"Buka bajumu, berbaring diatas ranjang dan buka kakimu lebar," perintah seorang dengan jas berwarna putih lengkap.
Gadis cantik yang terbaring di atas tempat tidur dengan sprei berwarna biru muda tersipu malu menutup matanya. Kelopak matanya bergetar dan raut wajahnya penuh emosi kesedihan.
Wanita itu bernama Honey Dee, gadis yang masih muda berumur 18 tahun itu dengan wajah yang merah padam membuka baju. bawahnya hingga ke atas pinggang dan mulai membuka kakinya lebar menunggu pemeriksaan.
Dee bisa merasakan tatapan penuh ejekan dari salah seorang perawat wanita. Mengira jika dirinya adalah wanita materialistis.
Baginya, ini pertama kalinya dia tanpa busana. Membuang rasa malunya jauh-jauh demi mendapatkan keinginannya.
Mendung tampak di wajahnya memperlihatkan badai dalam hati yang tengah dirasakan nya. Di umurnya yang masih muda dia harus menjadi ibu pengganti. Dadanya terasa sesak membayangkan itu. Namun, hanya itu yang bisa dia lakukan untuk orang-orang yang dia kasihi.
Dokter mulai memeriksa bagian bawah tubuhnya. "Sudah selesai." Dokter itu pergi ke ruang sebelah yang hanya dibatasi oleh korden panjang berwarna biru toska.
Dee menarik nafas lega. Dia mulai menurunkan rok panjangnya yang lusuh lalu turun dari ranjang. Dia merasa tenang sebagian uang perjanjian itu akan diberikan setelah ini.
Dia membenarkan pakaiannya ketika turun dari ranjang, berjalan ke arah sumber suara. Di sana sudah ada pria tua yang duduk menunggu hasil pemeriksaan.
"Bagaimana?" tanya pria itu menatap ke arah Dokter yang berjalan menuju ke kursi kerjanya.
"Tuan Jhon santai saja, dia masih perawan tidak ada penyakit dari tubuhnya," terang Dokter Afifah. Pak Jhon menatap ke arah Dee yang berdiri di sebelah korden.
Wajah putih nanti ayu milik Dee seketika memerah, dia menunduk dalam sambil menggigit ujung jarinya.
Pak Jhon melihat gadis muda di depannya. Anak itu memakai kemeja kebesaran yang dimasukkan dalam roknya. Terlihat rapi walau bajunya adalah baju lama yang tidak disetrika. Rambut panjang anak itu yang se punggung menutupi sebagian wajah, tetapi tidak bisa menyembunyikan kecantikan terpancar alami yang dimilikinya.
Dee tahu jika pria tua di depannya itu hanya perantara orang yang mencari ibu pengganti. Dia sendiri belum melihat seperti apa pria yang menginginkan dia menjadi Ibu pengganti. Sepertinya pria beristri yang menginginkan hadirnya anak dalam rumah tangga mereka, tetapi belum kesampaian juga.
Mungkin juga, pria yang ingin menyewa jasanya menjadi ibu pengganti itu bertubuh gemuk atau kurus. Entah dia sudah tua atau berumur. Tidak mungkin pria muda yang bisa mencari istri sehat untuk melahirkan anaknya.
Dee tidak peduli, yang dia pedulikan hanya keselamatan Ibu asuh panti yang kini sedang di rawat di rumah sakit ini.
"Kita ke ruang administrasi membereskan semua biaya pengobatan Ibu asuhmu dan semua anak-anak panti lainnya."
Dee menganggukkan kepalanya. Dia mengikuti jalan pria tua di depannya. Mereka membayar semua biaya administrasi di rumah sakit hingga lunas. Termasuk biaya operasi Ibu panti yang tidak sedikit sampai 60 juta Rupiah.
Setelah itu, Dee minta izin untuk menemui Ibu panti sebelum pergi dari menjalankan tugasnya sebagai ibu pengganti. Dia membuka ruang ICU di mana ibu panti berbaring.
