NovelToon NovelToon

Bangkit Dari Keterpurukan

Terpaksa Menikah Muda

Namaku Reyna, saat ini aku duduk di bangku sekolah SMK jurusan akuntansi, tepatnya kelas dua SMK. Karena cita-citaku ini menjadi akuntan.

Tapi kenyataan tak sesuai dengan harapan, impianku hilang begitu saja di terpa angin lalu.

Kala aku harus menerima kenyataan pahit diriku di jodohkan di usiaku yang baru akan menginjak delapan belas tahun.

"Ayah, ibu. Apa nggak nunggu aku lulus sekolah saja? sayang sekali tinggal satu tahun lagi, masa aku harus berhenti di tengah jalan?"

Reyna meminta kebijaksanaan dari orang tuannya, tentang perjodohannya dengan seseorang yang sama sekali belum di kenalnya.

"Reyna, kami sudah benar-benar tidak sanggup lagi membiayai sekolahmu makanya kami memutuskan kamu berhenti saja dari sekolah," tukas Ayah Darmawan.

"Iya nak, lagi pula kamu bisa lihat jika sekarang ini ibu sedang hamil besar seperti ini, dan sebentar lagi akan melahirkan. Ayahmu belum juga mendapatkan pekerjaan yang tetap jadi tolong mengertilah akan kondisi keuangan keluarga," Bu Wati ikut berkata.

"Kalau ayah nggak bekerja ya cari pekerjaan toh, yah. Masa hanya berdiam diri di rumah saja mengandalkan warung sembako yang sudah jelas hasilnya nggak mencukupi untuk kebutuhan keluarga," tukas Reyna.

"Nak, tanpa sepengetahuanmu. Ayah sedang usaha mencari pekerjaan yang tetap, tapi belum juga ada lowongan kerja. Tahu sendiri, ayah bisanya hanya bekerja sebagai kuli bangunan atau tukang parkir atau kerja kasar lainnya," Ayah Darmawan mencoba memberi pengertian pada, Reyna.

"Ayah, pekerjaan kan banyak. Nggak harus menjadi kuli bangunan, kuli di pasar kan bisa atau jualan apalah," kembali lagi Reyna memberikan sebuah saran.

"Reyna, walaupun kerja seperti itu juga nggak akan mencukupi untuk kebutuhan kita," Ayah Darmawan terus saja meminta pengertian dari anak sulungnya.

"Ayah, aku bersedia kok membantu mencari uang setelah aku pulang dari sekolah. Tak perlu mengambil solusi dengan cara menikahkan aku dengan orang yang sama sekali aku belum mengenalnya bahkan aku belum pernah bertemu dengannya satu kali pun," Reyna terus saja membujuk ayahnya.

"Reyna, kami ini mempunyai banyak sekali hutang dan kami tidak sanggup lagi untuk membayarnya. Jika tidak lekas membayar hutang, rumah ini akan menjadi jaminan bank bisa disita bisa diambil lantas kita akan tinggal di mana?"

"Aku semakin nggak mengerti dengan

jalan pikiran ayah dan ibu, lantas apa keuntungannya menikahkan aku?" tanya Reyna mengernyitkan alis.

Ayah Darmawan, menjelaskan secara detail apa keuntungannya jika dia menikahkan Reyna dengan anak dari sahabatnya.

"Jika kamu bersedia menikah dengan Rony, anak dari teman ayah, mereka akan menyanggupi membayar semua hutang-hutang keluarga kita," tukas Ayah Darmawan.

"Apa, ayah nggak sadar? itu sama saja ayah menjual aku secara tidak langsung pada teman ayah tersebut?" Reyna mengerucutkan bibirnya.

"Reyna, sudahlah kamu jangan

membantah segala apa yang telah diputuskan oleh kami. Jika kamu benar-benar sayang pada orang tuamu, seharusnya kamu tinggal mengiyakan dan setuju atas apa yang telah kami putuskan untuk dirimu," Bu Wati mendengus kesal.

Belum juga Reyna menjawab perkataan dari ibunya kini ibunya berkata kembali.

"Lagi pula kami telah memilihkan seorang calon suami yang benar-benar mempunyai masa depan yang cerah jadi kamu tidak perlu khawatir akan kehidupanmu kelak jika telah menikah dengan Rony," Bu Wati mencoba meyakinkan Reyna.

