NovelToon NovelToon

KUPU-KUPU MALAM

#01

Sulastri masih berusaha mendiamkan anaknya yang terus saja menangis. Kedua anaknya yang lain, si sulung Fahmi, sepuluh tahun dan Farida anak keduanya umur delapan tahun, dari tadi menunggu meminta makan. Ia belum bisa meninggalkan bayinya yang baru berumur sepuluh bulan dalam keadaan menangis seperti itu. Ia takut tetangga sebelah meneriakinya seperti kemarin karna terganggu tangisan anaknya. Dia sudah tidak punya uang untuk menyuruh anaknya membeli sesuatu untuk mengganjal perut mereka sementara waktu. Dia memang punya sedikit uang di dalam celengan plastik. Isinya hanya dua ratus ribu saja. Ia sudah berusaha agar tak mengingatnya. Tapi melihat binar-binar memelas dari mata anak-anaknya, ia hampir-hampir mengambilnya. Tapi pun jika ia terpaksa harus mengeluarkannya, maka ia tidak punya cadangan lagi untuk hari-hari berikutnya. Anak-anaknya akan kelaparan. Terlebih lagi jika mereka sakit.

Dia sudah tidak punya harapan lagi pada mantan suaminya. Sejak bercerai dengannya, ia sama sekali tak pernah menyambangi anak-anaknya. Walaupun ia melarang anak-anaknya menyebut nama ayah mereka, Mengingat perlakuannya kepada mereka, tapi ia selalu mengingatkan anaknya agar tetap menghormatinya sebagai seorang ayah, apapun keadaannya. Toh juga, selama menikah dengannya, ia harus pontang-panting sendiri mencari tetangga yang ingin dicucikan pakaiannya. Dia hanya dapat uang jika mantan suaminya sedang senang-senangnya karna menang judi. Ia tahu uang yang diberikan suaminya adalah uang haram yang tak boleh masuk ke perut anak-anaknya. Tapi ia tidak bisa berbuat banyak ketika kebutuhan sehari-harinya menuntut untuk memakainya.

Ia sadar, inilah resiko hidup yang harus dijalaninya. Ia telah memilih Bagas sebagai suaminya karna hanya melihat penampakan zahirnya saja.

Kreteria yang ia tetapkan untuk calon suaminya dulu ketika ia masih lajang, telah menjebaknya pada jurang kehancurannya kini. Bahkan ia terpaksa harus memutuskan hubungannya dengan laki-laki sekampung yang tulus mencintainya, hanya karna alasan, satu kreteria yang ditetapkannya tak dipenuhi olehnya. Dia hanya seorang pengangguran yang tak punya pekerjaan tetap. Dia takut nanti ia hidup melarat dan penuh kesusahan. Dia sudah lelah hidup menderita . Belakangan ia dapat informasi, mantan pacarnya itu kini sudah jadi pengusaha ayam yang sukses. Itulah hidup. Hari esok penuh misteri. Hanya Tuhan yang Maha Tahu. Menilai seseorang dari zahirnya seringkali menjerumuskan kepada prasangka buruk.

Akhirnya ia memilih Bagas, seorang kontraktor yang saat itu sedang mengerjakan proyek jembatan. Tiap hari, jika ia rehat dari pekerjaannya, ia selalu mampir dan ngopi di rumahnya. Tak lupa sebelum pergi, ia selalu meninggalkannya sejumlah uang, paling sedikit lima ratus ribu, dan paling banyaknya satu juta rupiah. Bahkan ia selalu mendapat jatah lima juta rupiah untuk setiap proyek yang dikerjakannya berakhir. Dalam hati ia berpikir, Bagas punya semua kreteria yang ditetapkannya. Bagas bisa memberikannya kehidupan yang layak dan mengeluarkannya dari kehidupannya yang sengsara.

Namun nasib malang menimpa ketika usia pernikahannya berjalan tiga tahun. Suaminya dipecat dari pekerjaannya karna korupsi dana proyek. Beberapa proyeknya juga di hancurkan karna tidak sesuai anggaran yang telah ditetapkan. Selain itu, ia juga harus mengganti kerugian proyek yang jumlahnya milyaran rupiah. Karir suaminya hancur begitu saja. Tak ada lagi orang yang mempercayainya.

