NovelToon NovelToon

Ketulusan Sang Dewa

Pernikahan

“Sah….” Terdengar suara seruan dari beberapa saksi yang berada di ruangan kecil sederhana tersebut.

Hari ini pernikahan pun telah berlangsung cukup kilat, tak ada acara hiburan maupun sambutan tamu undangan yang datang.

“Sekarang mempelai wanita silahkan menc**m punggung tangan suaminya.” Begitu suara khas pria paruh baya yang menjadi penghulu di sana.

Dan setelah selesai dengan perintahnya. “Sekarang giliran mempelai pria menc**m kening mempelai wanita.”

Sesuai perinta, kedua mempelai tersebut melakukan apa yang mereka lakukan seharusnya.

“Terimakasih, yah. Sudah menerimaku.” Manik mata hitam itu menatap lekat wanita cantik yang baru saja menjadi istrinya.

Tatapan yang ia tujukan penuh makna cinta yang sangat dalam. Berbagai bentuk wanita yang datang padanya tak ada yang mampu menggoyahkan hatinya. Dan kini, hatinya berlabuh dengan yakin pada wanita berparas manis berkulit sawo di depannya yang memakai kebaya putih sederhana itu.

“Kalau bukan karena Ayah, aku tidak akan mau melakukan ini. Dan ini semua jelas karena pekerjaan itu.” Bukan mendapat sambutan yang manis pula, justru wanita manis di depannya berucap ketus kepadanya.

“Ingat, Rex. Pernikahan ini sampai kapan pun tidak akan bahagia. Sampai kamu yang bicara dengan ayahku untuk menceraikan aku.” bisik istri dari pria bernama Arex Sebastian.

Dimana pria itu telah mempersunting wanita yang bernama Bimala Disya. Gadis berusia 24 tahun yang tengah menikmati pekerjannya sebagai manager HRD di salah satu perusahaan besar.

Arex hanya tersenyum sangat kecil, tatapannya begitu tenang. “Sampai kapan pun juga, itu tidak akan pernah terjadi, Mala.” sahutnya mantap.

Keduanya terhenti saling bicara, saat terdengar suara wanita paruh baya menghampiri mereka. Tak lupa, tatapan yang sangat tajam ia berikan pada menantu yang baru saja sah menjadi suami dari anak gadisnya itu.

“Mala, ngapain sih dekat-dekat sama dia. Sini, yang penting sudah sah. Kita harus pergi dari tempat ini. Ibu sudah gerah sekali.” Tangan sedikit keriput itu mencengkeram erat pergelangan sang anak.

Melihat dua wanita yang ingin beranjak dari ruangan tersebut, Arex bersuara. “Bu, Mala akan tetap di sini. Dia sudah sah jadi istri saya.” Begitulah ucapan Arex yang sangat tegas.

Wajah tampan dan tubuh yang tinggi sempurna, nyatanya tak mampu membuat wanita itu luluh padanya. Begitu pulang sang ibu mertua.

Matanya berbalik menatap sang menantu. “Kamu yang benar saja? Mau bawa anak saya tinggal di sini. Siapkan rumah seharga 500 juta baru kamu bisa bawa anak saya tinggal bersama mu. Mengerti!”

Pak penghulu yang masih memakai sepatunya di depan teras rumah Arex menggeleng mendengarnya. “Ibu, itu dosa. Istri harus tinggal dimana seharusnya suaminya berada. Itulah arti sebuah pernikahan. Menyatukan dua insan tanpa memandang kekurangannya…”

Belum usai pria itu bicara, sudah kembali di bantah oleh Sari, Ibu dari Mala. “Halah…Pak Penghulu diam saja. Anda tidak tahu apa-apa. Anak saya ini wanita karir. Masa sudah kerja keras, masih harus mau ikut hidup susah sama lelaki itu. Yang benar saja!” ucapnya tak berfilter.

