" Bu, aku minta tolong, tolong hutangi aku ponsel buat sekolah anakku, sebentar lagi dia mau masuk SMP, tapi tidak punya ponsel. Nanti akan aku bayar secara angsur setiap bulannya, yang murah murah saja Bu, tolong ya." Nanik perempuan tambun yang ditinggal suami nya kerja ke luar negri memohon padaku dengan air matanya yang jatuh membasahi pipi gembul nya yang penuh dengan bekas jerawat. Bahkan dia bercerita kalau suaminya tidak lagi memberikan nafkah yang layak. Iba tentu saja, karena aku juga punya anak perempuan seusia anaknya.
" Hape apa Bu? tapi bener ya, nanti ngangsurnya jangan sampai mbulet, karena uangnya juga muter dibuat usaha yang lain. Tau sendiri lah, aku juga berjuang sendirian, bahkan tidak punya siapa siapa untuk sekedar jadi sandaran." balasku panjang lebar, agar tetanggaku itu juga bisa mengerti jika keadaanku juga biasa saja.
" Iya Bu, masa gak percaya sama aku, kalau boleh aku mau ambil hape merk OPPA itu loh."
Aku pun menyanggupinya dengan berbekal percaya dan kasihan, dengan angsuran perbulan tiga ratus lima puluh selama sepuluh bulan.
Bulan pertama Nanik memberikan uang angsuran sesuai dengan jumlah yang sudah disepakati, dan aku juga melihat jika usaha catering nya sedang rame, karena dia selalu aktif membuat status di aplikasi hijau dan biru nya, bahkan dia juga seorang tik tokers sejati. Hampir setiap hari melakukan live di akun tiktoknya itu, suaranya terdengar jelas dari dalam rumahku, dengan suaranya yang dibuat semanja mungkin, wanita tambun itu sepertinya sudah tidak malu jika polahnya di dengar oleh para tetangganya.
Aku memang tidak begitu akrab dengan nya, hanya sekedar kita itu tetangga. Untuk bagaimananya ya itu bukan menjadi ranahku untuk mengurusinya, bahkan saat ada desas desus tentang kabar perselingkuhannya.
Aku pikir itu masalah keluarganya, selagi dia masih berniat untuk membayar hutangnya aku sih tidak perduli dengan berita heboh yang tersebar tentangnya yang tertangkap basah sedang berbuat mesum dengan pria selingkuhannya.
Bulan kedua, dia masih menyetor angsuran dengan jumlah yang sama, tapi dengan keadaan yang terlihat berbeda, datang dengan wajah sembabnya, bahkan dia sudah terusir dari rumah suaminya yang ada di samping rumahku.
" Kenapa Bu, kok wajahnya kayak habis nangis gitu?" sapaku basa basi saat dia datang membayar hutangnya.
" Biasa Bu, masalah sama keluarga suamiku. Sekarang aku juga di usir dari rumahnya, dan tinggal dikontrakkan desa sebelah, nelongso rasane." keluhnya dengan air mata yang deras mengalir, lagi lagi aku dibuatnya iba dan masih di mode pura pura tidak tau kabar perselingkuhannya yang kini rame jadi perbincangan para warga.
" Ya, yang sabar. Insya Alloh pasti ada jalan, selama kita berada di jalan yang benar." hanya itu yang bisa keluar dari bibir ini, karena memang aku tipe orang yang tidak suka ikut campur dengan urusan orang lain, apa lagi dengan masalah rumah tangga.
Setelah beberapa saat, akhirnya Nanik pamitan untuk kembali pulang, aku pun mengiyakan tanpa ada prasangka buruk sedikitpun.
Setelah kepergian Nanik, Bu Cindi datang menghampiriku. " Mbak Salma, itu Nanik kenapa? masih punya tanggungan di sampean to?"
" Iya Bu, baru dapat dua angsuran. Kemarin ambil hape buat sekolah anaknya." jawabku sopan dan mempersilahkan Bu Cindi masuk ke dalam rumah.