Sejak itu sikap suaminya mulai berubah. Ia mulai jarang pulang ke rumah. Sikapnya berubah kasar. Setiap pulang selalu dalam keadaan mabuk. Setiap pulang, ia tak pernah lupa untuk memukulnya dengan kesalahan yang tak ia mengerti. Hingga pada akhirnya, ketika ia merasa rumah tangganya tidak bisa dipertahankan lagi, ia memutuskan untuk meminta berpisah.

Anak sulungnya Fahmi sekarang telah duduk di bangku SD kelas 4, sedangkan Farida baru duduk di kelas 2. Ia merasa tak kuat lagi membiayai sekolah anak-anaknya. Sudah tak ada lagi tempat untuk berhutang. Untuk makan pun, jika tetangga tidak mengantar cucian mereka, mereka harus puas dengan makan satu hari saja. Selebihnya jika malam telah tiba, ia akan keluar rumah untuk mengais sisa makanan di rumah makan, yang letaknya kira-kira seratus meter dari rumahnya. Sisa-sisa makanan itu akan ia bersihkan kembali agar layak dimakan anak-anaknya. Sebisa mungkin ia menahan anak-anaknya untuk tidak keluar lebih dua meter dari halaman rumah. Ia kasihan melihat wajah mereka menyaksikan anak-anak tetangga bermain riang dengan mainan-mainan mereka.

Ia malu jika harus pulang ke kampung halamannya, walaupun ia begitu rindu pada keluarganya di kampung. Merekapun sudah tidak tahu tempat tinggalnya kini. Komunikasi mereka terputus sejak pindah ke kontrakan baru. Tapi ia selalu berjanji ketika ingat kedua orang tuanya, ia akan pulang jika sudah berhasil merubah hidupnya. Ia hanya tak punya banyak waktu mencari pekerjaan karna harus merawat anak-anaknya.

"Fahmi, sini jaga adikmu, jangan sampai ia terbangun. Ibu mau masak dulu. Nanti kalau sudah siap, ibu akan panggil kalian makan,"kata Sulastri sambil mengusap kepala Fahmi. Wajah Farida yang dari tadi memelas lapar diciumnya sebelum meninggalkannya ke dapur.

Hanya tersisa satu butir telur dan tiga bungkus mie gelas di lemari dapur. Sulastri terdiam sejenak membuat sebuah pilihan. Memasakkan mereka telur rebus dan nanti dibagi dua atau satu bungkus mie gelas. Dia harus beririt untuk makan siang dan malam nanti. Dia berharap pelanggan rumah makan dekat rumah, juga menyisakan banyak makanan di piring mereka.

Malam ini udara berhembus dingin. Suara deru kendaraan yang lalu lalang selepas maghrib mengisi suasana di tepi-tepi jalan. Beberapa lapak dan lesehan di trotoar jalan dan di depan-depan toko, sudah terlihat kebanjiran pembeli. Aroma berbagai makanan yang tersaji menembus hidung-hidung pejalan kaki yang lewat. Menarik selera mereka untuk membeli, atau sekedar menelan ludah.

Sulastri berdiri di sisi sebuah gang. Matanya melirik kesana kemari. Kini pandangannya lebih tertuju pada lesehan tak jauh di dekatnya. Salah satu perempuan yang sibuk mendengarkan pesanan pembeli menarik hati Sulastri. Ia mendekat dan berdiri menunggu perempuan itu selesai menerima pesanan. Suara riuh mulut-mulut serta bising suara kenalpot dan bel kendaraan bersatu menyibukkan malam. Sulastri lebih mendekat. Perempuan itu menyapanya dengan senyum.

"Bu, boleh saya bantu cuci piring. Ibu bayar saya dengan sisa nasi dan ikan dari pelanggan. Nanti saya kumpulkan ketika mencuci piring,"kata Sulastri diantara ramainya malam. Ia tetap mengatur suaranya agar tidak terdengar orang.

Perempuan itu terdiam. Sejenak memandang Sulastri. Dia mungkin saja tidak percaya dengan penampilan dan wajah cantik Sulastri. Tapi akhirnya ia mengangguk dan menyuruh Sulastri masuk dan langsung menuju tempat pencucian piring.

