“Cepat lari.”
“Ayo lari! Jika tidak kita akan ditangkap oleh penjahat itu!”
Malam itu dikediaman keluarga besar Wing suasana tampak meriah, seorang anak lelaki kecil begitu senang bermain dan mengacaukan rumah.
Barang-barang serta mainan-mainan berserakan di lantai, membuat para keluarga dan pelayan kewalahan mengurusnya. Berbagai benda-benda dari yang keras dan yang lembek, yang besar dan kecil ia layangkan ke udara hampir mengenai orang-orang.
“Kalian semua penipu! Kenapa ibu masih belum pulang juga?!”
“Aku ingin bertemu ibu, uwaaaa.”
Anak kecil itu duduk di atas meja tv, sambil berteriak-teriak dan nyaris saja membuat tv yang berukuran besar itu jatuh ke lantai.
“Sayang, udahan ya mainnya. Ayo ikut Nenek, kita bobok.” Nona sedari tadi begitu antusias membujuk Billy agar berhenti seperti itu, sudah cukup merepotkan semua orang tapi nyatanya dia tetap nakal.
Seorang lelaki separuh baya duduk di pojokan sofa, wajahnya babak belur, rambutnya acak-acakan, bajunya kusut terlihat kumuh. Dia duduk menekuk kedua kaki menghindari cucunya yang nakal.
Oh Tuhan, lindungilah aku.
Kata lelaki paruh baya itu, berdoa meminta perlindungan dari Tuhan. Sedari tadi begitu, berharap agar nyawanya tidak dicabut sekarang sebab masih banyak urusan yang harus ia selesaikan.
Billy melompat dari meja tv, dia berdiri di hadapan Abdi seraya tertegun melihat keadaan sang kakek. Tapi dia tidak peduli, seolah ingin membuat hal lebih curang lagi.
“Kakek, aku perintahkan agar kau segera berubah menjadi kuda.” Billy memutar-mutar pedangnya yang memiliki lampu-lampu warna-warni di dalamnya, memerintah Abdi seolah merasa tak berdosa.
Abdi mengeluh, dia segera mengikuti kemauan sang cucu. Segar berposisi seperti kuda-kuda, meski sudah letih diperbudak sedari tadi. Tanpa bersalah, Billy segera melompat dan naik ke atas punggungnya. Memberikan hentakan yang kuat agar kakek bergerak seperti kuda.
“Ayo kita jalan dan mencari ibu.” Dia berkhayal seolah menaiki kuda.
“Ada apa ini ribut-ribut?” tanya seorang pria yang begitu tampan baru memasuki rumah. Dia memakai baju kantoran, dengan dilapisi rompi khusus. Di belakangnya ada seorang sekretaris yang biasa mengikutinya.
Dia begitu terkejut menyaksikan keadaan isi rumah, barang-barang berserakan ke mana-mana. Ini semua ulah Billy, pasti anaknya itu kumat lagi seperti biasa. Sudah letih di kantor, sekarang letih pula melihat tingkah puteranya.
Semua pelayan menunduk hormat atas kepulangan Nathan, Abdi segera duduk setelah Billy melompat dari badannya. Dia segera merangkak bagai tak berdaya menghampiri Nathan yang sedang berdiri.
“Jika saja kamu pulang lebih lama lagi, mungkin kamu tidak akan melihat Ayahmu ini lagi.” Abdi memeluk kaki Nathan, sebab tubuhnya sudah lemas. Segera Nathan membopong ayahnya untuk berdiri.
Dia melirik Billy, anak kecil ini benar-benar nakal. Selalu memperdaya kakeknya.
“Billy, kenapa kamu nakal sekali, Nak?”
“Ayah, bukankah Ayah berjanji pada Billy untuk membawa ibu pulang? Ke mana ibu? Apa dia ikut pulang bersamamu?” Mata Billy berkaca-kaca, dia menarik-narik tangan ayahnya sembari merengek-rengek.
Nathan tersenyum, lantas dia berjongkok agar jangkauannya seimbang dengan Billy.
