Konflik yang ku sajikan dalam cerita ini hanyalah konflik batin, konflik yang sangat ringan. Tidak ada greget, tidak ada rahasia, tidak ada balas dendam ataupun identitas tersembunyi. Halu nya tidak terlalu tinggi, hanya menceritakan kehidupan di dunia nyata yang wajar. Jadi silahkan di coba sampai bab 10. Jika tidak ada feel bisa langsung left 😇😇
Dan mohon dengan sangat!!!! Yang baru baca, kalau tidak suka langsung skip saja. Nggak usah ninggalin jejak menyakitkan.. Semoga paham ya... Yang nggak paham berati anda nggak punya hati. Dan maaf bagi reader yg komentarnya buruk atau dengan kata2 kasar, maaf langsung saya blok.
...🌷🌷🌷...
Aku tak pernah tahu seperti apa sakitnya pengkhianatan yang suamiku alami, tapi aku tahu persis bagaimana rasanya menjadi istri yang tak di pandang.
Namun, meskipun mas Bima belum menganggapku sebagai istri, aku tetap bertahan demi putrinya yang kini berusia empat tahun. Sosok gadis kecil yang selalu bisa mengalihkan pikiranku dari mas Bima, menjadi penghibur di kala lelah menyergap, serta mampu membuatku melupakan perlakuan ayahnya.
Bukan karena KDRT, bukan juga penyiksaan ataupun kata-kata yang menyakitkan, melainkan diamnyalah yang justru memantik rasa nyeri di dalam hatiku.
Kami memang menikah karena perjodohan, dan ini, adalah tahun kedua aku menjadi istri mas Bima.
Tapi selama dua tahun pernikahan, kami sama sekali belum pernah melakukan kontak fisik layaknya suami istri pada umumnya. Hanya bersalaman dan mengecup punggung tangan saja skinship yang kami lakukan. Selebihnya tidak ada.
Tapi itu tidak masalah bagiku, sebab hidupku cukup berwarna dengan putri kecil dari mas Bima, bahkan hanya melihat senyumnya saja, aku sudah merasa sangat bahagia.
Entahlah, aku begitu menyayangi layaknya anak sendiri.
Dulu, saat mas Bima membawaku ke rumahnya, Syahla yang masih berumur dua tahun, belum mengerti tentang apapun.
Awalnya memang sulit ku dekati, tapi lambat laun gadis kecil itu terbiasa hidup denganku.
Lalu sekarang, dia bahkan selalu mencari dan merindukanku.
Pernah saat aku pergi ke Semarang untuk mengikuti workshop, mas Bima sampai kewalahan mengatasi moodnya yang memburuk sepanjang hari, padahal hanya ku tinggal selama sehari, tapi berkali-kali mas Bima menelfon hanya untuk menanyakan kapan pulang.
Aku juga pernah berniat berhenti kerja supaya bisa fokus merawat Lala, tapi kata mas Bima aku harus memikirkannya matang-matang sebab tidak mudah mendapatkan gelar ASN.
Mengingat perjuangannya yang sulit, aku pun mengurungkan niat untuk pensiun dini.
Sementara mas Bima pun sama denganku yang juga seorang ASN, berprofesi sebagai TNI AU berpangkat Sersan Mayor. Dia sering sekali pergi ke luar kota bahkan luar provinsi untuk melaksanakan kewajibannya sebagai abdi negara.
Usianya tiga puluh empat tahun.
Bagiku, mas Bima adalah sosok pria dewasa yang irit bicara dan minim senyum. Entahlah, mungkin itu hanya berlaku untukku saja, sebab setahuku, mas Bima tak sedingin itu pada keluarga, teman-teman, juga putrinya.
Aku sendiri Dewi Arimbi, usiaku dua puluh enam tahun.
Setelah lulus ujian ASN, aku bertugas di kantor perpajakan di salah satu kabupaten di Surabaya.
Sosok mas Bima yang terpaut delapan tahun denganku, sudah menjadi pemilik hati sejak aku duduk di bangku MA.
Sering sekali pria itu berkunjung ke ponpes milik kakek Arifin. Dan setiap kedatangannya selalu menarik perhatianku untuk terus menatapnya secara diam-diam.
Aku sempat menciut saat mas Bima membawa mbak Hana ke ponpes dan memperkenalkannya pada kakek Arifin sebagai calon istrinya.
