NovelToon NovelToon

My Devilish Daddy

Kebencian.

Sambil duduk termenung di atas kursi roda, di dalam kamar tepatnya di dekat jendela rumah sakit yang cukup terkenal di pusat kota, aku menatap interaksi anak perempuan yang usianya kurang lebih lima tahun mengenakan pakaian rumah sakit seperti aku. Anak itu sedang bermain bersama kedua orangtuanya. Hal itu tentu saja membuatku iri.

Sejak membuka mata aku tidak pernah melihat papaku. Aku tidak tahu wujud dan bentuk makhluk Adam itu seperti apa. Aku merasa hidupku tidak normal. Hidupku tidak sama seperti teman-temanku yang memiliki keluarga lengkap. Memiliki kakek, nenek, papa, mama, paman, bibi, kakak, adik bahkan saudara. Sementara aku ... Aku tidak memiliki siapa-siapa selain mama. Aku tidak memiliki papa, adik, kakak ataupun kakek dan nenek.

Aku penasaran dengan kehidupanku yang tidak lengkap ini. Sepuluh tahun lalu aku memberanikan diri untuk menanyakan hal itu kepada mama. Rasa penasaran yang sudah bersarang sejak lama akhirnya meledak ketika usiaku dua belas tahun. Kata mama kakek dan nenekku meninggal sejak mama masih kecil. Mama adalah anak tunggal kemudian di adopsi oleh paman Robbie yang tak lain adalah adik dari papanya mamaku. Itulah kenapa aku tidak punya sepupu, karena mama adalah anak satu-satunya di keluarga Oliver. Paman Robbie yang sering kusapa kakek itu juga tidak pernah menikah. Entah apa alasannya, yang jelas di keluarga ini hanya ada kakek Robbie Oliver, mamaku yang bernama Abigail Oliver dan aku, Zuri Oliver.

Oliver itu adalah nama keluarga. Karena lahir tanpa papa membuatku harus memakai nama belakang keluarga mamaku. Hal itu juga yang membuatku penasaran dan bertanya kepada mama di mana sebenarnya papaku berada. Saat pertanyaan itu terlontar mama sepertinya terkejut. Namun tak ingin aku bertemu papa, mama akhirnya menceritakan semuanya. Alasannya papaku meninggalkan aku dan mama demi wanita lain. Papaku pergi di saat aku berusia berapa minggu di dalam perut mama. Aku sempat marah kepada mama kenapa tidak menahan papa. Namun alasan mama cukup masuk akal dan membuatku seumur hidup sangat membenci papaku. Aku bersumpah tidak akan pernah menemui lelaki itu sekalipun dia membutuhkanku. Aku tidak akan menganggap lelaki itu papaku dan berdoa agar tidak akan pernah melihatnya. Aku bersyukur tidak pernah tahu wajahnya seperti apa. Namun, kebencianku terhadapnya membuatku menolak setiap kali ada pria yang ingin mendekatiku. Aku benci lelaki dan aku tidak ingin merasakan sakit seperti yang mamaku rasakan.

Lamunanku buyar ketika tangan lembut mama menyentuh bahuku. Dengan wajah pucat, alis berwarna cokelat, rambut pirang yang masih belum rapi aku menatap mamaku yang sudah wangi dan segar.

"Selamat pagi, Sayang," sapa mamaku dengan senyum manis yang selalu membuatku bahagia.

"Pagi, Ma. Mama mau ke kantor?" tanyaku begitu mata cokelatku melihat setelan rapi yang pas di tubuh mama yang seksi. Walaupun sudah memiliki anak, tapi mamaku terlihat seperti wanita-wanita berkelas yang belum menikah. Selisih usia dua puluh tahun membuat orang-orang mengira mama adalah kakakku. Bahkan ada beberapa teman kampusku sering memberi salam kepada mamaku. Mereka ingin mengencani mama tanpa tahu bahwa wanita yang paling mereka kagumi ini adalah mamaku.

