Sari adalah seorang perempuan yang sangat tangguh. Ia berasal dari keluarga yang sangat disiplin. Sari merupakan anak bungsu dari empat bersaudara. Keadaan keluarganya yang hidup pas-pasan membuat ia terlatih bekerja sejak ia masih kecil.
Usai menimbah ilmu di bangku kuliah, ia langsung dilamar oleh seorang laki-laki tampan yang sudah menjadi kekasihnya selama kurang lebih dua tahun.
Wendi, itulah nama suaminya. Wendi berasal dari keluarga yang berada dan merupakan anak tunggal. Namun ketika menikah dengan Sari ia tidak pernah mengharap sesuatu dari orang tuanya dan orang tuanya juga sengaja membiarkan anaknya untuk berusaha sendiri agar tahu betapa hidup ini harus diperjuangkan.
Semuanya benar-benar dimulai dari nol. Pekerjaan Wendi sebagai Pegawai Negeri Sipil di salah satu kantor pemerintah di daerahnya hanya memperoleh gaji kurang lebih dua juta per bulannya karena dia hanya tamat SMA. Sedangkan Sari hanya bekerja sebagai tenaga honorer di salah satu sekolah negeri sebagai guru bidang studi bahasa Indonesia.
Selama setahun lebih mereka menumpang di rumah mertua sambil mengumpulkan modal untuk membangun sebuah rumah. Berkat kepintaran sang istri untuk menekan pengeluaran sehingga mereka bisa mendirikan rumah yang sederhana di pinggiran kota.
"Selamat siang, Pa!" sapa Wira, anak bungsu mereka yang berumur enam tahun dan sudah duduk di kelas satu Sekolah Dasar.
"Eh, anak papa sudah pulang sekolah yah?"
"Iya Pa. Tadi Wira di sekolah dapat ini," katanya sambil memperlihatkan pekerjaannya yang nilainya seratus.
"Anak papa memang hebat!" puji Wendi sambil memperlihatkan wajah yang senang.
"Kata ibu guru, besok Wira harus bawa uang buat beli buku paket,"
"Kalau soal uang, mintanya sama mama dong! Kan mama yang pegang uang,"
Sari yang mendengar percakapan suami dengan anaknya membenarkan apa yang barusan disampaikan oleh suaminya. Selama mereka menjadi pasangan suami-istri, Wendi selalu menyerahkan semua gaji kepadanya.
Seiring berjalannya waktu, kebutuhan pun semakin bertambah membuat Sari harus benar-benar memutar otak untuk mengelolah keuangan dalam keluarganya. Kedua anaknya yang perempuan yaitu anak pertama dan kedua sudah mulai tumbuh dewasa dan tentunya butuh biaya tambahan.
Sebagai seorang wanita yang tangguh, ia tidak pernah memperlihatkan wajahnya yang kusut meski ia sedang dalam kesusahan. Beruntunglah karena ia juga punya penghasilan meski tak seberapa tapi setidaknya bisa ia gunakan untuk menutupi sebagian kebutuhan rumah tangganya.
"Dek, hari ini kok kamu hanya masak lauk tempe dan tahu?" tanya Wendi dengan wajah lesu.
"Uangnya hanya cukup beli tempe dan tahu, Mas." jawab Sari apa adanya.
"Suami pulang kerja itu harusnya disuguhi makanan yang enak biar tenaganya pulih karena seharian ini sudah bekerja untuk cari nafkah. Eh, capek-capek pulang malah disuguhi tempe dan tahu," omel Wendi sambil berlalu meninggalkan meja makan.
Sari hanya bisa berdiri mematung dengan pikiran tak menentu. Dua belas tahun ia menjalani kehidupan berumah tangga, tapi baru kali ini ia mendengar suaminya mengomel. Selama ini mereka juga sering makan hanya dengan lauk tempe dan tahu tapi suaminya tak pernah memberi komentar apa-apa.
"Plak!" bunyi pintu kamar yang keras karena dibanting oleh Wendi membuat Sari kaget dan gemetar.
Sari berpikir, mungkin suaminya sedang ada masalah. Ia pun menghela nafas yang panjang dan menghembuskan dengan kasar.
