“Kenapa belum bersiap? Kita akan terlambat nanti.” Ibuku masuk ke dalam kamarku dan langsung merampas novel yang tengah ku baca sambil rebahan di tempat tidur.
Dengan jengah ku lihat dia yang sudah berpakaian rapi dan berhias cantik sekali. Ya ibuku memang sangat cantik, padahal dia sudah berusia 48 tahun tapi dia terlihat masih berusia 30 tahun.
Setiap kita pergi bersama ke suatu tempat atau suatu acara, orang pasti akan mengira bahwa dia adalah kakakku. Tentu saja, hal Ini membuatku merasa cemburu sekali padanya. Ya, ibuku menikah di usia yang terbilang muda waktu itu. Di usianya yang ke 23 tahun dia sudah melahirkanku.
Tidak... bukan karena MBA, tapi karena ibuku memang ingin menikah muda agar bisa cepat menimang cucu katanya. Lucu bukan? Padahal waktu itu menikah saja belum sudah kepikiran cucu.
Tapi aku juga ingin sepertinya yang menikah di usia muda. Tapi sampai umurku 25 tahun saja aku belum menemukan seseorang yang datang padaku dan menyatakan cintanya. Yang ada aku lah yang menyukai orang lain tanpa balasan darinya.
Ini adalah kali ke dua aku menyukai seseorang. Yang pertama adalah saat aku duduk di bangku SMA. Aku menyukai seorang pria misterius yang sampai sekarang bekum aku ketahui identitasnya. Dan yang kedua adalah saat ini. Siapa dia? Nanti akan terjawab semuanya.
Tapi ibuku bersikap aneh sekali. Dia berpakaian tidak seperti biasanya.
“Ah ibu yang benar saja? Tinggal selembar lagi selesai.” Gerutuku padanya, meskipun begitu aku beranjak duduk juga.
“Ayah dan Huan sudah menunggumu di ruang tamu. Dan Ini! kau harus memakainya, mengerti?” ibu menyodorkan sebuah kotak abu-abu padaku.
“Ini apa?” ku terima kotak itu perlahan.
Bingung serta penasaran dengan apa yang ada dalam kotak itu, perlahan dengan perasaan ragu-ragu aku membukanya.
“Baju baru? Bukan... ini gaun kan bu?” aku membelalakkan mata tak percaya. "Gaun??? Kenapa Gaun???" Aku bertanya ingin tahu.
Aku merasakan ada keganjilan di sini. Keningku mengernyit dan menatap ibu menyelidik.
“Sudah pakai saja sana... cepat ya, Ibu tunggu di ruang tamu bersama ayah dan Huan. Ahhh... iya... jangan lupa bermake up yang pantas.” Pesan Ibuku yang sudah berada di depan pintu untuk beranjak keluar. Senyumnya mengembang terasa begitu menakutkan. Karena aku mencium ada sesuatu yang tak beres dengannya.
“Hanya makan malam biasa saja kan? kenapa harus pakai gaun seperti ini? Yang benar saja??” aku menggerutu sebal.
Tapi meskipun begitu, aku beranjak juga dari tempat tidur dan mencocokkan gaun itu pada tubuhku. Ukurannya sangat pas sekali dengan postur tubuhku yang mungil. Aku tak bisa membohongi diriku sendiri kalau aku sangat menyukai gaun simpel ini.
Bergegas aku berganti pakaian dan mengenakan gaun itu yang terasa sangat pas dan nyaman.
Gaun warna maroon selutut, berlengan 3/7 di bawah siku dengan aksen renda-renda yang sangat simple, ku padankan dengan bando berpita warna hitam yang berukuran sebesar dua jari menyibak rambutku ke belakang dan menggelung cepol rambutku ke atas.
Ibuku memang tau betul bagaimana membelikan baju untuk anak perempuannya ini. Gaya berbusana yang simple tapi tetap terlihat manis. Tapi tetap saja, ini terlihat sedikit lebih wah dari biasanya.
Sepatu? Aku hanya punya koleksi sepatu keds, kanvas dan flat shoes. Maaf, meskipun aku pendek, aku tak punya koleksi sepatu dengan heels tinggi. Karena aku pernah mendapatkan pengalaman yang buruk dengan sepatu heels tinggi. Engsel kakiku pernah terkilir. Dan aku menjadi antifans dari heels tinggi. Jadi kali ini aku putuskan memadankannya dengan sepatu keds putih dengan aksen maroon untuk mencocokkan dengan gaunnya.
