NovelToon NovelToon

Takdir Cinta Riana

Bab 1. Gaun Pengantin

"Cantik." Fikri mengangkat kedua tangannya, lalu mengarahkan jempol pada Riana yang sudah terlihat begitu cantik dengan gaun berwarna putih

Riana tersenyum, lalu segera membalik tubuhnya dengan wajah yang bersemu. Pujian sederhana itu, membuat jantungnya berdebar tidak karuan.

Hari ini, Riana dan Fikri mendatangi salah satu butik yang sudah di siapkan oleh sang Ibu untuk melakukan fitting baju pengantin. Kebaya khas pengantin, juga satu buah gaun panjang yang indah terlihat begitu pas di tubuh Riana.

Sedangkan Fikri, memang sudah sejak tadi menyelesaikan fitting baju nya. Karena memang baju yang di siapkan untuknya hanya berupa dua pasang jas putih untuk akad nikah, dan satu stelan lagi untuk resepsi nanti.

Setelah Riana kembali ke dalam ruang ganti, Fikri kembali sibuk dengan laporan-laporan pekerjaan di hotel yang masuk ke dalam ponselnya.

Rianti, calon ibu mertuanya memang sudah mempercayakan seluruh pengelolaan hotel padanya. Wanita yang masih begitu bersemangat bekerja itu, hanya akan memantau kafe dan restorannya.

Beberapa saat menunggu, Riana kembali melangkah keluar dari dalam ruangan untuk menemui calon suaminya.

"Kamu boleh kok minta izin ke Ibu untuk tidak mengurus pekerjaan dulu sampai acara pernikahan kita selesai." Ujar Riana saat tiba di dalam ruangan di mana Fikri berada, dan laki-laki tiu masih terlihat begitu fokus dengan benda pipih di tangan tanpa menyadari kedatangannya.

"Enggak kok, aku hanya mengecek aja. Lagian keperluan pernikahan kita kan sudah rampung." Jawab Fikri. Ia segera memasuki benda pipih dengan layar beberapa inci itu ke dalam tas punggungnya, lalu beranjak dari sana. "Mau pulang apa mau makan siang dulu?" Tanya nya kemudian.

"Hari minggu kok masih sibuk aja. Gimana nanti setelah nikah, aku pasti bakal di anggurin sama kamu." RIana masih memasang mode ngambek, karena Fikri yang terus saja sibuk dengan pekerjaan padahal sebentar lagi mereka akan menikah.

Fikri tertawa kecil, ia lalu meraih tangan Riana dan membawa calon istrinya itu menuju mobil.

"Aku harus kerja keras biar bisa bahagiakan kamu, Riana." Jawab Fikri.

"Apa sih. Lagi pula, perusahaan itu akan tetap jadi milik kamu juga kok. NGapain harus susah-susah, bukannya di sana ada karyawan juga." Riana masih belum terima.

Fikri segera menggeleng tegas. Laki-laki itu membukakan pintu, lalu dengan hati-hati menuntun Riana masuk ke dalam. Setelah memastikan Riana sudah duduk nyaman di dalam mobil, Fikri kembali menutup pintu mobil itu dengan perlahan. Ia lalu memutari bagian depan mobil, lalu ikut masuk ke dalam melalui pintu di sisi lain mobil dan duduk di kursi kemudi.

"Ibu sudah memberiku kepercayaan. Tidak hanya menjaga perusahaan, tetapi juga menjaga mu. Untuk itu, aku harus menjaga keduanya dengan bersungguh-sungguh. Kamu tahu Riana, hal yang paling aku syukuri saat ini adalah bisa mengenal Zahra." Ujar Fikri membuat Riana semakin cemberut. Tadinya ia hanya cemburu karena Fikri lebih mementingkan pekerjaan dari pada dirinya, namun kali ini laki-laki yang sebentar lagi akan menjadi imamnya ini, membawa nama Zahra dalam perbincangan mereka.

"Udah ah, malas ngomong sama kamu." Ujar Riana.

Fikri tertawa geli melihat tingkah Riana yang biasanya selalu judes, kini terlihat bermanja padanya.

"Karena Zahra aku bisa menemukan gadis seistimewah dirimu." Ujar nya sambil menyentuh ujung hidung Riana, membuat pipi gadis itu seketika memerah.

"Apa sih." Jawab Riana sambil memalingkan wajah, agar pipinya yang merona tidak terlihat oleh laki-laki yang selalu saja mampu membuat denyut jantungnya menggila.