Hingga beberapa tahun kemudian, aku mendengar kabar bahwa mbak Hana, yang tak lain adalah bundanya Syahla tertangkap basah sedang berselingkuh sampai melakukan hubungan suami istri di rumahnya saat mas Bima ada tugas ke luar kota.
Kepulangannya yang ingin memberikan kejutan pada mbak Hana, justru berbalik mengejutkannya.
Di situlah kekecewaan mas Bima berawal.
Yang membuatnya kian sakit hati, secara terang-terangan mbak Hana lebih memilih hidup dengan pacarnya dan meninggalkan Syahla yang saat itu baru berusia tujuh bulan.
***
Ngomong-ngomong soal pernikahanku dan mas Bima, memang seperti itu adanya, kami jarang sekali berbincang-bincang. Kami hanya bicara seperlunya, itupun mengenai Syahla.
Mas Bima bahkan tak pernah meminta bantuanku untuk urusan apapun. Kalau saja aku tidak berinisiatif sendiri membantunya, seperti mencuci baju atau hanya sekedar membuatkan teh, pria itu memilih melakukannya sendiri dari pada harus menyuruhku.
Ya, kami adalah sepasang suami istri yang sah di mata hukum negara dan agama.
Kami yang tinggal satu atap, bagai orang asing yang tak mengenal satu sama lain.
Pernikahan ini mungkin hanya sebatas di atas kertas, tapi aku akan tetap di rumahnya untuk putrinya.
Syahla Athalia Anggara
Bersambung
Yang baru baca prologue, setelahnya kasih rate dulu ya, nanti bisa lanjut lagi next partnya. Jangan lupa tap ♥ dan vote nya.
Like serta komentnya di setiap bab ya..
"Mas" Aku memanggilnya bersamaan dengan ketukan pintu dari tanganku. "Ada baju kotor?"
"Ada" jawab mas Bima tanpa melihatku.
"Boleh aku masuk untuk mengambilnya?"
"Hmm"
Satu-satunya jawaban yang ku dengar dengan tatapan lurus ke arah komputer.
Aku langsung melangkahkan kaki memasuki kamarnya. Ku lihat di keranjang pakaian kotor hanya ada kira-kira dua stel pakaian rumahan.
Mas Bima memang sedang berada di rumah, sebab dia baru kembali dari dinasnya kemarin lusa.
Karena ini hari minggu, kami sama-sama tidak bekerja.
Tak ada aktivitas apapun yang kami lakukan di hari libur seperti ini, mas Bima hanya duduk di meja kerja yang ada di kamarnya, bahkan bisa sampai sehari penuh.
Pria itu akan keluar hanya untuk makan dan bermain dengan putrinya, kadang-kadang juga membawa Syahla ke kamar untuk bermain di sana.
Sementara Aku, tak pernah mengusiknya lebih jauh sebab tak ada keberanian untukku mendekatinya lebih dulu.
Apalagi ketika ingatanku jatuh pada saat pertama kali mas Bima membawaku kemari, seketika nyaliku menciut untuk sekedar bertanya tentang dirinya.
'Jangan karena kita sudah menikah, lantas kamarku kamu anggap sebagai kamarmu, tidak! Karena kita, akan tidur terpisah'
Kata mas Bima kala itu.
'Di atas ada tiga kamar, satu kamar milik Thalia, kamu bisa pilih salah satu dari dua kamar lainya untuk kamu tempati '
Entah atas dasar apa dia menerima perjodohan ini. Sedetik kemudian, ucapan lain kembali terngiang di ingatanku.
'Jangan ikut campur urusan pribadiku, begitupun denganku yang tidak akan ikut campur urusanmu. Satu lagi, jangan pernah membuka lemariku, taruh saja pakaian yang sudah bersih di atas tempat tidur, aku yang akan memasukkannya sendiri ke dalam lemari'
Kalimatnya saat itu cukup membuatku terhenyak, Namun aku berusaha mengerti akan kondisinya.
Mungkin saja mas Bima butuh waktu untuk kembali membuka hati dan memberikan kepercayaan itu padaku.
Aku paham sebab tak mudah melupakan wanita yang sangat ia cintai tapi malah berkhianat di depan matanya. Perlu waktu pula untuk betul-betul menyingkirkan bayangan perselingkuhan mantan istrinya itu.
Akan tetapi, hingga dua tahun berlalu, mas Bima tak kunjung melihatku berada di tengah-tengah antara dirinya dan Syahla.