" Wah, mendingan segera minta di lunasi saja mbak, wong dia itu sudah di usir dari rumahnya. Ketahuan kikuk kikuk sama laki laki lain. Kemarin juga punya hutang sama aku dua ratus ribu, tapi sudah dikembalikan, aku tagih pas ketemu di gang depan. Untung di kasih." celoteh Bu Cindi panjang lebar.
" Semoga saja, Bu Nanik tetap punya itikad baik, meskipun sudah tidak tinggal disini, masih mau bertanggung jawab dengan hutangnya Bu, kok saya jadi kepikiran ya." sahutku mulai merasa cemas.
" Semoga saja mbak, pokoknya hati hati saja. Jujur, aku tidak suka sama dia, tingkahnya itu loh, berkali kali kok kasusnya tetap sama, selingkuh. Naudzubilahmindalik." sahut Bu Cindi bergidik.
Aku hanya menghembuskan nafas dalam, tidak tau harus menimpali bagaimana ucapan Bu Cindi yang ada benarnya itu. Sambil dalam hati terus beristigfar memohon ampun agar tak ikut mencela.
☘️☘️☘️☘️☘️
Desas desus tentang Nanik semakin santer, bahkan satu persatu orang yang di hutangi muncul mencari sosoknya untuk menagih hutang, tidak hanya satu atau dua orang yang menjadi korban, tapi ada belasan orang yang menjadi korban hutangnya Nanik.
Jujur aku mulai panik, apa lagi saat ada yang bilang jika Nanik menghilang. Dengan bekal alamat yang diberikan tetangga yang pernah dimintai tolong mengangkut baju bajunya di kontrakan, aku datangi dengan arahan Mbah google. Tempat yang dituju sudah sepi tak berpenghuni. Aku pun berusaha mencari tau dari tetangga sebelah kontrakannya, dan mereka bilang kalau Nanik sudah kabur dari semalam, katanya pas tengah malam Nanik mengangkut kembali barang barangnya, bahkan rumah yang dia kontrak juga belum dibayar olehnya.
Ya Tuhan, ternyata apa yang aku cemaskan terjadi. Aku berusaha menghubungi nomornya sudah tidak aktif, bahkan saat dihubungi lewat aplikasi birunya, aku pun tiba tiba diblokir.
tapi polahnya membuat hati ini geram setengah mati, saat melihat akun tik tok nya live setiap hari dari pagi siang dan sore, sungguh menjijikkan sekali tingkahnya, tanpa tau malu berangkulan dengan laki laki selingkuhannya, bahkan terlihat tanpa ada beban sedikitpun, padahal sedang meninggalkan hutang sana sini dengan jumlah yang tidak sedikit.
Saat dia live, aku coba mengetik pesan tapi langsung dia blokir, fix artinya dia memiliki niat jahat, penipu dan bertingkah super menjijikkan, hidup seatap dengan laki laki yang belum sah menjadi suaminya, bahkan urusannya dengan suaminya belum beres. Satu yang pantas disematkan pada diri perempuan sepertinya, menjijikan, tidak tau malu.
Dengan seiring waktu, aku berusaha mengiklaskan bahkan tak ingin lagi tau seperti apa kabar perempuan filter itu. Iya, perempuan filter aku menyebutnya, karena semua foto fotonya tidak ada yang asli, alias editan semua. Terakhir kali aku dengar, dia sedang hamil dengan laki laki selingkuhannya, aku pun hanya bisa berdoa, semoga Tuhan memberi balasan yang setimpal pada perempuan itu.
Waktu terus berlalu, dan Alhamdulillah Tuhan memberikan ganti yang melimpah padaku, rejekiku semakin lancar dan usahaku juga berjalan makin maju, Alhamdulillah, Alhamdulillah. Rasa syukur terus terucap dan istighfar terus membasahi bibir ini. Karena hati akan semakin sakit dan berlahan berkarat oleh rasa dendam dan benci akibat perbuatan culas orang lain, hanya iklas dan pasrah yang mampu mengobatinya.