"Apakah ini sudah sempurna?" Aku menatap diriku di depan cermin kamar. Aku tersenyum pada akhirnya mendapati bayangan tubuhku di cermin.
"Whoooaaaa.... Aku akui aku memang cantik kali ini." Seperti orang gila aku menyanjung diriku sendiri dan tertawa kecil.
Tak apa kan sesekali menyanjung diri sendiri, itu salah satu cara untuk mencintai diri sendiri. So "Love your self first before you love the other". Itu adalah quotes penyemangatku dari pengagum rahasiaku.
Make up? No... Aku tak suka memakai make up bold, jadi simple dan flawless saja. Dengan begini aku akan terlihat seperti anak SMA. Iya kan?
Tapi aku masih heran, kenapa aku harus memakai gaun? Ini hanya makan malam keluarga saja kan? Atau hari ini hari ulang tahun pernikahan ayah dan ibu? atau ulang tahun Ayah? Atau ibu? atau Huan? Tak mungkin aku melupakan hari-hari spesial dalm hidupku. Aku terus saja berpikir tentang hal itu. Dan pada akhirnya aku bergegas menuju meja kerja di sudut kamarku.
Ku sambar kalender di mejaku dengan cepat. Dan dengan seksama aku memperhatikan tanggal hari ini. Aku memicing mengetahui ternyata bukan hari spesial seperti apa yang aku pikirkan.
"Benar kan?? Aku tak pernah lupa tentang hari-hari spesial keluargaku. Jadi acara apa??" Aku bergumam sendirian.
“Mei??? Lama sekali nak?” ibuku berteriak dari ruang tamu. Aku pun segera tersadar.
“Ya... aku segera keluar!” Ucapku dengan sebal, meski begitu aku bergegas meletakkan kalender pada tempatnya semula dan beranjak keluar cepat-cepat.
Tak lupa aku menyambar tas selempang hitam kecil di gastok dekat pintu. Sembari berlari aku mengalungkan tas selempang itu menyilang dari pundak kiriku dan menggantung dibawah tangan kananku.
“Whoaaaa...... apa ini kakak? Kau cantik sekali?” Zhang Xiuhuan adik laki-lakiku tertegun menatapku tak percaya.
Aku malah mengernyit dan melirik tajam ke arahnya.
“Ya... kau mengejekku atau menyanjungku?” ucapku padanya tak percaya dengan apa yang dia katakan.
Tatapanku mengintimidasinya. Karena biasanya Huan akan mengataiku dengan sangat kejamnya. Mentang-mentang dia mewarisi seluruh gen terbaik keluargaku.
“Tidak... kali ini kakak benar-benar cantik.” Ucapnya berbinar. Aku menatapanya dalam lebih mengintimidasi. Ku lihat matanya menunjukkan kalau dia tidak berbohong. Ya... Sepertinya dia jujur, aku pun yang semula berwajah masam, kini langsung berubah menjadi manis dan tersipu padanya.
“Iya kah?” aku tersenyum spontan karena merasa senang Huan menyanjungku. Dan ini benar-benar item rare yang aku dapat dari Huan.
"Kenapa aku tak pernah menyanjungmu, karena aku paling malas kalau kau akan berubah genit seperti itu." Huan berubah jengah.
“Sudah... ayo kita berangkat sekarang! Kasihan keluarga Feng sudah menunggu?” kata ayahku sembari berjalan keluar menuju mobil mini fan kebanggan kami.
Tunggu!
Keluarga Feng? Siapa keluarga Feng? Aku baru mendengarnya kali ini. Dan... Bukankah ini adalah acara makan malam keluarga pribadi? Kenapa ada keluarga Feng?
Kenapa ayah menyebut keluarga Feng? Aku terus bertanya-tanya dalam hati antara penasaran dan bingung. Aku juga berpikir mencoba menyelidiki apa yang sebenarnya terjadi.
***
“Keluarga Feng? Siapa?” Aku bertanya pada Huan pelan saat masuk ke dalam mobil. Aku benar-benar penasaran dan ingin tau.