"Iya, Sayang. Hari ini mama ada meeting dengan perusahan terkenal dari luar kota. Mereka mau bekerja sama dengan perusahan kita. Kamu tidak apa-apa kan mama tinggal sebentar? Mama janji, setelah meeting mama akan langsung ke sini menemanimu."

Ada sedikit sakit yang terasa dalam hatiku saat mendengar perkataan mama. Di saat anak sedang sakit, mamaku lebih mementingkan pekerjaan dibanding anaknya sendiri. Tapi aku harus mengalah demi kebaikan semua. Toh mama bekerja siang-malam juga demi aku. Kalau tidak seperti itu lalu siapa lagi yang akan bekerja dan menafkahi kebutuhan kami setiap hari. Melihat mama seperti ini membuatku ingin membantu mama. Aku tidak ingin mama terus-terusan bekerja demi memenuhi kebutuhan kami. Aku juga ingin bekerja untuk memenuhi kebutuhanku sendiri.

"Iya, Ma. Mama hati-hati, ya. Jangan lupa makan. Kalau mama sakit dan aku juga sakit, bagaimana?"

Oh iya, aku lupa memberitahu kalian. Alasan aku masuk rumah sakit dan duduk di kursi roda sekarang ini karena kecelakaan mobil. Lima hari lalu saat pulang dari pesta bersama teman-teman untuk merayakan acara kelulusan, aku minum sampai mabuk dan menabrak pembatas jalan. Untung saja aku tidak apa-apa. Hanya saja tulang di kaki kananku sedikit tergeser akibat benturan yang cukup keras. Aku juga bersyukur tidak ada yang parah dalam insiden itu. Hanya cedera tulang dan beberapa luka ringan di bagian tubuh akibat percikan kaca. Walaupun begitu mama sama sekali tidak marah padaku. Beliau hanya menasehatiku itu pun dengan cara yang tidak biasa di lakukan oleh semua orang tua perempuan.

"Tenang saja, Sayang. Oh iya, mama membawakanmu bubur kesukaanmu, tapi mama minta maaf karena tidak bisa menemanimu sarapan."

Kulihat wajah cantik mamaku penuh penyesalan dan kesedihan. Itu pasti berat baginya. Di satu sisi mama pasti ingin berada di dekat dan merawatku, tapi di satu sisi mama harus bekerja demi memenuhi kebutuhanku. Aku pun tak bisa menuntut. Aku tersenyum kemudian memegang sebelah tangan mamaku.

"Tidak apa-apa, Ma. Kan ada pengasuh di sini. Lagi pula mama kan sudah sering meninggalkanku dengan pengasuh."

Kurasakan pelukan hangat dari tubuh mamaku.

"Maafkan mama, Sayang. Seharusnya mama ada di sini menemanimu sampai kamu sembuh."

Tak ingin larut dalam kesedihan, aku segera tertawa dan berkata, "Aku sudah besar, Ma. Sudah, nanti Mama terlambat, lagi."

Mamaku menyerang wajahku dengan ciumannya hingga meninggalkan beberapa bekas lipstik. Mama tertawa lalu pamit dan pergi meninggalkanku. Aku pun harus ikhlas membiarkan mama pergi, padahal batinku ingin sekali mama menemaniku, memeluk dan mengelus kepalaku di saat aku tidur. Seandainya aku punya papa, mungkin kehidupanku tidak akan seperti ini.

"Non, ayo sarapan dulu. Non harus minum obat setelah ini."

Suara bibi Renata mengejutkanku. Bibi Renata adalah pengasuh yang sudah merawatku sejak usiaku dua tahun. Meskipun sedih karena mama hampir setiap saat meninggalkanku, aku cukup terhibur dan bahagia dengan adanya bibi Renata yang selalu menemaniku ke manapun aku mengajaknya. Bibi Renata sangat baik. Bibi Renata menyayangiku seperti menyayangi putrinya sendiri. Karena tidak menikah, beliau sudah menganggapku seperti cucunya sendiri.