“Ibu benar, Rex. Itu tidak mungkin jika aku harus di sini bersamamu. Kalau kau, ikutlah di rumah kami saja. Aku tidak sanggup tinggal di tempat ini.” Mata Bimala menatap sekeliling rumah.

Bangunan yang berdinding kayu, serta alas hanya dengar gulungan karpet yang di bawahnya tak ada marmer atau pun keramik. Hanya ada semen yang di tutup dengan karpet. Sungguh tak pernah terbayangkan di hidupnya selama ini.

“Haduh…nasib apa sih yang menimpaku? Sampai harus jadi istri dari pria seperti Arex? Dia…memang tampan sih. Coba aja yang dia tinggali rumah istana, pakaian yang dia pakai jas dan jam tangan mewah di tangannya…” Sesaat Bimala memandangi wajah rupawan sang suami dari jarak depan rumah ke ambang pintu rumah Arex.

“Mala! Kamu kenapa melamun?” tanya sang Ibu yang membuyarkan lamunan sang anak kala itu.

Sementara tatapan mata Arex begiru dalam pada sang istri. “Baiklah, kalau begitu saya yang ikut kalian sementara waktu sampai kau bisa menerima rumah pemberianku ini.” tutur Arex mengalah.

Sari mencebikkan bibirnya geli. “Cih, pemberian rumah? Dimana-mana pemberian rumah itu rumah yang mewah. Baru dan siap huni. Ini mah rumah buat korban banjir pantasnya.”

Tak ada sahutan dari Arex. Pria itu berjalan mengikuti sang mertua dan sang istri menuju mobil.

Dalam hati Arex berucap terimakasih pada seorang pria yang turut serta dalam rencananya menjadi suami dari seorang Bimala Disya.

Rumah Mertua

Setibanya di halaman rumah, tampak wanita paruh baya serta wanita yang masih tampak muda turun dari mobil.

“Nyonya, ada yang bisa di bantu?” Muncul sang pelayan dengan membungkuk sedikit kala berhadapan dengan sang majikan.

“Selamat datang, Tuan…” sapa wanita yang menjadi pengurus rumah di sana. Ia tersenyum pada sosok Arex.

“Terimaka…” Arex yang senang mendapat sambutan dari pelayan itu mendadak menghentikan ucapannya saat sang mertua bersuara lantang.

“Bi, sudah masuk sana. Bawa tas saya, dia itu tidak perlu di sambut. Dia sama sepertimu, Bi. Bukan Tuan atau pun tamu di sini.” Ketus Sari melenggan bersama Bimala.

Mau tak mau pelayan itu mengikuti perintah sang majikan. Rasanya sungguh tidak enak saat melihat sikap majikannya pada pria yang jelas ia tahu adalah menantunya dari majikan tersebut.

Arex hanya menatap kepergian istri dan mertuanya dengan tatapan hampa. Disana adalah wanita yang ia sukai dan begitu ia cintai.

“Aku akan lihat berapa lama kamu bertahan dengan sifat mu itu, Bimala.” batin Arex dengan wajah penuh misteriusnya.

Kini sang pelayan pun mengangguk dengan perasaan bersalah. “Tidak apa-apa, Bi. Terimakasih sebelumnya.” sahut Arex dengan nada suara yang terdengar sabar sekali.

Pria itu pun melangkah masuk tanpa ada yang menyambut dan mempersilahkan. Langkah lebar itu terhenti saat menatap rumah yang hanya berlantai dua dan ukuran tidak begitu besar di mata pria itu.

“Mari, Tuan. Kamar Nona Mala di atas.” Arex melangkah mengikuti pelayan.

Keduanya berjalan menaiki tangga yang lebar. Keadaan rumah memang sangatlah sepi. Karena saat ini sang ayah mertua berada di rumah sakit. Sesuai permohonan sang ayah, untuk meminta penghulu menjadi wali nikah sebelum ia benar-benar tidak sadarkan diri di rumah sakit.

