Langkah William begitu pasti. Pria berusia 35 tahun itu, tidak melihat kanan dan kiri. Tatapannya terus mengarah ke depan. Mark sang asisten terseok-seok mengikuti langkah panjangnya yang berjalan menuju lift.
“Mark, apa kamu sudah menemukan gadis yang aku inginkan?” tanya William pada mark yang berdiri di sampingnya.
“Sudah tuan. Usianya 24 tahun, masih kuliah, namanya Luna,” jawab mark pasti.
“Apa latar belakangnya?” tanya William penasaran.
“Orang kepercayaan saya mengatakan, dia dari kalangan biasa, kemarin tidak sengaja bertemu di sebuah cafe, akhirnya mereka berbincang. Ronald menawarkan untuk menjadi pasangan kontrak Anda, dan gadis itu setuju!” jelas Mark dengan sopan.
“Baiklah. Atur saja pertemuanku dengannya. Aku tidak mau kecewa untuk yang sudah-sudah.” William tersenyum senang karena mendapat mainan baru.
“Sepertinya ini menarik,” batin William seraya melihat jam tangannya yang telah menunjukkan pukul sembilan pagi.
“Baik tuan, nanti saya akan menghubungi Ronald,” sahut Mark menyanggupi permintaan bos besarnya.
“Hm!” jawab Wiliam tanpa ekspresi. Matanya kini menatap pintu lift, tak ,lama pintu lift terbuka. William melangkah keluar dari lift menuju ruangannya.
Dengan memasang wajah datar dan hanya suara dehemannya saja yang terdengar saat karyawan menyapanya. Ia terus berjalan sampai di ruangannya bersama sang asisten.
“Tuan ini proposal dari perusahaan tuan Burhan,” jelas mark meletakkan dokumennya di atas meja William.
“Burhan?” batin William.
William mengingat Burhan adalah rivalnya, dan kini Daniel mengajukan kerja sama. Apa ini sebuah lelucon? Apa Burhan sedang bercanda dengannya? Oh, ayolah. Apakah ada seorang rival yang mengajukan kerja sama? Rasanya sungguh menggelikan.
“Nanti saja aku memeriksanya. Mark bisakah kau mempercepat pertemuanku dengan gadis itu?” pinta William melihat Mark. William ingin Mark secepatnya mengatur jadwal pertemuan dengan gadis bernama Luna, karena ia tidak bisa berlama-lama jauh dari wanita.
“Baik tuan, Segera saya hubungi Ronald,” jawab mark kemudian Mark keluar dari ruangannya.
William mengerjakan pekerjaannya dengan begitu serius. Karena ia sangat menghargai waktu. Baginya setiap detik adalah berharga. William adalah seorang CEO dan memiliki banyak perusahaan. Namun kisah cintanya tak semulus karirnya. Ada saja ketidak cocokan sampai usianya kini sudah 35 tahun, dan justru ia senang bermain dengan gadis-gadis untuk memuaskan hasratnya.
Waktu terus berjalan hingga jam istirahat pun tiba. Semua pekerjaan William selesai tepat waktu yang ia perkirakan, saatnya ia merebahkan punggungnya di sandaran kursi kekuasaan untuk sedikit merilekskan otot-ototnya.
“Uhhh.... Kenapa Kepala ku tiba-tiba sakit?” gumamnya sambil memijit kedua pelipisnya. Sudah tiga ini William tidak menyalurkan hasratnya, dan itu membuat kepalanya sakit.
TOK...TOK…
Suara pintu ruangannya di ketuk seseorang. Membuat William meliriknya sekilas, lantas menyuruhnya untuk masuk.
“Masuk!” William melirik langkah seseorang yang telah masuk apartemennya.
“Tuan, gadis itu sudah bersedia bertemu dengan Anda!” ucap mark memberitahu bahwa gadis yang ia inginkan sudah bersedia menemuinya.
“Baiklah. Suruh saja datang ke apartemenku, dan mana kunci mobilku? Aku mau pulang,” Jawab William yang masih memijit pelipisnya sambil memejamkan matanya.
“Tapi tuan, jam dua nanti Anda ada meeting,” sergah Mark mengingatkan William.
“Batalkan!” jawab William datar, lalu melihat Mark terburu-buru mengambil kunci mobilnya di kantong jas kemudian memberikan pada William, setelahnya William meninggalkan Mark begitu saja.
“Jangan lupa kirim gadis itu ke
apartemenku!” pinta William sebelum benar-benar melangkah keluar dari ruangannya.
