gadis belia di hadapannya. Hal ini bisa Gilang manfaatkan untuk membuat Belva berhenti menggodanya, bukan? "Ada untungnya juga bawa Jihan ke kantor Darmawan," ucap Gilang dalam hati.
"Dia teman dekatku. Kenalkan! Namanya Jihan."
Belva melengos pergi saat Jihan tersenyum dan mengulurkan tangannya, berniat untuk mengajak Belva berkenalan dengannya.
Tapi sebelum Belva naik ke mobil yang semula dinaiki oleh Gilang dan Jihan, Belva menoleh dan berkata, "situ balik naik taksi online aja. Jangan pakai mobil yang biasa aku pakai buat tumpangan perempuan lain. Pak Bambang, dia ada koper di mobil nggak?" tanya Belva pada sopir ayahnya.
"Ada, Non."
"Turunin! Habis itu cuci ini mobil sampai bersih. Sampai nggak ada bekasnya mereka di sini."
"Baik, Non."
Ucapan Belva membuat Juan dan Gilang menahan tawa. Perempuan kalau cemburu memang kadang suka lucu. Mana ada orang duduk meninggalkan bekas? Kecuali jika yang duduk buang air di tempat atau muntah pasti akan meninggalkan bekas.
Berbeda dengan keduanya, Jihan justru menatap mereka secara bergantian dengan tatapan penuh tanya.
♥️♥️♥️
Kalau dipikir Belva akan meninggalkan kantor papanya setelah membiarkan pujaan hatinya bersama dengan perempuan itu, itu salah.
Tentu Belva tak akan tinggal diam. Mana mungkin dia rela pujaan hatinya dekat-dekat dengan perempuan lain seperti itu? Tidak bisa dibiarkan.
Selama janur kuning belum melengkung, Gilang masih milik bersama. Alias masih bisa diperjuangkan.
Jika ada yang bilang masih banyak lelaki di luar sana yang perjaka, lebih tampan dari Gilang, Belva tak peduli. Namanya juga cinta, terlanjur jatuh hati, sekelas Refal Hadi lewat di depan mata pun yang ada di hati Belva hanya Gilang si duda tampan itu.
Tak peduli juga dengan masa lalunya. Belva memang tak mendengar cerita dari siapapun soal masa lalu Gilang. Tapi internet tidak akan mengecewakan Belva dalam mencari informasi tentang Gilang dan kisah hidupnya.
Berselingkuh dari Mikha. Lalu pada akhirnya Mikha menjadi kakak iparnya. Kasian sekali memang.
"Non, bapak bilang saya harus mengantar Pak Gilang dan kedua rekannya ke hotel," ucap Pak Bambang yang membuat Belva terkejut.
"Hotel?"
"Betul, Non."
"Terus si perempuan itu sama Kak Gilang tidur sekamar begitu?"
Bambang sempat terdiam mendengar pertanyaan Belva yang menurutnya aneh. Iya aneh. "Saya nggak tau soal itu, Non."
"Oh, iya, ya. Pak Bambang mana tau," gumam Belva menyadari kekeliruannya.
"Nah, si Papa telpon aku."
Belva tahu papanya akan mengomel sepanjang rel kereta kalau Belva mengangkat telpon dari papanya. Tapi jika dibiarkan saja, masalahnya akan menjadi lebih besar.
"Halo, Pa," ucap Belva saat akhirnya memutuskan untuk mengangkat telepon dari papanya.
"Dimana kamu, Bel? Pak Bambang harus mengantar Gilang dan temannya ke hotel."
"Kak Gilang sama Juan aja, Pa. Yang perempuan itu nggak usah."
"Apa maksudmu, Bel? Mana mungkin Gilang meninggalkan calon istrinya sendiri?"
"Calon istri, Pa? Tadi Kak Gilang bilang cuma temen dekat. Kenapa Papa bilang dia calon istrinya Kak Gilang?"
"Ya Gilang sendiri yang cerita kalau dia dijodohin sama Jihan."
Belva menahan kekesalannya mendengar Gilang akan dijodohkan dengan perempuan lain. Belva rasa ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Belva harus segera bergerak untuk mengambil kembali apa yang seharusnya jadi miliknya. Sedikit memaksa memang.
"Cepetan, Bel, kamu dimana?"
"Papa, sih, bilangin suruh jodohin aku sama Kak Gilang nggak cepet-cepet dilakuin. Keduluan orang, kan? Ah, kesel sama Papa. Papa suruh mereka cari taksi online aja. Jangan pakai mobil yang biasa Belva pakai. Nggak suka ada bekas perempuan itu."
"Tapi, Bel_"
Belum sempat Darmawan menyelesaikan ucapannya, Belva sudah lebih dulu mematikan sambungan telepon tersebut.
Lagi pula, mobil fasilitas kantor tidak hanya satu. Kenapa harus mobil yang biasa Belva gunakan yang dipakai untuk mengantar mereka ke hotel?
***
Belva meminta Bambang untuk memarkirkan mobilnya di tempat yang tak jauh dari kantor papanya. Guna mengawasi gerak Gilang dan Jihan tentu saja.
Belva rasa dia tidak akan tenang sebelum memastikan apakah Gilang dan Jihan akan tidur dalam satu kamar atau tidak.
Setelah mobil yang dinaiki Gilang keluar dari area kantor, Belva segera meminta Bambang untuk mengikutinya.
Hotel tempat mereka menginap adalah hotel yang biasa Gilang tempati saat berkunjung ke Surabaya. Letaknya hanya sekitar tiga kilometer dari kantor Darmawan.