Beberapa saat kemudian, mobil yang di kendarai Fikri mulai melaju meninggalkan pelataran butik menuju restoran terdekat. Namun, belum juga tiba di restoran, Riana mintra diantarkan ke tempat lain.

"Kamu harus makan siang dulu, Riana." Ujar Fikri saat Riana mengatakan tidak ingin singgah di restoran untuk makan siang.

"Kita ke rumah Aunty El dan Om Ken. Aku sudah janji mau makan siang di rumah mereka, sekaligus memberikan ini." Riana mengangkat dua lembar undangan yang baru saja ia keluarkan dari dalam tas nya.

"Ya sudah." Jawab Fikri setuju.

Jalanan di ibu kota Jakarta memang akan terlihat begitu ramai saat jam makan siang seperti ini. Untuk itu, membutuhkan waktu yang cukup lama hingga mobil keduanya bisa tiba di depan sebuah rumah yang begitu megah.

"Ini rumah milik suami Zahra ya?" Tanya Fikri.

"Bisa nggak kamu tuh jangan selalu membawa nama Zahra. Kan aku jadi cemburu banget." Riana menatap Fikri penuh permohonan.

Fikri tertawa keras. Mengusap lembut puncak kepala Riana yang tertutup hijab, lalu mengajak gadis itu keluar dari dalam mobil.

"Fikri, janji dulu." Riana menghadang tubuh tinggi Fikri, agar mengiyakan permintaannya tadi.

Fikri semakin di buat tertawa oleh sikap polos Riana. Padahal gadis di hadapannya ini sudah lebih tua dari Zahra.

"baiklah." Jawabnya.

"Janji?" Tanya Riana memastikan.

"Iya, aku janji." Fikri kembali mengusap lembut puncak kepala Riana.

Keduanya lalu melangkah menuju pintu dengan ukiran kayu yang cukup mewah, lalu mengetuknya.

"Assalamualaikum, Aunty." Ucap Riana saat pintu rumah itu di buka oleh wanita cantik yang tak pernah pudar oleh usia.

"Waalaikum'salam, Ri. Ayo mari silahkan masuk, Nak." Ajak Eliana seetlah dua orang yang ada di depan rumah sudah menyalami punggung tangannya bergantian.

Riana dan Fikri melangkah masuk ke dalam rumah mewah itu, dan duduk di ruang tamu.

"Zahra di mana, Aunty?" Tanya Riana.

"Ada di dapur lagi siapin makan siang." Jawab Eliana.

"Om dan Riyan di mana?" Tanya Riana lagi.

"Ada di ruang keluarga." Jawab Eliana lagi. "Ayo langsung ke sana aja. Aunty juga mau bantuin Zahra menyiapkan makan siang." Ajaknya.

Riana mengangguk, kemudian mengajak Fikri untuk masuk ke dalam ruang keluarga.

"Hai Om." Riana melangkah menuju Kenan yang sedang sibuk membalik lembaran majalah bisnis di tangannya.

"Eh ada Riana." Kenan mengulurkan tangannya, dan langsung di sambut Riana.

Beberapa saat kemudian, Zahra keluar dari pintu pembatas ruangan. Wanita cantik dengan perut buncit itu sedikit terkejut saat mendapati seseorang yang ia kenal sejak kecil, berada di rumah mertuanya.

"Ciee.. Yang bentar lagi mau jadi Ayah." Ledek RIana.

Riyan yang tidak pernah melihat sisi humoris Riana, hanya bisa menatap kaka sepupunya itu heran.

"Mbak baru keliatan." Ujar Zahra. Wanita cantik itu menakup kedua tangannya di atas dada dan mengangguk sopan pada laki-laki yang juga sedang menatap ke arahnya.

"Aku mau kasih ini, Ra." Riana mengulurkan dua lembar undangan ke arah Zahra.

Zahra menerima dua lembar kertas itu dengan sangat hati-hati.

"Akhirnya Kakak Riana mau nikah juga." Ucap Riyan tertawa geli.

"Tuh ada calon suaminya." Kenan menunjuk Fikri yang sedang duduk canggung di sofa yang sama dengan dirinya. "Om Kean sudah memberitahu Ayah soal rencana pernikahan itu." Sambungnya.