“Baik tuan!” Jawab mark patuh, lalu mengusap dadanya.
Melihat tingkah bosnya yang sering gonta-ganti wanita, lebih tepatnya ini wanita ketiga. Mark terkadang kewalahan harus mengatur jadwal ulang pekerjaannya. Hal itu membuat klien banyak yang komplain. Mark hanya bisa mengulur waktu agar para klien bersabar dan beralasan jika William sangat sibuk.
William mengendarai mobilnya dengan serius. Pria itu hanya ingin secepatnya sampai di apartemennya dan merebahkan tubuhnya. Sesampainya di apartemen, William membuka jas dan kemejanya, ia merasa sesak dengan kemeja dan jasnya. William duduk di sofa dan merebahkan punggungnya sambil menunggu gadis itu datang. Selang beberapa menit, ada sorang gadis masuk dan tentunya dengan bantuan Ronald. Setelah menunggu beberapa saat akhirnya Luna datang bersama Ronald.
“Selamat siang tuan,” sapa Ronald
“Hm!” balas William tanpa melihat Ronald dan masih bersandar di sandaran sofa sambil memejamkan matanya.
“Ini gadis yang Anda inginkan, tuan.”
“Hem! Kau boleh pergi, bonus mu nanti Mark yang akan mengurus!” tegas William tanpa melihat Ronald. Luna yang berdiri di dekat Ronald sedikit takut mendengar suara bas nan tegas milik William.
“Permisi tuan.”
“Hm.”
“Ingat tugasmu puaskan tuan William,” bisik Ronald di telinga Luna sebelum ia keluar.
Luna hanya mengangguk ragu. Setelah Ronald pergi. Luna melihat William masih memejamkan mata dan bertelanjang dada. Luna menggigit bibir bawahnya saat mendekati William, ada rasa takut dan terpesona melihat dada bidang William. Ditambah wajah William yang tampan dan tegas.
“Kau sudah datang?” tanya William tiba-tiba dan itu membuat Luna sedikit terkejut
“Eum.... I-iya tuan! Eum..., maaf tuan sudah mengagetkan Anda,” jawab Luna sedikit gugup terlebih kini William menghampirinya.
“Cantik! Sepertinya ini lebih menarik,” batin William
“Kamu sudah tahu tugasmu?” tanya William seraya mengangkat dagu Luna dengan jarinya. Luna bertambah gugup akan tetapi ia harus profesional.
“Saya sudah mengetahui tugas saya tuan. Sekarang tuan boleh melakukan apa saja pada saya,” bisik Luna di telinga William.
William menarik pinggang Luna hingga wajahnya bertemu, nafas mereka saling beradu membuat jantung Luna semakin tak beraturan. William tersenyum melihat kegugupan Luna.
“Kau gugup.” William melihat detail wajah cantik Luna.
“Sedikit, tuan. Ini pertama kalinya.”
William melepaskan tangannya dari pinggang Luna dan mengajaknya duduk di sofa.
“Santai saja. Aku tidak terburu-buru. Aku juga butuh mengenal dirimu lebih dulu.” Luna sekilas melihat William dan tersenyum malu.
Luna tersenyum dalam hati rupanya William tampan dan gagah. Dugaannya salah sudah mengira William pria botak dan gendut.
“Berapa usiamu?" Tanya William sambil menyesap rokoknya.
“24 tahun , tuan.”
“Kau masih kuliah?” Luna mengangguk.
“Semester akhir,” ujar Luna.
William tersenyum dalam hati. Mangsanya kali ini sungguh berbeda. Lebih muda dan lebih cantik. Tidak seperti wanita yang pernah ia kontrak.
“Kemari!” pinta William menepuk pahanya agar Luna duduk di pangkuannya.
Luna berdiri dengan ragu lalu menuruti perintah William. Ini pengalaman pertamanya bagi Luna bermain-main dengan pria usia jauh di atasnya dan terbilang cukup matang. Namun, ia juga cukup dewasa bagaimana memahami keinginan William.
“Kau cantik! Kenapa mau menerima tawaran dari anak buahku?” tanya William sambil menyibak rambut Luna lalu membimbing tangannya agar melingkar di lehernya.
“Saya membutuhkan uang untuk biaya kuliah, tuan.”
“Ok. Baiklah. Jalankan tugasmu maka aku akan memberikan apa yang kamu mau!” William kini memulai aksinya dan Luna hanya menurut saja.