Sampai-sampai aku berfikir, seburuk itukah aku di matanya? ataukah mas Bima memang tak ingin menikah lagi karena terlalu takut jika kembali di khianati, sedangkan di sisi lain, ada Syahla yang harus di prioritaskan dan membutuhkan sosok ibu, itu sebabnya dia menerima perjodohan dari almarhum kakek Arifin
Ah ... Apapun itu, Aku sungguh tak mengerti, dua tahun itu bukan waktu yang sebentar untuk menunggu, dan waktu yang cukup lama untuk move on, seharusnya mas Bima sudah bisa melupakan mbak Hana.
Tapi kenyataannya??
Terkadang Aku ingin menyerah, tapi bagaimana dengan Syahla? anak gadis itu benar-benar sudah mengira bahwa aku ibu yang melahirkannya.
Sudahlah,, meski aku sangat mencintai ayahnya, tapi bukan itu alasanku masih bertahan di rumah ini. Hanya Syahla Satu-satunya alasan yang ku miliki.
***
Setelah semua pakaian tersingkap di pelukan, aku keluar tanpa mengatakan apapun.
Saat berjalan melewati ruang tengah, aku melirik Lala yang masih asik bermain dengan puzzlenya. Lagi-lagi hatiku menghangat melihat putri kecilku, dan tanpa sadar bibirku mengulas senyum.
Memasukkan baju kotor ke dalam mesin cuci, aku menekan tombol power lalu star setelah sebelumnya menaburkan deterjen dan menutup pintu tabung pada mesin.
Selagi menunggu cucian selesai, aku menyapu dan mengepel lantai.
Aku sengaja menolak ART di rumah kami, karena jika aku merasa sakit hati oleh sikap mas Bima, aku bisa melampiaskan kekesalanku pada pekerjaan rumah. Sesekali mas Bima pun turut andil dalam menyapu dan mengepel lantai jika dia sedang tidak bekerja.
Pelan, aku mulai mengusap kain pel pada lantai dengan sesekali menanggapi pertanyaan Lala.
Hampir seperempat bagian lantai yang sudah ku pel, aku melihat mas Bima keluar dari kamar lalu melangkah menuju dapur.
Aku yakin mas Bima hendak membuat teh dan akan kembali lagi ke kamarnya.
Tiba-tiba.
"Thalia, ke kamar ayah yuk"
Ucapan yang meluncur dari mulut mas Bima bersamaan dengan aku yang tengah memeras kain pel.
Atensiku langsung memindai tubuh Lala yang mengangguk. Terlihat mas Bima membawa teh mint yang sudah ku seduh di dalam teko kecil dan menaruhnya di atas meja makan.
"Bunda, Lala ke kamar ayah"
"Beresin dulu puzel-puzlenya ya"
"Iya" Dengan cekatan Lala langsung membereskan mainannya.
Selang satu menit, ekor mataku kembali melirik Lala yang kini tahu-tahu sudah di gandeng sang ayah berjalan ke arah kamar.
Menarik napas pelan, aku kembali melanjutkan pekerjaan hingga tak terasa seluruh lantai sudah selesai ku pel.
Melangkah ke tempat pencucian baju, aku memeras alat pel untuk ku jemur.
"Astaghfirullah" Aku menyentuh bagian dada menggunakan kedua tepalak tangan.
Tubuhku tersentak karena tiba-tiba mas Bima sudah berdiri di hadapanku ketika aku membalikkan badan.
"Kenapa?"
"Enggak" jawabku sesingkat pertanyaannya.
"Mesin cuci sudah jalan?"
"Sudah" Aku sungguh tak berani menatap kilat matanya, sepasang netraku jatuh pada sprei yang mas Bima bawa "Kenapa spreinya, mas?"
"Kotor"
"Berikan padaku, biar ku rendam"
Pria itu menyerahkan sprei ke tanganku. Sementara jantungku benar-benar kacau di dalam sana saat menerimanya.
Aneh memang, dua tahun tinggal bersama, detak jantung masih saja bertalu-talu seperti ini setiap kali bicara dan berhadapan dengan mas Bima.
Setelah sprei beralih ke tanganku, aku berbalik kemudian meletakkannya di ember dan merendamnya.
Aku sempat heran pada sprei yang baru ku ganti satu jam sebelum mas Bima pulang dari dinasnya kemarin.
Tapi pas ku cek, ternyata kotor karena ketumpahan teh yang tadi mas Bima ambil. Mungkin Lala menumpahkannya atau, entahlah.