"Ya sudah jika ibu dan ayah tetap kukuh dengan keputusan itu aku tak bisa berbuat apa-apa lagi." Reyna melangkah pergi begitu saja.

Dia pergi mengendarai sepedanya ke sungai yang tak jauh dari rumahnya.

Reyna, duduk termenung sendiri di pinggir aliran sungai tersebut di salah satu bebatuan yang besar.

Sebenarnya dia sangat tidak setuju dengan keputusan dari orang tua karena dia masih ingin menyelesaikan sekolahnya hingga lulus SMK.

"Ya Allah, ikhlaskan aku menerima keputusan yang telah dipilihkan oleh orang tuaku untuk masa depanku."

"Semoga apa yang orang tuaku putuskan benar-benar yang terbaik untuk menyelesaikan masalah ekonomi di keluargaku ini."

Setelah cukup lama merenung duduk sendiri terpaku menatap aliran sungai yang mengalir dan merasakan sejuknya hembusan angin dari pepohonan di sekitar sungai, dia memutuskan untuk kembali ke rumah dengan mengayuhkan kembali sepedanya.

******

Malam menjelang tepatnya malam ini adalah malam minggu. Rony dan orang tuanya datang menyayangi rumah Reyna.

"Bu, tolong panggilkan Reyna untuk

kemari," perintah Ayah Darmawan pada istrinya.

Tak berapa lama Bu Wati telah berada di ruang tamu bersama dengan Reyna.

"Reyna, ini Nak Rony yang tadi pagi sempat ayah ceritakan padamu." Aysh Darmawan menujuk ke arah Rony.

Reyna dan Rony saling menyapa lewat senyuman dan saling bersalaman.

"Ini, bapak Dedy dan Bu Desy,"

Ayah Darmawan memperkenalkan orang tua, Rony pada anaknya. Reyna menyalami calon mertuanya.

Setelah itu mereka membicarakan rencana pernikahan antara Reyna dan Rony. Reyna begitu shock karena pihak lelaki menginginkan pernikahan di adakan segera.

Reyna tak menyangka akan secepat itu dirinya di pinang orang yang sama sekali belum mengetahui sifat dan perilakunya. Akan tetapi dia sama sekali tak bisa membantah keputusan yang telah ditetapkan oleh kedua belah pihak.

"Ya Allah, aku pikir baru perkenalan dulu tetapi ternyata malah telah ditentukan sekalian kapan akad nikah akan dilaksanakan," batin Reyna masih belum bisa menerima kenyataan pahit ini.

********

Satu minggu telah berlalu dan kini saatnya hari pernikahan yang telah ditentukan telah tiba.

Reyna sangat cantik dengan balutan kebaya warna putih dan make up wajah yang sangat natural. Rony mengenakan kemeja senada dengan warna kebaya yang di kenakan oleh, Reyna.

"Saya terima nikah dan kawinnya, Reyna bin Darmawan. Dengan mas kawin seperangkat alat sholat."

"Sah"

"Sah"

Kemudian semua yang hadir melafalkan doa untuk kedua mempelai.

Setelah acara akad nikah tersebut selesai, Reyna di boyong di bawa ke rumah mertuanya. Karena Rony anak semata wayang hingga dia tetap tinggal bersama orang tuanya.

"Reyna, kini kamu telah menjadi bagian dari keluarga kami. Jadi kamu jangan pernah sungkan tinggal di sini. Anggap saja, di sini layaknya di rumahmu sendiri," tukas Bu Desy.

"Iya, Reyna. Kamu telah kami anggap sebagai anak perempuan kami," tukas Pak Dedy.

"Iya, om-tante."

"Loh, kok panggilnya masih belum berubah? panggil kami mamah dan papah, seperti Rony juga," Pak Dedy terkekeh.

"Baik, pah-mah, maaf."

"Ya sudah, berhubung ini sudah malam. Sebaiknya kalian lekas istirahat," saran Pak Dedy.

"Rony, jangan lupa pesan papah ya? Cepet gas pol, biar lekas tekdung."

"Siap, pah."

Tanpa ada rasa sungkan, Rony merangkul istrinya melangkah menuju ke kamar pengantin. Kamar yang telah di hias sedemikian rupa sehingga terlihat sangat cantik dan indah.

Rony lekas mengunci pintu kamarnya, dan menuntun Reyna mendekati dirinya. Reyna hanya diam saja saat Rony menghampiri dirinya.

