"Apa kamu mau menikah denganku?"
Kalimat itu terngiang-ngiang di telinga Ayuna. Dia tidak menyangka jika laki-laki tampan dan mempesona itu mengajaknya untuk menikah.
Dewa Arion, nama laki-laki yang benar-benar menjadi penerang hati seorang Ayuna.
Ayuna Larassati, gadis berumur dua puluh tujuh tahun itu belum pernah merasakan jatuh cinta pada lawan jenisnya. Dia mempunyai banyak teman laki-laki dan hanya sebatas teman saja karena hatinya tidak tersentuh sama sekali oleh banyaknya laki-laki yang mendekatinya.
"Apa aku harus menerimanya?"
Pikirannya menerawang memikirkan kisahnya selama ini.
Selama ini Ayuna selalu dikelilingi dengan banyak laki-laki yang selalu bersamanya. Mereka semua teman-teman Ayuna yang selalu ada untuk membantunya.
Empat laki-laki tersebut sudah berteman dengan Ayuna mulai dari SMA. Devan, Viktor, Gavin dan Felix, mereka semua sangat menjunjung tinggi persahabatan mereka.
Awalnya Ayuna memang selalu menjadi omongan teman-teman perempuannya karena dia selalu bersama Devan, Viktor, Gavin dan Felix. Kemanapun itu, bahkan istirahat pun mereka selalu menuju kantin bersama.
Berbagai omongan selalu menyertainya. Hingga dia tidak lagi memasukkan ke dalam hati apa yang dia dengar tentang dirinya.
"Cewek apaan mainnya cuma sama cowok-cowok aja."
"Cowok-cowoknya juga itu-itu aja. Jangan-jangan mereka....."
"Apa orang tuanya tau kalau anaknya seperti itu?"
Awalnya Ayuna sakit hati mendengar omongan-omongan yang hampir sama seperti itu. Namun dia sadar jika memang dirinyalah yang membuat mereka berkomentar seperti itu.
"Mau gimana lagi, aku udah nyaman berteman dengan kalian. Dan yang lebih penting aku merasa lebih aman jika ke mana-mana bersama dengan kalian."
Ayuna berkata dengan entengnya pada keempat temannya.
"Gimana gak nyaman, cuma kita berempat aja yang bisa menerima dengan lapang dada manjanya kamu itu."
Felix menyahut ucapan Ayuna dan itu membuat Ayuna mengerucutkan bibirnya karena kesal pada ucapan Felix.
Saking gemasnya melihat Ayuna yang sedang kesal itu, reflek saja Gavin menjapit mulut Ayuna dengan gemas sambil berkata,
"Gak usah dimonyong-monyongin gitu, nanti kalau bang Viktor nya jadi pengen gimana?"
Tangan Ayuna berusaha melepaskan tangan Gavin yang berada di bibirnya.
"Tangan bau terasi ditaruh di bibir perawan, najis ih," ucap Ayuna sambil memukul-mukul badan Gavin.
"Viktor... Viktor... tolongin nih..."
Gavin berseru memanggil Viktor yang berada di dekat Ayuna.
Viktor lebih mendekat duduknya pada Ayuna sambil mengatakan,
"Mana, mana yang mau dicium? Sini Bang Viktor kasih ciuman terdahsyat."
Viktor mulai dengan tingkahnya yang membuatnya dijuluki sebagai seorang playboy di sekolah.
"Isss dasar Viktor, pikiran kotor!"
Ayuna berseru pada Viktor seraya bangkit dari duduknya dan berjalan cepat meninggalkan mereka.
Devan menoyor kepala Viktor sebelum dia menyusul Ayuna dan berjalan menuju kelas bersamanya.
"Cieeee pacaran....."
Reina teman sebangku Ayuna meledek Ayuna dan Devan yang sedang berjalan sambil bercanda bersama hingga masuk ke dalam kelas.
"Oiya dong, nih lihat....."