Terdengar rintihan lirih, kesakitan dari wanita paruh baya itu. Atas tubuhnya ditutupi keranjang besar dengan kain berwarna hijau muda di atasnya agar kain itu tidak mengenai kulitnya yang terbakar.
Ibu panti mengalami luka terbakar 60 persen setelah menyelamatkan anak-anak panti dari kebakaran yang membumihanguskan satu-satunya tempat tinggal mereka.
"Ibu bagaimana keadaanmu?" tanya Dee parau menahan air matanya. Selama dia hidup hanya Ibu panti yang merawatnya penuh kasih sayang.
"Entahlah, apakah Ibu bisa bertahan atau tidak, Ibu sudah ikhlas Dee, " jawabnya dengan suara bergetar. Menatap Dee dengan senyum hangat seperti biasa.
"Ibu harus bertahan, kami semua masih butuh Ibu," balas Dee terisak. Seorang anak perempuan yang sejak tadi menunggu Ibu panti memeluk Dee dan ikut menangis.
"Jika Ibu sudah di panggil yang Kuasa, Ibu titip adik-adikmu ya, Dee. Yang sabar menjaga mereka."
Dee menggelengkan kepala. "Ibu harus kuat. Sebentar lagi Dokter akan melakukan operasi. Ibu akan sehat kembali seperti dulu dan mengurus kita semua. Dee mohon, tetap bertahan untuk semua orang yang menyayangi Ibu."
Dee terdiam sejenak, menatap ke arah Ana dan menganggukkan kepala.
"Ibu, Dee mohon ijin pergi bekerja keluar kota. Doakan Dee agar jalan yang Dee tempuh terasa mudah."
"Ya, doa Ibu akan selalu ada untukmu. Semoga kau menemukan kebahagiaanmu."
Dee keluar bersama Pak Jhon, sampai di luar Anna memanggil Dee.
"Kakak, mau kemana?" Netra remaja itu nampak berkabut.
"Kakak pergi jauh untuk setahun ini. Jaga Ibu dengan baik."
"Lalu bagaimana dengan Kak Rizki?" Anna sudah tahu jika Dee akan menjadi Ibu pengganti seseorang.
Dada Dee sesak tetapi dia mencoba untuk bersikap tegar.
"Kalau dia pulang, bilang jika Kakak sudah pergi jangan tunggu lagi," katanya tercekat di tenggorokan. Anna menggelengkan kepala memegang tangan Dee.
"Kak, haruskah melakukan ini? Pernikahan kalian dua bulan lagi, sebulan lagi Kak Rizki akan pulang." Pak Jhon nampak terkejut. Dia melihat ke arah Dee.
Dee menutup matanya sejenak, lantas menatap Anna lembut. "Biar dia dapatkan wanita yang lebih baik dari Kakak."
Dee melihat ke arah Pak Jhon.
"Ayo, Pak," ajak Dee tidak ingin berlama disana karena akan membuat hatinya lemah. Anna tetap memegang tangan Dee erat. Dee berusaha melepaskannya. Dee menggelengkan kepalanya.
Dee berjalan pergi. Dengan berat Anna akhirnya melepaskan tangan Dee.
Dee lantas pergi bersama Pak Jhon menuju sebuah villa di atas bukit. Hatinya sudah kacau sedari tadi.
"Nona Dee selama hamil sampai melahirkan dilarang untuk keluar dari tempat ini selangkah pun. Demi menjaga kesehatan anak dalam kandungan, Nona. Agar tidak tertular penyakit aneh. Untuk masalah biaya rumah sakit Ibu Panti dan keseharian adik-adik Nona, kami akan mengurusnya. Nona hanya perlu hamil dan melahirkan saja. Setelah itu, anak yang dilahirkan akan menjadi milik kami."
Rasanya sesak mendengar ini. Bagaimana bisa dia harus berpisah dengan sesuatu yang berkembang dalam dirinya. Dee menghela nafas panjang.