Tepat ketika Aku selesai membersihkan seluruh ruangan dan menjemur baju yang sudah selesai di cuci, waktu menunjukan pukul sepuluh lebih lima menit, aku membuka kulkas berniat mengeluarkan sayur dan lauk yang akan ku masak untuk makan siang.
Baru saja mengeluarkan kangkung, aku mendengar seruan Lala sembari berlari.
"Bunda!"
Akupun langsung menoleh ke arahnya. "Jangan lari-lari, nak"
"Enggak bun, Lala jalan aja" gadis kecil itu memperlambat langkahnya.
Melihat Lala berjalan dengan penuh hati-hati, reflek bibirku tersungging tipis. Tidak hanya itu, ku lihat putri kecilku juga sudah rapi dengan pakaian serta rambut yang di ikat menjadi dua bagian. Pasti ayahnya yang sudah mendandaninya.
"Kata ayah nggak usah masak"
"Nggak usah masak?" Kedua alisku saling bertaut keheranan.
"Iya"
"Nanti makan apa kalau bunda nggak masak?"
"Kata ayah, selesai bunda beres-beres, kita ke rumah opa"
"Kerumah opa?" Aku menutup pintu kulkas tanpa memasukkan kembali bahan-bahan yang sudah ku keluarkan. "Kapan?"
"Sekarang, bun" Berdiri menundukkan kepala, aku kembali memandang Lala yang tengah mendongak menatapku.
"Tadi ayah telfon opa, terus oma minta kita makan siang di sana"
"Kamu siap-siap sekarang" mas Bima tiba-tiba menyela obrolanku dengan Lala. Kompak, kami pun menoleh ke arahnya. "Kita makan siang sekaligus makan malam di sana" tambahnya seraya melangkah ke arah kami kemudian meneruskan langkahnya menuju tempat penjemuran. Aroma sabun dan shampo langsung menguar ketika mas Bima berjalan melewati kami sambil membawa handuk yang akan dia jemur.
"Lala mau ikut bunda siap-siap?" tanyaku setelah mas Bima hilang dari pandanganku.
"Mau" Lala merentangkan tangan, kode agar aku menggendongnya.
"Sebentar ya, bunda masukin sayuran dulu"
Tak kurang dari satu menit, semua bahan makanan sudah ku taruh kembali di dalam kulkas, aku pun dengan tangkas membopong tubuh mungil Lala. Sesekali menciumi pipi hingga leher yang membuatnya tergelak.
"Geli bun"
"Tapi bunda gemas sama Lala"
"Kayak ayah berarti, ayah juga gemas sama Lala"
"Oh ya?"
"Eughh"
"Berarti Lala emang menggemaskan, jadinya bunda nggak pengin berhenti cium-cium Lala"
Lala semakin terkekeh kegelian, hingga tahu-tahu, aku sudah berada di lantai dua tepatnya di dalam kamarku.
Aku mendudukkannya di atas tempat tidur.
"Lala tunggu sini, bunda mau mandi"
"Lala mau main ponsel bunda, boleh?"
"Boleh"
"Lala mau lihat kuda poni"
Mendengar permintaannya, aku langsung meraih ponsel di atas nakas, kemudian membuka aplikasi Youtube dan mencari apa yang Lala minta.
"Ini kuda poninya" kataku sambil menyodorkan ponsel ke tangannya. "Jangan kemana-mana, Lala di atas tempat tidur saja, bunda mandi dulu"
"Jangan lama-lama ya bun"
"Enggak nak, sebentar aja" sahutku melangkah ke kamar mandi.
****
Selesai bersiap-siap, aku mengecek sekali lagi penampilanku lewat pantulan cermin.
Hari ini memang sudah menjadi jadwal kami makan malam di rumah orang tua mas Bima. Kecuali jika mas Bima sedang tidak di rumah, baru aku dan Lala tidak berkunjung, kadang malah papi dan mami yang datang dan menginap di sini menemaniku selagi mas Bima dinas di luar kota.
Tapi aku agak sedikit heran sebab biasanya mas Bima mengajakku setelah makan siang.
"Ayo nak, kita turun"
"Bunda cantik, pakai itik merah" Itu kata Lala setelah aku berada di depannya yang duduk di atas kasur. Pujiannya yang terdengar sangat tulus membuatku langsung tersipu.
Anaknya yang memujiku saja aku kikuk begini. Bagaimana jika pujian itu keluar dari mulut ayahnya?