Devan menggenggam tangan Ayuna dan memperlihatkan pada Reina.
Reina melebarkan matanya dengan mulut yang terbuka lebar, kaget melihat tangan Ayuna yang digenggam erat oleh Devan.
"Hah, beneran kalian pacaran?" tanya Reina tidak percaya.
Selama ini Ayuna memang dekat dengan mereka, namun tak pernah sekalipun Reina melihat Ayuna bergandengan tangan ataupun bermesraan dengan Felix, Gavin, Viktor, ataupun Devan.
Tangan Devan yang menggenggam tangan Ayuna kini sudah lepas dan berganti tempat di pundak Ayuna.
"Gak percaya juga?" tanya Devan pada Reina dengan memperlihatkan tangannya yang melingkar dengan indahnya di bahu Ayuna dan mendekatkan tubuh Ayuna dengan tubuhnya.
"Wow...."
Reina benar-benar tidak menyangka jika apa yang dilihatnya itu suatu kenyataan.
Melihat reaksi Reina yang seolah benar-benar percaya pada kejahilan Devan, Ayuna segera melepaskan tangan Devan. Namun sayangnya Devan tidak melepaskannya begitu saja.
Ayuna tidak menyerah, dia mengerahkan seluruh tenaganya untuk melepaskan tangan Devan dari bahunya.
Devan semakin jahil, dia terkekeh melihat usaha Ayuna yang tak kunjung bisa melepaskan tangannya dari bahu indah Ayuna.
Melihat sepasang kekasih yang sedang bercanda mesra itu, membuat Reina melipatkan kedua tangannya di dadanya untuk menyaksikan kemesraan mereka.
"Devan, lepas iiih....," ucap Ayuna sambil menjauhkan tubuh Devan darinya.
"Mesra banget kalian."
Suara Viktor sangat dikenali oleh mereka, sehingga mereka berdua enggan menoleh ke arah belakang. Dan Ayuna masih tetap berusaha melepaskan tangan Devan yang memeluk bahunya.
"Aaaauuu...!"
Devan berteriak kesakitan karena gigitan Ayuna di tangan yang ada di bahunya.
Ayuna tersenyum lebar sambil menaik turunkan alisnya untuk meledek Devan.
"Lepasin! Lepasin gak? Mau digigit lagi?"
Ayuna mengancam dengan senyumnya yang terlihat sangat manis di mata Devan hingga membuat Devan terperangah melihatnya.
Slup....
"Haaaaa?!"
Ayuna berseru kaget mendapati tubuhnya ringan dan melayang di udara.
Kini tubuh Ayuna diangkat oleh Felix dan didudukkan di tempat duduk milik Ayuna.
Semua mata di dalam kelas memperhatikan tingkah Ayuna mulai dari mereka mendengar pertanyaan yang diajukan Reina pada Ayuna dan Devan.
"Iyuuuh... jadi cewek kok murahan banget sih."
"Mana cowoknya ganti-ganti lagi. Kok gak malu ya?"
"Cewek apaan kayak gitu?"
Mendengar ocehan teman-temannya, dengan segera Devan menutup kedua telinga Ayuna agar dia tidak lagi mendengar ocehan-ocehan tidak berguna itu.
"Bacot lu pada!"
Felix berteriak pada mereka yang mengoceh tentang Ayuna.
Ayuna hanya tersenyum tipis mendengar semua cibiran tentangnya. Dulu awalnya dia sangat sakit hati dan ingin sekali melawan mereka.
Tapi lama kelamaan dia sadar jika apapun penilaian orang tentang dirinya tidak akan bisa berubah meskipun kita sudah menjelaskan dan membuktikan pada mereka.
Mereka hanya mempercayai apa yang mereka ingin percayai. Jadi daripada Ayuna harus mengeluarkan banyak tenaga untuk membela dirinya, lebih baik dia acuhkan saja semuanya dan menganggap tidak pernah mendengarnya.
"Huuuuuu....!"