Kabar terakhir yang terdengar setelah beberapa bulan, Nanik mengalami kecelakaan dan menjadi lumpuh, bahkan dia di tinggalkan oleh laki laki selingkuhannya. Miris. Itulah akibat perbuatan nistanya, mendzolimi orang banyak dan menjadi beban bagi hidup orang lain, bahkan saat dia sedang tak bisa apa apa, tidak ada satupun yang Sudi membantunya, sekarang hidupnya tergantung dari belas kasih orang lain dan tidur di emperan toko dengan keadaan yang sangat mengenaskan.
# Jangan pernah sekali kali dengan sadar mendzolimi orang lain demi keuntungan diri sendiri, karena doa orang yang tersakiti mampu menembus langit.
Selesai.
" Bu, nanti sore aku ke rumahmu. Ambil uang angsuran bulan ini." Aku terhenyak dengan pesan yang dikirim Indah, ini sudah akhir bulan, pasti indah seperti biasa akan mengambil uang angsuran. Indah punya usaha kreditan segala macam barang, tergantung permintaan. Dan aku sudah tiga tahun terakhir ini membantu menjalankannya mencari nasabah. Teman teman kantorku dan teman semasa sekolah dulu banyak yang ambil kredit melalui aku.
Awalnya semua berjalan lancar, dan angsuran selalu berjalan mulus, semua tepat waktu sesuai tanggal yang ditentukan. Dan karena modal percaya juga karena kenal baik, aku pun selalu mengiyakan jika ada yang mau kredit. Meskipun aku sudah banyak membantu usahanya, indah tergolong orang yang pelit, bonus pun tidak pernah aku diberi. Tapi yasudah aku gak papa, niatku memang untuk membantunya.
Awal mula dari masalah yang terjadi, ada salah satu customer yang sulit bayar, setiap sudah waktunya jatuh tempo pembayaran, ada saja alasannya. Tapi indah seolah tidak mau perduli, dia selalu ingin angsuran penuh apapun caranya. Awalnya aku iklas dan meminjami dulu yang belum bayar, tapi lama kelamaan jadi keseringan.
Sudah hampir setahun terakhir ini, aku pontang panting membayar angsuran macet atas nama persahabatan. Hingga di dua bulan terakhir ini, aku sudah tidak sanggup lagi untuk menutup angsuran yang Customer nya nakal.
" Bu gimana kurangnya? aku butuh uang besok, gak tau caranya gimana itu urusanmu, yang aku tau mereka temanmu." Deg, lagi lagi indah menekan ku untuk membayar tagihan yang macet, padahal dia sendiri tau, kalau bukan aku yang hutang.
"iya." aku hanya menjawabnya singkat. percuma mendebat orang seperti indah. gak punya empati dan gila harta, dia ibarat rentenir yang mencekik, awalnya aku baik baik saja berteman dengannya, tapi dengan kejadian ini, sifat aslinya mulai kelihatan. Pantesan banyak yang tidak menyukainya. Karena indah tipe orang yang bermulut pedas dan mementingkan dirinya sendiri.
Aku terdiam, rasanya dadaku sesak, dari mana aku mendapatkan uang untuk membayar hutang orang lain, yang jumlahnya tidak sedikit.
Saat aku sedang duduk di depan rumah, nampak Bu Retno jalan tergopoh menghampiriku.
" Mbak Salma, boleh saya minta tolong? tolong anterin saya ke klinik depan, anak saya demam tinggi mbak, tapi tidak ada siapa siapa yang dimintai tolong, untung tadi lihat mbak Salma duduk disini. Tolong ya mbak." rengek Bu Retno penuh harap, dan matanya sudah berkaca kaca, gurat kepanikan terlihat jelas dari wajahnya yang kuyu.
" Iya Bu, tapi naik montor gak papa kan?"