“Heh, mau kemana kamu?” Lantang suara teriakan Sari, sang ibu mertua menghentikan langkah Arex yang ingin masuk ke kamar istrinya.

“Maaf, Nyonya. Tuan saya mau antar ke kamar Nona Mala. Kan beliau…”

Mata Sari membulat penuh. “Enak saja, kamu pikir setelah menikah kalian bisa tidur sekamar? Tidak. Hubungan kalian cukup pernikahan. Tidak ada suami istri di dalamnya. Bimala!” Makinya pada Arex lalu setelahnya Sari pun memanggil sang anak yang sudah berada di kamar mandi.

Tak lama muncullah suara Bimala dari dalam kamar. Pintu sudah terbuka sejak tadi.

“Ada apa, Bu? Kenapa teriak-teriak?” tanya wanita itu bingung.

Matanya berpindah pada sosok tampan dengan tas ransel di punggungnya. Bimala sontak memutarkan kedua bola matanya jengah.

“Kamu tidur di bawah sana. Satu lagi, selama Ayah di rumah sakit.” ujar Mala tegas.

Arex tak bersuara, pria itu memilih menuruni tangga. Wajah tampannya tampak sangat tenang. Sedangkan Bimala bertatapan dengan sang ibu.

“Bi, awasi pria itu. Saya tidak mau dia berbuat sesuka hati di rumah saya. Heh menyusahkan saja. Ayah ada-ada saja permintaannya.” gerutu Sari yang kembali memasuki kamarnya.

Begitu pula dengan Bimala yang menutup pintu kamarnya.

Di lantai bawah, pelayan bernama Lala biasa di panggil Bi Lala sudah menyusul Arex. Perasaannya sungguh miris melihat perlakuan majikan pada pria yang sudah seharusnya menjadi keluarga mereka justru di perlakukan semenyedihkan itu.

“Bi, dimana kamarnya?” tanya Arex datar.

“Tuan, maafkan Bibi.” Bi Lala menunduk dan membuka salah satu kamar pelayan yang kosong di lantai bawah tepatnya arah ke bagian dapur.

“Bi, saya hanya taruh tas saja. Saya harus ke bengkel setelah ini. Mungkin saya pulang agak malam. Tolong sampaikan pada Mala yah, Bi?” ucap Arex lalu pergi dari rumah tersebut dengan menggunakan ojek yang baru ia pesan.

Hari itu adalah hari minggu, dimana Mala memutuskan untuk bersantai setelah hari pernikahannya berlangsung. Kamar yang di desain bernuansa soft pink itu ternyata membuatnya bosan karena memang keadaan hatinya benar-benar suntuk.

“Kenapa memuakkan begini sih? Kayaknya butuh yang segar-segar deh…” tuturnya membayangkan ice cream yang terkenal dengan perpaduan buah dan berbagai macam toping di salah satu restoran.

Merasa semangat untuk keluar, perempuan itu menghubugi teman-temannya melalui group chat.

“Cus yuk…” Mala.

“Kemana?” Leni, teman Mala.

“Iya, kemana, Mal?” tanya Rosa.

Seperti biasa, tanpa bisa di bantah Mala menjawab. “Sudahlah bawel pada. Siap-siap, bentar lagi jemput kalian.” Begitulah isi pesan dari Mala.

Rosa, Leni, Nara, dan juga Wanda hanya bisa menurut meskipun mereka kurang puas dengan jawaban sang sahabat.

Penampilan serta isi dompet kini menemani perjalanan Mala menjemput satu persatu sahabatnya.

Seperti biasa, mereka akan selalu tertawa riang ketika sudah berkumpul menjadi satu. Tak perduli, di kafe atau pun di mobil. Suasana tetap sama bagi mereka.

Tawa dan gerakan tubuh kala itu membuat mereka lupa jika keadaan jalan sepi bisa saja menjadi hal membahayakan.

“Mala! Awas!!!” Teriak Wanda yang baru menoleh ke arah depan.

Semua mata mereka menatap ke depan dengan sangat terkejut.