Tadi Sari hanya bisa menyiapkan lauk seadanya karena ia harus membagi uang yang ada dengan sedemikian rupa. Harga minyak goreng sangat melonjak dan diikuti oleh harga semua kebutuhan dapur ikut naik. Sementara uang pribadinya sebagian besar ia telah gunakan untuk kegiatan sosial.
Dalam dua bulan terakhir ini, keluarga dari pihaknya sudah empat kali mengadakan acara. Tiga kali acara kedukaan dan satu kali acara pernikahan. Sudah sering ia lakukan jika ada kegiatan seperti itu, Sari tidak pernah menggunakan uang pemberian dari suaminya.
Hingga sore hari, Wendi belum juga keluar dari kamar. Mata Sari terus mengawasi pintu kamar dan berharap suaminya akan segera keluar untuk makan, namun hingga magrib pintu itu masih tertutup rapat.
Malam harinya ketika makanan sudah siap di meja, Sari mencoba memberanikan diri untuk mengetuk pintu kamar dan tak lama kemudian pintu pun terbuka.
"Mari makan, Mas!" ajak Sari dengan ragu karena melihat tatapan suaminya yang kurang bersahabat.
Tanpa sepatah kata, Wendi melangkah keluar dari kamar menuju ke meja makan. Ikan asin tanpa bumbu lainnya telah tersaji di meja membuat hatinya dongkol tapi ia sudah tidak bisa menahan rasa lapar sehingga terpaksa makan dengan wajah yang kusut.
Sari dan anak-anaknya ikut makan bersama karena ini sudah menjadi tradisi sejak dulu. Namun kali ini sangat berbeda karena mereka makan tanpa ada senda gurau. Anak-anak juga mengerti kalau papanya sedang marah.
Setelah selesai makan, Wendi langsung berdiri dan meninggalkan meja makan tanpa menunggu istri dan anak-anaknya yang masih sementara makan. Melihat hal itu, Sari dan anak-anaknya hanya saling berpandangan penuh dengan tanda tanya.
"Ma, kok sikap papa lain yah?" tanya Tasya dengan sedih.
"Iya Ma, sepertinya papa sedang ada masalah," sambung Tiara.
"Mama juga nggak tahu. Ayo, kalian habiskan makanannya dulu!" jawab Sari untuk mengalihkan pikiran anak-anaknya.
Mereka pun melanjutkan acara makannya tanpa suara lagi. Wira, si anak bungsu sudah lebih dulu menghabiskan makanannya lalu pergi ke ruang tengah untuk menonton kartun kesukaannya.
Malam ini Sari makan nasi hanya sedikit. Kerongkongannya seolah tercekik karena pikirannya sedang galau dengan sikap suaminya. Ia pun masuk ke kamar dan berbaring. Mencoba untuk segera memejamkan mata namun usahanya sia-sia. Hingga jam dua belas, ia masih belum bisa tidur.
Mendengar suara televisi masih ribut ia pun bangun dan berjalan ke ruang tengah. Rupanya suaminya sudah tertidur pulas di ruangan itu tanpa mematikan TV sebelummnya.
Sari berjalan berjingkrat-jingkrat untuk mematikan TV lalu kembali ke kamar untuk beristirahat. Pikirannya sangat terganggu karena masih satu minggu ia harus mengirit uang belanja baru suaminya gajian lagi. Entah jam berapa baru matanya bisa tertutup malam itu.
Pagi hari ia bangun seperti biasanya untuk menyiapkan segala kebutuhan suami dan anak-anaknya.
Ia mulai menggoreng nasi sisa semalam dengan semangat hingga semua anak-anaknya sudah siap di meja makan. Suaminya masih di kamar meski sudah dipanggil oleh anaknya untuk sarapan pagi.
"Kalian sarapan aja dulu, nanti papa nyusul," kata Sari dengan lembut. Ia tahu anaknya gelisah karena takut terlambat ke sekolah.
"Iya, Ma," jawab Tasya, Tiara, dan Wira hampir bersamaan. Ketiga anak itu pun makan nasi goreng buatan sang mama. Mereka tampaknya sangat suka sehingga makannya sangat lahap.
"Uang jajan, Ma!" pinta Wira sambil menadahkan tangannya.
Sari merogoh kantongnya dan memberikan uang dua ribu rupiah kepada Wira.