“Aku juga tak tau siapa mereka, yang jelas mereka adalah keluarga yang spesial. Buktinya, kita harus berpakaian seperti ini. Ayah dan ibu benar-benar keterlaluan kali ini, sudah tau ini musim panas. Tapi kenapa kita harus berpakaian seperti ini? aku sudah mulai gerah.” Kata Huan lirih dengan menggedikkan bahunya memberi isyarat bahwa dia juga benar-benar tak tau siapa itu keluarga Feng. Namun kemudian dia malah menggerutu kesal. Bibirnya mengerucut menandakan kalau dia benar-benar kesal.
"Iya kan?" Aku menyetujuinya.
Kemudian kami terdiam. Sepi. Senyap sekali. Hanya suara deru halus mini fan kebanggaan kami.
Ayah dan ibuku juga hanya diam saja dalam perjalanan menuju rumah makan. Ini benar-benar sangat aneh menurut kami. Dan tidak seperti biasanya. Karena biasanya, kami benar-benar sangat ramai ketika berada di dalam mobil. Kini benar-benar sepi.
Aku dan Huan pun sesekali saling bertatapan bingung dan curiga dengan maksud bertanya ‘apa yang terjadi?’ namun kami juga sama-sama tak tau dan tak bisa menjawabnya.
Tak berapa lama mobil kesayangan kami akhirnya berhenti di depan sebuah gedung tinggi menjulang dengan lampu-lampu yang berkerlap-kerlip cantik.
Aku bisa menebaknya. Kalau makan malam kali ini akan berada di rumah makan mewah yang berada di gedung ini.
Dengan perasaan bingung aku dan Huan turun dari mobil perlahan. Huan dan aku langsung saling merangkul tangan satu sama lain. Seorang butler kemudian menghampiri kami dan membawa mobil kami pergi ke tempat parkir.
Maklumkan saja. Kami tak pernah berada di gedung mewah seperti ini. Kantorku besarnya hanya sepertiga gedung ini dan kantor ayah juga hanya seperdua saja. Jadi kami tak terbiasa dengan pelayanannya yang serba mewah.
"Mei! Ayo ikut masuk!" Ayahku mengejutkanku yang masih terlihat bingung.
"Ah... eh... iya." Ucapku kemudian sedikit berlari mensejajari ayah dan ibuku yang sudah masuk terlebih dahulu. Tapi aku kembali tertinggal di belakang.
“Maaf kami terlambat.” Ucap ayahku mendekati sebuah meja makan besar di sebuah rumah makan yang terbilang cukup mewah dan sudah direservasi sebelumnya.
Rumah makan itu terletak persis di lantai dasar gedung mewah yang kami masuki.
Sejak awal memasuki rumah makan ini aku sudah mulai merasa bahwa makan malam ini ada yang aneh. Bukan karena apa? Karena keluarga kami biasanya menyukai rumah makan sederhana dengan hidangan tradisionalnya. tapi kali ini 100% bukan gaya keluarga kami.
Dan ini sangat bertentangan dengan kebiasaan kami.
Aku enggan melangkahkan kakiku tapi ibu dan Huan terus menarik lenganku. Hingga akhirnya aku sudah berdiri di dekat ayahku sekarang. Tegang. Ibu mencubit pinggangku pelan untuk memberikan kode agar aku membungkuk memberikan salam kepada mereka berdua yang kini berdiri menyambut kami.
"Tak apa-apa Zhu Long, kami juga baru saja sampai." Ucap paman yang ada di depan kami.
Paman itu terlihat tampan, mungkin masa mudanya dulu dia juga sangat tampan. Aku sangat yakin akan hal itu. Istrinya juga terlihat cantik, tak jauh berbeda dengan ibuku. Tapi sepertinya beliau lebih tua beberapa tahun dari ibuku. Dan lagi, dia sangat anggun. Jauh berbeda dengan ibuku yang sedikit ya.... bisa dibilang ibuku jauh dari kata anggun. Mungkin ke bar-baranku menurun darinya.
Dengan sedikit malas-malasan aku tersenyum dan membungkuk pada dua orang teman ayahku itu, yang sepertinya jika dilihat dari sekilas saja mereka adalah sepasang suami istri.
Kenapa aku bisa menyimpulkan demikian? Karena paman dan bibi itu sangat serasi. Alasan yang aneh kan? Hanya karena serasi aku menyimpulkan demikian. Aku memang suka aneh-aneh.