***

Beberapa hari setelah keluar dari rumah sakit, aku mengajukan permintaan kepada mama yang cukup membuatnya syok. "Aku ingin keluar kota, Ma. Aku ingin mencari suasana baru. Siapa tahu di sana aku bisa mendapatkan pekerjaan yang baik, toh mama tidak perlu lagi bekerja siang hari malam demi memenuhi kebutuhan kita."

"Sayang, perusahan yang mama kerjakan sekarang itu milik kita. Milik keluarga Oliver. Penghasilan di perusahan itu tidak akan membuat kita miskin. Kamu tidak perlu bekerja. Bersenang-senanglah dulu sebelum kamu siap bergabung dengan mama untuk mengurus perusahan kita."

Bersambung____

Rencana ke luar Kota.

Saat ini aku dan mama sedang duduk di teras belakang sambil menikmati cokelat panas, sepiring biskuit dan di temani musik instrumen yang selalu menjadi andalan aku dan mama. Karena hari ini libur kantor, mama menghabiskan waktu bersamaku di rumah.

"Justru itu, Ma. Sebelum menjadi atasan di perusahan sendiri, aku ingin mencari pengalaman menjadi bawahan di perusahan orang lain. Dengan begitu aku bisa tahu apa sebenarnya keinginan setiap bawahan yang mungkin menjadi beban karena tidak mau mengungkapkan."

Kulihat mamaku diam sesaat. Mata mama yang cokelat menatap kosong sebelum akhirnya kembali menatapku. "Kamu benar, Sayang. Selama ini mama juga terbebani dengan para pekerja yang sering keluar perusahan tanpa alasan yang jelas. Bulan ini sudah dua orang yang mengambil resign. Setiap kali mama tanya alasan resign kenapa, mereka hanya bilang ingin istirahat agar bisa berkumpul bersama keluarga. Tidak masuk akal, bukan?"

Aku bisa melihat ekspresi sedih di wajah mamaku. Menjadi pimpinan perusahan memang tidak gampang. Sebagai pemimpin mama harus bisa mengatur segala sesuatunya dengan baik. Apalagi soal kenyamanan dan kebutuhan para pekerja. Jika salah satu saja dari aspek itu tidak bisa terpenuhi dengan baik, sudah pasti akan menyebabkan pengurangan. Menerima penggatinya mungkin gampang. Tapi mencari yang sudah berpengalaman itulah yang susah.

"Apa Mama sering berinteraksi dengan para bawahan?"

Perusahan keluarga Oliver adalah perusahan kelapa yang diolah menjadi beberapa hasil. Dari kelapa itu bisa menghasilkan santan, tepung dan minyak. Nah, dalam pengolahan tersebut ada beberapa pekerja yang memang sudah dikhususkan untuk bagiannya masing-masing. Jika salah satu dari bagian itu ada kekurangan personil, itu artinya harus mencari pekerja baru lagi dan prosesnya cukup lama untuk melatih hingga bisa.

"Tidak, Sayang. Di setiap divisi kan ada supervisor. Jadi apabila ada pengeluhan masalah operasional, mereka bisa bicara dengan supervisor masing-masing, lalu supervisor ke manager kemudian managernya menyampaikan ke mama. Ada apa, kenapa kamu bertanya begitu?"

Aku menyesap sedikit minumanmu lalu menatap mama. "Aku sengaja ingin mencari pengalaman dari perusahan lain dan menjadi bawahan di sana. Aku ingin mempelajari karakter setiap orang itu seperti apa. Dalam lingkungan kerja pasti ada kan yang namanya penyakit hati. Cari muka lah. Memprovokasi lah. Yang aku takutkan adalah sang pimpinan sudah memberikan yang terbaik__ seperti Mama memperlakukan karyawan Mama__ tapi orang lain yang sengaja membuat mereka tidak nyaman dan akhirnya keluar. Dan itu banyak lho Ma yang sering terjadi."