Sulastri hanya mengumpulkan sisa-sisa ayam yang masih baik. Sisa-sisa daging ayam di tulang, ia pisahkan dan dikumpulkan di plastik khusus. Dia harus bisa mengumpulkan makanan yang bisa bertahan untuk kebutuhan makannya sehari semalam. Dan apa yang telah ia kumpulkan sudah cukup.

"Bu, saya harus pulang, anak-anak saya tidak ada yang jagain di rumah. Terimakasih Bu."Sulastri menghampiri perempuan itu. Dua bungkus nasi di sodorkan perempuan itu pada Sulastri tanpa bicara, Sulastri tersenyum. Ketika Sulastri mengucapkan terimakasih, ia hanya mengangguk saja. Ditatapnya tubuh Sulastri yang berjalan masuk menuju gang.

Sesampainya di rumah ia langsung masuk ke dapur. Fahmi yang belum tidur karna menjaga adik-adiknya terlihat senang melihat ibunya pulang dengan membawa kresek warna hitam. Seperti kucing yang kelaparan, Fahmi berlari mengejar ibunya.

Sulastri memegang kepala Fahmi dan menciumnya.

"Nak, kamu tunggu dulu di kamarmu. Nanti, kalau ikan dan ayam yang ibu bawa ini sudah masak, ibu akan panggil kamu. Sekarang sabar dan tunggu ibu ya?" Kembali Sulastri mencium kening Fahmi. Ia pun dengan langkah gontai berjalan ke tempat kedua adiknya tertidur.

Sulastri mulai memilah beberapa sisa ikan dan ayam dalam tas kresek. Ia bersyukur kali ini ia mendapatkan sisa makanan yang banyak. Beberapa ikan goreng masih terlihat utuh dan layak di konsumsi anak-anaknya. Begitupun dengan daging ayam. Ada tiga potong daging ayam yang bisa dibawanya. Daging-daging ayam itu selanjutnya dipisahkannya dari tulangnya dan mengumpulkannya dalam piring. Sedangkan ikan-ikan itu akan ia goreng lagi sekering mungkin agar bisa disimpan lebih lama. Setidak-tidaknya ada cadangan makanan anak-anaknya esok hari.

#02

Seorang laki-laki berbadan tambun terlihat asik menghempaskan asap rokok di mulutnya ke arah bagas yang duduk di depannya. Bagas hanya tertunduk. Asap-asap rokok yang mengepul di depan wajahnya membuatnya tak bisa bernafas. Lelaki itu tampak tersenyum. Rokok di tangannya dilemparkannya ke lantai. Sebatang rokok dikeluarkannya dari dalam bungkus, lalu menyulutnya kembali.

Bagas melirik. Setengah batang rokok yang masih menyala di lantai membuatnya menelan ludah. Dari tadi ia belum juga ditawarkan rokok oleh laki-laki di depannya.

Bagas, Bagas." Menghisap rokoknya dalam dan menyemburkan asapnya kembali ke wajah Bagas.

"Kamu sudah hitung berapa jumlah hutangmu saat ini?" Tanya laki-laki itu tanpa menoleh ke arah Bagas. Ia sibuk memperhatikan asap yang keluar dari mulutnya. Bagas tak menjawab. Ia hanya diam.

"Sudah seratus juta Bagas," kembali menghisap rokoknya. "Ingat, kita sudah sepakat, kamu akan melunasi hutangmu yang seratus juta plus bunganya lima puluh juta, baru kamu bisa berhutang lagi sama saya." Bagas masih terdiam menunduk. Ia sempat terkejut ketika laki-laki itu menyebut angka lebih di luar pinjamannya. Tapi ia harus tetap diam dan tak ada gunanya protes. Ia butuh laki-laki itu memberikannya pinjaman lagi agar terhindar dari kejaran orang-orang.

Laki-laki itu menuangkan botol minuman ke dalam gelas di depannya.

Glek!

Bagas menelan ludahnya. Tenggorokannya terasa kering. Suara minuman yang diteguk laki-laki itu membuatnya haus.

"Kamu tahu minuman yang aku minum ini Bagas. Ini bukan minuman cap orang tua yang sering kamu minum. Ini Macallan the Enigma, harganya lima juta perbotolnya,"kata laki-laki itu memperlihatkan botol minuman dengan merk warna putih di tangannya. Dia mengambil kembali gelasnya dan kembali menuangkannya. Satu kali teguk, minuman di gelas sudah dihabiskannya. Bagas menatap sejenak lalu kembali tertunduk.