******

Mulai Di Musuhi

Reyna tak bisa menolak pada saat Rony mendekatinya dan melakukan apa yang di inginkannya. Reyna hanya pasrah saja, walaupun dia sama sekali belum rela, tapi dia tak bisa memberontak.

Malam pertama terjadi dengan semestinya, tanpa ada halangan apa pun. Rony langsung tertidur pulas setelah selesai melakukan ritual malam pengantin.

Namun tidak dengan, Reyna. Dia malah menitikkan air matanya.

"Ya Allah, seharusnya setiap orang menikah itu bahagia. Tapi aku malah sama sekali tak merasa bahagia, tetapi aku tertekan."

"Ya Allah, kenapa aku masih saja belum ikhlas dengan pernikahan ini? Bantu aku tuk bisa terima dan ikhlas dengan menerima takdirku ini ya, Allah."

Terus saja batin Reyna berkecamuk ingin memberontak, tapi itu takkan mungkin di lakukannya. Karena kini dia sudah menjadi istri sah, Rony.

*******

Tak terasa pagi menjelang, kehidupan awal pernikahan Reyna di rumah mertuanya berjalan wajar tak ada permasalahan.

Akan tetapi pada saat Reyna mulai hamil, di sinilah dirinya mulai di beri ujian.

Saat ini Reyna tengah hamil empat bulan. Dari usia kandungan satu bulan dia sudah merasakan ngidam seperti wanita hamil pada umumnya.

"Reyna, kalau lagi hamil itu jangan malas. Jangan beralasan ini dan itu, hingga tak mengerjakan pekerjaan rumah tangga," cakap Bu Desy dengan lantangnya.

Reyna hanya diam saja, saat ini dia sedang merasakan sakit kepala yang teramat sangat hingga berbaring di kamarnya.

Sementara Bu Desy berkata dengan berdiri tepat di pintu kamar Rony

"Rony, apa kamu tak pernah menasehati istrimu supaya jangan bermalas-malasan saja?"

"Mah, biarkan Reyna istirahat. Kasihan juga dari pagi muntah- muntah dan nggak mau makan sama sekali. Mungkin badannya terasa lemas," Rony membela istrinya.

"Wajar bagi wanita hamil alami hal seperti itu, kamu pikir dulu mamah tak mengalami apa yang di alami oleh, Reyna. Pada saat hamil dirimu, mamah juga merasakan.

Tapi mamah tak malas seperti istrimu ini, mamah tetap melayani suami. Mengerjakan urusan rumah dan dapur,"tukas Bu Desy membandingkan dirinya pada saat hamil dengan Reyna a saat ini.

"Apa yang di katakan mamahmu itu tidak bohong, Rony. Mamahmu ini sangat cekatan, walaupun dia sedang hamil tak pernah mengeluh atau pun manja seperti istrimu," Pak Dedy mencemooh menantunya.

"Astaghfirullah alazdim, apa mereka tak tahu bagaimana rasaku saat ini? Ya Allah, beri hamba kesabaran dan keikhlasan menghadapi ujian ini," batin Reyna a menguatkan diri sendiri.

Dengan sangat terpaksa, Reyna bangkit dari berbaringnya dan melangkah keluar kamar tanpa berkata sepatah kata pun.

Reyna melangkah ke dapur di mana banyak sekali perabot rumah tangga yang masih kotor. Reyna mencuci semuanya dan menatanya di tempatnya semula hingga rapi.

"Setelah kamu selesai mencuci piring, kamu cuci semua baju kotor ini. Tapi jangan pakai mesin cuci, karena sedang rusak. Kamu cuci manual pake tangan saja, malah lebih bersih." Bu Desy meletakkan satu keranjang besar berisi pakaian kotor.

"Iya, mah." Hanya itu yang keluar dari mulut Reyna.

Sesekali Reyna masih saja muntah, kepalanya juga sudah tak bisa di kompromi lagi. Baru saja dia selesai mencuci peralatan rumah tangga, tubuhnya limbung dan hampir saja terjatuh jika tidak di topang oleh, Rony yang kebetulan datang ingin mengecek kondisi, Reyna.