Sedari bayi Billy tidak melihat ibunya, kata ayah ibu sedang pergi ke Negeri Sakura, namun sepertinya itu kebohongan, hingga lima tahun lamanya ibu tidak kunjung pulang. Dan kali ini Nathan ikar janji, setiap hari dia berjanji akan membawa ibu pulang ke rumah untuk mempertemukan keduanya.
“Maaf, tadi Ayah ada urusan sebentar,” kata Nathan seraya mengelus rambut puteranya.
“Ayah ingkar janji lagi 'kan? Di mana ibu? Aku ingin bersama ibu.” Anak itu terlihat muram, dia menundukkan kepala malas melihat sang ayah yang menyebalkan.
“Ayo kita tidur, Ayah akan menceritakan kisah dongeng padamu.”
Lekas Nathan berdiri kemudian menggendong tubuh Billy, ia akan membawa putera sematawayangnya itu ke kamar. Dengan menidurkannya mungkin ia tak akan rewel lagi.
Selepas menidurkan puteranya, Nathan memilih melanjutkan pekerjaannya di ruang kerja. Biasanya pukul segini dia sering menghabiskan waktu dengan merenung dan bekerja.
Dia sudah menikah dengan Sera, namun takdir begitu tega memisahkan mereka. Pada beberapa tahun lalu mereka mengalami kecelakaan mobil sepulang dari Yogyakarta, hingga sampai saat ini Sera mengalami koma berkepanjangan. Sehingga sejak Billy bayi mereka tidak bertemu, tidak ada yang memberitahukan tentang Sera kepada Billy.
Berkali-kali Abdi menyuruh Nathan untuk menikah lagi, sebab Billy yang masih kecil tentu sangat menginginkan kehadiran sosok seorang ibu. Begini saja Billy sering rewel dari bayi, dia ingin ibu. Dekat dengan ibu, dan memeluk ibu.
Nathan tampak fokus dengan laptopnya, ada banyak pekerjaan yang belum tuntas. Akan ia selesaikan malam ini, pada saat itu Abdi datang. Dia membawa satu nampan yang berisikan segelas teh, sejenak dia berdiri di ambang pintu memperhatikan putera kebanggannya itu.
Dia menyeka air mata yang menetes di pipi, tidak ingin Nathan melihat itu. Maka Nathan akan menganggapnya lemah jika ia ketahuan sedang menangis.
“Kau tahu, Nathan?”
“Ya?” Nathan tersentak, dia hanya menjawab singkat. Pandangannya menangkap Abdi yang sedang berjalan membawa nampan. Dan meletakkan itu ke atas meja.
“Nyonya Mita, nyonya Mita itu tadi menelpon.”
“Ehm ... nyonya Mita yang mana ya?” tanya Nathan yang tengah sibuk mengutak-atik tombol laptopnya, dia tidak tahu pula siapa itu Mita yang dimaksud Abdi.
“Nyonya Mita, sahabat kecil Ayah yang ada di Bandung. Dia mengirim lamaran,” kata Abdi seraya melangkah menghampiri ke meja kerja Nathan.
“Oh ya? Untuk siapa?”
“Untukku.”
“Terima saja.”
“Apa? Dasar tidak waras.”
Mendengar celotehan ayah membuat Nathan terkekeh, Abdi meletakkan teh itu ke atas meja kerja Nathan. Tidak tahu kenapa tumbenan sekali Abdi mau membuatkan teh untuk Nathan.
“Dia punya keponakan, katanya gadis itu baik dan cantik. Tapi aku langsung menolaknya, tindakanku benar, kan?” tanya Abdi sambil membanggakan diri.
“Ya,” jawab Nathan singkat, dia begitu fokus ke layar laptop.
“Benar?” tanya Abdi sekali lagi.
“Ya.”
“Jadi tindakkan yang aku lakukan benar?”
Nathan menghela nafas, dia segera menutup laptopnya. Pandangannya menatap lekat ke ayah, Abdi sangat bawel hingga membuatnya tidak fokus dengan kerjaan.
“Ya benar, Ayah.”
“Ya, mungkin yang aku lakukan juga benar. Aku tidak pernah salah.” Abdi mengangguk-angguk kepala sembari melangkah cepat ke arah sofa, Nathan dengan tatapan elangnya mengikuti langkah ayahnya.