"Kok, cuma segini Ma?" tanya Wira dengan cemberut karena biasanya ia dapat uang jajan tiga ribu setiap hari.
"Sabar yah Nak, kali ini Mama kurangi uang jajannya karena semua harga kebutuhan pokok naik," kata Sari dengan pelan.
Tasya dan Tiara yang mendengar perkataan mamanya saling berpandangan lalu mereka pamit untuk berangkat ke sekolah. Keduanya tidak meminta uang jajan karena melihat mamanya begitu serius untuk memberikan pengertian kepada adik mereka.
Hati Sari sangat sedih melihat anak-anaknya berangkat ke sekolah tanpa uang jajan. Tasya dan Tiara sudah mulai paham akan ketidakstabilan keuangan orang tuanya.
Setelah ia kembali ke dalam rumah, suaminya sudah duduk di meja makan.
"Apa kamu sudah tidak punya uang dek?" tanya Wendi dengan tatapan datar. Tadi ia melihat wajah putranya yang tampak tidak senang saat berangkat ke sekolah.
"Masih ada Mas, tapi yah... beginilah, saya harus irit sedemikian rupa untuk bisa makan setiap harinya," jawab Sari dengan jujur.
"Gaji kamu mana?"
"Sudah habis, Mas. Dua bulan terakhir ini kan banyak acara keluarga, jadi saya pakai uang itu,"
"Harusnya kamu dahulukan kebutuhan keluarga baru urus yang lain. Apa kamu nggak kasihan melihat anak-anak pergi ke sekolah tanpa uang jajan?"
Sari tertunduk tanpa suara. Hatinya sangat terluka dengan perkataan suaminya. Gaji yang ia dapatkan sebagai tenaga honorer hanya seberapa saja karena ia mengajar hanya tiga hari saja dalam seminggu.
Selama ini ia sudah merasa cukup membantu keuangan dalam keluarga namun saat ini ia merasa bahwa suaminya ternyata tidak menghargai jeri lelahnya. "Apa yang harus kulakukan?" jeritnya dalam hati.
Jika hanya mau mengandalkan gaji dari suami setiap bulan dengan kondisi saat ini di mana semua harga kebutuhan melonjak tinggi maka pastilah tak akan pernah cukup meski orang secerdas bagaimana pun yang akan mengelolahnya.
Sementara Wendi tak punya usaha sampingan. Pernah suatu kali orang tuanya menawarkan agar Wendi mau menggarap sawah, setidaknya bisa menutupi pengeluaran untuk membeli beras tapi waktu itu Wendi menolak dengan alasan tidak punya waktu untuk itu pada hal kalau dipikir ia masih ada waktu ketika pulang dari kantor. Selama ini waktunya hanya ia gunakan untuk bersantai namun Sari tidak pernah memprotes karena gaji suaminya masih cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan mereka.
***
Hari ini adalah jadwal mengajar untuk Sari. Tiba di sekolah ia masuk ke kelas seperti biasanya namun kali ini ia merasa kurang bersemangat karena selalu kepikiran dengan keadaan rumah tangganya yang sedang tidak stabil.
"Cerita dong sama saya jika kamu ada masalah!" kata Rani sahabatnya. Rani sudah menjadi seorang ASN sejak dua tahun yang lalu dan ia juga sudah berkeluarga. Mereka bersahabat sejak bertemu di sekolah itu dan sering berbagi pengalaman.
"Saya baik-baik saja kok," sahut Sari sambil berusaha tersenyum untuk mengurangi kegalauan yang sedang dirasakan.
"Jangan bohong kak, saya tahu kamu sedang tidak baik-baik saja,"
Sari pun menceritakan segala persolan yang sedang dialami kepada sababatnya dengan mata berkaca-kaca.
Beberapa saat Rani terdiam dan mencerna cerita dari sahabatnya. Kemudian ia tersenyum dan menatap Sari dengan serius.
"Saya ada ide. Gimana kalau kamu buka usaha? Toh, kamu masuk sekolah nggak setiap hari, jadi masih ada waktu untuk mengurus usaha yang lain,"
"Modalnya dari mana?"
"Pinjam dulu sama mertuamu!"
Sari menggeleng dengan lesu. Bicara soal mertua sepertinya ia kurang bersemangat. Mertuanya memang orang kaya tapi soal mau pinjam uang rasanya sangat sulit karena orangnya pelit.