Sebagian murid laki-laki menyoraki Felix yang berteriak pada mereka. Namun bagi murid perempuan yang membicarakan Ayuna secara terang-terangan tadi, seketika diam ketika Felix meneriaki mereka dengan menatap bengis pada mereka.
"Diam kalian semua, atau aku sumpal mulut kalian!"
Kali ini Devan sang penguasa sekolah yang juga most wanted di sekolah itu mengancam mereka.
Terlihat sekali perbedaannya. Mereka semuanya seketika diam dan tidak berani menatap ke arah Ayuna dan sahabat-sahabatnya itu.
Ayuna kembali tersenyum tipis mendapati mereka semua diam karena takut pada Devan.
"Mereka itu iri sama kamu. Lihat saja mereka, mana ada yang seperti kamu dikerubuti empat cowok cakep dan sempurna? Hanya kamu cewek di sekolah ini yang berani menyuruh-nyuruh kita. Dan anehnya, kita malah nurut aja sama kamu. Gak ada yang bisa bantah kamu. Kok bisa ya?"
Gavin mengatakan apa yang menjadi penilaiannya selama ini.
"Gimana kita berempat gak bertekuk lutut sama cewek secantik dan sebaik Ayuna? Yang gak ada keinginan dekat sama Ayuna berarti dia bencong."
Viktor menyahuti Gavin yang membela Ayuna dengan gaya pembelaannya sendiri.
Mereka tahu jika semuanya pasti mendengarkannya karena kelas mereka sangat hening.
Hingga akhirnya guru mereka datang, dan itu membuat mereka semua pindah ke tempat mereka masing-masing.
Hari-hari Ayuna bersama dengan Felix, Gavin, Viktor dan Devan berlanjut hingga mereka berkuliah di universitas yang sama.
Di kampus mereka pun sama dengan di sekolah SMA mereka dulu. Setiap laki-laki yang akan mendekati Ayuna selalu dibuat menjauh oleh mereka berempat tanpa sepengetahuan Ayuna.
Sebenarnya banyak sekali laki-laki yang ingin mendekati Ayuna, namun keempat teman laki-laki Ayuna ini bak bodyguard nya yang siap menghalau siapa saja yang mendekati Ayuna.
Pantas saja semenjak SMA hingga kuliah dia tidak memiliki pacar sama sekali, ternyata alasannya adalah teman-teman laki-lakinya yang over protective pada Ayuna.
Menurut mereka, Ayuna adalah kesayangan mereka. Dia adalah primadona mereka berempat. Dan tanpa disadari oleh Felix, Gavin dan Viktor, Devan memiliki rasa yang berbeda untuk Ayuna.
"Yuna, sabtu besok nonton yuk. Ada film baru kamu pasti suka deh."
Devan mencoba mengajak Ayuna untuk menonton berdua dengannya tanpa ketiga temannya yang lain.
"Felix, Gavin dan Viktor ikut Dev?" tanya Ayuna pada Devan.
"Sepertinya enggak deh. Kan kamu tau sendiri kalau mereka gak suka film romantis kayak kita. Cuma kita berdua aja yang suka film romantis, mereka sukanya film horor."
Devan sudah menyiapkan jawaban seperti itu sebelumnya. Dia sudah menduga jika Ayuna pasti akan menanyakan Felix, Gavin dan Viktor jika mereka tidak bersama.
"Cuma kita berdua aja dong kalau gitu?"
Ayuna mengulang lagi pertanyaannya pada Devan.
Dahi Devan mengernyit, dia tidak menyangka jika gadis di depannya berpikir terlebih dahulu ketika diajak seorang laki-laki jalan.
"Iya. Apa kamu keberatan?" tanya Devan pada Ayuna.
"Enggak juga sih, cuma.....," Ayuna ragu mengatakannya.
"Kamu takut kita dikira ngedate?"
Devan bertanya sambil terkekeh melihat ekspresi wajah Ayuna.