“Lagipula apa urusannya gadis itu cantik ataupun tidak? Gadis-gadis sekarang memang cantik-cantik, tapi ... siapa yang mau menikah di sini?”
Nathan terkekeh, dia segera bangkit dari kursi hitamnya ingin menghampiri ayah yang sudah duduk sambil berceloteh.
“Di sini 'kan tidak ada anak laki-laki yang mau menikah, nyonya Mita memang gila! Suka menelponku membicarakan tentang lamaran, menggangu Ayah saja. Kenapa bukan dia saja yang menikah? Menyebalkan!”
Nathan memilih duduk di sebelah ayahnya, lelaki itu terus berceloteh. Nathan berulang kali mencoba untuk memeluknya namun beliau menghindar, Nathan tertawa seraya merangkul pundak ayahnya.
Nathan paham inti dari maksud perkataan Abdi, memancingnya untuk membahas soal gadis. Sudah berulang kali Abdi memberikan lamaran dari banyaknya gadis-gadis di kota, tapi Nathan hanya menolak. Padahal dia berharap agar Nathan menikah lagi.
Nathan membujuk Abdi agar tidak merajuk lagi, akhirnya Abdi meletakkan kepalanya ke bahu Nathan. Disandarkannya badannya ke lelaki itu, dengan air muka yang sudah merah padam ingin menangis.
“Sebenarnya kenapa?” tanya Nathan sambil terkekeh-kekeh.
“Ayah tidak tahu, Nathan. Ayah merasa keluarga ini tidak lengkap.”
“Kenapa tidak? Ada aku, Ayah, ibu, yang lainnya dan Billy. Aku tidak merasa bahwa keluarga ini tidak lengkap.”
“Kau tahu? Kalau Ayah berkumpul bersama teman-teman, mereka memamerkan menantu mereka. Ayah merasa iri.”
Nathan berdecak mendengarnya, dia melepaskan rangkulannya dari Abdi. Nathan enggan menatap Abdi kembali, kemudian duduk manis melanjutkan perbincangan konyol ini.
“Jadi itu masalahnya? Ayah ingin punya menantu supaya bisa dipamerkan?” Dia cekikikan meminta jawaban dari sang ayah.
Abdi menunduk muram, tentu dia juga ingin memamerkan menantu kepada sahabatnya. Sebab dulu saat ada Sera dia belum sempat melakukan itu, tak banyak yang tahu bahwa ia memiliki menantu model kelas atas seperti Sera.
“Bukan begitu, Ayah hanya memikirkan kebahagianmu,” ucapnya seraya menoleh Nathan.
“Aku bahagia, Yah. Aku sangat bahagia.”
“Kamu tidak mau menikah lagi, Nak?”
Nathan tertawa pecah kali ini, dia memalingkan pandangan dari Abdi. Kemudian dia beranjak dari sofa, lalu mengambil bola kasti yang ada di lantai, mungkin itu punya Billy. Bola itu ia lambungkan ke atas dan ia pantulkan ke dinding. Sambil mondar-mandir.
“Kita ini hidup hanya sekali, mati sekali, menikahpun sekali. Mungkin aku tidak akan menikah lagi, aku harap Ayah mengerti.” Dia berbalik badan menoleh Abdi.
Abdi segera bangkit mendengar kata-kata Nathan, anak itu tampaknya terlalu setia dengan Sera hingga tidak pernah berpikir untuk mendekati wanita manapun.
“Kamu mungkin bisa mengurus dirimu sendiri, Nak. Tapi Billy ....”
Nathan kembali diam, dia memantulkan bola kasti ke dinding. Matanya berubah merah, ingin meneteskan air mata kesedihan.
“Kenapa? Billy kenapa?”
“Apa kamu tidak merasa bahwa Billy membutuhkan seorang ibu?”
Nathan menoleh Abdi lagi, dia berdehem sambil menggelengkan kepala. Setahunya memang saat ini Billy tidak baik-baik saja, setiap malam dia menangis, ataupun kadang bertingkah nakal seperti tadi. Merepotkan semua orang, hanya menunggu seorang ibu.
“Setahuku dia baik-baik saja,” ujarnya menepis anggapan Abdi.