"Mah, lihat ini. Mamah terlalu memaksa kan kehendak pada, Reyna. Akhirnya jadi seperti ini, kan? dia menahan rasa sakitnya demi menuruti kemauan, mamah. Untung saja ada aku, jika tidak saat ini Reyna sudah terjatuh di lantai."

Rony menggendong tubuh Reyna membawanya ke kamar dan membaringkannya.

"Paling juga, Reyna hanya berpura- pura saja supaya dia terbebas dari pekerjaan rumahnya," cubit Bu Desy.

"Mah, Reyna pingsang beneran kok di bilang bohongan?" Rony membela istrinya.

"Namanya ngidam itu pada saat pagi saja, ini sudah siang masa masih merasakan ngidam, mamah dulu nggak seperti ini. Jadi mamah sudah paham, bagaimana ciri-ciri orang ngidam," tukas Bu Desy ketus.

Rony hanya bisa menggelengkan kepalanya, dia lekas mencari minyak kayu putih. Perlahan membalurkan minyaknya ke tengkuk leher dan telapak kaki, serta menoreh sedikit di hidup, Reyna.

Perlahan, Reyna siuman. Dia membuka matanya perlahan, akan tetapi pandangan matanya masih kabur belum begitu jelas.

Kepalanya juga masih sangat sakit, badan terasa lemas tak bertenaga.

"Mas Rony, aku minta tolong ambilkan obat yang dari bidan. Kepalaku sakit sekali dan badanku terasa sangat lemas," pinta Reyna lirih.

"Apa nggak sebaiknya kita ke bidan lagi saja, Reyna?"

Belum juga Reyna menjawab ajakan suaminya, Bu Desy sudah terlebih dulu berkata.

"Manja amat, habiskan dulu obat yang masih ada. Jangan di biasakan, sedikit-sedikit ke dokter. Memangnya ke dokter itu gratis, nggak kan?" tukas Mamah mertua ketus.

"Mah, toh aku kan nggak minta sepeser pun uang dari, mamah. Aku punya uang sendiri kok," Rony mencoba memberi pengertian kepada mamahnya.

"Kenapa sejak kamu menikah dengan, Reyna. Mamah perhatikan kamu ini berani membantah apa yang mamah katakan."

"Padahal kamu ini anak yang sangat penurut dan patuh. Reyna malah membawa dampak buruk padamu. Ternyata kami memilih wanita yang salah untuk di jadikan istri untukmu."

Terus saja, Bu Desy menyerang Reyna dengan serangkaian perkataannya.

"Ada apa sih, mah? nggak enak sekali di dengar di telinga ini?" tegur Pak Dedy

"Ini, pah. Rony sekarang menjadi pembangkang sejak menikah dengan, Reyna. Dia selalu membela Reyna dari pada membela mamah," Bu Desy perlahan menitikkan air mata buayanya.

"Membangkang bagaimana, mah? tolong kalau bercerita yang jelas, janganhanya sepotong-sepotong saja," Pak Dedy menautkan alisnya.

Bu Desy menceritakan semua yang terjadi barusan pada suaminya. Tanpa ada yang di tambahi atau pun lebihkannya.

"Mah, sudahlah jangan di permasalahkan. Mungkin saat ini menantu kita memang benar-benar sedang kurang sehat. Apa lagi dia saat ini sedang hamil," Pak Dedy mencoba mencairkan suasana.

"Huh, bapak dan anak sama saja! keduanya malah membela Reyna. Padahal dulu tak seperti ini, apakah Reyna memakai guna-guna, sehingga suami dan anakku terus saja membelanya?"

Bu Desy menggerutu seraya berlalu pergi dari pintu kamar, Rony. Begitu pula dengan, Pak Dedy. Dia pun berlalu pergi dengan menggelengkan kepalanya seraya menghela napas panjang.

Berbeda dengan, Reyna yang sedari tadi sedang menahan supaya tidak menitikkan air matanya di depan suami maupun kedua mertuanya.

"Reyna, kita periksa lagi saja yuk ke bidan. Supaya lebih jelas dan supaya kamu mendapatkan obat yang tepat untuk masa kehamilanmu ini," ajak Rony.

"Nggak usah, mas. Apa yang di katakan mamah ada benarnya. Aku akan habiskan dulu obat yang di berikan oleh Bu bidan tempo dulu," Reyna tetap saja mengelak.

Selalu Di Salahkan

Waktu berjalan begitu cepatnya, kini usia kandungan Reyna sudah semakin membesar memasuki usia delapan bulan.