Laki-laki itu memperbaiki posisi duduknya. Bagas belum juga menanggapi kata-katanya.

"Apa jaminanmu jika aku memberikanmu pinjaman lagi Bagas," kata laki-laki itu setelah agak lama memandang wajah Bagas. Bagas tahu, laki-laki itu akan menanyakan masalah itu kepadanya. Sebelum menemuinya, Bagas sudah mengotak-atik pikirannya jika nanti laki-laki itu bertanya soal jaminan.

Bagas mengeluarkan sebuah dompet hitam dari saku belakang celana levisnya. Dari dalam dompet, ia keluarkan sebuah photo ukuran 3x4. Laki-laki itu dengan seksama memperhatikan. Ia terlihat penasaran.

Bagas bangkit dan melangkah ke arah laki-laki itu. Dengan setengah membungkuk, ia menyodorkan photo itu kepada laki-laki itu. Bagas kembali duduk ke tempatnya.

Laki-laki itu memandang dengan seksama photo perempuan berjilbab di depannya. Ia menoleh ke belakang.

"Tutup pintu Bagas," perintahnya pada Bagas untuk menutup pintu belakang menuju ruang utama rumahnya yang masih terbuka.

"Dari mana kamu pungutkan aku photo ini Bagas. Apa kamu mencoba menipuku,"katanya setelah Bagas duduk kembali di kursinya.

"Ah, mana berani aku menipu Bapak,"kata Bagas sambil tersenyum. Kembali laki-laki itu memperhatikan photo di tangannya.

"Lumayan cantik, siapa perempuan ini Bagas," menatap ke arah Bagas. Melihat laki-laki itu menampakkan ketertarikannya, Bagas tersenyum sumringah.

"Ia istriku,"kata Bagas tersenyum malu. Laki-laki itu menatapnya dengan dahi dikernyitkan.

"Bangsat kamu Bagas! Istrimu kamu jadikan jaminan hutang judimu, keterlaluan."Laki-laki itu menggeleng dan meletakkan photo itu di atas meja. Sejenak ia terdiam, matanya terus menatap ke arah photo. Ia merasakan ada getaran yang mulai muncul di area selangkangannya. Posisi duduknya mulai tak nyaman.

"Kapan kamu bisa mengajak istrimu menemuiku",katanya menatap Bagas.

"Kapan pun Bapak mau, tinggal Bapak menentukan lokasinya."

Laki-laki itu membuka laci meja di depannya dan mengeluarkan bungkusan berwarna abu dari dalamnya. Ia kemudian melemparkannya ke arah Bagas.

"Itu uang dua puluh lima juta rupiah." Ia lalu menulis sesuatu di atas secarik kertas. " Antar istrimu ke alamat ini. Besok malam aku tunggu dia di sana,"kata laki-laki itu kembali melemparkan secarik kertas ke arah Bagas." Bagas mengambilnya. Setelah melihat tulisan di balik secarik kertas itu, ia kemudian memasukkannya ke dalam balik bajunya bersama bungkusan uang.

"Ingat, kalau sampai ibu tahu, kepalamu taruhannya,"kata laki-laki itu. Ia pun membukakan Bagas pintu dan Bagas keluar. Setelah berpamitan, Bagas segera pergi meninggalkan tempat itu.

......................

Malam semakin larut. Beberapa pedagang lapak di pinggir jalanan mulai membongkar tenda dan terop dagangan mereka. Jalanan mulai terlihat sepi. Hanya beberapa sepeda motor yang terlihat sesekali melintas.

Sulastri masih duduk di samping anaknya-anaknya yang sudah pulas. Tubuhnya terasa pegal setelah beberapa jam tadi berjibaku mengurus anak-anaknya. Wajahnya terlihat lelah, berkali-kali ia menguap karna kantuk mulai menggoda awas matanya. Dengan pelan ia rebahkan tubuhnya di dekat anaknya yang paling kecil.

Terdengar ketukan dari arah luar pintu. Sulastri yang baru saja mulai memejamkan matanya kaget dan terjaga. Suara ketukan itu masih terdengar. Ia jadi takut karna sudah selarut ini ada orang yang mengetuk pintu rumahnya. Sulastri melangkah pelan ke arah pintu. Balok kayu yang bersandar di dekat pintu diraihnya. Ia mencoba mengintip dari balik kelambu jendela. Seorang laki-laki berdiri di depan pintu rumahnya.