Nathan terdiam sejenak, air mata lolos begitu saja membasahi pipinya. Dia memantulkan bola kasti di antara ke dua tangannya. Ke kiri dan ke kanan.
“Karena Billy memiliki sesuatu yang tidak aku miliki, cinta dari ibunya.”
Abdi melangkah mendekati Nathan, dia menepuk pundak puteranya itu. Sebenarnya dia memiliki seorang wanita yang pantas menjadi ibu bagi Billy.
“Nak, menikahlah dengan Kasih. Dia wanita yang sangat baik, Billy begitu dekat dengannya. Aku mohon, jangan egois, ini demi kebaikan kita semua. Menikahlah dengan Kasih dan jadikan dia ibu untuk anakmu.”
Nathan tertegun dengan saran Abdi, Kasih? Ya, gadis itu pelayan di rumah mereka, tapi dia mana mungkin mau menikahi gadis itu, kalaupun mau. Mungkin dia akan mencari wanita yang lebih sepadan dengan kedudukan keluarga mereka.
*****
Seperti halnya aktivitas yang dilakukan setiap hari, semua keluarga berkumpul di ruang makan untuk melaksanakan kegiatan sarapan. Ada banyak menu makanan di jamu ke atas meja. Tinggal pilih mau makan yang mana.
Sebelum memulai sarapan, mereka akan berbincang-bincang sebentar. Menanyakan perihal kerjaan, pendidikan, kabar-kabar dari kerabat yang lain. Bercanda gurau menghibur diri. Tapi pagi ini tampaknya situasi agak kikuk.
Abdi meletakkan sebuah map bewarna hijau di tengah jamuan makanan, memancing pandang orang-orang agar tertuju padanya. Dan kemungkinan benda pipih tersebut ditunjukkan untuk Nathan.
“Apa ini?” tanya Nathan sambil menyentuhnya.
“Ini adalah surat warisan, tanda tangani agar sebagian besar harta keluarga Wing jatuh ke tanganmu. Tapi menanda tangani itu berarti kamu bersedia menikah dengan Kasih.”
Nathan terbahak, dia tergelak sekuat mungkin. Seluruh anggota keluarga tentunya merasa terkejut, apa pula maksud beliau ini? Mencoba menyogok Nathan agar mau menikah dengan pelayan rumah mereka.
“Ayah pikir aku ini lelaki seperti apa? Tidak, aku tidak mau menanda tanganinya dan tidak bersedia untuk menikah.” Nathan dengan lapang dada menolak tawaran Abdi, map hijau itu ia dorong jauh darinya.
Abdi mengangguk, kenapa anak ini begitu keras kepala? Apa dia tidak memikirkan tentang Billy, kasian anak itu. Dia ingin seorang ibu.
“Nathan, apa kamu benar tidak ingin menikah? Ayo menikahlah, Kasih pasti akan bersedia, kan?”
Kasih yang sedang menyuapi makanan untuk Billy begitu tertegun, ada apa ini? Kenapa Abdi tiba-tiba mencoba untuk menikahkan dia dan Nathan, tidak-tidak, tidak mungkin. Bisa bahaya jika itu terjadi.
“Anu ... Tuan.” Kasih menunduk segan, apa yang harus dia katakan. Lantas untuk apa membuka mulut walau akhirnya diam.
“Lupakan, bagaimana Nathan? Menikahlah.” Lagi-lagi Abdi berupaya membujuk, dia tidak perlu meminta tanggapan dengan anggota yang lainnya. Sedang yang ia incar saat ini adalah Nathan.
“Ayah kenapa sih selalu saja mengincarku? Menyuruhku menikah lagi? Sudah jelas aku tidak ingin itu!” tekan Nathan sekali lagi.
Waduh, suasana mulai memanas. Abdi mulai mencari perkara, harusnya tidak usah membasah hal begituan. Sudah jelas mereka menolak.
“Baiklah jika kau tidak mau, Ayah hanya menawarkan hal yang baik untukmu.” Merasa putus asa Abdi melipat map itu lagi, akan dia sembunyikan dari siapapun. Benda itu tidak boleh jatuh ke tangan siapa-siapa.