“Aaaaaaaa!!” Teriakan memekakkan telinga pun mengiringi mobil yang bergerak cepat menabrak seorang pengendara motor.

“Mal, kamu baik-baik aja?” tanya Nara.

“Nar, napasku sesak. Kalian aman? Siapa yang berdarah?” jawab Mala lemah karena masih syok.

Semuanya yang berada di dalam mobil saling memeriksa keadaan, hingga mereka mendengar suara ketukan di jendela mobil.

“Hei, keluar kalian!!” Teriak salah seorang yang memegangi tangannya. Di sana ada noda merah menetes di lengan baju. Dan Mela sangat gugup.

Perlahan, tangannya membuka pintu mobil. “Saya tidak sengaja, Pak.” tutur Bimala merendahkan suaranya. Karena memang ia yang salah.

“Kamu tanggung jawab. Lihat motor saya rusak. Tangan dan kaki saya luka. Kalian ini kalau tidak bisa membawa mobil, jangan bawa mobil. Bahaya!” Omel pria paruh baya berperut buncit itu.

“Maaf, Pak. Saya minta maaf.” Mala memohon.

Semua teman-teman Mala pun turun dari mobil. “Ada apa, Mal?” tanya mereka.

“Pokoknya kalian harus tanggung jawab.” sentak pria itu.

“Berapa? Saya akan bayar. Tapi Bapak tunggu di sini. Uang cash saya nggak banyak. Saya harus ke atm dulu. Atau Bapak mau saya transfer saja?” tawar Mala pada akhirnya enggan memilih ribet.

“Enak saja, transfer transfer. Ini…kalian semua dorong motor saya. Biar kalian tahu rasanya susah. Jangan menyelesaikan sesuatu dengan uang saja taunya.” gerutu Bapak tersebut membuat semua wanita cantik dan modis itu tercengang.

“Dorong?” Serempat mereka bersuara.

“Iya, dorong. Kalian dorong sampe dimana kalian menemukan bengkel. Saya mau kalian bawa motor ini dan perbaiki tanpa cacat. Kalau tidak, saya akan lapor polisi kalian semua!” ancam pria itu dengan tegas.

Bimala benar-benar. Ia menjambak rambutnya frustasi. “Ya Tuhan…ini hari kenapa sial banget sih? Udah nikah tanpa rasain ranjang panas. Malah nabara dan sekarang harus dorong motor. Argh!!” batinnya mengumpat nasib yang menimpa dirinya hari itu.

Keempat temannya bertanya pada Mala. “Mal, ini gimana? Yang bener aja kita dorong motor? Mana di sini jalur sepi lagi. Emang ada bengkel apa?” tanya Nara.

“Iya, Mal. Duh high heels aku masih baru. Bisa patah nih buat dorong motor. Lihat, jalanan di sana tanjakan.” keluh Wanda yang membayangkan berjalan kaki mendorong motor rusak serta kakinya dengan hihg hels yang tingginya 9 cm.

“Oke, kita dorong. Yuk.” putus Mala mantap.

Setidaknya, lebih cepat akan lebih bagus. Mereka harus melewati kesialan hari ini dengan kuat dan semangat yang tinggi. Setelahnya, mereka bisa menikmati ice cream sesuai tujuan mereka. Tidak, lebih tepatnya tujuan Mala sepihak.

Turun Sahabat

Wajah-wajah putih dengan hiasan make up tipis di wajah para wanita cantik itu mulai tertutupi oleh butiran keringat. Sudah cukup jauh mereka berjalan saling membantu mendorong motor yang rodanya tidak sempurna lagi bulatnya.

“Aduh…Mal. Gimana nih? Yakin, satu gang lagi kita lewati pasti aku pingsan.” sahut Rosa yang mulai tidak kuat.

“Astaga, Ros kamu kan punya riwayat sesak napas yah. Aduh gimana nih?” Nara yang ingat mulai panik.