"Bukannya gitu, cewek-cewek yang naksir kamu itu pada ngatain aku terus-terusan. Pilihlah salah satu dari mereka biar kamu gak jadi jomblo abadi," ucap Ayuna sambil terkekeh.
"Kayak sendirinya bukan jomblo abadi aja," balas Devan sambil terkekeh dengan tangannya yang mengacak-acak rambut Ayuna.
"Eh sesama jomblo dilarang mem bully," ucap Ayuna sambil membalas meraih rambut Devan.
Ayuna berjinjit meraih rambut Devan, namun tak bisa diraihnya karena tinggi badan Devan yang lebih tinggi dibanding Ayuna hingga dia sedikit melonjak-lonjak untuk mendapatkan rambut Devan dan membalas mengacak-acak rambutnya.
"Iiih... nunduk!"
Ayuna berseru untuk menyuruh Devan lebih menunduk agar rambutnya bisa diraih oleh Ayuna.
Devan tertawa melihat gadis imut dan mungil dihadapannya yang sedang kesal padanya.
"Mangkanya tumbuh tuh ke atas."
Devan terkekeh meledek Ayuna yang terlihat benar-benar kesal padanya.
"Eh sorry ya, kamu aja yang ketinggian kayak tiang listrik."
Ayuna membalas ledekan Devan dengan kesal dan mengerucutkan bibirnya seperti kebiasaannya jika sedang kesal.
"Udah yuk, Abang anterin pulang," ucap Devan sambil merangkul pundak Ayuna seraya mengajaknya berjalan bersama menuju mobilnya.
"Yang lain mana?" tanya Ayuna ketika berjalan bersama Devan menuju parkiran mobil.
"Siapa? Pacar kamu? Kan Abang Devan yang tampan ini pacar kamu."
Devan kembali menggoda Ayuna dengan tangannya yang masih bertengger di pundak Ayuna.
"Abang tukang bakso?!"
Ayuna berseru menanggapi ucapan Devan padanya. Selalu saja tidak ada tanggapan yang serius ataupun jantung yang berdebar ketika dia digoda oleh empat sahabat cowoknya itu.
"Gapapa kamu kan doyan bakso," jawab Devan sambil terkekeh.
"Iiih Devan, aku nanya beneran. Mana sih trio somplak itu? Apa mereka mau menginap di sini?"
Ayuna merengek dan berkata kesal pada Devan.
"Udah biarin aja, mereka udah gede, gak bakalan ilang," jawab Devan sambil terkekeh.
Devan pun membukakan pintu mobilnya dan mempersilahkan Ayuna masuk dengan hati-hati.
Banyak sekali pasang mata yang melihat ke arah mereka, terutama kaum hawa yang sangat mengagumi Devan. Mereka merasa iri pada Ayuna yang diperlakukan istimewa oleh Devan dan kawan-kawannya.
Bahkan hujatan-hujatan yang diberikan mereka pada Ayuna hampir sama dengan teman-teman perempuannya di SMA kala itu.
Ayuna tidak lagi mempermasalahkannya, dia telah menulikan indera pendengarannya dan menebalkan telinganya agar tidak sakit hati mendengarkan semua omongan yang menyakitkan hatinya.
Mobil Devan pun telah sampai di depan rumah Ayuna. Dia melangkah turun dari mobil Devan tanpa beban. Hingga Devan menghentikannya dengan perkataannya.
"Main turun aja Neng, ongkosnya mana?"
Tanya Devan dengan memandang serius wajah Ayuna.
Dengan wajah bingungnya, Ayuna mengerjap-ngerjapkan matanya hingga bulu matanya yang lentik itu melambai-lambai naik turun menambah kadar kecantikannya.
Beberapa detik kemudian tangan Ayuna meraih uang yang ada di sakunya. Uang dua puluh ribu tersebut merupakan uang kembalian Ayuna ketika membeli bakso di kantin tadi.