Akhirnya suasana mulai dingin, mereka semua mulai sarapan. Nathan agak tidak enak hati menentang ucapan Abdi, dia menoleh Billy, begitu senang disuapi makan bersama Kasih. Tertawa bahagia, bercanda ria, nampaknya memang benar ingin punya seorang ibu.
Usai melakukan kegiatan sarapan, Kasih dan pak Tejo membawa semua peralatan makan yang sudah kotor ke dapur, tampak ruangan itu sudah sepi hanya tinggal seorang wanita yang terkenal angkuh.
“Kasih.” Nona menarik tangan Kasih saat ia handak mengambil piring dari meja makan.
Kasih meletakkan piringnya kembali ke meja, sebab bisa jatuh karena Nona tengah menegang tangannya.
“Ada apa, Nyonya?” tanya Kasih seraya menoleh wanita itu.
“Apa kamu membujuk tuan Abdi agar menikahimu bersama Nathan, huh?" tuding Nona.
Kasih menyeringai, agaknya pertanyaan Nona kurang masuk akal. Dia mencoba cuek dengan kembali bekerja mengangkut piring kotornya.
“Jawab?!” Nona membentak lalu menarik lengan Kasih.
Mau tak mau wanita itu harus memberikan sedikit waktu untuk menjelaskan segalanya, dari dulu Nona memang tidak menyukainya. Entah apa masalahnya, intinya ada saja salah Kasih di matanya.
“Maaf, saya tidak tahu Nyonya. Saya bahkan tidak tahu kenapa tuan Abdi tiba-tiba berinisiatif untuk menjodohkan saya dengan tuan Nathan.”
“Alah bohong, kamu tuh sadar diri. Wanita rendahan sepertimu gak cocok jadi menantu keluarga Wing, gak cocok jadi ibu bagi Billy.”
Kasih hanya mengangguk dengan tersenyum menerima setiap celaan dari Nona, ya, wanita rendahan sepertinya memang seperti sudah tidak punya harga diri lagi bagi orang-orang seperti Nona.
“Apa Anda begitu benci terhadap saya?”
Kasih dan pelayan lainnya merasa kaget saat Nona sengaja menjatuhkan gelas di atas meja, hingga gelas itu pecah di lantai. Untung saja tidak ada majikan lainnya saat ini.
“Tentu saja, aku sangat membencimu. Kamu sungguh memuakkan, jangan berharap bisa menikah dengan Nathan.” Ucapannya begitu pahit, dia mencengkeram dagu Kasih. Dengan tatapan yang begitu tajam seolah ingin menerkam.
“Maafkan saya.” Air mata hampir ingin keluar, tak berdaya ingin membantah. Pelayan yang lain hanya diam tak berani ingin melindungi Kasih.
Nona menolak Kasih hingga tersungkur di lantai, dia mengibaskan tangannya lalu mengilap telapak tangan menggunakan serbet di atas meja. Dia tertawa bahagia melihat Kasih yang tersungkur di bawah. Usai itu dia memutuskan enyah dari sana.
Saat kepergian Nona, beberapa pelayan segera berlari mendekatinya. Membantunya berdiri dan membersihkan pecahan kaca, Kasih menghela napas. Kali ini hanya bisa bersabar menghadapi wanita itu.
“Rapat kita akhiri di sini dulu. Terima kasih,” ucap Nathan menutup pertemuan yang sudah berlangsung lama itu.
Setelah itu, satu persatu orang keluar dari ruang rapat, Nathan langsung melepas jaket yang selama itu menempel di tubuhnya.
Kemudian duduklah sejenak untuk istirahat.
Nathan menjabat sebagai Presdir, jabatan tertinggi itu ia peroleh setelah Abdi memutuskan pensiun dari perusahaan yang bergerak di bidang manufaktur makanan dan minuman dalam beberapa tahun terakhir.
Hari ini dia harus menanda tangani banyak dokumen, bertujuan untuk mengatur kelolaan produksi minuman terbaru yang akan segera launching bulan ini.
Dia adalah orang yang sangat penting dalam setiap Negara.
Dia juga adalah tokoh penting untuk kemajuan ekonomi. Menjadi pemimpin yang profesional dan kompeten membuat semua karyawan dan rekan bisnis sangat memujanya.