"Lala juga cantik, rambutnya di ikat begini" Kami sama-sama tersenyum. Detik berikutnya ku raup Lala ke dalam gendonganku dan membawanya turun ke bawah.
Saat langkahku sudah berada di ujung tangga, aku mendapati mas Bima tengah menerima telfon. Satu tangannya ia masukkan ke dalam kantong celana sementara tangan lain menempelkan ponsel di telinga kanannya.
Dari kalimat yang ku dengar, mas Bima sedang bicara dengan Gesya, adiknya mbak Hana.
"Ayah" panggil Lala sedikit berteriak.
Mas Bima pun menoleh.
"Maaf Gey, aku dan Lala mau pergi ke rumah mami"
"Yo, wa'alaikumsalam"
Entahlah, hatiku merasa tercubit mendengar mas Bima seakrab itu dengan adiknya mbak Hana.
Pasti Gesya mau main ke sini, alasannya kangen sama Lala, tapi sebenarnya dia menyukai mas Bima. Aku tahu sebab dia selalu mencuri pandang dengan tatapan aneh ke mas Bima kalau lagi di sini.
"Thalia bisa jalan sendiri kan?" tanya mas Bima sambil memasukkan ponsel ke saku jaketnya.
Aku menatap Lala yang menyerukkan kepala di leherku.
"Nggak apa-apa mas"
Mas Bima tak mengindahi ucapanku.
"Thalia turun sekarang!" Dinginnya yang jelas di tujukan untuk Lala.
"Maafin bunda ya nak?"
Aku menurunkannya, sementara Lala mengangguk dengan wajah masam lalu menerima uluran tangan mas Bima yang hendak menggandengnya.
Mas Bima dan Lala melangkah lebih dulu menuju mobil, sedangkan aku berjalan di belakangnya setelah mengunci pintu rumah.
Hari minggu begini satpam pasti libur, pintu gerbang sudah di buka oleh mas Bima, mobilpun sudah berada di luar gerbang.
Keluar melewati pintu gerbang dan kembali menutupnya, aku buru-buru menyusul mereka dan langsung membuka pintu mobil bagian penumpang di sebelah kursi kemudi.
Saat ku tengok Lala yang duduk di kursi belakang, dia tengah fokus menatap layar ponsel milik ayahnya yang sedang memutar lagu anak-anak.
Selagi aku memasang saetbelt, mas Bima mengangkat pandangan menatap Lala melalui spion tengah.
"Kita berangkat, sayang"
Kata sayang, yang ku sadari hanya terucap untuk putri semata wayangnya, bukan untukku.
Bersambung.
Kami tiba di rumah papi sekitar pukul dua belas lewat sepuluh menit. Jarak rumah kami ke rumah papi memang lumayan jauh, sekitar satu jam lebih.
Kami yang sempat mampir ke supermarket untuk membeli oleh-oleh, perjalananpun terasa lebih lama.
"Assalamu'alaikum"
"Wa'alaikumsalam" Kami di sambut oleh papi Rio yang langsung menggendong Lala sesaat setelah Lala mengecup punggung tangan opanya. Detik berikutnya giliran aku dan mas Bima mengecup punggung tangan Papi secara bergantian.
"Sehat pi?" tanyaku. Hampir tiga minggu kami tidak bertemu, sebab mas Bima ada tugas di kepulauan Riau dan baru pulang kemarin sehingga aku dan Lala tak berkunjung kemari. Begitupun sebaliknya, kesibukan papi yang masih bekerja di perusahaan ayah Danu, membuatnya tak ada waktu untuk saling bersilaturrahmi.
"Sehat nak, kalian sendiri gimana?"
"Alhamdulillah sehat juga" Kami sama-sama melangkah masuk.
"Terus cucu opa gimana ini?" Papi bertanya pada Lala sambil menggelitikinya hingga Lala terkekeh karena geli.
"Sehat opa"
Mas Bima dan papi berhenti di ruang keluarga, sementara aku langsung menuju dapur karena mendengar suara dentuman sutil di atas wajan.
"Assalamu'alaikum, mih?"
"Wa'alaikumsalam, sayang" mami menoleh ke belakang sekilas, kemudian kembali fokus dengan tumisannya. "Sudah di sini tah?"
"Sudah" Sahutku Menaruh bingkisan di atas meja, aku melangkah menghampiri mami untuk mengecup punggung tangannya.
Selagi melangkahkan kaki aku bertanya. "Masak apa mih?"