Zahra tersenyum, sembari mengucapkan kalimat penuh syukur di dalam hatinya. Yah, Fikri orang baik, dan pasti akan di pertemukan dengan orang baik pula.

Bab 2. Kepulangan Gio dan Meisya

Di tempat lain di Jakarta, sepasang suami istri yang baru beberapa bulan ini resmi menjadi sepasang suami istri, sedang melangkah keluar dari area Bandara sambil menautkan kedua tangan mereka. Meisya dan Gio berencana menggelar resepsi pernikahan mereka di Jakarta. Karena memang, banyak teman serta kerabat mereka yang tidak sempat menghadiri acara pernikahan mereka di Singapura.

Sepasang pengantin baru itu, nampak terlihat begitu bahagia menjalani pernikahan mereka. Keadaan yang meraka alami, berbanding terbalik dengan apa yang mereka perlihatkan saat ini.

Meskipun keduanya menikah karena alasan tertentu, sama sekali tidak memudarkan rasa bahagia di wajah keduanya. Pernikahan tanpa didasari dengan cinta yang menggebu, tak serta merta membuat pernikahan keduanya hambar.

Justru karena belajar saling mencintai setelah pernikahan, membuat keduanya begitu terlihat bahagia. Merasakan bagaimana debaran jantung yang menggila, setelah pernikahan merupakan hal yang begitu luar biasa, dan tidak semua orang beruntung dapat merasakan hal itu.

Tidak perlu seperti apa di awal cerita, yang terpenting adalah bagaimana cerita itu berakhir. Begitulah yang di yakini Meisya saat ketika menerima lamaran Gio. Belajar dari kisah sebelumnya. Manis bagaikan madu di awal cerita, namun berakhir dengan kekecewaan. Akan tetapi, itulah yang di namakan hidup. Tidak ada satu manusia pun yang bisa menebak akan seperti apa akhir dari perjalananan cintanya. Percayalah, Tuhan tidak akan pernah salah dalam memilihkan jodoh untuk umat Nya.

Langkah kaki Meisya berhenti di pelataran Bandara. Sopir pribadi keluarga Gio sudah menunggu kedatangan mereka di sana. Bahkan gadis Gadis bernama Gia, baru sekali bertemu dengannya saat akad nikah di Singapura beberapa bulan yang lalu, ikut menyambut kepulangan mereka ke tanah air.

"Aku kangen banget loh." Ujar Gia. Gadis itu menghambur masuk ke dalam pelukan Meisya.

Meisya menoleh, menatap wajah Gio. Setelah mendapat anggukan kepala dari suaminya itu, ia akhirnya ikut membalas pelukan di tubuh adik iparnya.

Apakah seperti ini rasanya di inginkan dalam keluarga? Tidak bukan begitu. Bukan berarti keluarga Riyan tidak ingin menerimanya dulu. Ia dan Riyan lah yang salah dalam memilih keputusan.

"Aku juga." Jawab dokter cantik itu.

Pelukan Gia lantas berpindah pada tubuh sang kakak. Setelah merasa bersalah karena tidak menyadari perasaan sang kaka pada sahabatnya beberapa tahun yang lalu, kini Gia benar-benar merasa lega, karena laki-laki yang sedang memeluknya erat ini, berhasil menemukan seseorang sebaik Meisya.

"Kok Mama ngga datang?" Tanya Gio saat pelukan ke duanya terurai.

"Mama sibuk banget karena terlalu antusias mempersiapkan resepsi pernikahan kalian." Jawab Gia. Gadis cantik itu melangkah menuju mobil, kemudian mempersilahkan sepasang pengantin baru itu masuk ke dalam mobil. Sedangkan sopir pribadi keluarga, mulai memasukkan dua buah koper milik Gio dan Meisya ke dalam bagasi mobil.

Setelah semua barang berhasil masuk ke dalam mobil, laki-laki paruh baya itu melajukan mobil mewah milik keluarga Gerald meninggalkan pelataran Bandra dan mulai melaju di jalanan jakarta.

Meisya melihat keluar jendela mobil. Menatap lalu lalang kendaraan yang ikut melaju di jalanan yang sama. Wanita cantik itu bahkan menurunkan kaca jendela mobil, dan membiarkan angin menerpa wajah cantiknya. Rambut panjang nya, ia biarkan ikut di terbangkan oleh hembusan angin yang masuk ke dalam jendela mobil.