"Iya mbk gak papa, kliniknya juga ada di depan situ, suami saya di luar kota, badan Arjun demam tinggi dari kemarin, jujur saya takut mbak." sambung Bu Retno yang mulai menangis.
"Sebentar Bu, saya akan ambil montornya." aku pun bergegas mengambil montor matic kesayangan dari garasi, menutup pintu dan bergegas menyusul be Retno ke rumahnya. Dengan kecepatan sedang aku membonceng Bu Retno dengan anaknya hati hati. Punggungku terasa panas, karena Arjun bersandar di punggung ini, suhu badannya yang tinggi sampai menembus punggungku, aku pun bisa merasakan bagaimana paniknya Bu Retno.
Sesampai di klinik, Bu Retno langsung menggendong Arjun masuk kedalam, aku masih memarkir montor dulu ke tempat parkir lalu menyusul nya masuk ke dalam. " Gimana Bu?" tanyaku pada Bu Retno yang sudah ada di ruang IGD.
"Arjun harus di rawat inap mbak, badannya panas sekali dan dia juga sudah lemas gini, dehidrasi karena dari kemarin tidak mau makan dan minum." jelas Bu Retno sendu.
"Bu Retno yang sabar, insyaallah Arjun gak papa, insyaallah sehat, syafakallah."
"Tapi jujur sekarang saya lagi bingung mbak. Suamiku sedang ada dinas diluar kota, dan tidak mungkin bisa pulang, baru kembali besok lusa. Apalagi ATM juga kebawa oleh suami. Saya bingung mbak, pegangan di dompet cuma cukup buat makan, tinggal dua ratus ribu." cerita Bu Retno sambil matanya menerawang, gelisah dan cemas bercampur menjadi satu. Bu Retno bukan orang miskin, suaminya kerja di dinas pendidikan, mungkin seperti yang Bu Retno tadi ceritakan ATM terbawa oleh suaminya, hingga Bu Retno tidak bisa menarik uangnya.
" Ibu butuh berapa, pakai uang saya saja dulu Bu gak papa." tawarku, meskipun saat ini hatiku sedang gelisah bahkan bingung harus mencari uang untuk menutup angsuran, hati ini tetap tak tega melihat orang lain kesusahan, apa lagi orangnya benar benar membutuhkan. Dengan bismillah aku membantu Bu Retno dengan uang pegangan yang tidak seberapa.
" Beneran mbak? Ya Alloh terimakasih mbak Salma. insya Allah nanti kalau suami saya pulang saya akan ganti mbak, semoga Alloh membalas kebaikan mbak Salma, aamiin."
" Aamiin Bu. Owh iya, sebaiknya ibu pulang kerumah dulu dengan montor saya, ibu ambil baju ganti dan keperluan yang dibutuhkan. Biar Arjun saya yang jaga disini."
" Ya Alloh, terimakasih mbak, padahal tadi saya juga kepikiran, mau bilang minta tolong ke mbak Salma sungkan. Eh mbak Salma nawarin. kalau begitu saya pulang dulu ya mbak, titip Arjun sebentar."
" Iya Bu." Bu Retno langsung pulang untuk mengambil keperluan selama anaknya dirawat. Dan Arjun tipe anak yang tidak pernah rewel, buktinya lihat ibunya pulang dia hanya diam saja, dan matanya mulai terpejam. Mungkin pengaruh dari obat yang diberikan suster tadi.
Sudah lima hari Arjun dirawat, dan ayahnya Arjun juga sudah kembali. Hari ini Arjun sudah dibolehkan pulang kerumah, karena keadaan Arjun sudah membaik. Bahkan Bu Retno juga janji, setelah sampai rumah akan mengembalikan uang yang kemarin beliau pinjam. Sebenarnya aku sudah tidak punya pegangan, uang di dompet tinggal lima puluh ribu. Belum lagi indah menekan ku terus menerus untuk menagih uang angsuran yang macet. Ya Tuhan rasanya sangat sesak sekali.