"Ini mami lagi numis pare campur udang"
Bau udangnya begitu terasa, tapi sayangnya mas Bima tak makan udang karena alergi.
"Mami sehat kan?"
"Ya mami sehat, bahkan sangat sehat"
"Sehat terus ya mi, sampai cucu-cucunya dewasa dan menikah"
"Aamiin, insya Allah"
Usai mengecup punggung tangan mami, aku mengambil piring saji untuk menyajikan tumis pare yang sudah matang.
"Kamu sendiri sehat Bi, Syahla, sama Bima?"
"Sehat" Ku pindahkan tumisan pare itu dari wajan ke piring saji, lalu meletakannya di atas meja makan.
"Mbak Zara sama mbak Kanes belum datang mih?"
"Belum, tadi mereka bilang si masih di jalan"
"Ini biar aku yang lanjutin, mami nyapa mas Bima sama Lala aja"
"Okay sayang" Mami menunjuk kepiting yang ada di wadah. Sepertinya sudah siap untuk di masak. "Ini nanti di steam ya Bi"
"Iya mih"
"Mami ke cucu mami dulu"
"Iya" Mami pergi ke ruang keluarga setelah ku iyakan.
Nama panggilanku Arimbi. Karena namaku adalah Dewi Arimbi, dan suamiku Bima Sena, kadang-kadang, ada juga rekan kerjaku yang iseng meledekku sebab namaku sangat cocok di sandingkan dengan nama mas Bima. Seperti tokoh di perwayangan, protagonis di kisah Mahabarata.
Aku sendiri tak menyangka akan berjodoh dengan pria yang kebetulan bernama Bima Sena.
Tunggu...
Hanya namanya saja yang cocok bersanding. Jiwa dan raga kami? entahlah.. Kami bukan sepasang suami istri seperti tokoh wayang itu, hanya aku yang mencintai mas Bima, sementara mas Bima, dia masih menutup pintu hatinya untukku.
***
Selesai makan siang, kami berkumpul di taman samping rumah. Kami bercengkarama membicarakan banyak hal terutama mengenai anak-anak.
Ada mbak Zara, kakak ipar tertua dan mbak Kanes, kakaknya mas Bima yang selisih usianya hanya dua tahun. Serta suami mereka mas Ken dan mas Rangga.
Sembari mengobrol, sepasang netra kami tak lepas dari anak-anak yang sedang bermain dengan omanya. Mbak Cia anak pertama mbak Zara dan mas Ken yang begitu menyayangi adik-adiknya Alfio, Gema serta Lala, putri kecilku.
Pandanganku juga sesekali melirik mas Bima yang begitu asik bermain catur melawan mas Ken. Sementara papi dan mas Rangga menjadi penonton. Ku dengar, papi mendukung mas Ken, sedangkan mas Rangga mendukung mas Bima.
Perkumpulan keluarga yang terasa hangat, andai saja mbak Ayu, bunda dan ayah Danu datang, pasti akan lebih ramai.
"Gimana Bima, Dek?" Mendengar pertanyaan dari mbak Kanes, Otomatis sepasang manik hitamku mencari netra miliknya.
"Gimana apanya, mbak?"
"Dia masih dingin tak tersentuh?"
Aku menganggukkan kepala dengan berat. Aku tahu yang di maksud kakak iparku ini.
Dia sama mbak Za memang mengetahui kondisi rumah tanggaku seperti apa, tapi mereka menyembunyikannya dari papi dan mami sebab aku melarang untuk jangan menceritakan pada mertuaku.
Sulit saat meyakinkan mereka terutama mbak Kanes agar tutup mulut, tapi aku bilang kalau aku bisa mengatasinya sendiri.
Mbak Kanes yang tipikal perempuan ceplas-ceplos, membuatku sedikit khawatir, takut jika dia keceplosan bicara ke mami mengenai kondisiku dan mas Bima, tapi sepertinya dia cukup kooperatif di ajak bekerja sama.
Dua kakak iparku ini cukup memahami posisiku, apalagi jika teringat tentang keakrabanku dengan Lala keponakannya, jelas mereka tidak mau mas Bima bercerai dariku.
Keduanya benar-benar baik dan selalu memberiku dukungan. Mbak Za dan mbak Kanes selalu siap dan akan membelaku jika mas Bima sampai berani mengkhianatiku.