“Selamat malam paman, bibi?” sapa ku sesopan mungkin pada mereka sok akrab dengan melemparkan senyum terindah yang aku punya. Tentu saja Ini terasa sangat aneh buatku.
“Wah... kau cantik sekali nak! Mari-mari silahkan duduk!” senyum mereka sembari menyanjungku. Aku tersipu tentu saja. Kemudian mereka mempersilahkan seluruh keluargaku untuk duduk.
“Ini anak sulungku Zhang Xiumei dan ini adiknya si bungsu Zhang Xiuhuan.” Ucap ayahku memperkenalkan kami pada mereka berdua. Aku dan Huan hanya tersenyum mengangguk pada mereka sopan.
“Dan... mereka adalah paman dan bibi Feng teman lama dan sahabat dekat ayah tentu saja.” Ayahku dengan bangganya berganti mengenalkan mereka padaku dan Huan.
Aku bisa melihat betapa ayahku sangat mengagumi dan membanggakan mereka.
Aku menatap mereka yang tersenyum ramah padaku hingga membuatku salah tingkah dan merasa tak nyaman. Karena, mereka terus saja memperhatikanku.
“Waaah... Xiumei sudah dewasa rupanya, kau terlihat semakin cantik saja nak. Xiuhuan juga sudah besar, sepertinya dia juga akan menjadi pria yang sangat tampan nantinya.” Kata paman Feng menyanjung kami sembari tersenyum.
‘Kapan mereka bertemu denganku? Kenapa seolah-olah mereka mengenalku sejak aku kecil?’ aku bertanya-tanya dalam hati.
“Kau heran?” suara bibi Feng mengagetkanku yang tengah terbang melayang dalam lamunan bertanya-tanya.
"Ayahmu selalu mengirimkan kami foto setiap ulang tahunmu, sejak kau masih bayi. Makanya kami sangat tau perkembanganmu.” Ucap bibi Feng memberikan jawaban atas keherananku.
“Ah... demikian rupanya.” Aku tersenyum paham pada mereka namun merasa canggung kembali.
Pantas saja mereka seperti telah mengenalku sejak lama. Ternyata seperti itu ceritanya.
Ku cubit paha Huan yang duduk tegang di sampingku. Seketika Dia langsung menoleh ke arahku dengan sedikit meringis menahan sakit.
Aku memberikan isyarat padanya kalau aku tak nyaman berada di sini. Dia pun membalas isyaratku dengan maksud yang sama denganku juga, bahwa dia merasa canggung dan merasa sangat tak nyaman.
Tapi di mana anak mereka? apakah mereka tak mempunyai anak? Kenapa ayah mengajak keluarganya semua sedangkan mereka tidak. Aku bertanya-tanya lagi dalam hati. Aku berharap jika anak mereka adalah seorang perempuan dan seusia denganku. Dengan begitu setidaknya aku bisa berbincang santai dengannya tanpa kecanggungan seperti ini.
Atau mungkin seorang pria? galak? kejam? tidak... melihat wajah kedua orang tuanya seperti mereka pasti anaknya tak seburuk yang aku duga. Atau... mereka bahkan tak punya anak. Soalnya mereka tak menyinggung perihal anaknya sama sekali.
“Ah... kenapa dia lama sekali?” ucap bibi Feng kepada suaminya. Dan ini mungkin jawaban pertanyaan dalam benakku. Mereka tengah menanyakan anaknya yang tak kunjung datang. Mungkin.
Sedikit bersorak hatiku mendengarnya, karena aku juga penasaran padanya. Aku bahkan sudah membayangkan bahwa dia adalah gadis yang ceria dengan melihat kedua orangtuanya yang ramah seperti ini. Karena aku benar-benar berharap anak mereka adalah seorang perempuan bukan laki-laki.
“Tidak apa-apa, pengusaha muda seperti dia pasti sangat sibuk sekali. Kami sangat memakluminya.” Ibuku menimpali.
Aku dan Huan hanya cengar cengir tak karuan, bingung mendapati makan malam canggung ini. Perutku yang sudah terasa perih harusnya sudah terisi penuh sejak tadi. Tapi ini sama sekali belum kemasukan sebutir nasi pun. Karena mereka semuanya belum ada yang memulai makan dan masih terus berbincang-bincang. Mungkin menunggu anaknya? mungkin begitu.