"Kamu tahu dari mana soal itu, Sayang? Perasaan kamu kan belum pernah bekerja."

Aku tersenyum. "Beberapa teman kampusku memiliki suadara yang juga mengalami hal itu. Karena tahu memiliki perusahan yang bergerak di bidang yang sama, mereka suka berbagi cerita padaku soal itu."

"Itu masuk akal. Berarti mulai sekarang mama harus turun lapangan dan berinteraksi langsung dengan mereka."

"Selain itu Mama juga harus melakukan briefing setiap hari dengan mereka, agar Mama bisa tahu apa sebenarnya pengeluhan mereka. Bisa jadi kan ada yang ingin mereka keluhkan, tapi keluhan itu tidak sampai kepada Mama."

Mamaku tersenyum. "Anak mama sangat bijaksana. Kalau begitu mulai besok mama akan menerapkan hal itu. Briefing, berdoa bersama lalu mulai beraktivitas."

"Itu artinya Mama harus bangun pagi-pagi sekali."

"Tidak masalah," jawab mamaku.

Aku tersenyum lagi. "Lalu bagaimana dengan permohonanku, apa bisa di terima?"

Mamaku tertawa. "Kalau memang itu yang kamu inginkan mama tidak akan keberatan. Tapi mama ingin tahu, kota mana yang ingin kau kunjungi untuk menjadi tujuanmu?"

Aku menyebutkan nama kota kelahiran mama. "Di sana kan ada kakek Robbie. Aku rasa kakek akan senang. Apalagi jika kakek tahu akan bekerja dan tinggal di sana."

Ekspresi mamaku tampak terkejut. Sesaat mama menunduk lalu menatap wajahku lagi. "Kamu yakin akan pergi ke sana?"

"Aku yakin, Ma. Di sana kakek, aku bisa tinggal di rumah kakek jika Mama mengkhawatirkanku."

"Bukan soal itu, Sayang. Ini pertama kalinya kamu keluar kota, mama khawatir sekali jika kamu pergi sendirian."

Aku tersenyum menatap mama. Kulihat ekspresi di wajah cantik mama sangat nyata. Mama benar, ini pertama kalinya aku keluar kota. Ini pertama kalinya aku terpisah dari mama. Aku meraih tangan mama lalu berkata, "Aku sudah dua puluh dua tahun, Ma. Aku sudah besar dan bisa menjaga diri."

"Baiklah, mama percaya padamu. Untuk sementara kamu tinggal bersama kakek. Begitu sudah mendapatkan pekerjaan kabari mama, biar mama carikan kamu apartemen yang bagus dan dekat dengan tempat kerjamu."

Aku terkesan dengan perhatian mama kepadaku. Walaupun sudah dewasa seperti sekarang, mama selalu memperlakukanku seperti anak kecil. "Mama tidak perlu khawatir, aku pasti akan mengabari Mama soal itu."

"Baiklah, kalau begitu mama hubungi kakek dulu. Kapan rencana kamu akan berangkat?"

"Bagaimana kalau lusa?"

"Itu terlalu cepat, Sayang. Mama masih ingin bersamamu di sini."

"Baiklah, minggu depan saja kalau begitu."

"Terima kasih, Sayang. Ya sudah, ayo temani mama belanja."

***

Hari ini adalah hari aku meninggalkan mama. Berat rasanya, tapi harus. Aku harus mencari pengalaman kerja sebelum memimpin perusahan. Di samping itu aku ingin menikmati masa mudaku sebelum aku disibukkan dengan pekerjaan mengurus perusahan.