Dari usia kandungan, Reyna lima bulan dia sudah biasa berkutat dengan segala pekerjaan rumah tangga.

Padahal di rumah Rony sudah ada beberapa asisten rumah tangga.

Karena rumah Rony tergolong sangat besar, dan megah. Akan tetapi orang tuanya selalu memperlakukan, Reyna layaknya asisten rumah tangga. Mereka sama sekali tak memikirkan jika saat ini, Reyna sedang hamil.

"Aduh, kenapa aku seperti orang yang buang air kecil. Tetapi aku tidak menyadari jika aku buang air kecil."

Reyna bercerita tentang hal ini pada suaminya, akhirnya mereka memutuskan periksa ke bidan.

"Nona Reyna, apa yang anda rasakan ini bukanlah karena anda buang air kecil tapi tidak terasa. Tapi air ketuban telah pecah."

"Seharusnya anda sudah mulai merasakan tanda-tanda akan melahirkan, tetapi anda sama sekali belum merasakan apapun."

"Saya akan memberikan obat untuk pemacu supaya anda lekas merasakan kontraksi. Jika obat yang saya berikan tidak bereaksi, saya anjurkan segera anda ke rumah sakit dan melakukan operasi Caesar."

"Karena jika air ketuban telah pecah tetapi anda belum juga merasakan kontraksi, itu sangatlah berbahaya pada janin, anda."

Saya sarankan, anda jangan terlalu banyak bergerak karena di khawatirkan air ketuban akan terus keluar dan itu bisa berbahaya buat janin, anda."

"Bedress dulu, berbaring saja supaya mencegah air ketuban semakin banyak ke luar."

Bidan menjelaskan secara detail apa yang di rasakan oleh, Reyna

Setelah pulang dari bidan, Reyna langsung meminum pil pemberian dari, Bu Bidan. Dia menuruti anjuran dari bidan supaya jangan banyak bergerak.

"Reyna, jam besar malah tidur saja! itu justru tak baik untuk kandunganmu! dasar pemalas!" hardik Bu Desy lantang.

"Mah, ini anjuran dari Bu Bidan kok. Air ketuban sudah pecah dan Reyna belum merasakan kontraksi. Jadi dia tak boleh banyak bergerak supaya tidak menguraa air ketuban yang ada di dalam tercurah ke luar. Kata, Bu Bidan bisa berbahaya bagi janinnya."

Rony yang menjelaskan kenapa Reyna tidak beraktifitas selama pulang dari bidan.

Beberapa saat, barulah Reyna merasakan kontraksi. Perutnya sakit, mulas nggak karuan. Dia terus saja merintih kesakitan, akan tetapi dia berusaha menahannnya.

Biarpun dia masih belia, akan tetapi tidak manja. Rasa sakit yang teramat sangat membuatnya tak bisa memejamkan matanya, semalaman dia tidak tidur.

Hingga dini hari baru, Reyna bisa memejamkan matanya. Beberapa jam kemudian, terdengar suara ayam berkokok. Reyna telah terbangun, tapi dia masih saja merasakan begitu kuatnya sakit yang di rasakan. Perut juga semakin mengencang.

"Ya Allah, luar biasa nikmat rasa ini. Duhhh, rasanya sungguh....sssstt...ssst.."

Terus saja Reyna merintih dengan mata berkaca-kaca.

"Reyna, apa nggak sebaiknya kita ke bidan lagi. Mungkin saja sudah waktunya untuk kamu melahirkan," Rony menata ke arah Reyna dengan wajah panik.

"Jangan dulu, mas. Kata Bu Bidan, jika belum mengeluarkan bercak darah itu tandanya belum saatnya untuk melahirkan." Cegah Reyna.

"Tapi aku nggak tega melihatmu, sudah seharian kamu seperti ini menahan rasa sakit." Rony merasa iba pada Reyna.

"Ini sudah kodratnya seorang wanita, mas. Kamu tenang saja, aku pasti bisa melewati semua ini kok." Reyna meyakinkan suaminya.

Hingga jam tiga sore barulah, Reyna sudah benar-benar tidak bisa menahan rasa sakitnya. Saat itu juga, Rony membawanya ke bidan yang rumahnya kebetulan hanya satu meter dari rumah, Rony.