William mengambil surat kontrak untuk hubungannya dengan Luna. Surat yang memang ia persiapkan untuk wanita yang ia kehendaki sampai jangka waktu atau lebih tepatnya sampai William bosan.
“Ini surat kontrak hubungan kita. Baca baik-baik! Jika ada yang kamu tidak setuju, nanti aku akan menghapusnya,” ucap William pada Luna yang duduk di sofa.
Luna membacanya dengan teliti dan ia tidak keberatan dengan isi kontrak tersebut. Termasuk melayani William di atas ranjang dan itu sudah terjadi Ia juga harus siap jika William meninggalkannya ketika William sudah bosan. Luna sadar apa yang ia lakukan sangat merugikan dirinya. Akan tetapi, ia juga sama seperti William yaitu mencari kepuasan dan kesenangan.
“Inti poin pertama kamu harus selalu siap dan ada untukku, saat aku membutuhkanmu. Kapanpun dan dimanapun kamu harus siap. Bayaran mu akan aku berikan lebih jika kamu bisa membuat aku puas seperti tadi’,” jelas William melihat Luna.
“Baik tuan. Saya mengerti,” balas Luna pasti tanpa ragu kemudian menandatangani surat kontrak tersebut.
“Ini kartu kredit untukmu terserah kamu ingin membeli apa. kartu itu tidak ada batasannya. Itu bayaranmu,” ujar William meletakkan kartu kreditnya di pangkuan Luna.
“Terima kasih tuan.”
“Mau untuk apa uang sebanyak itu?” tanya William melihat Luna yang tidak begitu terkejut dengan bayarannya karena ia sudah biasa memegang kartu kredit dengan isi yang tidak ada batasannya. Karena sejatinya ia anak dari orang kaya.
“Saya mau mentraktir tuan. Boleh?” Keduanya tertawa lalu berpelukan.
“Boleh, kapan?” canda William.
“Menunggu tuan, ada waktu.” Keduanya kembali tertawa seolah mereka sudah sangat dekat dan kenal lama.
William kemudian merebahkan kepalanya di pangkuan Luna dan meminta Luna untuk mengusap rambutnya. Perlahan William memejamkan mata mungkin ia benar-benar lelah bekerja dan lelah bertempur dengan Luna.
Perlahan Luna mengangkat kepala William dan memberinya bantal. Luna menoleh ke arah dapur. Kemudian ia menuju dapur untuk mengambil air minum. Luna merasa tidak ada makanan. Ia mencari-cari makanan di lemari pendingin.
Gadis itu hanya menemukan beberapa bahan makanan di lemari pendingin, tanpa diperintah Ia segera memasaknya, karena dirinya juga sangat lapar. Luna membuat ayam goreng tepung dan sayur capcay. Karena hanya bahan itu yang ada di lemari pendingin. Sesekali ia melihat William yang tertidur pulas. Ia teringat kakaknya yang usianya sama dengan William. Namun kakaknya selalu kasar dan tidak peduli dengannya, ditambah Papanya juga tidak pernah mempunyai waktu untuknya. papanya selalu sibuk dengan pekerjaannya yang tidak ada habisnya .
“Sudah selesai. Aku harus mencuci perkakas ini sebelum sang empunya bangun,” batinnya lalu mencuci semua perkakasnya.
Saat hampir selesai mencuci sisa perkakasnya, tiba-tiba ada tangan melingkar di perutnya dan menciumi pipinya. Siapa lagi kalau bukan William.
“Apa yang kamu lakukan?” tanya William yang masih memeluknya. Terpaksa Luna menghentikan aktivitasnya lalu memiringkan kepalanya dan tersenyum.
“Saya sedang mencuci bekas saya memasak, tuan. Maaf, saya tadi memasak karena saya lapar. Saya yakin Anda juga lapar.” Luna memutar badannya menghadap William dan melingkarkan tangannya di lehernya.
“Kamu sangat pengertian,” Balas William sekilas mengecup bibir Luna.
“Karena hidup juga butuh makan tuan, agar berenergi dan bertenaga.” Jelas Luna ambigu, William tersenyum simpul mendengar ucapan Luna karena William tahu maksud Luna.
“Gadis pintar.” Puji William meraih pinggang ramping Luna dan jarak mereka sangat dekat. Tatapan mereka saling bertemu. William sepertinya kecanduan bibir ranum miliknya Luna, rasanya manis dan menarik seperti magnet.