"Bila menelpon boleh?"
"Tentu saja boleh." Pak Jhon mengatakannya dengan lembut. "Sebenarnya bukan kami ingin memutuskan hubungan Anda dengan dunia luar hanya saja Tuan kami sudah membayar Nona dengan mahal. Jadi hargai apa yang telah dia berikan pada Nona."
"Total yang akan kami berikan pada Nona sebanyak 15 milyar setelah Nona melahirkan keturunan dari Tuan kami."
Dee terdiam. Hatinya sendiri mulai merasa cemas menanti masa depan gelap yang sudah menantinya.
"Ini salinan perjanjian kontrak yang pernah Nona tanda tangani. Nona akan menikah dibawah tangan dengannya nanti malam setelah Nona melahirkan maka kata talak akan segera dilakukan. Satu lagi, Nona tidak boleh mengatakan pada siapapun mengenai jati diri Tuan kami. Ini hanya sebagai formalitas agar anak yang dikandung bukan anak dari perbuatan haram tanpa nasab."
Dee menghela nafas dalam lagi.
"Kamar Nona di atas. Nona bersihkan dulu badan Nona karena Tuan orangnya suka pada kebersihan. Pakai baju yang sudah disediakan. Dua jam lagi Penghulu dan Tuan kami akan segera datang jadi bersiaplah."
Handphone di tangan Dee berbunyi, itu adalah panggilan dari Rizki, kekasihnya. Dee langsung melihat pada Pak Jhon. Wajahnya memucat seketika.
"Permisi saya harus menerima panggilan ini," ucap Dee dengan wajah pucat pasi.
Pak Jhon sepertinya curiga dengan penelfon itu ketika melihat gestur tubuh Dee.
"Silahkan, tetapi jika ada Tuan, matikan handphone Anda dan sebisa mungkin jangan berhubungan dengan orang luar jika tidak penting. Satu lagi, putuskan hubungan Anda dengan pria manapun selama kontrak ini masih berjalan," peringat keras Pak Jhon membuat Dee gemetar.
"Iya, saya mengerti," balasnya dengan suara tercekat karena saking takutnya.
Pria itu meninggalkan Dee, yang masih termangu. Bila anak buahnya saja segalak itu bagaimana dengan majikannya?
Suara handphone yang masih berbunyi membuat Dee tersentak. Dia langsung menerima panggilan itu.
"Hallo, Kak," kata Dee.
"Dee, aku mendengar jika panti asuhan kita terbakar? Kenapa kau tidak memberitahuku?"
"Aku tidak ingin membuat kau cemas." Dee mengatakan dengan lemas.
"Lalu bagaimana dengan semuanya? Adakah yang menjadi korban?"
"Semua hanya terkena luka bakar ringan, hanya Ibu panti saja yang sedikit parah." Dee tidak ingin membuat Rizki khawatir karena dia bekerja di tempat jauh yang butuh ketenangan.
Terdengar helaan nafas berat. "Bagaimana dengan biaya rumah sakit?"
"Ada donatur yang mengcover semua biaya rumah sakit dan kehidupan anak-anak panti ke depannya."
"Syukurlah. Nanti aku akan juga mengirimkan uang untuk membantu pengeluaran kalian."
"Tidak usah, Kak. Uang kakak simpan dulu saja. Kakak baru bekerja sebulan ini, tabung untuk masa depan kakak," kata Dee.
"Dee, kakak tidak bisa tenang ingin tahu apa saja yang sebenarnya terjadi."
"Semua sudah teratasi jadi Kakak jangan terlalu cemas. Oh ya Kak, aku akan berangkat ke luar negeri jadi nomor ini tidak akan aktif sampai aku kembali. Pesawat akan lepas landas, telepon aku matikan dulu. Maaf." Untuk pertama kalinya, Dee berbohong.
"Dee tunggu, kau belum menjelaskan… ." Dee mematikan panggilan itu dan handphonenya. Kakinya menjadi lemas seperti tak bertulang. Air matanya terus mengalir deras.