"Kamu yang sabar ya, kami selalu ada buat kamu" Mbak Zara mengatakannya dengan tatapan sendu. "Mbak yakin suatu saat, Bima pasti akan mencintaimu, menghormatimu bahkan mendahulukanmu melebihi apapun"
"Aamiin"
Entah itu kapan terjadi, ku amini saja kalimat mbak Za yang selalu bisa membuatku sedikit kuat.
"Dia sebenarnya baik dan penyayang kok, tapi karena Hana sudah menghancurkan kepercayaannya, dia sedikit berubah menjadi pria introvert"
"Tapi dia kurang ajar enggak si mbak?" Celetuk mbak Kanes. "Gregetan aku sama adik laknat itu, istri baik, cantik, sayang sama anaknya, tapi malah di anggurin"
"Laknat-laknat gitu, kamu sayang sama dia, kalau lama nggak ketemu pasti langsung nemplok kayak koala"
Aku tersenyum menyikapi kalimat mbak Za. Dia memang sangat lembut, dan selalu menenangkan setiap kali mendengar apa yang terucap dari mulutnya.
Sementara sebagian dari ingatanku mengingat saat mbak Kanes baru datang tadi, dia langsung menghamburkan diri di punggung mas Bima.
Mas Bima yang tidak siap agak sedikit terhuyung namun tidak sampai jatuh.
Opo to mbak, tambah abot ae koyok manggul satu kintal beras.
Itu ucapan mas Bima sekitar satu jam yang lalu. Yang di balas dengan gigitan lembut di pundaknya sama mbak Kanes.
Aku dengar dari mbak Za kalau mas Bima itu, dulu adalah santri dugal yang sukanya berantem, telinga juga di pakein anting. Pernah juga mas Bima mukulin temannya sampai giginya rontok dan di bawa ke kantor polisi. Akibat kenakalannya itu, ayah Danu sempat mengira kalau dia menghamili pacarnya gara-gara menemukan tespek mbak Za di kamarnya.
Selain itu, jamannya mondok di ponpes kakek Abi Arifin, dia juga suka bolos karena nggak betah dengan aturan-aturan di ponpes. Puluhan kali pula papi Rio di panggil ke sekolah karena mas Bima ketahuan merokok saat jam pelajaran berlangsung.
Membicarakan kenakalan mas Bima, rasanya nggak akan pernah ada habisnya. Tapi meskipun kelakuan seperti itu, dia adalah tipe cowok yang sayang sama keluarga, apalagi sama mbak Za, mbak Kanes aja cemburu melihat mas Bima sayang-sayang ke kakak tertuanya itu.
Dia juga pengertian, ku akui hatinya seluas samudra, nggak suka basa-basi dan aku percaya kalau saat ini dia sudah berubah. Hanya saja, sikapnya padaku masih stuck di situ, Masih acuh dan cuek.
"Aahh,, sial!" mas Bima berteriak, kekhusyuanku yang tengah melamunkan dirinya seketika buyar. Reflek, aku mbak Za serta mbak Kanes kompak memusatkan perhatian pada segerombolan pria yang asik dengan aktivitasnya.
Mas Ken yang tampak bangga karena bisa mengalahkan mas Bima, membuat mas Bima menyugar rambutnya kasar.
"Nyerah atau gimana ini?" kata mas Ken.
"Puluhan tahun main catur sama mas Ken, menangmu bisa di hitung pakai jari Bim" kata Papi. "Ayo sekarang ganti mas Rangga lawan papi" Tambahnya seraya menempatkan diri di posisi mas Ken.
Ketika mas Bima bangkit untuk menyerahkan tempat duduknya pada mas Rangga, kami sempat bertemu pandang, namun aku langsung menundukkan kepala, aku kikuk, tak sanggup jika harus bersitatap melebihi tiga detik. Jantungku juga mendadak berdetak. Benar-benar detakannya membuatku tak nyaman, sampai aku mengeluarkan keringat dingin saking nervousnya.
"Mau ambil air dingin ya Bim?" mbak Kanes sedikit meninggikan suaranya. "Ambilin sekalian buat embak, ya!"
Saat aku mencuri pandang, ternyata mas Bima langsung masuk setelah bangkit dari duduknya, entah mau kemana, dapur, kamar mandi atau kamar mungkin.
"Ambil sendiri, aku mau ke toilet" Sahut mas Bima tanpa menoleh ke belakang.
"Emang dasar ya, adik jahanam, kalau mbak Za yang suruh, pasti langsung tuh di ambilin"
Pria itu berlenggang begitu saja tanpa menghiraukan protes dari kakaknya.