Dokter cantik itu menatap jalanan yang memiliki kenangan indah selama beberapa tahun, lalu berbalik menjadi buruk hanya dalam semalam. Bukan ingin mengenang sesuatu yang telah berlalu, namun, bukan manusia namanya jika tidak akan kembali teringat pada suatu kejadian yang pernah menimpa dirinya, saat kembali menginjakkan kaki di tempat yang masih menyimpan banyak kisah perjalanan hidupnya.

"Mau menginap di hotel? Sekalian kita lihat persiapan resepsi pernikahan." Tawar Gio, membuat lamunan tentang masa lalu yang kembali teringat di pikiran Meisya, buyar. Wanita cantik itu menoleh, menatap wajah suaminya kemudian tersenyum bersama dengan gelengan kepala.

"Aku ingin melihat kamar masa kecil suami ku." Jawab nya.

Gio ikut tersenyum, kemudian mengangguk paham. Laki-laki tampan itu meraih tangan istrinya, kemudian menggenggamnya dengan sangat erat. Bukan hanya Meisya yang memiliki kenangan yang kurang mengenakan di tempat ini. Namun, begitulah hidup. Suka atau tidak, mau atau tidak, apapun yang terjadi di masa lalu tetap harus di lewati.

Perjalanan dari Bandara Singapura tidak terlalu membutuhkan waktu yang lama. Namun, ia pun ingin beristirahat, terlebih ia memang sangat merindukan rumah lamanya. Rumah yang menyimpan banyak kenangan masa kecilnya.

karena jalanan memang tidak pernah sepi, membuat mobil yang membawa Meisya dan Gio, menghabiskan waktu yang cukup lama di jalanan. Selama perjalanan dari Bandara menuju rumah, Gio tak sekalipun melepaskan genggamannya di tangan Meisya, seakan ingin mengatakan pada istrinya itu, jika mereka akan menghadapi kenangan masa lalu itu bersama-sama.

Mungkin bukan menghapus, hanya ingin memilah kenangan apa saja yang perlu di ingat dan yang tidak. Terkadang kita perlu mengingat kenangan buruk itu sebagai pembelajaran, agar di kemudian hari tidak lagi merasakannya.

Mobil yang hampir satu jam yang lalu melaju di jalanan, kini mulai memasuki pelataran rumah. Meisya menatap lekat rumah megah yang baru pertama kali ia datangi itu dengan tatapan penuh takjub. Ia bukan berasal dari keluarga sederhana. Mommy dan Daddy nya juga berasal dari keluarga yang cukup terpandang, namun, melihat rumah megah milik mertuanya membuat nya kagum.

"Aku tidak tahu kamu sekaya ini, pesepeda tampan." Meisya tertawa geli dengan kalimatnya. "Apa aku sudah terlihat seperti wanita matre?" Tanyanya masih di iringi tawa geli.

"Aku miskin, Nyonya. Ini milik mertua mu." Jawab Gio sambil ikut tertawa. Ia lalu keluar lebih dulu dari dalam mobil, kemudian menuntun istrinya itu keluar dari dalam mobil yang sama.

"Loh Mama sudah di rumah?" tanya Gia. Gadis cantik itu melangkah cepat menuju wanita cantik yang tak termakan usia, lalu menyalami punggung tangan wanita cantik itu.

Gio dan Meisya pun melakukan hal yang sama. Bedanya, Adelia menarik tubuh menantunya dan memeluk tubuh itu erat.

"Terimakasih sudah membawa anak Mama pulang." Ucapnya tulus.

Meisya tersenyum, kemudian mengangguk.

"Terimakasih juga sudah melahirkan laki-laki sebaik Gio, Ma." Jawabnya.

Adelia lalu mengajak anak-anaknya masuk ke dalam rumah dan langsung di sambut oleh Gerald, yang baru saja keluar dari ruang kerjanya.

Laki-laki yang masih terlihat bugar di usianya yang mulai menua itu, langsung menyambut putranya dengan pelukan hangat. Setelah sekian purnama, kini putranya kembali.

****

*NoteAuthor

Mungkin ada yang belum baca kisah Adelia, ayok mampir ke Wanita Kedua. Ada kisah Adelia dan Gerald di sana. Juga sepenggal kisah Gio dengan cinta bertepuk sebelah tangan ♥️

Bab 3. Pasangan Halal

Warning!!

Mohon bijak dalam memilih bacaan. Jika merasa masih belum cukup umur, mohon di skip ya 🙏

Meskipun konten ini tidak vulgar, tetap saja menjurus ke hal dewasa.