Nathan memang tampan, tak ada satupun wanita yang tidak tertarik padanya.
Kata para followers di akun Stagram miliknya yang sebagian besar adalah para ibu dan remaja. Nathan adalah pria berdarah surgawi.
Namun,
banyak juga yang tidak suka dengan temperamennya yang buruk, sedikit sombong dan dingin.
“Tuan Abdi sudah menetapkan tanggal pernikahanmu dengan nona Kasih, apakah Anda sudah siap menikah lagi, Tuan?” tanya Rehan. Dia menuliskan beberapa poin yang dia dapatkan dari pertemuan tadi.
“Re,” panggil Nathan. “apakah kamu bersedia untuk membunuhku?” tanyanya.
“Apa Anda yakin?” tanya Rehan yang masih ingin meyakinkan dengan perkataan Nathan.
“Iya, cekik saja aku,” kata Nathan menjawab.
Rehan beranjak dari duduk lalu dia mendekati Nathan, perintah adalah perintah yang harus dipatuhi, itulah prinsip dari seorang sekretaris Rehan.
“Uhuk ... uhuk. Rehan!” Nathan tersentak dan terbatuk ketika Rehan mencekik lehernya, nyaris saja nyawanya melayang akibat kehabisan nafas.
“Apa Anda baik-baik saja?” Rehan buru-buru melepaskan tangannya dari leher Nathan, sesekali ia memastikan kondisinya. Apa dia bodoh, kenapa dia melakukan hal sedemikan.
“Tentu saja tidak, kamu mau membuatku mati? Kenapa kamu mencekik leherku?" Nafas Nathan terengah-engah, dia mengelus leher dan dadanya. Ingin sekali dia membalas
perbuatannya.
“Saya hanya menjalankan perintah dari Anda, Anda tadi menyuruh saya untuk membunuh dengan mencekik leher.
Kenapa Anda malah marah begitu?”
“Kamu terlalu patuh padaku sehingga saat aku menyuruhmu untuk membunuhku kau-pun bersedia melakukannya! Apa kamu benar-benar ingin aku mati? Besok-besok jangan terlalu patuh, bersikap kurang ajar lah sesekali terhadapku.”
“Baik.” Rehan menunduk hormat setelah puas melakukan itu.
Padahal dia bercanda, tapi sekretaris itu malah beneran mencekik lehernya.
Dasar pria aneh, apa dia tidak tahu caranya bercanda. Sudah dua puluh tahun bersama, tapi sikapnya begitu saja.
Rehan dan Nathan sebenarnya hanyalah bos dan sekretaris,
Walaupun Rehan hanyalah sekretaris biasa, bagi
Nathan, pria itu lebih berharga daripada jabatannya sebagai Presdir saat ini. Rehan adalah orang ketiga yang paling dia cintai. Karena Rehan juga dia bisa sesukses sekarang, mereka telah bersama selama kurang lebih dua puluh tahun. Oleh karena itu, mereka berdua terlihat sangat akrab.
“Baiklah, aku akan bersedia menikah dengan Kasih.”
Saat ini Nathan dan para keluarga sedang berbincang ramai-ramai di ruang keluarga, setelah dipikir-pikir. Nathan terlalu egois sehingga tidak mau menikah lagi, kasian Billy.
“Hore, apa Billy akan segera punya ibu?” Anak kecil itu terlihat bahagia, begitu riang mendengar kabar bahwa ayahnya akan menikah. Dia tidak tahu bagaimana itu menikah, tapi yang ia tahu. Ia akan segera mendapatkan seorang ibu.
Kasih duduk bersampingan dengan Nathan, bagai mendapatkan durian runtuh ia akan dinikahi oleh pria impiannya itu. Oh memang rezeki nomplok, sedari awal ia memijakkan kaki di keluarga Wing dia memang langsung jatuh hati terhadap pria itu. Sudah tampan, gagah, kaya pula.
Suatu kehormatan Abdi menjodohkan mereka.
Satu pekan lagi pernikahan akan digelar, cukup pesta kecil-kecilan saja. Tidak perlu mewah-mewah asalkan sah di mata agama dan negara.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!