"Atau nanti saya coba cari informasi di sekolah swasta dekat rumahku, siapa tahu mereka masih butuh tenaga pengajar," usul Rani dengan semangat.
"Ok, tolong bantu saya!" sahut Sari dengan serius. Ia masih punya waktu tiga hari jika saja masih ada lowongan yang tersedia di sekolah tersebut.
Mereka lalu berpelukan.
"Terima kasih sahabatku!"
"Sama-sama. Saya akan selalu ada untukmu,"
Keduanya melepas pelukan karena bel sudah berdenting tanda jam istirahat telah usai. Mereka kembali melanjutkan tugas hingga jam yang sudah ditentukan.
Pulang dari sekolah, Sari tak pernah mengenal waktu untuk istirahat. Ada saja pekerjaan yang ia lakukan. Berbeda dengan suaminya, setelah pulang dari kantor ia tak melakukan pekerjaan apa pun. Kalau ia tidak tidur maka ia hanya main game yang ada di ponselnya.
Masih ada pekarangan yang kosong di samping rumah mereka. Itulah yang ditanami berbagai macam sayuran oleh Sari. Kadang kala ia dibantu oleh anak-anaknya. Selama ini Sari tidak pernah mengeluh dengan sikap suaminya. Ia tetap mengerjakan pekerjaannya dengan tulus dan iklas dan selalu melayani suaminya dengan tidak bersungut-sungut.
Bagi Sari, ini semua sudah menjadi tangung jawabnya karena suaminya bekerja di kantor. Selama ini Wajah Sari selalu ceria dan bersemangat karena segala sesuatunya dilakukan dengan tulus. Ia merasa sangat beruntung punya suami yang tidak banyak neko-neko dan tidak terlalu pusing dengan kegiatan istrinya.
Namun sikap Wendi akhir-akhir ini membuatnya tak habis pikir. Seperti tadi waktu pulang dari kantor, tak ada lagi canda tawa bersama anak-anaknya. Setelah makan siang ia langsung rebahan di depan TV sambil main ponsel. Ia tidak lagi mengomentari makanan yanh disajikan oleh istrinya tetapi kali ini ia diam seribu bahasa. Ibarat TV, ada gambar tak ada suara.
"Maaf, apa ada yang mengganggu pikiran Mas soalnya saya rasa akhir-akhir ini sikap Mas agak beda?" tanya Sari ketika mereka sudah berada di kamar hendak beristirahat.
"Nggak ada apa-apa kok," jawab Wendi dengan santai tanpa menoleh ke arah istrinya. Ia sibuk dengan ponsel di tangannya.
"Ngomong dong Mas, kasihan anak-anak jadi serbah salah juga,"
"Saya bilang nggak kenapa-kenapa," ucap Wendi sedikit keras membuat Sari kembali terdiam. Ia pun memilih berbaring dengan perasaan sedih.
"Kring... kring... kring!" bunyi dering ponsel milik Sari.
Ia meraih ponsel yang diletakkan di meja dan mengusap layarnya. Sekilas ia melihat nama Rani yang menelepon.
"Ya, halo!"
"Ada kabar baik loh. Besok kamu ditunggu oleh kepala sekolah SMK Swasta. Jangan lupa membawa berkas-berkas yang akan dibutuhkan!" suara Rani di ponsel terdengar begitu semangat.
"Oke Ran, terima kasih atas perhatiannya. Besok saya ke sana karena kebetulan saya tidak ada jam di sekolah," jawab Sari dengan senang lalu memutuskan sambungan teleponnya.
Setelah itu ia kembali berbaring dan berharap Wendi akan bertanya tentang apa yang barusan ia bicarakan dengan Rani. Namun apa yang ia harapkan tak kunjung terjadi.
"Mas, tolong antar saya besok pagi ke SMK Swasta yang ada di dekat rumah Rani. Saya ingin melamar pekerjaan di sana!" ucap Sari dengan penuh harap.
"Iya," jawab Wendi singkat.
Sari bersyukur karena mendapat jawaban dari suaminya meski terdengar acuh tak acuh tapi setidaknya ia tahu kalau besok Wendi bersedia untuk mengantarnya soalnya jarak dari rumah ke sekolah itu lumayan jauh.