Hanya memakan waktu satu jam aku akhirnya tiba di kota tersebut. Kota itu adalah tempat kelahiran mamaku. Di kota inilah mamaku di besarkan. Di kota ini juga kakek Robbie tinggal, menghabiskan waktu sepanjang hari. Menurut cerita mamaku, kakek Robbie sejak dulu tidak ingin mengurus perusahan. Kakek Robbie memilih karirnya sebagai pembuat obat dan membangun sebuah apotik besar dan rumah sakit yang cukup terkenal. Jadi begitu kakekku meninggal, ada orang kepercayaan yang mengurus perusahan tersebut sampai akhirnya mama lah yang melanjutkan.

Begitu pintu pesawat terbuka aku langsung berdiri, mengambil semua barang bawaanku. Karena tidak ingin repot, aku hanya membawa satu koper pakaian dan dokumen-dokumen penting untuk kualifikasi yang nantinya akan kumasukan ke beberapa perusahan. Aku di jemput oleh supir pribadi kakek Robbie. Tahu hari ini aku akan tiba, kakek Robbie menyuruh supirnya untuk menjemputku di bandara.

Karena masih pukul dua belas siang, aku memutuskan untuk jalan-jalan sembari mengisi perutku yang sudah kosong. Aku di bawa ke sebuah mall besar yang katanya cukup terkenal di kota ini. Aku pun keluar dari mobil, meninggalkan supir yang masih sangat muda dan tampan itu untuk menungguku. Walaupun tampan, tapi sayangnya aku tidak tertarik. Kebencianku terhadap papaku membuatku mati rasa kepada semua laki-laki.

Selain melihat tempat makan di mana yang ingin kudekati, aku melihat-lihat toko pakaian yang cukup bagus dan membuat hatiku jatuh cinta. Aku menghampiri toko tersebut, melihat-lihat dan akhirnya membeli beberapa pasang pakaian untuk kukenakan setiap hari.

Ketika aku keluar dari toko tersebut mataku menangkap restoran siap saji yang tak jauh dari sana. Reatoran itu menyajikan makanan favoritku sehingga melihat itu membuat senyumku melebar. Saking senangnya aku buru-buru sampai tak melihat seseorang yang lewat. Aku menabraknya dan sesuatu yang dibawanya tumpah hingga mengotori bajunya.

Aku terkejut dan merasa bersalah. "Maaf, Pak. Maaf. Aku tidak sengaja."

Bersambung____

Pertemuan.

Mata cokelat yang sama persis denganku itu menatap ke arahku. Bukannya marah, lelaki yang usianya hampir sama dengan mamaku itu langsung tersenyum. "Tidak apa-apa, saya yang salah tidak melihatmu."

Aku terkejut. Yang seharusnya disalahkan aku bukan dirinya. Aku yang berlari tidak melihat lelaki itu muncul dan langsung menabraknya. Alhasil ice cream yang dibawanya tadi tumpah dan mengenai jas gelapnya yang tampaknya mahal.

Aku segera mengeluarkan tisu dari dalam tas kemudian membantunya membersihkan bekas ice cream itu. "Sini Pak, biar kubantu."

Lelaki itu menolak. Namun aku segera mendekatinya dan melakukan tanggung jawabku. "Oke, selesai. Oh, iya. Sebagai gantinya aku akan membeli yang baru saja untuk Anda."

"Tidak usah, Nona. Itu___"

"Tidak apa-apa, Pak," kataku seakan tak mengijinkan lelaki itu bicara, "Anda tunggu di sini, aku tidak akan lama dan akan segera kembali."

Tanpa berkata apa-apa lagi aku segera ke kedai ice cream yang bersebelahan dengan toko pakaian yang tadi kuhampiri. Kubeli satu ice cream rasa vanila kemudian memberikannya kepada lelaki itu. Ketika langkahku keluar dari kedai tersebut, mataku menangkap interaksi antara lelaki itu dengan gadis kecil yang usianya mungkin enam tahun. Di dekat mereka ada sosok lelaki berpakaian serba hitam dengan tubuh tegap dan wajah datar. Aku pun menghampiri mereka berdua kemudian memberikan ice cream itu kepada lelaki yang tidak tahu siapa namanya.