Dahi Devan mengerut, namun beberapa detik kemudian dia tertawa melihat uang kertas dua puluh ribu yang disodorkan Ayuna di depan wajahnya.
Devan menggelengkan kepalanya sebagai tanda dia menolak uang pemberian dari Ayuna.
Kemudian dia mengarahkan kembali tangan Ayuna yang memegang uang kertas dua puluh ribu itu ke arah Ayuna.
Tampak sekali wajah bingung Ayuna ketika Devan menolak uang pemberiannya dengan memutar balik tangannya ke depan wajahnya.
Devan yang mengerti wajah bingung Ayuna itu, dan dia segera memberikan jawaban pada Ayuna atas kebingungannya dengan menunjuk pipi sebelah kanannya.
"Hah?!" celetuk Ayuna tanpa sadar.
Reaksi bingung Ayuna itu membuat Devan bertambah gemas. Reflek tangannya menjapit hidung Ayuna sambil berkata,
"Gak usah pakai uang, bayarnya pakai cium pipi Abang Devan aja."
"Isss... maunyaaaa," ucap Ayuna sambil menyingkirkan tangan Devan dari hidungnya.
"Udah ah aku mau masuk. Makasih ya, ini ongkos buat Abang sopir. Bye....."
Ayuna meletakkan selembar uang kertas dua puluh ribuan di jok mobil yang tadinya dia duduki.
Setelah itu dia melambaikan tangannya untuk memberikan salam perpisahan pada Devan.
Devan tertawa melihat tingkah lucu gadis yang mencuri perhatiannya sejak bersahabat dengannya.
Diambilnya selembar uang kertas dua puluh ribuan yang ditinggalkan Ayuna di jok yang didudukinya tadi, lalu dimasukkan ke dalam sakunya.
Sesampainya di rumah, uang tersebut dimasukkan oleh Devan ke dalam toples kaca kecil dan diberi label bertanda love pada kaca tersebut.
Sedangkan di kamar Ayuna, kini seperti kapal pecah. Dia mengobrak-abrik semua lacinya untuk mencari pembalutnya.
"Dimana sih...? Perasaan ada di sini deh. Ah masa' iya aku taruh di sana? Apa sudah habis ya? Perasaan masih banyak deh."
Ayuna menggerutu sambil terus mencari barang keramat bagi kaum perempuan yang sangat dibutuhkan pada saat tamu bulanannya sedang datang berkunjung.
Mata Ayuna menatap nanar melihat semua barang yang berserakan di lantai kamarnya. Mulutnya menganga tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Wow... amazing..," ucap Ayuna tidak percaya melihat apa yang sudah dia lakukan pada semua barangnya yang sangat berantakan itu.
"Ah, gak keburu. Udah ini deras banget. Lebih baik beli ke mini market aja deh," ucapnya sambil menyambar dompet yang tergeletak di meja belajarnya.
Kenapa dia mengikutiku? Apa dia mau menculikku? Aku harus bagaimana? Lari? Ah perutku lagi nyeri, mana lagi deras-derasnya lagi, Ayuna berkata dalam hatinya dengan resah sambil melirik ke arah belakangnya yang terdapat seorang pemuda tampan berjalan mengikutinya.
Langkah kaki Ayuna sangat cepat meskipun dirinya sedang dilanda kemalasan karena nyeri haid yang dirasakannya saat ini.
Memang Ayuna lebih suka berjalan kaki menuju mini market di ruko perumahan kompleknya. Sangat ribet katanya jika membawa sepeda ataupun motor, dia lebih suka berjalan kaki meskipun dalam keadaan seperti sekarang ini.
Sesampainya di dalam mini market, Ayuna segera menuju lorong yang menyediakan pembalut dan kawan-kawannya.
Ayuna menoleh ke kanan dan ke kiri, kemudian mengambil satu bungkus pembalut yang bertuliskan night wings dan satu bungkus pembalut yang bertuliskan day wings.