Segera Bu Bidan dan salah satu perawatnya memberi penanganan pada, Reyna. Karena memang sudah waktunya bagi, Reyna untuk melahirkan.

Hanya sepuluh menit saja, sudah terdengar suara bayi menangis dengan sangat kencang.

"Oek Oek Oek "

"Alhamdulillah, akhirnya lahir juga dirimu, nak." Rony menengadahkan kedua tangannya ke atas seraya mengucap syukur.

"Selamat ya, mas. Anaknya laki-laki terlahir sempurna tidak kurang suatu apapun. Silahkan masuk saja, dan anda bisa meng azdaninya."

Mendengar bidan telah memberikan izin, Rony tak berlama-lama lagi. Dia lekas masuk ke ruang bersalin untuk memberikan selamat pada istrinya dan untuk mengazdani anaknya.

"Reyna, terimakasih karena kamu telah menyempurnakan hidupku. Dengan memberiku seorang anak lelaki yang selama ini aku harapkan."

Rony langsung menggendong bayinya dan mengadzaninya.

"Reyna, aku akan memberinya nama, Romy."

Sudah dua hari, Reyna berada di klinik bersalin. Kini saatnya dia pulang ke rumah mertuanya.

"Mba Reyna, karena anak mba lahir di saat air ketuban pecah cukup lama. Untuk antisipasi, saya akan memberikan suntikan dua kali yakni setiap pagi dan sore di lakukan selama tiga hari. Ini untuk antisipasi supaya, bayi anda tidak meminum air ketuban atau istilah orang Jawa ngokop." Tukas Bidan.

Reyna mengiyakan apa yang di perintahkan oleh Bu Bidan. Reyna pulang bersama bayinya dengan naik becak, sementara Rony mengemudikan motornya.

Sampai di rumah, tidak ada sambutan yang hangat dari kedua mertuanya.

"Kenapa lama di klinik? sampai menginapnya dua hari dua malam segala. Padahal dulu, mamahnya Rony malah melahirkan di rumah cukup dengan dukun beranak!" cemooh dari mulut Dedy.

"Menantu kita kan manja, pah. Nggak kaya mamah dulu, kuat, tegar. Reyna kan rapuh, nggak seperti mamah," cemooh dari Desy.

Reyna hanya diam saja mendengar cemoohan dari kedua mertuanya. Dia hanya bisa menggerutu di dalam hati, mencoba menguatkan diri sendiri.

"Ya Allah, kenapa kedua mertua selalu saja tak senang padaku. Ada saja cara mereka untuk memojokkanku. Bukannya memberikan selamat padaku, tapi malah menghinaku habis-habisan."

"Ya Allah, aku mohon kuatkanku menghadapi sikap kedua mertuaku."

Reyna masih merasakan rasa sakit setelah melahirkan, kini dia malah bertambah sakit hati dengan ocehan mertuanya yang sangat menusuk hatinya.

"Pah, menantu kita sekarang sudah tak bisa mendengar apa ya? dan tak bisa berbicara," kembali lagi, Desy menyerang menantunya.

"Memangnya kenapa, mah?" Dedy menautkan alisnya.

"Lihat saja, saat kita berbicara padanya. Dia sama sekali tak merespon. Mungkin sudah tuli dan sudah nggak bisa berkata alias bisu," kata-kata kasar keluar dari mulut Desy.

"Astaghfirullah, jika aku berkata di bilang aku ini lancang, nggak sopan, dan pembangkang. Aku diam pun salah, lantas aku harus bagaimana ya, Allah? selalu saja serba salah," batin Reyna.

Reyna melangkah masuk ke dalam kamar dengan menitikkan air mata nya.

Pagi menjelang, tak lupa Reyna menyiapkan segala sesuatunya untuk kebutuhan suaminya ke kantor.

'Reyna, jika kamu akan ke bidan sebaiknya minta tolong mamah untuk menemanimu. Karena kamu kan masih belum sehat benar," pesan Rony.

"Baiklah, mas. Kamu yang hati-hati ya kerjanya."

Tak lupa Reyna mencium punggung tangan suaminya.

Setelah itu, Rony berangkat ke kantor bersama papahnya.

Sementara Reyna hanya di rumah bersama mamah mertuanya.

"Ini sudah saatnya aku membawa Romy ke klinik untuk mendapatkan suntikan."

Dia mencari keberadaan mamah mertuanya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!