Pagi ini Sari bangun lebih awal dari biasanya. Ia bersemangat untuk melamar pekerjaan. Semua pekerjaan di dapur ia selesaikan terlebih dahulu. Sarapan juga sudah siap di meja ketika suami dan anak-anaknya bangun.
"Mau ke mana Ma?" tanya Wira melihat mamanya yang sudah berpakaian rapi dan menenteng sebuah tas berisi map.
"Mama sedang ada urusan Nak," sahutnya sambil tersenyum.
Setelah selesai sarapan mereka keluar rumah. Ketiga anaknya berjalan kaki ke sekolah karena jaraknya dari rumah tidak cukup satu kilo meter. Tak lupa Sari mengunci pintu rumah sebelum berangkat.
"Cepat sedikit Dek, nanti Mas terlambat masuk kantor!" ujar Wendi sambil membunyikan motornya.
"Iya Mas,"
Dengan langkah tergesa ia menghampiri suaminya lalu keduanya segera berangkat. Tempat yang dituju oleh Sari kebetulan searah dengan kantor suaminya. Butuh waktu dua puluh lima menit naik motor untuk sampai di tujuan yaitu gedung SMK Swasta yang baru dibangun beberapa bulan yang lalu.
"Chat saja nanti kalau sudah mau dijemput!" kata Wendi setelah mereka tiba di depan gedung sekolah.
"Baik Mas," jawab Sari.
Sari langsung masuk ke ruangan kepala sekolah sedangkan suaminya memutar kendaraan menuju kentornya.
Rupanya SMK Swasta ini memang sedang mencari guru Bahasa Indonesia karena yang ada baru satu orang dan tidak akan mampu untuk mengajar di semua kelas yang ada. Setelah berbincang-bincang dengan Bapak Kepala Sekolah, maka Sari dinyatakan diterima untuk mengajar di sekolah tersebut dan minggu depan sudah bisa mengajar. Hal ini membuat Sari sangat senang. Ia tinggal mengatur jadwalnya agar tidak ada jam mengajar yang bertabrakan.
"Terima kasih Pak, saya permisi dulu!" ucap Sari dengan sopan.
"Iya, sama-sama," sahut Bapak Kepala Sekolah sambil tersenyum.
Hampir setengah jam Sari menunggu di luar baru Wendi datang menjemputnya. Suaminya mengantarkan dia pulang ke rumah lalu kembali ke kantor untuk melanjutkan tugas.
***
Sari sangat senang setelah satu bulan mengajar di SMK Swasta karena ia mendapatkan honor yang lebih besar dibanding yang ia dapatkan di sekolah yang lama. Rasa lelah segera terobati ketika ia membuka amplop yang berisi hasil keringat selama sebulan. Sebelumnya ia tak pernah menyangkah jika honor yang akan diterimanya sebesar itu.
Ia sudah bisa menyisihkan sedikit penghasilannya untuk ditabung bahkan setelah enam bulan bekerja di sekolah tersebut Sari juga sudah bisa membeli motor bekas sehingga ia tidak perlu lagi merepotkan suaminya untuk antar-jemput.
Pekerjaannya kini membuat ia sibuk dan merasa lelah tetapi mengingat kebutuhan hidup yang semakin bertambah membuatnya harus bertahan dan tetap semangat.
Pagi hari ia harus membereskan segala pekerjaan di rumah baru berangkat ke sekolah. Namun ia sangat beruntung karena anak-anaknya sudah bisa membantu meringankan pekerjaan tertentu, seperti bersih-bersih rumah.
Dari kecil Sari selalu mengajar anak-anaknya untuk bekerja karena ia tidak mau anaknya jadi pemalas dan menjadi anak yang manja.
Malam ini Wendi sangat menginginkan kebersamaan dengan istrinya karena selama ini ia selalu mendapati istrinya sudah tertidur pulas ketika ia masuk ke kamar. Sejak Sari mengajar setiap hari kecuali hari minggu, ia tampak sangat kelelahan sehingga pada malam harinya ia selalu tidur lebih awal.
"Tumben masih terjaga? Biasanya jam segini kamu sudah ngorok?" ujar Wendi saat mendapati istrinya di kamar masih merapikan pakaian ke dalam lemari.