Pembalut-pembalut itu dengan cepat dimasukkan ke dalam keranjang belanjaan dan segera ditutupi dengan beberapa snack dan minuman kemasan kaleng agar tidak terlihat oleh orang lain.
Tibalah di kasir dia menghela nafasnya panjang, ternyata antriannya lumayan membuatnya lelah untuk berdiri mengantri.
Di meja kasir sekarang ini sedang ada ibu-ibu dengan dua keranjang penuh belanjaannya. Ayuna menggelengkan kepalanya dan berkata dalam hati,
Belanja bulanannya bisa nanti aja gak Bu? Saya lagi ngempet nih. Apa saya aja yang duluan ya Bu?
Tiba-tiba bibir manyun Ayuna berganti dengan bibirnya yang melengkung ke atas melihat ibu-ibu tadi yang sudah menenteng barang belanjaannya dengan tiga kantung plastik di tangan kanan dan kirinya.
Namun tiba-tiba bibirnya manyun kembali ketika seorang pemuda maju ke meja kasir. Ternyata dia lupa jika di depannya ada seorang pemuda yang juga sudah mengantri sejak tadi sebelum dia mengantri di sana.
Gapapa, dia cuma beli minuman satu doang. Aman.
Ayuna berkata dalam hatinya sambil mengintip barang belanjaan pemuda tadi.
Tiba-tiba pemuda tadi tidak kunjung selesai membayar barang yang dibelinya. Dia malah meraba-raba celananya dan jaketnya seperti mencari sesuatu.
"Maaf Mbak, saya nitip dulu, saya mau ambil dompet saya dulu. Sepertinya ketinggalan," ucap pemuda tersebut.
"Berapa Mbak, biar saya yang bayar."
Tiba-tiba suara perempuan itu membuat pemuda tadi menoleh ke sebelahnya. Dan perempuan tadi memberikan botol minuman yang dibeli pemuda tadi pada tangan pemuda tersebut.
"Ini Mas, bawa aja. Biar saya yang bayar," ucap perempuan tadi.
Kemudian dia meletakkan keranjang belanjaannya di atas meja kasir yang kini berada tepat di depannya.
"Udah kan Mas, silahkan minggir ya, saya mau bayar," ucap perempuan tersebut seolah mengusir pemuda tadi.
"Oh iya. Eh ini terima kasih ya minumannya. Lain kali akan saya ganti jika ketemu," ucap pemuda tersebut sambil mengangkat sedikit minumannya untuk ditunjukkan pada perempuan tersebut yang sudah membayarkan minuman itu.
"Ok, gak masalah kok. Silahkan keluar Mas, saya mau bayar," ucap perempuan tersebut sambil menampakkan senyuman manisnya.
Beberapa detik pemuda tersebut terpanah oleh senyuman perempuan tadi. Sepertinya pemuda tersebut sudah terpesona pada pertemuan pertamanya.
"Mbak, ini pembalutnya dua bungkus ya?" tanya si Mbak kasir pada perempuan tadi.
Sontak saja dia tersenyum malu dan mengangguk pada Mbak kasir tersebut. Ya, perempuan tadi adalah Ayuna.
Niat hati dia mempercepat transaksi pembayaran si pemuda di depannya tadi agar dia bisa cepat-cepat sampai rumah dan agar tidak ada laki-laki yang mengetahui jika dia membeli pembalut.
Pemuda tadi menahan senyumnya, dia mengerti jika gadis di hadapannya ini pasti malu padanya.
Ahhh... jadi karena itu dia membayarkan minuman ini? Biar aku cepat-cepat pergi? Pemuda tersebut berkata dalam hatinya.
Kemudian dia keluar dan berdiri di depan mini market tersebut bermaksud untuk berkenalan dengan gadis penolongnya.
Setelah mendapatkan barang belanjaannya, Ayuna segera menenteng kantong plastiknya dan berjalan cepat tanpa menoleh ke kanan dan ke kiri ketika keluar dari mini market tersebut.