"Nah, tante sudah datang," kata lelaki itu seakan memberitahukan kepada gadis kecil yang cantik itu.

Aku pun tahu ice cream yang tumpah tadi itu berarti dibelikan untuk anak itu. Aku langsung tersenyum dan segera memberikan ice cream itu kepadanya.

"Terima kasih, Tante."

Entah kenapa hatiku merasa bahagia melihat anak itu. Aku pun segera berlutut, menjajarkan tubuh dengan anak itu kemudian mengusap pipinya yang menggemaskan. "Sama-sama. Maaf, ya. Tadi tante tidak sengaja menjatuhkan ice cream milikmu. Kenalkan, nama tante adalah Zuri. Kamu?" Aku mengulurkan tangan dan anak itu membalasnya.

"Namaku Emelly, Tante."

"Oh, nama yang cantik. Sama seperti orangnya."

Lelaki itu berdeham sambil tersenyum. Aku pun segera berdiri dan mata kembar kami saling bertatap. Ada rasa senang ketika aku melihat senyum di wajah tampan lelaki itu. Dan ini pertama kalinya aku merasakannya. Ada sedikit berpasaan nyaman saat aku menatap wajah lelaki itu. Biasanya aku paling tidak suka jika ada lelaki atau pria asing yang tersenyum kepadaku. Namun kali ini berbeda.

"Kamu tidak seharunya mengganti ice cream itu."

"Tidak apa-apa, Pak."

Lelaki itu melirik Emelly sebelum wajahnya kembali menatapku. "Kami akan makan siang di sana. Emelly tidak mau makan kalau tidak membuka menu dengan ice cream. Jadi saya membelikan ice cream tadi itu untuknya, agar anak ini mau makan."

"Dan aku merusak ice cream miliknya," kataku sambil terkekeh, "Maafkan tante, ya?."

"Iya, Tante."

Lagi-lagi lelaki itu tersenyum menatapku. Hal itu membuat hatiku sangat bahagia. What? Tunggu, tunggu. Apa aku tidak salah? Bahagia? Seorang Zuri Oliver yang sangat membenci kaum adam karena sikap papanya, sekarang bahagia karena tatapan dan senyum lelaki yang bisa dikatakan usianya sama seperti papanya ... Kenapa?

"Paman, kapan kita makan? Perut aku sudah lapar."

Suara Emelly membuat pandanganku tertuju padanya. Anak itu sangat manis. Aku jadi ingin memiliki adik seperti Emelly.

Lelaki itu menatapku. "Oh ya, apa kamu mau ikut makan siang bersama kami? Aku dan Emelly akan makan di sana."

Aku menatap ke arah restoran makanan favoritku. "Iya, aku juga tadi mau ke sana."

"Kalau begitu ayo, kita bertiga makan bersama."

Tak menghintung satu, dua dan tiga aku segera menyetujui ajakan lelaki yang belum memperkenalkan dirinya. Ada juga rasa bahagia yang kurasakan untuk pertama kalinya ketika bersama orang yang sama sekali tidak kukenali. Entah kenapa aku merasa akrab dengan mereka.

Lelaki itu mengajak aku dan Emelly duduk di paling pojok restoran. Karena keadaan sangat ramai, kami hampir saja tidak mendapatkan tempat duduk. Aku duduk menghadap kasir. Emelly duduk menghadapku bersama lelaki itu. Kulihat pria berpakaian hitam yang sejak tadi mengikuti mereka berdiri di depan restoran. Aku pun baru sadar, kalau ternyata pria yang bersama mereka itu adalah bodyguard mereka.