Terimakasih sudah berkunjung 😘

*****

"Apa kalian saling mengenal?" Tanya Riyan pada Zahra, sambil mengusap lembut perut istrinya yang semakin membuncit. "Aku lihat kalian cukup dekat." Sambungnya lagi.

Zahra menarik kepalanya dari dada Riyan, lalu menatap suaminya itu bersama senyum geli. Intonasi kalimat yang sedikit mengganggu, membuat wanita cantik itu merasa bahagia. Pertanyaan penuh selidiki dari sang suami, membuatnya merasa di miliki.

"Dia salah satu anak di panti asuhan Ibu." Jawab Zahra lalau kembali menenggelamkan wajahnya di tempat favoritnya. Menghirup wangi maskulin yang menguar dari dada bidang Riyan yang masih tertutup piyama.

Malam mulai larut. Namun, sepasang suami istri yang masih terjaga di atas ranjang mereka, seakan tidak pernah kehabisan topik pembahasan. Waktu singkat setelah pernikahan, di tambah dengan masalah yang seakan tidak pernah mau pergi dari rumah tangga mereka dulu, membuat keduanya hampir tidak pernah merasakan bagaimana menjadi sepasang suami istri yang sesungguhnya.

"Aku lihat laki-laki seperti pernah memiliki perasaan padamu." Riyan masih belum berniat mengakhiri pembahasan tentang kecemburuannya. "Aku tidak akan tergoda!" Kesal laki-laki itu, karena wanita yang sedang di cemburui olehnya hanya menggesek-gesek hidung di atas dadanya.

Zahra tertawa mendengar kalimat kesal tiu, Namun, ia tidak menghentikan aktivitasnya. Biasanya si tukang penyelidik ini akan berhenti jika ia melancarkan aksi menggoda seperti ini.

"Hentikan, Zahra!" Riyan menarik tubuh istrinya yang mulai membulat karena kehamilan itu, lalu menatap wajah cantik yang tidak pernah membuatnya bosan itu, dengan lekat..

Zahra kembali tertawa kecil Hingga beberapa saat kemudian, tawa di bibirnya seketika lenyap karena laki-laki yang terus saja menatapnya intens sudah membungkam mulutnya dengan bibir.

KIni tubuhnya sudah terlentang di atas ranjang, dengan rambut panjang yang sudah berhamburan di atas bantal.

"Aku sudah memperingati mu agar berhenti, salah sendiri masih saja bandel." Riyan mengusap lembut bibir Zahra yang sudah memerah karena ulahnya. Nafas Zahra tersengal, namun, beberapa saat kemudian bibir yang baru saja terlepas kembali dicumbu oleh suaminya.

Sama seperti aktivitas panas biasanya. Riyan selalu melakukannya dengan hati-hati, karena memang ada nyawa yang harus ia prioritaskan di atas segalanya.

"Apa dia pernah mencintaimu?" Pembahasan tentang Fikir masih belum usai, bahkan ketika keduanya sedang memacu aktivitas menyenangkan di atas ranjang. "Ah,, aku cemburu.." Ucap Riyan pada akhirnya.

Mendengar kalimat singkat itu, membuat dada Zahra kembali berdebar. Senyum di bibirnya belum pergi dari bibir tipisnya. Wajah cantiknya memerah. Butiran peluh terlihat di dahinya karena aktivitas panas mereka. Terlebih ketika bibir Riyan mulai kembali mengabsen setiap inci wajahnya, sambil terus mengucapkan kata-kata cinta untuknya, hingga di ujung puncak laki-laki itu.

"Terimakasih untuk malam indah yang kesekian kalinya." Riyan bangkit dari atas tubuh Zahra, lalu menarik selimut untuk menutupi tubuh istrinya itu.

Melelahkan namun membuat candu. Laki-laki itu masih terus berusaha mengatur nafas, sambil membawa tubuh istrinya ke dalam pelukan.

"Istirahat sebentar. Kita akan membersihkan diri bersama-sama nanti." Ucap Riyan lagi.

Zahra mengangguk patuh sama seperti biasanya.

"Kamu belum menjawab pertanyaan ku tentang laki-laki itu." Kalimat mengandung kecemburuan masih berlanjut, membuat Zahra menarik tangan suaminya itu agar semakin mengeratkan pelukan di tubuhnya.