“Tuan, bagaimana kalau kita makan lebih dulu. Saya lapar.” Luna sedikit menghindar Kontak mata dengan William. Ia tidak tahan dengan tatapan William yang begitu dekat.
“Baiklah. Ayo!” William duduk di kursi. Luna mengambilkan makananya, setelahnya baru ia mengambil untuk dirinya sendiri.
“Maaf tuan, hanya ini yang saya bisa.”
“Tidak masalah, aku menyukai masakan rumahan,” Jawab William sambil mengarahkan sendok ke mulutnya lalu mengunyahnya.
William merasakan masakan Luna yang pas di lidahnya, tidak menyangka gadis 23 tahun di hadapannya itu pandai memasak. Tidak seperti gadis-gadis lain yang ia kontrak sebelumnya mereka hanya ingin makan di hotel dan restoran mewah. Luna tersenyum memperhatikan sang tuannya yang sangat menikmati masakannya.
“Dari mana kamu belajar memasak?” tanya William di sela makannya.
“Mama. Saya belajar dari mama, saat mama masih hidup setahun yang lalu," jelasnya sendu kemudian tersenyum menutupi rasa sedihnya jika mengingat Mamanya.
William sadar atas ucapannya yang sepertinya sudah membuat Luna merasa bersedih, ia langsung meraih jemari Luna dan mencoba menghiburnya.
“Maaf!” sesal William.
“Tidak apa-apa tuan, semua sudah berlalu,’’ jawab Luna lalu tersenyum. Keduanya melanjutkan makannya sampai selesai.
Flashback
Luna duduk di sudut kafe miliknya. semenjak Mamanya meninggal dunia, Luna merasa sangat kesepian terlebih Kakak dan Papanya sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Untuk mengusir rasa bosan di tengah kesibukan kuliah yang sudah memasuki semester akhir ia sering datang ke kafe milik almarhum Mamanya sambil mengerjakan skripsi.
Semenjak ia yang mengelola cafe. Cafe Mamanya banyak pengunjung, karena Luna merubah konsep dan menunya. Di usia 18 tahun dan sampai kini 23 tahun ia hanya berkutat di kampus dan kafe. Walau kegiatannya begitu banyak masih saja merasa bosan, dirinya merasa tidak ada yang peduli dengannya. Apa lagi Kekasihnya juga terlihat manja.
“Hai! Boleh saya duduk disini?” sapa seseorang tiba-tiba padanya.
“Silahkan tuan, tempat ini bebas," jawabnya tersenyum sopan.
“Kau terlihat bersedih, Apa ada masalah?” tanya pria tersebut memperhatikan paras cantik Luna, namun Luna hanya tersenyum tipis.
“Oh ya, perkenalkan namaku Ronald.” Ronald mengulurkan tangannya. Luna sedikit ragu menjabat tangan Ronald.
“Luna.”
“Nama yang indah dan cantik seperti orangnya, tapi sepertinya pemilik nama indah ini sedang bersedih,” goda Ronald.
“Tuan bisa saja, iya saya memang sedang bersedih,tuan. Karena saya harus membayar uang semester akhir kuliah saya, tapi saya belum mempunyai uang.”
“Itu perkara mudah, aku bisa membantumu jika kau mau. Sebenarnya aku mencari seorang gadis untuk teman kencan bos ku,” jelas Ronald memberitahu maksud dan tujuannya datang ke kafe milik Luna, namun Ronald tidak mengetahui jika cafe yang ia kunjungi Luna.
“Teman kencan?” tanya Luna penasaran.
“Iya, kau minat? Tapi ini bukan hanya kencan biasa, melainkan harus mau di ajak di atas ranjang.”
“Apa pekerjaan bos mu?”
“Beliau seorang CEO dan pemilik perusahaan di sebuah perusahaan konstruksi dan batubara, hidupmu pasti terjamin.”
Sejenak Luna berpikir tidak ada yang salah jika menerimanya. Dirinya juga kesepian butuh seseorang untuk teman cerita dan bersandar saat ia bersedih.
“Baiklah. Akan saya coba!” tegas Luna tanpa Ragu.
“Ok! Ini kartu nama saya dan maaf nona, berapa nomor ponsel Anda?” Luna kemudian mengambil kertas dan menulis sederet angka ponselnya kemudian memberikan pada Ronald.