Habis magrib, indah kerumah marah marah karena aku belum juga bisa membayar uang angsuran teman yang belum bayar, padahal tidak kurang kurang aku sudah berusaha untuk menagihnya, dan saat aku ajak indah untuk ikut menemui orang tersebut Indah selalu menolak tidak mau. Egois sekali dia. Pantesan tidak punya teman selama ini, bahkan sering sakit sakitan.
" Asalamualaikum mbak Salma" Bu Retno nampak menyembul dari pintu dengan membawa kantong kresek ditangannya.
"Waalaikumsallam, Monggo Bu silahkan masuk."
Bu Retno masuk dan langsung duduk di sampingku, kresek hitam ditangannya disodorkan padaku. " ini oleh oleh dari suami saya mbak, mau anter dari kemarin katanya gak enak, kata suami nunggu saya saja yang nganterin. Suami juga bilang titip untuk menyampaikan terimakasih karena mbak Salma sudah membantu saya kemarin." jelas Bu Retno panjang lebar.
"Iya Bu, sama sama. Gak usah repot repot harusnya, insyaallah saya ikhlas kok, bisa membantu saya senang Bu."
" Owh iya, ini uang yang kemarin saya pinjam, saya kembalikan mbak, terimakasih sekali lagi."
" Alhamdulillah Bu, sami sami." balasku laga, karena bisa menyambung hidup dengan uang ini, tapi tanpa aku duga, indah merebut uang di tanganku. "Ini uangnya aku ambil ya sal, buat bayarin angsuran temanmu yang macet itu."
"Loh gak bisa gitu Bu, aku juga butuh uang itu untuk keperluanku. Yang punya hutang temanku, kok aku yang harus bayar, harusnya kamu nunggu dia bayar dulu." jawabku tak terima.
" Loh dia kan temanmu, ya kamu tagih saja dia, yang penting urusanku sudah beres. Yasudah aku pulang dulu, dan itu aku minta oleh olehnya ya." Indah mengambil satu bungkus dodol dan rengginang lorjuk pemberian Bu Retno tanpa merasa sungkan sedikitpun. Bahkan tanpa punya perasaan dia mengambil uangku pergi begitu saja. Tak terasa air mataku menetes seiring sesak yang mendera oleh kelakuan orang yang sudah kuanggap teman.
"Mbak Salma gak papa?" tegur Bu Retno yang mungkin merasa iba.
" Gak tau Bu, rasanya sesak saja. Harus menanggung hutang yang bukan hutang saya. Padahal Bu indah tau, yang ambil kredit bukan saya tapi selalu meminta saya untuk membayar kalau ada yang belum bisa bayar, bahkan uang yang tadi diambil itu uang untuk bayar les anak saya."
" Ya Alloh kok tega banget Bu indah itu, pantesan kalau tidak ada yang menyukainya di sini, lebih baik mbak Salma jauh jauh sama dia. Selesaikan urusanmu dengannya dan setelah itu jauhi mbak, gak baik berhubungan apa lagi berteman dengan orang sepertinya. Saya akan pinjami mbak Salma uang, nanti kembaliannya kalau mbak sudah ada uangnya saja, gak usah dipikirin. Saya iklas, seperti mbak yang iklas saat bantu saya kemarin." ucap Bu Retno panjang lebar, dan aku semakin tergugu sebab haru dengan sikapnya.
# Saat kita sedang berbuat baik dan menolong orang lain, sebenarnya kita sedang berbuat baik dan menolong diri kita sendiri. Kebaikan akan kembali kebaikan dan keburukan juga akan kembali dengan keburukan. Jadi jangan pernah berhenti dan lelah untuk tetap berbuat baik.
Selesai.