Loh kok buru-buru amat sih? Mau ke mana dia? Pulang? Kok ke arah situ?
Pemuda tersebut berkata dalam hatinya dan berjalan mengikuti Ayuna di belakangnya.
Kenapa dia mengikutiku? Apa dia mau menculikku? Aku harus bagaimana? Lari? Ah perutku lagi nyeri, mana lagi deras-derasnya lagi.
Ayuna berkata dalam hatinya dengan resah sambil melirik ke arah belakangnya yang terdapat seorang pemuda tampan berjalan mengikutinya.
Ah bodo amat, aku hadapi aja, kalau orangnya nyeremin, aku langsung lari. Ok Yuna, kamu pasti bisa, Ayuna kembali berkata dalam hatinya.
Tiba-tiba dia membalikkan badannya dan berkata,
"Kamu siapa? Ngapain kamu mengikuti aku? Dikira aku berani apa? Eh keliru. Dikira aku takut apa?"
Seketika pemuda tersebut tertawa, namun dia menahan tawanya karena kini dia melihat wajah gadis yang ada di depannya itu sedang diam menatapnya.
"Ehem...," pemuda tersebut menetralkan suaranya.
"Aku gak mengikuti kamu kok. Aku memang lewat jalan sini. Itu rumahku di depan situ," ucap pemuda tersebut sambil menunjuk salah satu rumah disitu.
"Hah?! Apa? i-itu rumah kamu?" Ayuna merasa tidak percaya dengan apa yang dia lihat dan dengar.
"Iya, rumah kamu di mana? Biar aku bisa ganti uang kamu yang buat bayari minuman aku tadi," ucap pemuda tadi pada Ayuna.
Mata Ayuna mengerjap-ngerjap, dia bingung antara jujur atau tidak. Namun nyeri perut akibat haid nya itu membuatnya tidak nyaman. Dan mau tidak mau dia harus memberitahu pemuda tersebut di mana rumahnya berada.
Karena percuma saja jika disembunyikan sebab Ayuna ingin segera pulang dan sudah bisa dipastikan jika pemuda itu akan tahu meskipun tanpa diberi tahu olehnya.
"Rumah kita berhadap-hadapan," ucap Ayuna kemudian berjalan dengan cepat menuju rumahnya.
Pemuda tersebut terkejut dengan kenyataan bahwa rumah mereka berhadap-hadapan. Sontak saja dia berlari mengejar Ayuna yang kini sedang berjalan cepat menuju rumahnya.
"Tunggu!"
Pemuda tersebut berteriak sambil berlari mengejar Ayuna.
"Kita belum kenalan. Namaku Dewa. Namamu siapa?" ucap pemuda tersebut sambil mengulurkan tangannya pada Ayuna utnuk berkenalan dengannya.
"Aku Ayuna. A-Yuna," jawab Ayuna sambil tetap berjalan cepat menuju rumahnya.
"Oke, besok aku ganti uangmu ya Ay," ucap Dewa sambil tersenyum pada Ayuna yang terlihat kaget mendengar ucapannya.
Kemudian Dewa masuk ke dalam rumahnya meninggalkan Ayuna yang masih mematung di depan gerbang rumahnya sendiri.
"Ay? Kok bisa Ay sih? Ntar dikira orang-orang aku pacarnya dia. Ah.... gak mau... gak mau... Aku kan belum punya pacar. Alamat jadi jomblo abadi kalau kayak gini mah ceritanya."
Ayuna bermonolog masih dalam posisi yang sama dengan tadi. Dia masih berdiri di depan pagar rumahnya dan menghentak-hentakkan kakinya sambil membayangkan apa yang terjadi jika dirinya dipanggil dengan nama Ay di hadapan orang-orang banyak.
Dewa, si pemuda tampan itu masih melihat Ayuna dari dalam rumahnya sambil tersenyum-senyum sendiri mengingat kelucuan gadis yang tinggal di depan rumahnya itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!