“Ok! Siapkan dirimu Nona, mungkin besok saya akan menghubungimu, dan siapkan dirimu untuk urusan ranjang. Karena bos ku tidak menyukai gadis pasif, bos ku lebih suka gadis liar. Untuk bayaran, kau tenang saja. Bos ku sangat pengertian. Tergantung kau bisa memuaskan dirinya atau tidak! Permisi.” Ronald kemudian pergi dari cafe dan Luna tersenyum membayangkan dirinya menjadi ****** bos besar, dan keputusan sudah bulat.
Flashback off
Luna dan William duduk di sofa sambil menonton televisi. Luna menyandarkan kepalanya di pundak William sesekali mengusap lembut pipinya.
“Kenapa kamu diam, ceritakan kegiatanmu padaku,” ucap William meraih pinggang ramping Luna.
“Tidak ada yang istimewa tuan, saya kuliah dan kebetulan takdir mempertemukan saya dengan Anda.” Luna merebahkan kepalanya di pangkuan William.
Luna hanya ingin lebih dekat dengan William, entah mengapa di dekat William ia merasa diperhatikan. Perhatian yang tidak pernah ia dapatkan dari Papanya. Ia sadar perhatian yang di dapat dari William pastilah berbeda ada imbalan yang harus ia bayar dengan tubuhnya.
“Tuan! Boleh saya tahu tentang Anda?”
Luna melihat mata William begitu dalam. Rasa keingintahuan Luna tentang kehidupan pribadi William sangat terlihat jelas di mata William. Akan tetapi, William tidak mungkin menceritakan semua masalah pribadinya dan kehidupan pribadinya.William tersenyum lalu membuang pandangannya melihat televisi.
“Jaga batasanmu sayang, cukup dirimu tahu aku tuanmu, tugasmu memuaskanku bukan mengetahui kehidupan pribadiku.”
William melihat Luna yang merasa bersalah tidak menjaga jarak dan tau statusnya. William memaklumi gadis seusia Luna sudah pasti keingintahuannya pasti tinggi.
“Maaf tuan.”
Luna kemudian bangkit dari pangkuan William dan menuju dapur. Sejak kapan dirinya ingin tahu kehidupan orang lain. Apa dirinya sudah tertarik dengan pria yang sudah membayar mahal padanya?
“Bodoh! Kenapa aku harus menanyakan hal itu? Ya ... aku memang bodoh sudah merelakan semuanya untuk dirinya, cukup Luna! tujuanmu hanya mencari kesenangan,” batin Luna sambil membuat coklat panas untuk William.
William menatap gadis yang tengah berdiri di pantry dapur miliknya dan sedang membuat sesuatu, William memperhatikan mimik wajah Luna yang merasa bersalah sudah bertanya tentang kehidupan pribadinya. Akan tetapi William tidak mau tahu perasaan gadis tersebut. Yang terpenting dirinya sudah membayar mahal.
Luna berjalan sambil membawa cokelat panasnya dan meletakkannya di meja di depan William.
“Silahkan tuan, saya minta maaf atas kelancangan saya menanyakan kehidupan pribadi tuan!” ucap Luna memilin ujung kemejanya yang kebesaran karena kemeja yang ia kenakan milik William.
“Pulanglah, Besok sore datang lagi kemari!.” Luna menatap tidak percaya, rupanya laki-laki di depannya ini bisa berubah menjadi dingin tidak sehangat saat di atas tempat tidur. Luna semakin kecewa karena ia berharap William bisa menjadi tempat sandaran keluh kesahnya.
“Baik tuan. Permisi.” Luna kemudian menuju kamar untuk mengganti bajunya. Mungkin Luna memang salah tidak seharusnya menanyakan kehidupan pribadinya, apa lagi mereka baru saja saling mengenal.
“Tuan! saya permisi,” Pamit Luna mengulurkan tangannya. William melihat Luna begitu dalam, selama ini tidak ada yang berani mengulurkan tangan padanya kecuali rekan bisnisnya. Luna merasa uluran tangannya diabaikan ia pun memberanikan diri meraih dan mencium punggung tangan William.
Ada perasaan lain muncul di hati William ketika melihat Luna mencium punggung tangannya. Rasa seperti di hargai dan di hormati.
“Permisi Tuan!” Pamit Luna lagi kemudian melangkah meninggalkan William, namun saat Luna hendak memegang kenop Pintu tiba-tiba William meraih lengannya dan terhempas di pelukannya. William memeluknya dengan erat seolah menemukan sesuatu yang hilang.
“Jangan pergi tetap di sini.”
“Tuan, tolong lepaskan saya, saya tidak bisa bernafas!” Seru Luna yang hampir sesak nafas karena William begitu erat memeluknya.