"Siapa di sana,"kata Sulastri dari balik pintu.

"Aku ini Bagus dik," kata orang di luar. Sulastri memincingkan matanya. Bagas, mantan suaminya datang menyambanginya malam-malam begini. Tumben.

"Mau apa kesini malam-malam. Kita sudah tidak punya urusan lagi. Pergi dan jangan kemari lagi,"kata Sulastri tegas dari dalam rumah.

"Aku kesini mau ketemu anak-anak. Ada sedikit rizki untuk mereka. Ku mohon bukakan aku pintu,"kata Bagas memohon. Sulastri sejenak terdiam. Tumben Bagas ingat anaknya, apalagi akan memberikannya uang. Adakah ada maksud tertentu dari Bagas? Ataukah selama berpisah dia tidak punya seseorang untuk menyalurkan hasrat seksualnya sehingga ia menjadi alternatif terakhirnya? Berbagai dugaan muncul dalam benak Sulastri. Ia ragu untuk membukakan Bagas pintu.

"Ku mohon Lastri, aku tidak punya maksud lain selain ingin bertemu anak-anakku," kata Bagas setelah agak lama menunggu jawaban dari Sulastri.

"Mereka sudah tidur, datang saja lain kali," kata Sulastri tegas.

"Ku mohon ijinkan aku masuk Lastri. Aku hanya ingin melihatnya saja setelah itu aku akan pergi,"

"Apa itu ayah Bu." Terdengar suara serak dari arah belakang. Sulastri menoleh dan dilihatnya Fahmi duduk di tempat tidurnya.

"Fahmi, kamu masih bangun Nak, ini ayah Nak. Ayo, bukakan ayah pintu" kata Bagas dari luar.

Mendengar seseorang di luar memanggil namanya, Fahmi segera berlarian menuju pintu. Ketika hendak membuka pintu,Sulastri menahannya. Fahmi menangis. Merasa tangisan Fahmi akan membangunkan anak-anaknya yang lain, Sulastri mengalah dan membiarkan Fahmi membuka pintu.

Fahmi langsung memeluk Bagas. Bagas menggendong Fahmi dan mengangkatnya ke atas. Sulastri melangkah meninggalkan mereka.

Bagas menurunkan Fahmi dari gendongannya. Satu persatu ia mendekati kedua anaknya yang masih tidur dan mencium kening mereka. Beberapa mainan yang ia beli tadi dijalan dikeluarkannya. Fahmi begitu senang melihat mainan yang dibawakan ayahnya.

"Fahmi dan Farida belum membayar SPP selama enam bulan. Aku sudah tidak punya uang untuk membayarnya. Untuk makan saja kami kesulitan. Kamu sekali tak pernah memberikan kami nafkah. Ayah seperti apa kamu." Sulastri terlihat kesal.

Bagas mengeluarkan beberapa lembar uang kertas dari tas pinggangnya. Ia lalu meletakkannya di depan Sulastri. "Itu uang satu juta lima ratus, kamu bayar dulu SPP mereka separuh, selebihnya buat makan mereka," kata Bagas. Sulastri terdiam dan sama sekali tak menatap.

"Nak, kamu tidur dulu sana, besok kamu terlambat masuk,"kata Sulastri. Fahmi menatap Bagas.

"Tapi ayah nginep di sini kan?" Kata Fahmi memelas. Bagas mendekat.

"Kalau kamu tidur, ayah akan menemanimu di sini. Tapi kalau kamu tidak mau tidur, sekarang juga ayah akan pergi meninggalkanmu,"

"Jangan pergi ayah, Fahmi janji akan segers tidur." Fahmi memeluk erat tubuh Bagas. Bagas mengacak-acak rambut Fahmi dan mencium keningnya. Fahmi meloncat ke tempat tidurnya dan mulai menutupi tubuhnya dengan selimut.

*

*

"Sekarang Fahmi sudah tidur, apa lagi yang kamu tunggu", kata Sulastri setelah memastikan Fahmi benar-benar telah tidur.

#03

Sekarang Fahmi sudah tidur, apa lagi yang kamu tunggu", kata Sulastri setelah memastikan Fahmi benar-benar telah tidur.