Diam-diam Belva mengikuti Gilang sampai ke depan resepsionis. Belva duduk di atas sofa yang di sediakan dan menutup wajahnya dengan majalah yang ada di sana.
"Reservasi atas nama Gilang Pratama. Dua kamar, ya, Pak?"
"Tuh, kan, apa aku bilang. Pasti mereka sekamar, deh. Ngeselin banget, sih." Belva mengomel sendiri mendengar ucapan resepsionis tersebut. Apalagi saat melihat Gilang mengangguk mengiyakan ucapan resepsionis tersebut.
Belva melangkahkan kakinya meninggalkan hotel tersebut bersamaan dengan Gilang dan dua orang yang bersamanya masuk ke dalam lift. Sambil memikirkan bagaimana caranya agar dia bisa merebut hati Gilang dan menyingkirkan Jihan dari hidup Gilang.
🌻🌻🌻
Jihan pikir pergi bersama Gilang adalah cara yang Gilang tempuh untuk pendekatan dengannya. Nyatanya tidak. Keesokan harinya, Gilang dan Jihan berjalan sendiri-sendiri mengurus pekerjaan mereka masing-masing.
Bahkan Gilang tak pernah sekalipun Gilang menghubunginya untuk memastikan keadaan Jihan.
Sejak awal Jihan sadar bahwa tidak akan mudah untuk membuka hati Gilang. Jihan juga tidak akan memaksa jika Gilang akhirnya tidak akan memilih dirinya.
"Hai!"
Jihan tersentak saat melihat sosok di hadapannya. Gadis muda yang kemarin terlihat sinis saat melihat dirinya turun dari mobil bersama Gilang.
"Ha-hai." Dengan ragu Jihan membalas sapaan Belva.
"Boleh aku duduk di sini?"
Jihan mengangguk dan mempersilahkan.
"Sendirian aja, Kak?" tanya Belva setelah dua mendudukkan tubuhnya ke atas kursi.
"Iya. Habis meeting sama klien."
"Oh. Kak Gilang dimana, kok, tumben sendiri? Bukannya sejak kemarin nggak pisah, ya?"
Jihan mengernyitkan keningnya mendengar ucapan Belva. "Maksudmu?" Jihan meminta penjelasan.
Belva tertawa hambar dan mengibaskan tangannya pelan. "Lupakan, Kak! Itu nggak penting. Pacaran udah lama sama Kak Gilang?"
"Hah?"
"Kenapa kaget gitu, kak?"
"Eng-enggak. Nggak apa-apa. Kami berdua cuma _"
"Hai, sayang!" Ucapan Jihan terhenti saat tiba-tiba Gilang datang dan mengusap rambut Jihan dengan lembut. Dan apa yang dia ucapkan tadi? Sayang?
Jihan terlihat canggung. Sedangkan Belva langsung melengos tak suka.
"Udah lama di sini? Aku telepon kenapa nggak diangkat?" Gilang bertanya.
"Ehm. Handphone aku silent. Lagi ngobrol sama dia."
Gilang mengikuti arah jari Jihan menunjuk. Lalu pura-pura terkejut saat melihat Belva. "Lho, ada Belva juga di sini? Sudah lama, Bell? Nggak pesan minum?" tanya Gilang. Padahal sejak awal dia sudah tau ada Belva yang duduk di hadapan Jihan.
Belva menganggukkan kepalanya dengan ekspresi wajah datar. Rasa cemburu benar-benar membakar hatinya. Tega-teganya Gilang bersikap seperti itu di hadapannya padahal Gilang sudah tau kalau Belva menyukainya.
"Aku permisi dulu," ucap Belva lalu pergi begitu saja.
Gilang hanya menggelengkan kepalanya melihat Belva yang beranjak pergi. Sebenarnya kasian juga melihat Belva cemburu. Tapi Gilang tak punya cara lain untuk membuat Belva berhenti mengejarnya.
"Maaf kalau saya sedikit memanfaatkan kamu," ujar Gilang yang hanya di balas oleh Jihan dengan sebuah anggukan kecil.
"Saya tidak punya cara lain untuk membuatnya berhenti mengejar saya."
"Kenapa? Dia cantik, manis."
"Tidak cukup jika hanya soal itu yang menjadi alasan. Tapi memang hati saya yang belum sepenuhnya bisa menerima orang baru. Apalagi gadis belia yang usianya terpaut jauh dengan saya."
Jihan diam mendengar penjelasan Gilang. Baru juga memulai usaha untuk membuka hati Gilang, namun Gilang sudah mengeluarkan statement yang mendadak membuat Jihan ingin menyerah.
Sebenarnya, seberapa besar cinta Gilang untuk Mikha sampai Gilang sulit untuk membuka hatinya kembali?
Bukankah terus mencintai Mikha hanya akan membuat hatinya semakin sakit? Setiap hari melihat Mikha bermesraan dengan Gavin. Itu bukanlah hal yang mudah, kan? Lalu kenapa Gilang masih bertahan?
"Kamu hanya perlu membiasakan diri, Mas. Jangan terlalu dipaksa. Semua akan terbiasa saat kamu mau melakukannya."
"Maksudmu?"
Jihan tersenyum tipis. "Tak apa. Saya harus pergi sekarang. Masih ada urusan."
"Saya antar."
"Tidak perlu. Selesaikan pekerjaanmu dan istirahatlah."
Jihan meninggalkan Gilang tanpa menoleh lagi. Rasanya ingin menyerah, tapi ini baru permulaan. Jihan tak biasa mengejar lelaki seperti ini. Tapi entah kenapa dengan Gilang dia mau melakukannya.
♥️♥️♥️
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!