"Maafkan aku, maafkan aku… ."
***
Dua jam kemudian Dee menatap pantulan wajahnya di cermin. Dia mengenakan gaun kebaya putih sederhana yang cantik. Namun, tidak ada riasan di wajahnya. Matanya masih sedikit bengkak karena menangis lama di kamar mandi.
Seseorang mulai mengetuk pintu.
"Nona apakah Anda sudah siap, Tuan sudah menunggu Anda di bawah," seru Pak Jhon.
Dee mulai berjalan keluar membuka pintu. Dia tersenyum kaku. "Mari, Pak."
Dengan punggung tegak dia melangkah terlebih dahulu, berjalan menuruni tangga. Tampak di bawah ada beberapa orang yang sedang duduk mengelilingi meja. Mereka melihat ke arah calon mempelai wanita yang tampil sangat sederhana.
Rambutnya yang panjang tergerai rapi di punggungnya. Wajahnya sehalus dan seputih porselen dengan mata yang besar dihiasi oleh bulu mata lentik yang lebat. Tidak perlu kosmetik untuk membuatnya cantik, semua sudah terlihat alami.
"Nona, duduk dulu, Tuan sedang menelfon di depan," ucap Pak Jhon. Dee menurut. Dia duduk dengan gelisah di depan penghulu. Sambil menunduk.
"Bagaimana sudah siap?" Suara pria yang enak didengar, rendah dan ber magnet, suara yang serak dan maskulin sepertinya masih muda. Jantung Dee langsung berdetak keras. Tangannya mendadak berkeringat dan terasa dingin.
Pria itu lantas duduk disebelah Dee. Menoleh ke arah Dee dan menghela nafas panjang.
Dee tidak berani melihat ke arah samping namun dia bisa melihat jika tubuh pria di sampingnya nampak atlentis. Tidak seperti bayangannya.
Ijab dilakukan. Pikiran Dee hilang kemana untuk sesaat teringat akan Rizki. Pria itu yang seharusnya duduk di sampingnya bukan lelaki lain. Namun, nasib tidak bisa kita tentukan semua sudah garis Tuhan.
Dee tersentak ketika seseorang memanggilnya. Pria itu mengulurkan tangan. Dengan gemetar Dee meraih tangan itu dan mencium punggung tangannya. Aroma kayu manis yang berpadu dengan wangi hutan pinus terasa di indera penciumannya. Dee masih menunduk ketika pria itu mengecup keningnya dengan lembut, hampir tidak tersentuh.
Menahan tangis yang ingin meledak sedari tadi. Dia bahkan tidak sanggup menatap wajah pria yang kini menjadi suaminya sementara.
Setelahnya, Dee hanya duduk diam dengan wajah menunduk sedih.
Setengah jam kemudian, semua orang sudah pergi dari rumah itu. Detak jantung Dee mulai terdengar keras, dia tiba-tiba merasa pusing dan hampir jatuh.
Mata elang pria itu menatap tajam ke arah gadis yang panik itu. Lalu membuka mulut. "Nama kamu HoneyDee, aku harus memanggilmu apa? Honey atau Dee?"
Pria itu melangkah maju. Dengan panik Dee mundur selangkah.
"Apa yang pun yang Tuan suka," ucap lirih Dee masih dengan menundukkan wajah.
"Kalau begitu aku panggil Honey saja terdengar manis. Kau bisa memanggilku Kane," kata pria itu menatap Dee dengan seksama. Dia merasa menemukan mainan baru yang menarik.
"Tuan Kane," ulang Dee. Masih mundur hingga tersudut ke sisi ranjang.
"Kane saja (Ken)."
"Kane." Dee akhirnya terjatuh, duduk di bibir sofa. Di depannya nampak menjulang tinggi tubuh pria yang kini sedang mengamatinya. Dee menelan saliva dengan sulit.
"Kau sudah tahu apa yang harus kau lakukan?"