" Iya Mas, tadi saya sempat tidur siang waktu pulang dari sekolah," sahut Sari tanpa menoleh ke arah suaminya. Ia masih sibuk menyimpan pakaian
yang baru saja dilipatnya.
"Harusnya memang begitu Dek. Jangan kerja melulu sampai lupa melayani suami!" kata Wendi sambil memeluk istrinya dari belakang. Sari juga menyadari bahwa akhir-akhir ini ia terlalu fokus mencari uang sehingga suaminya merasa terabaikan.
Sikap romantis yang dimiliki oleh Wendi inilah yang selalu dirindukan Sari. Ia pun segera menyelesaikan pekerjaannya dan berbalik untuk membalas pelukan suaminya. Seketika ada rasa hangat yang menjalar di tubuhnya.
"Maafkan saya Mas, kalau selama ini kurang memberi perhatian,"
"Justru Mas yang mau minta maaf sayang, karena Mas tidak mampu memenuhi semua kebutuhan rumah tangga kita sehingga membuatmu harus banting tulang,"
"Mas jangan ngomong gitu dong!"
Wendi menggendong istrinya dan membaringkan di tempat tidur. Malam ini ia seperti serigala yang lapar dan ingin segera menerkam mangsanya karena sudah hampir dua minggu tidak pernah berhubungan badan. Dengan lincah ia melucuti pakaian istrinya satu demi satu hingga tak sehelai pun yang tertinggal.
Sari pasrah dengan perlakuan suaminya karena ia juga sedang menginginkan. Rasa cinta yang dalam membuat keduanya sangat menikmati permainan kali ini bahkan melebihi permainan-permainan sebelumnya. Setiap sentuhan menimbulkan erangan-erangan halus nan lembut membuat gairah semakin kuat.
Pergumulan yang pernah membekukan suasana hilang tanpa bekas. Sari bukanlah cinta pertama Wendi namun keluguan dan kepolosan serta keceriaan yang dimilikinya telah membuat Wendi cinta mati sejak ia mengenal gadis itu.
"I love you!" ucap Wendi sambil mengecup bibir tipis milik istrinya dengan mesra.
"Gombal,"
Keduanya terus bergelut dengan panas hingga keringat membasahi tubuh dan tak lama kemudian suasana menjadi hening. Tak ada lagi suara.
Keduanya sudah terbaring lemas namun senyum mengembang di wajah sebagai tanda bahwa mereka baru saja merasakan kenikmatan yang hakiki.
Sari bangun dan beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri kemudian disusul oleh suaminya.
Malam itu mereka tidur dengan nyenyak sambil berpelukan. Malam semakin larut. Suara dengkuran Wendi terdengar halus menandakan bahwa ia tertidur pulas.
Suara ayam berkokok membangunkan Sari ketika hari masih malam. Perlahan ia memindahkan tangan kekar suaminya yang masih melingkar di pinggangnya namun Wendi makin mempererat pelukannya.
"Sudah siang Mas. Nanti kita telambat lagi," bisik Sari di telinga suaminya.
"Hhmmm... mau lagi,"
"Hahh... apa semalam masih kurang?"
"Mas nggak akan pernah bosan sayang,"
"Udah ah," kata Sari sambil terus berusaha melepaskan diri dari pelukan suaminya.
"Janji ya!"
"Janji apa?"
"Entar malam. Ingat kamu nggak boleh terlalu capek!"
Sari hanya tersenyum dan meninggalkan suaminya. Ia segera beranjak ke dapur untuk membuat sarapan.
Anak-anaknya juga sudah bangun karena mereka sudah terlatih untuk bangun pagi dan mengerjakan tugas masing-masing. Tasya menyapu dan mengepel di dalam rumah, Tiara menyapu di halaman rumah dan Wira memberi makan ikan di kolam. Kadang kala juga ia membantu kakaknya untuk bersih-bersih rumah.
Itulah rutinitas mereka setiap hari. Ada rasa bahagia di hati Sari ketika menyaksikan hubungan suami dan anak-anaknya yang akrab. Seperti yang mereka lakukan pagi ini. Senda gurau terdengar di meja makan disertai suara derai tawa. "Semoga ke depannya suasana seperti ini akan terus berlanjut." guman Sari dalam hati.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!