"Mbak Sanah, tolong pinjami aku uang dua ratus ribu saja, buat bayar les anakku. Nanti kalau aku udah gajian, aku kembalikan. Insyaallah tanggal dua mbak." dengan memberanikan diri, aku datang kerumah mbak Sanah, yang rumahnya tidak jauh dari tempat tinggal ku. Terpaksa aku mencari pinjaman, karena sudah sangat terdesak, Dini anakku sampai menangis karena uang les nya belum terbayarkan, padahal sudah akhir bulan. Kasihan dan tentu tak tega, sebagai ibu yang masih berstatus istri tapi tak pernah di perlakukan sebagai seorang istri oleh suamiku. Aku harus pontang-panting mencari uang sendiri demi bisa memenuhi kebutuhan kami, aku dan anakku yang kini sudah kelas lima SD.
Suamiku kerja di Surabaya sebagai satpam di salah satu perusahaan swasta disana. Gajinya lumayan besar, jika dia mau memenuhi tanggung jawabnya sebagai seorang suami dan ayah. Tapi sayangnya, laki-laki itu tidak punya perasaan sama sekali. Bahkan aku sendiri tidak tau bagaimana cara berpikirnya. Muak dan benci, itulah yang aku rasakan untuknya. Status istri hanyalah sekedar status saja, nyatanya aku tak lebih seperti seorang janda. Bagaimana tidak, Sugeng sama sekali tidak mau tau tentang kebutuhanku juga anaknya, dia hanya bisa menuntut dan memfitnah. Menjijikkkan.
"Iya mbak, ini aku ada uang dua ratus ribu tapi buat bayar angsuran koprasi besok hari Senin, gimana?" sahut mbak Sanah ramah, akupun menarik nafas ini dengan kasar, bingung gak tau harus kemana lagi mencari pinjaman. Sedangkan tanggal gajian ku masih seminggu lagi.
"Ikut gabung kelompokku saja mbak, hutang koprasi, bayarnya tiap Minggu sekali. Mudah kok, gak pakai syarat apa-apa, cuma foto copy kartu keluarga dan KTP saja. Kalau mbak Murti mau, hari ini aku ajukan ke petugasnya, Insyaallah besok Senin cair." terang Sanah panjang lebar. Aku yang sudah buntu tidak tau harus bagaimana, akhirnya mengiyakan tawarannya.
"Bisa pinjam berapa mbak, dan berapa angsuran tiap minggunya?"
"Murah kok mbak Murti. Kalau mbak Murti pinjam dua juta, nanti mbak Murti tiap Minggu cuma lima puluh ribu bayarnya, tiap hari Senin."
"Yasudah mbak aku mau."
Sejak saat itulah, pertama kali aku terjerumus dalam hutang piutang yang kian mencekikku. Bahkan hampir satu Minggu penuh aku memiliki tanggungan angsuran di koprasi yang berbeda. Itu aku lakukan karena beban semakin berat yang aku tanggung. Menafkahi seorang anak gadis sendirian dengan ekonomi yang dibilang pas Pasan. Sugeng yang seharusnya memikul beban itu seolah lepas tangan. Justru di Surabaya dia sudah menikah lagi dan bahkan memiliki seorang anak laki laki dari janda yang dinikahi siri olehnya. Sakit, tentu saja. Tapi hati ini sudah terlanjur terluka dan hancur oleh perlakuannya. Kebencian dan amarah yang terpendam menjadikan aku wanita yang harus di paksa kuat untuk menghadapi segala sendirian.
Disaat aku ingin menyerah, dan hampir putus asa, bahkan berpikir untuk mengakhiri hidupku. Disaat itulah keajaiban datang menghampiriku. Ada teman lama yang datang menawarkan bantuan, aku dimintanya bekerja di balik layar untuk usahanya sebagai EO yang sudah melejit namanya dikalangan pejabat. Dengan telaten Kang Samudra mengajariku bahkan tanpa segan menuntun langkah ini yang masih belum mengenal dunia bisnis. Bertahap, berlahan tapi pasti. Alhamdulillah sedikit demi sedikit, aku mulai mengerti dan menguasai pekerjaanku. Dari uang bonus yang diberikan oleh kang Samudra , berlahan aku bisa menutup satu persatu hutangku. Bahkan aku juga sudah mengajukan gugatan cerai ke pengadilan, karena tidak ada gunanya bertahan dari lelaki minim adab dan akhlak seperti Sugeng. Tidak mencukupi tapi selalu menyakiti.