Dee terkejut dengan pertanyaan yang langsung itu, tidak tahu harus menjawab apa. Dia berpikir pria itu pasti orangnya sangat serius.
"Angkat wajahmu!" Dengan satu jarinya dia mengangkat dagu Dee. " Kenapa? Malu?" suaranya nampak menyindir Dee.
Dee menelan ludahnya dengan sulit dan gugup. Terpaksa bertatap muka dengan dia. Wajah pria itu tampan hanya saja nampak sinis dan dingin.
"Apa kamu sudah mandi dengan bersih, memakai sampho?"
"Sudah," cicitnya.
"Tidak buruk, lebih baik dari yang pernah kulihat." Dee terkejut dengan kalimat pria itu, dimana mereka pernah bertemu? Tapi tidak berani bertanya lebih lanjut.
"Ayo kita ke kamar," perintah pria itu.
"Baik," jawab Dee menurut.
"Takutkah?" tanya tajam pria itu.
"..... " Dee terdiam tidak tahu harus menjawab apa.
Detik kemudian pria itu menunduk dan langsung mengangkat tubuh Dee. Kedua kakinya sudah beranjak dari lantai.
Dee merasa kegelapan akan menyelimuti hidupnya mulai kini. Wajahnya mulai memerah.
"Tuan Kane, aku bisa jalan sendiri."
Pria itu tidak berbicara hanya menatap ke depan membawanya ke lantai dua. Membuat Dee tambah ketakutan.
Pintu kamar dibuka. "Honey, kontrak telah dimulai, jika kau keberatan pintu masih terbuka lebar. Kau bisa pergi sekarang?" tanya pria itu sekali lagi.
"Aku akan memberimu waktu beberapa menit ke depan," lanjutnya menatap Dee intens.
"Aku tidak menyesal," jawab Dee ragu namun dengan suara tegas. Dia tidak ingin mundur demi kesembuhan Ibu panti yang telah membesarkannya selama ini. Dia rela berkorban. Dia hanya akan berkorban selama sembilan bulan saja sedangkan Ibu panti telah banyak berkorban untuknya selama delapan belas tahun ini, tanpa mengeluh sedikit pun.
"Kamu yakin dengan apa yang akan kamu lakukan?" suara pria itu terdengar melembut. Tatapannya terasa dingin. Dee mengangguk mantap.
Pria itu lantas meletakkan Dee diatas ranjang dan mulai melepaskan jas putihnya dan meletakkan di atas sofa.
Tiba-tiba badannya dipegang oleh dua tangan besar dengan keras. Terasa sakit. Matanya menjadi buram, ingin menangis.
Dia melihat wajah pria itu membesi. "Kamu tidak tahu malu, menjual dirimu. Apakah kau tidak punya harga diri? Atau berpikir jika melakukan ini hidupmu akan terasa mudah dan berada dalam kemewahan?"
Mata Dee membelalak besar mendengar hinaan pria di depannya. Emosi pria itu berubah mendadak, membuatnya semakin ngeri dan takut.
Mendengar tuduhan kejam pria itu, hati Dee yang lembut terasa sakit. Dia hanya terdiam saja, tidak ingin menjelaskan apapun pada pria itu karena menurutnya tidak ada gunanya.
Dia memang tidak tahu malu, tapi bukan karena ingin hidup mewah. Dia hanya ingin kehidupan adik-adik panti nya tidak dalam kesulitan dan Ibu panti kembali pulih. Tahu apa orang kaya dengan hal seperti ini.
Dee yang diam saja membuat pria di depannya menjadi kasar karena merasa diabaikan perkataannya. Tubuh Dee langsung bergetar hebat tatkala bibir pria itu ada diatas bahunya. Suhu terasa dingin seketika.
Dee ingin kabur karena ketakutan tetapi dia membutuhkan uang itu.
"Kenapa takut? Kau ingin kabur?" ucap pria itu dibawah telinga Dee membuat tubuhnya merinding ngeri.