Aku semakin bosan dan merasa hampir mati karena kelaparan. Cacing-cacing dalam perutku semakin memberontak. Sepertinya mereka tengah berdemo di dalam sana.
“Maaf saya terlambat!” Di saat aku menunduk lemas menahan lapar, Sebuah suara dengan tone yang sedikit berat mengejutkanku sehingga membuatku spontan mendongak ke arah suara yang berada di dekat kursi kosong sebelahku.
***
“Maaf saya terlambat.!” Sebuah suara dengan tone yang sedikit berat mengejutkanku yang tengah menunduk sehingga membuatku spontan mendongak ke arahnya.
“Ada rapat yang memakan banyak waktu.” imbuhnya.
Ternyata seorang pria, aku hanya melihatnya sekilas kira-kira dia lebih tua dariku membungkuk ke arah kami.
'Siapa pria ini?' aku bertanya-tanya dalam hati. Namun perasaanku berkata bahwa aku sedikit merasa tak begitu asing dengannya.
Aku meliriknya lagi. Dia sangat berkharisma dan berwibawa. Tapi dia terkesan dingin dan kaku. Kalau dinilai dari wajahnya, aku akui dia memang tampan. Aahh... aku baru sadar, apa karena dia begitu mirip dengan aktor Yang Yang sehingga aku merasa tak asing dengannya?
Aku tidak melebih-lebihkan, dia memang sangat mirip dengan Yang Yang.
“Ah... baru saja aku akan menelfonmu.” Ucap bibi Feng padanya dengan nada sedikit khawatir.
“Nah... ini dia anakku, Feng Jinyi.” Paman Feng memperkenalkan anaknya pada kami.
Pria bernama Jinyi itu tersenyum membungkuk ke arah kami dan kemudian menyapa ayah ibuku. Aku masih berkutat dengan pikiranku yang berusaha mencoba untuk mengingat-ingat apakah aku pernah bertemu dengannya atau tidak? atau aku pernah kenal dengan dia atau belum? selain karena dia mirip Yang Yang tentunya.
“Terakhir bertemu denganmu adalah saat kau masih berumur satu tahun dan kami baru saja menikah waktu itu. Sekarang kau tumbuh menjadi pria yang tampan.” Ucap Ayahku sembari tertawa.
“Tetapi Mei, apa kau tak kenal dengannya?” ayahku bertanya padaku.
“Maaf?” Aku terkejut dan tersadar dari lamunanku yang masih mencoba-coba mengingatnya, dengan segera aku menatap ayahku bingung.
“Bukankah kalian dulu satu sekolah sewaktu SMA?” tanya paman Feng dengan tatapan menyelidik.
“Ahh.... begitu???" Aku malah nyengir canggung. "Tapi... maaf... aku sama sekali tak mengingatnya.” Aku berkata dengan senyum yang masih canggung namun berusaha terlihat sesopan mungkin.
Satu sekolah saat SMA? Mengenalnya? Aku mencoba mengingat lagi. Sejak aku lulus SMA ini sudah 8 tahun berlalu. Umurku saja sudah 25 tahun, bagaimana aku bisa mengingat kenal dia atau tidak. Lagi pula dulu aku terlalu acuh dengan sekitar dan hanya mengenal teman sekelasku saja. Di antara teman sekelasku sepertinya tidak ada yang bernama Feng Jinyi bahkan setampan dia.
Aku tersenyum canggung lagi karena Jinyi terus saja menatapku menyelidik. Sehingga membuatku merasa semakin tak nyaman. Aneh kan? kenapa dia terus saja menatapku seperti itu.
Aku jadi merasakan hawa disekitarku berubah menjadi hawa yang sangat mencekam setelah kedatangannya. Auranya menjadi sangat berbeda dan lebih membuat tak nyaman lagi.
“Ah... maklum saja, kalau dihitung tentang tahun kelulusannya, waktu itu Mei masih kelas satu kan? Jadi aku kira wajar saja kalau dia tidak mengenal siapa Jin? Mungkin nak Jin juga demikian?” ibuku menimpali dan balik melemparkan pertanyaan padanya.