Bagas mengatur nafasnya. Ia menatap wajah Sulastri dalam. Ia memberi isyarat dengan gerakan kepalanya agar Sulastri mengikutinya ke ruang tamu.

"Ada yang harus aku bicarakan denganmu. Ini mungkin akan menyakitimu," kata Bagas memulai pembicaraan begitu keduanya telah duduk di kursi ruang tamu. Sulastri mendesah. Ia sama sekali tak tertarik bertanya. Ia hanya diam menunggu kata-kata Bagas selanjutnya.

"Aku minta maaf jika selama ini aku mentelantarkan kalian." Bagas terdiam sejenak. Ia menundukkan wajahnya sembari melirik ke arah Sulastri. Dia tahu Sulastri akan marah setelah mendengarkan apa yang akan dikatakannya. Tapi hanya Sulastri yang bisa menyelamatkannya hari ini. Bagas mengangkat pelan wajahnya.

" Setelah semua proyekku gagal dan aku harus mengembalikan kerugian kepada perusahaan, hidupku hancur dan terpaksa aku terjerat judi yang panjang dan hutang yang menumpuk. Aku ingin bertaubat dan memperbaiki hidupku, namun aku tak bisa karna hutang yang menjeratku memaksaku berbuat yang tidak aku inginkan," Bagas menghentikan pembicaraannya. Ia terlihat mengusap air matanya. Sulastri memandangnya. Mendengar cerita Bagas, ia mulai terpengaruh. Selama ia menikah dengan Bagas, ia tak pernah melihat Bagas semenyesal itu. Ia berpikir mungkin kali ini ia benar-benar menyesali perbuatannya.

"Sekarang aku tak tahu lagi sampai kapan aku bisa bertahan. Mereka akan membunuhku jika aku tak segera melunasi hutangku. Aku tidak punya daya lagi untuk mencari uang sebanyak itu,"

"Berapapun hutangmu, aku tidak bisa membantumu. Untuk memberi makan anak-anakmu saja aku tak bisa,"kata Sulastri. Bagas mengangguk kecil. Agak lama ia terdiam. Matanya sesekali menatap wajah Sulastri yang masih terlihat penasaran dengan apa yang akan ia katakan. Bagas menunduk. Ditelannya ludah dalam-dalam sebab kerongkongannya terasa kering.

"Aku terpaksa mengorbankanmu Lastri, maafkan aku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa, kumohon maafkan aku." Bagas bersimpuh di hadapan Sulastri. Sulastri keheranan, apalagi saat Bagas mencium kakinya. Apa gerangan yang telah dilakukan Bagas sampai-sampai bersujud seperti itu kepadanya? Batinnya. Ia berusaha menyingkirkan kepala Bagas dari kakinya, tapi Bagas erat memegang kakinya. Bagas terus menangis. Sulastri mulai curiga.

"Aku tidak akan melepaskanmu. Aku tidak akan berhenti bersujud di kakimu sebelum kamu berjanji tidak akan marah kepadaku,"kata Bagas.

"Tapi aku tidak mengerti apa maksudmu. Apa yang telah kamu lakukan sehingga aku harus marah, singkirkan kepalamu dari kakiku,"

Tangis Bagas semakin menjadi-jadi. Air matanya membasahi kaki Sulastri.

"Maafkan aku karna telah menjadikanmu jaminan hutangku." Sulastri kaget, spontan ia mendorong tubuh Bagas dengan kakinya.

Sulastri berdiri dan menatap tajam ke arah Bagas yang tertunduk, masih dengan posisi bersimpuh.

"Jaminan apa yang kamu maksudkan. Jaminan apa!" kata Sulastri berteriak. Ia mendekat ke arah Bagas dan menarik bajunya.

"Katakan, aku kamu jadikan jaminan apa," Sulastri kini mulai menjambak rambut Bagas karna masih saja tak memberinya jawaban. Sesekali di tempelengnya wajah Bagas.

"Maafkan aku. Aku menjualmu karna aku tidak bisa melunasi hutangku. Dia akan membunuhku," kata Bagas.

Mendengar itu, amarah Sulastri semakin memuncak. Kali ini ditendangnya wajah Bagas sehingga terkapar di lantai. Ia meringis dan menggelepar di lantai. Puih! Sulastri meludahi muka Bagas.