"Jika kau ingin pergi maka kau harus membayar kembali uang yang telah ku keluarkan untuk Ibu pantimu, pengobatannya akan dihentikan dan kau tahu sendiri bagaimana nasib anak-anak lainnya, mereka akan hidup di pinggir jalan."
Dee mendorong keras tubuh pria itu dan berlari ke sisi tempat tidur yang lain.
"Tidak, aku tidak akan pergi. Hanya saja bolehkah kita melakukannya besok saja?" tawar Dee gugup.
Pria itu menyisir rambutnya ke belakang dan tersenyum. Tangannya yang besar menarik kaki Dee dan menimpanya.
Dee menggigit bibir merahnya karena terkejut. Bola matanya membesar ketika bibir tipis pria itu mulai menyentuh bibirnya. Dengan gerakan mendominasi dan memaksa lidah pria itu masuk ke dalam mulut Dee.
Tangan pria itu mulai bergerak ke bagian depan tubuh Dee dan suara keras robekan kain mulai terdengar. Kancing baju mulai berhamburan keluar.
Hal itu membuat Dee panik. Dia menggenggam seprai dengan erat. Entah apa yang selanjutnya terjadi,pakaiannya langsung dirobek oleh pria itu.
Mulut pria itu mulai masuk ke dalam mulutnya, memaksa, aroma tembakau menguar, lidahnya menggeliat di dalam mulut Dee. Dee membuka matanya dengan lebar.
Dia ingin menghentikan pria itu, tetapi ini yang dia lakukan agar dia bisa hamil anaknya. Demi mendapatkan uang demi pengobatan Bu Panti.
Pria itu telah membuat dia menjadi wanitanya seutuhnya kali ini. Dee hanya bisa menerimanya. Tetes air mata jatuh setelah tubuh mereka menjadi satu. Pria itu menghentikan gerakannya.
"Sudah jangan menangis, kau ingin uang kan. Nikmati saja nanti kuberi apa yang kau mau. Kau cukup hamil anakku saja." Pria itu mengatakannya dengan raut wajah biasa saja.
Lalu, pria itu memeluk Dee dan melanjutkan apa yang seharusnya terjadi.
Ucapan pria itu mengiris hati, membuatnya terluka dalam. Saat ini adalah saat terkelam dalam sejarah hidupnya selamanya dia akan mengingat penghinaan ini.
"Sudah cukup untuk saat ini." Pria itu lantas bangun dari tubuh Dee. Dia tahu sentuhannya di tubuh Dee, semuanya adalah yang pertama untuk Dee karena wanita itu terlihat kaku dan takut.
Dee seperti barang yang belum dibuka dan tersentuh siapapun. Sangat disayangkan jika dilewatkan. Lagipula sudah terlalu lama dia tidak melakukan ini. Pikir pria itu.
Kane memegang dagu Dee. "Jika kau menurut dan membuatku senang kau bisa mendapatkan lebih dari perjanjian kita."
Dee memalingkan wajahnya ke samping.
Pria itu lantas pergi ke kamar mandi. Tangis Dee langsung pecah setelah pria itu tidak ada. Di saat yang sama ponselnya berdering. Dee menoleh dan ragu untuk mengambilnya. Panggilan mati dan ada panggilan untuk kedua kalinya.
Sejenak dia menatap ke arah pintu kamar mandi. Masih tertutup dengan cepat Dee melihat siapa yang menelpon.
Anna. Ada apa dia menelpon Dee? Pikir Dee. Dia langsung mengangkatnya.
Belum juga memberi salam Dee sudah mendengar suara isak dari seberang telepon. Jantung Dee berdebar dengan kencang. Dia mulai panik.
"Ada apa Anna?" ucapnya lirih sambil menggigit ibu jari.
"Kak," panggil Anna. "Ibu sudah tidak ada…."