"Murti, kamu kan suka banget nulis, coba deh nulis di salah satu platform berbayar. Siapa tau tulisanmu banyak yang melirik, lumayan bisa buat tambahan beli sembako." Siang itu, aku sedang ngobrol dengan kang Samudra setelah mengadakan meeting.
"Gimana caranya, kang? Aku tidak pernah tau kalau ada aplikasi tersebut."
"coba deh, kamu download salah satu aplikasi ini, dan pelajari dulu, setelah itu coba kamu nulis disana. Tulis saja kisah kisah nyata yang kamu alami dengan sedikit memberi fiksi di dalamnya, tentunya dengan nama nama samaran. Karena dari semua kisah kamu, menurutku sangat menarik dan luar biasa. Tidak ada salahnya mencoba." Tutur kang Samudra yang langsung ku Amini.
Sejak saat itu aku mulai belajar menulis dengan mengangkat cerita cerita orang sekitar, bahkan kisah ku sendiri. Dan Alhamdulillah, pendapatan dari menulis bisa buat merenovasi rumah dan mencukupi kebutuhan sekolah anakku. Masya Allah, tidak ada yang tidak mungkin jika Tuhan sudah berkehendak.
Setelah hampir dua tahun perpisahan ku dengan Sugeng, sejak saat itu, dia sama sekali tidak pernah menemui darah dagingnya. Bahkan sekedar menanyakan kabar lewat telpon pun tidak. Astagfirullah, aku hanya bisa membalas dengan doa, dan berharap gadis kecilku selalu diberi kesehatan dan kecukupan.
"Asalamualaikum." terdengar suara pintu diketuk yang disertai salam dari seseorang, aku yang masih sibuk mengetik cerita di depan laptop terkesiap dengan suara yang tidak asing di telinga ini. Saat kaki ini akan beranjak, terlihat Lala gadis kecilku sudah lebih dulu membukakan pintu. Lalu, dia terlihat langsung membeku dengan ekspresi datar, saat sosok laki laki yang hampir dua tahun lebih menghilang dari kehidupannya, sekarang tiba-tiba muncul.
"Lala, kamu sudah besar nak. Ayah kangen." Sugeng terlihat berkaca kaca dan hendak memeluk Lala, namun anakku itu langsung memundurkan kakinya beberapa langkah, dengan sorot mata yang menyiratkan kekecewaan yang teramat dalam. Apakah hati anakku seluka itu?
"Loh, Lala! Ini ayahmu, kok gak mau dipeluk. Kangen loh." terdengar suara mbak Lilis tak suka dengan sikap anakku yang menghindari ayahnya. Dengan jantung yang berdegup kencang, aku mencoba menahan amarah oleh kehadiran orang orang yang tentu tak aku inginkan sama sekali.
"Jangan menyalahkan anakku, berkaca lah dengan sikap kalian selama ini, apakah kalian menganggap ada kehadiran Lala? Apakah kalian ingat kalau Lala juga bagian dari keluarga kalian? Tidak bukan! berapa tahun kalian melupakan dan tidak perduli pada anakku? Dan sekarang tiba tiba kesini berani bicara dengan nada tinggi pada anakku, memalukan." herdikku panjang lebar, dengan melipat kedua tangan di dada, satu persatu mata ini menatap nyalang ke arah mereka bergantian.
"Boleh kami duduk dulu Mur, kita bicarakan baik baik." Sela Sugeng sok bijak, cih muak sekali melihat wajahnya yang sok tersakiti.
"Baiklah, silahkan duduk. Dan jangan pernah membuat anakku bersedih karena ulah kalian." aku bergegas mengambil laptop yang masih menyala diatas meja, dan membawanya ke dalam kamar, lalu kembali duduk dihadapan mereka yang sudah berjejer di satu sofa panjang. Dan Lala lebih memilih naik ke lantai atas, tempat kekuasaannya dirumah ini, katanya disana dia bisa menemukan kenyamanan dan ketenangan.