Sedangkan Leni, Wanda, dan Mala kala itu tak sanggup lagi bersuara. Mereka semua sama-sama lelah.

“Kayaknya kalo nggak salah di jalan besar depan ada bengkel kecil. Kita harus sampai sana.” ujar Mala dengan lirih.

Semua mata tertuju ke depan, benar apa yang Mala katakan. Mereka kini sudah hampir tiba di jalan besar.

Setelah beberapa menit mereka berjalan sembari memegang high heels masing-masing, akhirnya senyuman cerah di wajah semuanya terbit.

“Akhirnya…kita sampai juga.” Seru kelima perempuan itu berteriak girang. Mereka tak perduli bagaimana respon mata para pria menatap kedatangannya.

“Ada apa, Kak?” tanya seorang pria yang masih berusia belasan tahun. Dari wajahnya terlihat di masih sangat muda.

“Pake nanya. Tuh periksa motornya dan perbaiki semuanya tanpa sisa.” Mala dengan wajah lelah menunjuk motor yang berhasil mereka dorong lalu segera duduk di salah satu kursi.

“Wah ini cukup parah, Kak…” tutur pria yang memperhatikan motor rusak tersebut.

“Yah kalo tidak parah, saya juga tidak akan bawa ke sini. Itu kan gunanya bengkel?” ketus Mala.

Tin Tin Tin

Terdengar suara klakson mobil yang baru saja tiba.

“Pake klakson segala sih.” Mala menggerutu kesal melihat wajah bapak-bapak yang mereka tabrak tadi.

“Ada apa ini ribut-ribut?” Tiba-tiba suara berat terdengar dari arah dalam bengkel itu.

Rosa dan kawan-kawan serentak tercengang, keringat yang menetes di kelopak mata pun mereka acuhkan kala melihat sosok pria yang baru muncul di hadapannya.

“Wah gilaa…kalau lihat yang beginian dari tadi, mau berapa kilo pun dorong motor pasti sanggup.” celetuk Nara yang tanpa malu.

Wanda mengangguk dengan wajah penuh takjubnya. “Iya, bener kamu Nar. Jangankan dorong motor, mobil pun pasti sanggup. Astaga…”

“Ini mah mengalahkan kesegaran yang di janjikan Mala untuk makan ice cream. Yah nggak?” tambah Leni.

Mala yang sadar dengan penuturan kawan-kawannya seketika memutar matanya malas.

“Apaan sih kalian? Jangan berlebihan deh.” ucapnya dengan wajah yang semakin galak. Matanya kembali menatap wajah pria yang masih berdiri.

“Ini, perbaiki motor ini dan aku akan bayar semuanya. Ingat! Jangan ada yang terlewatkan kerusakan sekecil apa pun.” Kartu atm ia keluarkan di meja samping pria yang berdiri menatap Mala penuh arti.

“Mala, kamu datang benar untuk membawa motor ini? Bukan untuk menjenguk suami mu ini?” Bibir Mala terbuka sangat lebar mendengar penuturan pria yang tak lain adalah Arex.

“What? Suami?!” Semua teman-teman Mala bertanya dengan suara berteriak dan kompak. Belum usai mereka menikmati kejutan wajah tampan dari Arex, mereka harus di kejutkan dengan satu kebenaran. Yaitu, sahabat mereka sudah memiliki suami.

Mala semakin geram. Matanya menatap tajam Arex dan menoleh ke belakang. Dimana para sahabatnya menunggu jawaban darinya.

“Apaan sih? Udahlah jangan di bahas. Buang-buang waktu aja.” gerutunya menutupi rasa malu.

Arex yang melihat kikuknya sang istri ingin tertawa, namun ia masih berusaha berwajah datar. “Ambil ini, di sini tidak ada fasilitas untuk atm. Kami hanya menerima uang cash. Lagi pula, gratis untuk pemilik bengkel kok.” ujar Arex dengan wajah tenang mulai mendekati motor yang baru para wanita itu dorong.