Handphone langsung jatuh ke lantai. Dengan cepat Dee memungut kembali pakaiannya yang sudah robek. Dia menggelengkan kepala. Mulai memakainya lantas mengambil jas yang tersampir di atas sofa untuk menutupi bagian yang sobek. Dia berjalan, mengambil tas dan barang pribadi miliknya bersiap untuk pergi. Dia langsung bergegas keluar kamar ketika Kane membuka pintu kamar mandi dan menatapnya bingung.
"Hei, kau mau kemana?" tanya Kane berjalan mendekat membuat otak Dee kosong untuk sejenak karena takut bila pria itu akan mencegahnya pergi.
"Aku batalkan perjanjian kita. Aku kembalikan lagi uangnya, aku tidak mau hamil anakmu," ungkap Dee dengan suara gemetar dan panik.
"Kau tidak bisa membatalkan perjanjian dengan semena-mena!" ucap Kane dengan rahang mengetat dan suara yang meninggi. Pria itu hanya memakai bathrobe saja dan air mengalir di leher serta dahi karena rambutnya masih basah.
Tubuh Dee mulai limbung dia mundur dan memegang daun pintu.
Kane sendiri bisa melihat apa yang dia lakukan barusan pada tubuh Dee. Bibir gadis muda itu berdarah karena gigitan Kane dan tangan Dee juga terluka karena Dee menggigitnya sendiri terlalu keras ketika menahan diri dari sentuhan Kane. Ada beberapa tanda merah yang terlihat di leher wanita itu dan gigitan gemas Kane tadi karena Dee hanya terdiam seperti patung. Wajahnya masih kacau dan basah oleh air mata.
Dee bersimpuh di depan Kane membuat pria itu merasa kasihan.
"Ibu panti yang ingin kutolong nyawanya sudah tidak ada, lantas untuk apa uang itu? Berbelas kasihanlah pada anak yatim ini. Aku akan mengembalikan semuanya, tidak akan ada yang kurang. Aku tidak mau uangmu, aku hanya ingin pergi melihatnya. Lepaskan aku…." Tangan Dee disatukan di dada, hati Kane terasa mendesir sakit. Kane menggerakkan tangannya, menyuruh Dee pergi.
Dee buru-buru keluar dari kamar. Kepergiannya membuat Kane tertegun sejenak. Dia lantas ikut keluar, melihat kepergian Dee.
Di luar Dee berpapasan dengan Pak Jhon. Pria itu menghentikan lari Dee.
"Biarkan aku pergi, aku batalkan semua perjanjian kita."
Pak Jhon melihat ke arah Kane yang berdiri di pintu. Pria itu menganggukkan kepala. Pak Jhon baru memberi jalan Dee pergi. Dengan cepat Dee berlari meninggalkan villa.
Pengorbanannya kali ini terasa sia-sia, orang yang memberinya hidup dan mengajarkannya kasih sayang telah pergi meninggalkannya. Hati Dee remuk seketika.
Dee menangis sepanjang jalan. Tiba-tiba ada mobil yang menjajarinya dan membuka kaca mobil.
"Nona, masuklah. Tuan memerintahkan untuk mengantarmu."
Dee ingin menolak.
"Ini sudah malam dan tidak akan transportasi yang akan lewat di sini."
Dee bisa melihat jika mereka berada di daerah pegunungan yang dikelilingi oleh hutan pinus.
Akhirnya, dengan sangat terpaksa, Dee menerimanya. Ternyata Kane tidak seburuk yang dia kira. Mereka lantas pergi ke rumah sakit.
Di dalam mobil suasana hening seketika. Dee hanya melihat keluar mobil sambil menyeka air matanya.
"Nona, Tuan berkata jika kau tidak usah mengembalikan uang yang sudah kami berikan. Anggap saja itu sebagai ganti atas kerugianmu."
'Rugi? Harga kerugiannya itu lebih karena aku sudah tidak punya lagi kehormatan untuk bertemu dengan kekasihku yang akan jadi calon suamiku. Aku tidak punya apapun untuk kubanggakan ke depannya.'
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!