Ibuku memanggilnya dengan nama Jin saja? Sok akrab sekali ibuku ini. Mentang-memtang dia tampan ibuku jadi terlena. Dan... pantas saja aku tak mengingat ataupun mengenalnya. Ternyata dia adalah kakak tingkatku. Dan dia ternyata dua tahun dia atasku. Jadi dia tingkat tiga dan aku tingkat satu. Jika memang seperti itu, Mana mungkin aku mengenalnya. Selain itu... seperti yang aku katakan sebelumnya, aku dulu adalah anak yang super cuek yang tidak begitu memperhatikan sekitarku dan tak mau tau tentang siapa-siapa kecuali teman sekelas dan para guruku.
“Maaf, sepertinya saya juga tak mengenalnya.” Jinyi menjawab pertanyaan ibuku. Akan tetapi matanya yang tajam menatap ke arahku menusuk paru-paruku hingga membuatku merasa sulit bernafas.
Tapi meskipun begitu aku melihat ada keteduhan dalam tatapannya. Dan tatapan itu... sepertinya tak begitu asing bagiku.
“Ah... pantas saja kalian sangat canggung sekali.” Ucap bibi Feng kemudian tertawa lirih.
Satu jam berlalu dan mereka mengobrol ngalor ngidul yang aku tak mengerti sama sekali apa yang tengah mereka bicarakan. Anehnya, Jinyi bisa mengikuti pembicaraan mereka dengan baik. Mungkin karena Jinyi sudah sangat berpengalaman jadi mereka bisa sangat nyambung. Aku sesekali hanya tersenyum saat ditanya mengenai sesuatu hal karena aku bingung harus menjawabnya bagaimana.
Aku memainkan kakiku mengayunkannya maju mundur tanpa suara, hal ini menandakan bahwa aku merasa sudah sangat jenuh sekali. Aku tak bisa mengikuti obrolan dewasa di antara mereka. maksudku obrolan bisnis.
Aku melirik Huan tengah asik bercengkerama dengan Jinyi. Apa yang mereka bicarakan aku tak begitu mendengarkan. Yang jelas, mereka sangat menikmati obrolan itu. Jadi.... hanya aku di sini yang merasa bosan??
Aku berusaha menguping pembicaraan mereka, namun karena berbaur dengan obrolan orang tua kami, aku hanya bisa menangkap sedikit saja isi pembicaraan mereka. Intinya adalah, bahwa si Jin ini sudah 2 tahun terakhir ini telah mengambil alih perusahaan elektronik milik ayahnya karena ayahnya sering sakit-sakitan. Pantas saja paman Feng terlihat sangat pucat sekali. Ternyata dia tengah sakit.
“Ah... Xiumei...” paman Feng memanggilku pelan membuatku tergeragap.
“Ya paman.” Jawabku sedikit terkejut kemudian menatapnya sembari tersenyum seramah yang aku bisa.
Namun paman Feng tidak bergegas menjawab dan semuanya kini malah terdiam dan menatap ke arahku lekat.
'Ada apa ini?' Hatiku bertanya-tanya.
Hatiku mulai berdetak kacau karena menyadari ada sesuatu yang tidak beres sekarang. Aromanya sudah mulai tercium.
“Mungkin ini terlalu cepat, tapi... Aku dan ayahmu telah sepakat dan memikirnya dengan waktu yang lama, bahwa kami telah mempertimbangkan semuanya dengan baik... kami... sudah sangat lama sekali berharap untuk keluarga kita agar menjadi keluarga yang sebenarnya.” Perkataan paman Feng sangat panjang.
Apa yang aku tangkap seprtinya bukan maksud paman Feng. Jantungku semakin berdegub cepat, darahku serasa berdesir.
Aku menatap menyelidik menunggu kalimat selanjutnya yang akan keluar dari mulut paman Feng. Aku tak mau menyelanya untuk bertanya lebih lanjut.
“Kupikir sekarang adalah saat yang tepat untuk mewujudkan harapan kami. Kami... menginginkanmu dan Jin untuk mewujudkan harapan itu.” pungkasnya membuatku semakin bingung.
“A...aa... apa Maksud paman Feng? Ak... aku... benar-benar tak mengerti dan bingung.” aku terkejut bukan main, jantungku yang berdegub kencang dan kacau kini serasa seakan-akan ingin melompat dari tempatnya.
Darahku serasa berhenti mengalir. Otakku serasa tersengat jutaan kilatan petir sehingga membuatku merasa tercekat. Aku masih berusaha mencoba untuk mencerna perkataan paman Feng.