Luna bingung melihat raut wajah William yang kini menatapnya penuh arti.
“Tuan, tuan kenapa? Apa saya salah lagi?” William justru langsung memeluk Luna.
“Jangan pergi!” Luna tersenyum dan akhirnya mereka berakhir di atas tempat tidur kembali.
Ada perasaan heran di hati Luna kenapa tiba-tiba laki-laki di atasnya saat ini berubah begitu cepat. Apa yang membuatnya berubah. Tatapan begitu lembut tidak seperti pertama kali yang begitu buas.
Pagi hari William bangun dan melihat Luna sedang berjalan ke arah kamar mandi dengan susah payah karena pangkal pahanya terasa sakit, akibat ulahnya. Walau William melakukan dengan lembut, tetapi ini adalah pengalaman pertama bagi Luna dan sungguh menyakitkan.
“Kau bisa jalan?” suara berat itu terdengar, membuat Luna sedikit terkejut dan berhenti melangkah lalu menoleh ke arah William yang sedang tidur miring memperhatikan dirinya.
“Tuan, tuan sudah bangun?”
William tak menjawab iya bangkit dari tidurnya dan menghampiri Luna. Luna menahan tawa melihat William yang tidak mengenakan apapun dan bagian intinya terlihat mengecil.
“Kamu kenapa?” William melihat Luna yang menahan tawa. William melihat dirinya sendiri dan paham yang di maksud Luna.
“Tidak usah tertawa, ayo!” ajak William membopong Luna masuk ke kamar mandi, dan mereka mandi bersama.
Setelah mandi mereka mengganti baju kemudian Luna keluar kamar dan menuju dapur dan membuat sarapan dan tidak lupa membuatkan kopi untuk William.
“Tuan ini sandwich-nya.” Luna memberikan piring berisikan sandwich untuk William.
“Hm.”
William sekilas melihat Luna yang duduk di sampingnya. William memandangi wajah cantik Luna. Gadis muda yang hadir dengan segala keunikannya dan berbeda dengan wanita yang pernah ia kontrak menjadi pasangannya dahulu.
Pasangan kontraknya dahulu hanya mementingkan uang setelah memberikan kepuasan ranjang untuknya. Sementara Luna bukan hanya di tempat tidur bahkan perutnya pun Luna puaskan.
Lamunannya William buyar saat ponselnya berbunyi. William melihat nama yang tertera di layar ponselnya yang ternyata adalah Mamanya.
“Mama,” Gumamnya lalu membuka pesan dari Mamanya.
“Kapan kamu pulang nak, Mama mau kenalin kamu sama anak teman Mama. Namanya Sonya.”
“Nanti sore William pulang Ma, terserah Mama, yang jelas William gak suka dijodohin.”
Begitu isi pesan antara William dan Mamanya. William kemudian memandangi Luna kembali sambil menyeruput kopinya.
“Kenapa kamu diam, ceritakan keluarga dan keseharianmu padaku,” ucap William di sela sarapannya
“Em ... bukankah hubungan kita sebatas saling memuaskan tuan, bukankah tuan sendiri tidak ingin bercerita hal-hal pribadi.”
William terdiam seolah ucapan kemarin berbalik pada dirinya sendiri. Luna melihat William terdiam pun menjadi serba salah. Kemarin tidak ingin membahas masalah pribadi kenapa sekarang justru ingin tahu pribadinya.
“Saya bersedia. Jika tuan tidak keberatan mendengar keluh kesah saya yang mungkin akan membuat tuan bosan.”
William masih diam dan asyik menikmati sandwich buatan Luna dan membiarkan Luna mengoceh, hanya sesekali melihat Luna sambil mengangguk tanda ia siap mendengarkan.
“Saya kuliah tuan, saya mempunyai Kakak laki-laki seusia Anda, Papa Saya bekerja, Saya tinggal di..., di kosan,” ujar Luna sempat memikirkan tempat tinggalnya, tidak mungkin ia membuka semua identitasnya.
“Mama saya sudah meninggal, sebenarnya saya ingin mempunyai Mama lagi tapi, papa tidak mau menikah lagi.”
“Mulai sekarang tidak usah memikirkan Mama baru untuk bermanja-manja. Bermanja saja denganku.”
“Apa boleh, tuan?”
“Tentu. Tapi kamu juga harus memanjakanku seperti tadi malam!”
“Baik tuan! Terima kasih.” Luna begitu bahagia dan langsung mengecup pipi William.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!