"Pesan saja yang kalian suka," kata lelaki itu kepadaku dan Emelly.

Karena sudah menjadi favoritku semua makanan di restoran itu. Tanpa memilih menu lagi aku segera menyebutkan menu apa yang ingin kupesan kepada pelayan. Emelly yang masih asik menjilat ice cream ternyata mendengar apa yang kukatakan. Dia pun berseru kemudian memesan makanan yang sama persis dengan menu pesananku.

"Kalau begitu samakan saja ketiganya."

"Baik, Pak. Mohon tunggu sebentar, ya."

Lelaki itu mengangguk kepada pelayan kemudian menatapnya. "Aku Jacky. Emelly ini adalah keponakanku. Setiap hari menjelang makan siang dia pasti akan menemaniku. Mungkin karena ini," kulihat lelaki itu menatap Emelly, "Oh ya, paman ingin tahu ... Apa alasan kamu ingin makan siang bersama paman?"

"Karena Paman akan membelikanku ice cream."

Aku tertawa. "Memangnya di rumah tidak ada ice cream, ya?"

Emelly menggeleng. "Mama melarangku makan ice cream."

"Emelly anak satu-satunya kakakku. Karena sering diberi ice cream dia tidak mau lagi makan. Mulai saat itu kakakku sama sekali tidak menyediakan ice cream untuknya."

"Dan paman membujukku dengan ice cream asalkan aku mau makan."

Perkataan Emelly membuat aku dan Jacky tertawa. Ada rasa iri dalam hatiku melihat senyum bahagia Emelly saat ini. Memiliki orang tua yang sangat peduli kepadanya juga memiliki paman yang super duper mencintainya seperti anak sendiri. Aku bisa bayangkan betapa bahagianya anak-anak Jacky karena memiliki papa sebaik dirinya.

"Oh, ya. Anaknya Om berapa?" tanyaku ingin tahu.

"Anakku satu. Laki-laki. Dia sudah besar. Mungkin usia kalian sama. Usia kamu berapa? Oh iya, nama kamu tadi siapa?"

"Namaku Zuri, Om. Usiaku dua puluh dua tahun."

"Oh, ternyata kamu lebih tua setahun dari anakku."

"Namanya om Billy."

Jawaban Emelly membuatku menatapnya.

"Om Billy sangat tampan, Tante. Kalau melihatnya Tante pasti akan suka."

Entah kenapa aku sama sekali tidak keberatan dengan guyonan anak itu. Aku justru merasa senang mendengarnya. Padahal semasa kuliah jika ada teman yang meledekku seperti itu aku akan marah dan tidak akan bicara padanya selama berhari-hari. Ini sesuatu yang aneh dan sesuatu yang baru dalam diriku.

Drtt... Drtt...

Getaran ponsel mengejutkanku. Kulihat nama mama sebagai pemanggil. Tanpa berlama-lama aku segera menyambungkan panggilan agar mamaku itu tidak khawatir. "Halo, Ma?"

"Sayang, apa kamu sudah tiba?"

Saking asiknya aku lupa memberi kabar. "Ya ampun, Ma. Aku minta maaf, ya. Aku lupa memberitahu Mama. Aku sudah tiba setengah jam yang lalu. Tapi sekarang aku sedang mampir ke salah satu mall untuk cari makan dan sekedar lihat-lihat."

"Syukurlah. Mama sempat khawatir dari tadi."

"Maaf," kataku membuat Emelly menatapku.

"Iya, Sayang. Ya sudah, kalau sudah tiba di rumah kakek kabari mama, ya?"

"Siap, Ma. Aku pasti akan segera menghubungi Mama."

"Baiklah. Hati-hati ya, Sayang."

"Terima kasih, Ma."

Panggilan pun terputus. Aku menatap wajah Emelly yang kini sedang menatapku. "Ada apa, Anak cantik? Kenapa kamu menatapku seperti itu?"

Bersambung____

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!