"Aku tidak tahu. Yang aku tahu, aku hanya pernah jatuh cinta pada dua orang yang wajahnya mirip. Tentang laki-laki di luar sana, aku tidak pernah mencari tahu." Jawabnya jujur.

"Siapa yang lebih kamu cintai, aku atau dia?" Tanya Riyan.

"Jangan bertanya lagi, anak kamu ngambek karena kamu jengukin." Zahra berbalik menghadap Riyan lalu menempelkan perut buncitnya yang terus saja bergerak sejak tadi.

"Ra, ini ga apa-apa?" Tanya Riyan khawatir.

Zahra menggeleng sekaligus lega karena topik pembahasan beralih pada perutnya yang terus bergelombang karena aktivitas calon anaknya di dalam sana.

****

Di sebuah kamar yang ada di rumah mewah milik mertuanya, Meisya duduk di atas meja rias sambil menatap wajah cantiknya di sana. Sebuah gaun malam sudah melekat di tubuh indahnya. Jantungnya terus berpacu seperti gendang. Ini keputusan yang begitu memalukan setelah beberapa bulan bersama Gio.

Yah, setelah pernikahan, keduanya memang belum pernah melangkah sampai ke tahap ini. Gio terus memperlakukan dirinya seperti seorang sahabat yang baik. Dan malam ini, di dalam kamar yang menyimpan banyak kenangan masa kecil suaminya itu, ia memutuskan untuk mengukir kenangan baru di sini.

Suara gemercik air sudah tidak terdengar lagi. Itu berarti laki-laki yang sedang berada di dalam kamar mandi sudah menyelesaikan aktivitasnya. Jantung Meisya semakin menggila kala pintu kamar mandi terdengar di buka. Ia pun menoleh, menatap lekat laki-laki yang sudah mengenakan piyama dari dalam kamar mandi itu, karena menghargainya.

Cukup lama keduanya bertatapan. Hingga Gio memutuskan tatapannya lebih dulu, karena takut tergoda dengan penampilan istrinya malam ini.

"Apa aku cantik?" Tanya Meisya memulai percakapan agar keduanya tidak di landa kecanggungan karena ulahnya malam ini.

Gio kembali menatap Meisya yang kini sudah berdiri dari tempat duduk dan melangkah menuju ranjang besar miliknya.

"Aku penasaran dengan ranjang mewah ini." Ucap Meisya lagi membuat Gio semakin terkejut di buatnya.

Wanita yang sudah berpengalaman memang beda. Begitulah yang ada di pikiran Gio.

"Jangan lakukan hal seperti ini. Menggoda adalah tugas ku." Ia melangkah cepat menuju ranjang di mana Meisya dan langsung mencium bibir istrinya itu dengan sangat hati-hati.

Gio mengerutkan keningnya saat merasakan bibir Meisya yang terasa begitu kaku dengan ciumannya. Ia tidak tahu, jika malam ini adalah pertama kalinya bagi Meisya melakukan hal ini, meskipun ini adalah pernikahan yang kedua baginya.

"Apa kamu gugup?" Tanya nya heran bercampur lucu.

"Enggak kok." Jawab Meisya dengan pipi yang sudah memerah karena menahan malu.

"Apa kamu yakin malam ini? Aku masih bisa menunggu lebih lama kok." Gio mengangkat tangannya, lalu mengusap lembut pipi mulus istrinya yang memerah.

Meisya mengangguk yakin.

"Mau malam ini, atau pun nanti, sama saja, kan? Kita akan tetap melakukannya, dan aku akan tetap bersama mu." Jawabnya yakin.

Gio tidak lagi bertanya, ia kembali mencium bibir Meisya. Kali ini jauh lebih dalam dari sebelumnya.

Ciuman panas itu terus berlanjut membuat gaun malam yang melekat di tubuh tidak terasa sudah teronggok begitu saja di atas lantai.

"Tolong hati-hati." Ucap Meisya dengan suara serak.

Gio menghentikan kegiatannya sebentar, dan untuk yang kesekian kalinya ia merasa heran.

"Ini yang pertama bagi ku." Ucap Meisya lirih.

Gio semakin di buat bingung. Namun, tanpa bertanya lebih tentang pernikahan masa lalu istrinya, ia kembali mencium lembut bibir istrinya itu. Menyapu wajah cantik Meisya dengan bibirnya.

"Aku akan hati-hati." Ucap Gio.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!