Tak ada jawaban di berikan Mala. Ia justru tampak melihat isi tas serta dompet. “Ah pasti ini uang nggak akan cukup bayar tuh motor. Apes banget sih hari ini!” batinnya kemudian menatap satu persatu para sahabatnya.

Arex yang memeriksa motor itu tampak acuh dengan para wanita yang sudah membentuk lingkaran sesuai instruksi sang istri.

Di dalam lingkaran, Mala bersuara sangat pelan.

“Guys, kali ini kalian harus bantu. Mana uang kalian semua? Sini, nanti aku ganti. Uang aku kurang…”

Satu persatu, Mala menarik uang yang di berikan para teman-temannya.

Setelah terkumpul semuanya, ia pun kembali mendekati Arex. “Nih, cukupkan! Kalau kurang hubungi aja. Nanti aku antar uangnya.”

Mala pergi bersama para temannya tanpa memperdulikan tatapan Arex yang begitu dalam padanya.

“Bang, sini biar saya saja yang urus motor ini.” salah satu anak buah Arex pun mengambil alih pekerjaan itu.

“Oke, yang teliti yah. Saya masih ada kerjaan di dalam.” ujar Arex lagi.

Sedangkan di dalam mobil yang baru ingin mulai jalan, semua heboh berteriak histeris.

“Mala, jawab kita! Kapan nikah sama abang ganteng itu?” Rosa memegang bahu Mala.

“Iya bener. Bimala, tadi abang ganteng itu bukan bercanda kan?” lanjut Leni yang benar-benar terpesona dengan ketampanan Arex.

“Astaga Mala! Please bilang kalian belum nikah. Buat aku aja yah?” Wanda justru antusias ingin memiliki Arex.

“Stop! Stop! Kalian apa-apaan sih? Sudah berhenti bahas dia. Muak tau nggak sih?” Hening. Semua melipat bibir mereka kala mendengar umpatan Bimala. Mata para sahabat Mala saling melempar pandangan kikuk.

Mobil itu pun kini baru beranjak dari depan bengkel milik Arex. Sepanjang jalan hanya ada keheningan. Mala yang berniat keluar rumah ingin mendapatkan suasan fresh, justru di buat semakin suntuk.

“Em…Mal, tadi sebelum jemput kita-kita, kamu ijin dulu atau enggak sama suami kamu?” Pelan, suara Rosa bertanya karena takut Mala akan naik darah.

“Nggak!” jawab Malam ketus.

“Em…bisa jadi kamu kualat, Mal. Istri itu harus keluar rumah dengan ijin suami.” Hati-hati sekali Rosa menasihati sang sahabat.

Mala bungkam, ia tidak menjawab apa pun ucapan Rosa. Meski kesal, namun pikiran Mala terfokus pada ucapan sang sahabat. Apa yang Rosa katakan memang sangat umum terdengar.

Bimbang, antara percaya dan tidak. Namun, hati Mala sangat percaya hal itu. Berbeda dengan pikirannya yang menolak status mereka saat ini.

“Apa iya yah? Ah nggak ah. Lagian dia juga pergi dari rumah nggak ada ijin sama aku.” ucap Mala melawan hatinya.

Wanda, Leni, dan Nara, tampak cekikikan di belakang lantaran menggosipi pria tampan yang mereka temui di bengkel tadi.

“Kapan-kapan kita main ke situ yuk.” ajak Nara dengan percaya dirinya.

“Buat cuci otak di kala lelah sama pekerjaan. Pasti encer deh otak kita hahaha…” sambut Wanda.

“Tapi itu kan suami sahabat kita. Jangan begitu lah.” ucap Leni memperingati.

“Santai aja, Len. Lagian si Mala juga benci banget kayaknya sama suaminya. Anggap aja kalo jodoh turun sahabat.” celetuk Nara.

“Yeee…mana ada turun sahabat. Yang ada tuh turun ranjang.” balas Wanda.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!