Aku memilih diam, menunggu apa yang ingin mereka sampaikan, bahkan diri ini tak Sudi membuatkan mereka minuman. Hanya ada air putih di gelas kemasan yang memang sengaja aku sediakan jika sewaktu waktu ada tamu.
"Mur, maksud kedatangan kami, hanya ingin bertemu Lala, kami semua kangen sama dia." Aku tersenyum miring dengan apa yang di ucapkan mbak Lilis barusan, satu kata Munafik. Kemana saja mereka selama ini, kenapa baru sekarang bilang kangen dengan anakku.
Aku masih diam, menunggu maksud sebenarnya kedatangan mereka kembali kerumah ku, aku yakin ada maksud tertentu dengan kedatangan mereka, karena bertahun tahun aku sudah hafal sifat keluarga Sugeng, yang pasti tujuan utamanya bukan ingin bertemu anakku.
"Lalu?" dingin dan tetap memasang wajah tak ramah pada manusia manusia di depanku yang mulai terlihat gelisah.
"Gini, sebenarnya aku sama Ana sudah cerai enam bulan lalu, dia selingkuh dengan tetangganya. Aku ingin kita rujuk Mur. Kita perbaiki hubungan kita yang sempat hancur, Lala butuh figur seorang ayah yang bisa menjaganya. Aku janji, akan jadi suami yang baik buat kamu. Aku juga sudah tidak bekerja di Surabaya, jadi aku bisa tinggal disini, dan membantumu mengurus Lala. Bahkan kamu juga bisa beli sapi atau sawah di Blitar biar adik dan ibuku yang urus disana. Gimana, kamu mau kan?" Ya Tuhan, kenapa masih ada manusia menjijikkan seperti mereka, setelah menelantarkan kami dan mengabaikan anak kandungnya demi perempuan murahan itu, kini tanpa wajah berdosa dan tanpa tau malu meminta untuk kembali bahkan berani menyuruhku memberi modal usaha membeli sapi atau sawah untuk keluarga. Benar benar menjijikkan.
"Sudah bicaranya?" tanyaku dengan suara ejekkan dan mata yang masih menatap tak suka ke arah mereka, manusia manusia aneh di depanku.
"Terima aja loh Mur, lagian gak baik lama lama jadi janda. wong kamu juga sudah enak gini hidupnya. Rumahmu sekarang bagus, pasti uangmu banyak. Bulan depan Roy menikah, kamu bantu uang dapurnya ya, sama saudara jangan perhitungan." ingin sekali aku meremas mulut mantan kakak iparku itu, bisa bisanya dia bicara seenak udelnya setelah apa yang dilakukan oleh adiknya, dasar satu keluarga sama saja, sakit semua.
"Maaf, sampai kapanpun aku tidak akan sudi kembali pada laki laki kayak kamu Geng. Dan satu lagi jangan urusi hidupku lagi, karena kita sudah bukan siapa siapa lagi, aku tidak punya urusan dan tidak ada sangkut pautnya dengan hidup kalian. Silahkan saja nikmati hidup kalian yang sekarang. Dan untukmu pak Sugeng yang terhormat, gimana? menyenangkan bukan, di hianati oleh perempuan murahan itu?, aku langsung mengucap syukur loh saat kamu bilang wanita murahan itu selingkuh, kan memang dia dari dulu obral tubuh kesana kemari, jadi wajarlah, dia pergi ninggalin kamu pas kamu sudah kere gini. Luar biasa bukan? Jangan pernah bermimpi untuk aku Sudi kembali padamu lagi. Hidupku dan anakku sudah sangat bahagia. Jika tidak ada yang akan dibicarakan lagi. Silahkan pergi. Pintunya ada disebelah sana."
"Dasar perempuan sombong."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!