Sulastri meninggalkan Bagas yang masih terkapar di lantai. Ia memilih menangis di sisi ranjang. Menatap satu persatu wajah anak-anaknya.

Ujian demi ujian tak henti menghampiri hidupnya. Disaat ia ingin tetap menjaga keimanannya agar tidak goyah ditengah kemiskinannya, kini ia akan melakukan sesuatu yang tak pernah terpikir dalam hidupnya. Parahnya lagi, sesuatu itu bukan keinginannya. Mantan suaminya tak henti-henti menimpakan kesusahan untuknya. Beberapa jam yang lalu, ia menyangka mantan suaminya akan berubah. Ia mengira ia akan minta rujuk dan memperbaiki rumah tangga mereka dari awal. Namun kenyataannya, ia datang menambah kesengsaraan dalam hidupnya. Lantas apa maksud Tuhan mengujinya dengan masalah seperti itu? Apakah ia akan menolak walaupun nyawa ayah anak-anaknya akan melayang. Tapi apa pedulinya ia seandainya laki-laki itu mati. Tak ada manfaatnya sama sekali untuk dirinya. Anak-anaknya nanti akan ia carikan ayah pengganti yang lebih baik, toh, ia datang malam ini bukan untuk mereka, tapi untuk memberitahunya bahwa ia akan dijadikan pelacur.

Sulastri bangkit. Ketika ia menengok ke arah Bagas, laki-laki itu terlihat sudah duduk di kursi, masih dengan meringis memegang kepalanya.

Sulastri melangkah menuju cermin buram di samping ranjang. Di atas kursi kayu ia duduk dan mulai memperhatikan wajahnya. Sisa air mata diusapnya dan mencoba terlihat tegar di hadapan dirinya sendiri.

Mungkin inilah petunjuk untuk dirinya. Kesusahan yang panjang yang telah ia jalani selama ini dirasanya cukup sampai malam ini. Anak-anaknya butuh makan dan sekolah mereka harus dilanjutkan. Usianya kini masih 30 tahun, masih segar dan cantik. Body nyapun tak jelek-jelek amat. Dia hanya belum punya pakaian yang pas untuk membungkus liuk tubuhnya. Payu daranya pun enggak kendor-kendor amat. Ia yakin masih laku jika harus menjadi kupu-kupu di jalanan.

Sulastri mendesah. Keputusannya sudah bulat. Dia harus mengambil resiko itu untuk melanjutkan kembali kehidupannya bersama anak-anaknya. Tak perlu mewah-mewah, anak-anaknya tak perlu menangis lagi jika melihat makanan dan mainan anak-anak lainnya. Sulastri bangkit dan mengangguk mantap di depan cermin. Tatapan matanya yang tajam ke arah cermin seakan-akan memberi semangat untuk dirinya sendiri.

Sulastri melangkah menemui bagas di tempatnya duduk. Melihat Sulastri sudah berdiri di sampingnya, Bagas tak berani menoleh.

"Katakan, dimana dan jam berapa aku harus menemui orang itu," kata Sulastri, masih berdiri bersedekap di depan Raka. Dengan tangan gemetaran, Bagas meraih secarik kertas dari dalam saku bajunya dan memberikannya pada Sulastri. Tanpa menoleh dan ia tetap menunduk.

Sulastri memeriksa tulisan dalam secarik kertas. Agak kusut, tapi ia masih bisa membacanya.

"Besok malam, mulai maghrib kamu sudah harus di di sini menemani anak-anak. Jika sampai kamu tak datang, jangan harap aku mau membantumu,"

Bagas mengangguk.

"Sekarang keluarlah, aku tidak mau melihatmu di sini. Cepat, kemasi barang-barangmu dan segera pergi," kata Sulastri sambil menarik kerah baju Bagas. Bagas bangkit. Setelah mengemasi barang-barangnya, ia lantas keluar dari rumah.

Brak!

Terdengar pintu dibanting dengan keras. Bagas kaget tapi berusaha tak menoleh. Dengan langkah gontai, ia berjalan menyusuri gang.

Suara tokek terdengar membelah hening malam. Mengeruhkan pikiran Sulastri yang masih bimbang untuk memutuskan sesuatu yang pilihannya ada di tangannya. Dia sudah mengobarkan api dan ia tak mau memadamkannya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!