"Biar aku ambilkan mbak"
"Nggak usah Bi, tunggu Bima aja, nanti kalau dia nggak sekalian ambilin buat mbak, ku getok kepalanya sampai puyeng"
Tak berselang lama usai mbak Kanes mengatakan itu, kami sama-sama mendengar tangisan Lala yang saat aku meliriknya, putriku sudah berada di gendongan mami.
Tanpa pikir panjang, aku segera bangkit dan berlari untuk menghampirinya.
"Kenapa?" tanyaku lembut.
"Jatuh bun" rengeknya di iringi isakan.
Aku melirik bagian lutut Lala yang sedikit luka karena terbentur paving saat jatuh.
"Lukanya kecil kok, kita obatin ya"
"Nggak mau, sakit"
"Nanti di obatin nggak sakit" kataku terus membujuknya, lalu mengulurkan tangan mengambil alih Lala dari gendongan omanya.
Saat melihat mas Bima keluar dari rumah sambil membawa botol minuman dingin pesanan mbak Kanes, Lala langsung melingkarkan lengan ke leherku dan menyembunyikan kepalanya.
"Kenapa?" tanya mas Bima setelah berdiri di depanku yang menggendong Lala.
"Jatuh yah" kata Mami menjawab untuk Lala.
"Makannya jangan lari-larian"
Aku duduk setelah sampai di tempat yang ku duduki tadi dengan memangku Lala, satu tanganku menerima uluran kotak P3K dari tangan mbak Zara.
"Lala duduk sini, biar bunda yang obatin lukanya" mas Bima menepuk-nepuk pahanya. Namun, tak di hiraukan oleh Lala. Aku tahu putriku pasti takut dengan ayahnya yang dia kira akan memarahinya.
"Sama ayah ya nak, kalau begini bunda susah ngobatinnya"
"Sama bunda aja, budhe Zara yang obatin lukanya, nanti ayah marahin Lala, bun" bisiknya yang hanya bisa di dengar olehku
"Jadi mau di obatin sama bu dhe?"
Lala mengangguk sendu.
"Katanya mau di obatin sama budhe Zara, mas" Aku menatap mas Bima selama dua detik.
Mas Bima pun bangkit memberikan tempat duduknya untuk mbak Zara.
Selesai mengobati lukanya, tahu-tahu Lala tertidur, mami yang menyadari mata Lala terpejam, langsung memberitahuku.
"Lalanya bobo Bi"
Aku melirik Lala. "Pantas saja nggak merengek kesakitan, mi"
"Bim, anakmu tidur ini, bawa dan tidurin dia di kamar" teriak mami.
Mas Bima pun langsung melangkah ke arahku.
Saat mas Bima hendak mengambil Alih Lala dari atas pangkuanku, Lala menggeliat dan kembali mengeluarkan rengekan kecil.
"Pelan-pelan Bim" ujar mami lirih.
Lala menangis saat menyadari mas Bima akan menggendongnya.
"Biar aku yang bawa ke kamar mas"
Tak ada jawaban dari priaku itu, dia hanya meresponnya dengan bahasa tubuh.
Usai menidurkan Lala di kamar mas Bima, aku langsung keluar, tapi baru saja langkahku sampai di area ruang tengah, aku berpapasan dengan mas Bima.
Pria itu berdiri tegap dengan satu tangan bersembunyi di saku celana, sementara tangan lainnya memegang kotak P3K.
"Ini akibat kamu terlalu sayang padanya" ucap mas Bima yang membuatku langsung mengangkat kepala mencari sepasang iris tegasnya. "Bagaimana nanti kalau kamu tidak ada di rumah dan dia terus mencarimu?"
Kalimat mas Bima menyiratkan seolah dia akan menceraikanku. Spontan ku telan ludahku sendiri yang agak sedikit tercekat.
"Jangan terlalu membuat dia bergantung padamu, dan jangan terlalu memanjakannya yang nantinya membuat anak tidak bisa belajar tentang konsep dan sikap mandiri serta tanggung jawab. Nggak menutup kemungkinan dia akan menjadi malas, tidak termotivasi, dan juga mudah marah jika keinginannya tidak terpenuhi"
Aku termangu, mencerna baik-baik kalimat yang terlontar dari mulut mas Bima.
Aku sangat tahu, dia memang sedikit keras dalam hal mendidik anak, itu dia lakukan agar Lala menjadi anak yang kuat.
Bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!