Apa ini artinya salah satu di antara kami akan diadopsi???'Atau.... kami harus menikah? Oh tidak... jangan bercanda? Pikiran macam apa ini? Mana mungkin aku akan menikah dengannya?
Ku mohon... ini bukanlah sebuah drama atau novel yang tengah ku baca. Hal yang sama sekali tak pernah ku bayangkan sebelumnya? Menikah dengan orang yang baru 1,5 jam ku kenal?
Tidak... paman Feng belum mengklarifikasi tentang pernyataannya. Bisa jadi mau mengadopsiku? Atau ayahku yang akan mengadopsi Jin? kita kembali pada opsi itu.
“Jin telah menyetujuinya sayang.” Ayahku menimpali dan mencoba meraih tanganku untuk digenggamnya.
“Menyetujui???” dengan bodohnya aku bertanya pada ayahku... menyetujui apa maksudnya ini? Dunia seakan mau runtuh saja.
“Baiklah... akan aku jelaskan jadi dengarkan ayah baik-baik.” Ayahku memegang tanganku lembut sembari tersenyum seakan menguatkan. “Paman Feng dan ayah sangat berharap agar kamu dan Jin segera menikah.” pungkas ayah yang membuatku langsung merasa lemas.
Duar!!
Serasa jutaan petir kini menyambar tepat di jantungku. Dan terasa benar-benar menyambarnya. Dadaku terasa sesak... pikiranku serasa hilang dan kosong... darah ku serasa telah berhenti mengalir. Dan hatiku terasa tersengat listrik ribuan volt.
Aku merasa lemas sekali, namun sebisa mungkin ku coba untuk terus bertahan agar aku tak terjatuh.
Tiba-tiba tanganku yang terkulai lemas di atas meja direngkuh oleh jemari lembut bibi Feng yang entah sejak kapan sudah berada di sampingku.
“Kami akan sangat tenang jika Jin memperistri gadis sepertimu nak. Kau lah harapan kami nak! Dan.... Mengingat ayah Jin harus segera berobat ke luar negeri, serta... Jin membutuhkan seseorang yang selalu berada di sampingnya untuk mendukungnya. Maka... Kami sangat mengharapkanmu mau menjadi istri Jin.” Ucapnya keibuan.
Aku masih tak bisa berkata apa-apa. Mulutku serasa terkunci. Bagaimana ini? Aku memang tidak sedang dalam berkencan dengan seseorang, tapi... aku mulai menyukai seniorku di tempatku bekerja.
Aku menyukainya... Lagi pula... aku juga hanya seorang anak dari pengusaha properti biasa yang sederhana. Tidak seperti keluarga Feng yang bergelimang harta.
Aku hanya seorang wanita yang bekerja di sebuah kantor advertising biasa. Dengan gaji UMR umum. Mana mungkin aku menikah dengan putra seorang pengusaha besar sepertinya. CEO menikah dengan pegawai advertising? konyol kan?
Aku merasa begitu tertekan dengan berita yang sangat tiba-tiba ini. Aku bahkan sampai tak bisa menangis saking merasa kaget dan bingungnya.
“Aku sudah semakin melemah... Kami juga sudah sangat menyukaimu sejak kau masih bayi. Aku hanya ingin melihat putraku menikahi gadis yang benar-benar baik sepertimu sebelum aku pergi. Aku juga sudah meminta kepada ayahmu sejak kau masih bayi bahwa aku ingin menjadikanmu sebagai menantuku. Mungkin hanya ini permintaan terakhirku sebelum masa ku berakhir.” Paman Feng berkata lembut naun sepertinya dia menahan tangis karena suaranya terdengar berat dan pecah tak seprti saat awal bertemu tadi.
Mensengarnya ibu dan bibi Feng mulai menangis. Aku tak memperhatikan ekspresi Jin sama sekali. Kalau seperti ini... aku bisa apa? Ini sama saja dengan wasiat. Dan hatiku... aku sama sekali tak bisa membiarkan orang lain menangis seperti ini. Karena melihat orang yang kita sayang menangis, itu adalah hal yang lebih menyakitkan untukku. Dan ini benar-benar menyerang hatiku.
“Baiklah... mungkin kalian perlu waktu berdua untuk berkenalan terlebih dahulu....” ibu ku berkata pelan di sela isakannya.
Detik berikutnya aku menatap kosong vas bunga di tengah meja. Linglung.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!