NovelToon NovelToon

His Purpose

1. Pilu di Balik Hujan

...🍁🍁🍁...

"Maaf, aku tidak bisa menikahimu," tulis seorang pria yang kini berdiri di sebuah atap bangunan. Menunduk, lantas mendongak, melihat tepat ke seberang jalan. Pada hotel yang menjadi tempat digelarnya acara.

Seharusnya saat ini ia tengah bersiap, perhelatan sebentar lagi dimulai. Namun, ia sudah memutuskan, ia tidak akan menikah.

Ada satu alasan yang tidak bisa ia kemukakan. Kenyataan yang ingin ia simpan sampai akhir masa kehidupan. Akan tetapi, hal itu jelas tidak mungkin. Sekecil apa pun rahasia pasti akan terbongkar.

Tapi untuk sekarang, izinkan ia menghindar. Terdengar seperti pecundang. Benar. Namun akan lebih baik ketimbang menyaksikan seorang wanita hancur di hari bahagianya. Meski pada akhirnya keputusan yang ia ambil tetap menyakiti wanita itu.

Ia tidak punya pilihan.

"Aku menyayangimu. Aku juga mencintaimu. Tapi, kurasa kita memang tidak ditakdirkan untuk bersama."

"Aku betul-betul minta maaf. Kuharap kamu bahagia selalu, Maria ...," bisiknya pada angin yang berhembus. Menerbangkan asa dan harapan yang telah kandas. Ia melangkah meninggalkan atap, membawa segenap iktikad yang mungkin suatu hari berujung penyesalan.

Bersamaan dengan retaknya sebuah hati yang berhamburan. Di sudut lain ruang, seorang wanita menunduk menatap ponselnya dengan tangan gemetar. Matanya kosong seolah tak ada harapan.

Memang benar, harapannya baru saja direnggut paksa melalui sebuah pesan. Bunyi denting yang cukup keras terdengar saat tiara kecil itu meluncur dari atas kepalanya. Jatuh menghempas menghantam lantai.

Permatanya yang bersinar tak lagi menyilaukan. Pesonanya hilang dan terkalahkan oleh kelabu di atas awan. Seakan alam dapat merasakan apa yang Maria rasakan. Guntur bergemuruh memecah cakrawala. Kilatnya bersinar seolah menembus jendela.

Hari masih pagi, namun langit sudah berperang menurunkan pasukan hujan. Mengguyur ibu kota dan seluruh aktivitas penghuninya. Mereka berhamburan mencari atap tuk berteduh. Akan tetapi, Maria kehilangan tempat untuk bertumpu.

Kakinya meluruh. Gaunnya mengembang seiring lututnya bersentuhan dengan marmer. Nafasnya tersendat. Gumpalan ludah serasa sulit untuk ditelan. Ia meremas butiran Swarovski yang memberati tubuhnya. Rancangan desainer ternama yang kini kehilangan arti dan guna.

Samar-samar ia mendengar suara dari luar. Perdebatan yang keras dan alot cukup memekakan. Namun tak dapat menarik Maria sepenuhnya dari lamunan.

Ia menggeleng. Ini pasti hanya candaan. Gabriel tak mungkin menyakitinya. Pria itu sangat mencintainya. Dia tidak mungkin menghancurkan pernikahan yang sudah satu tahun dirancang.

Tangannya yang gemetar mengangkat ponsel. Mencari nomor sang kekasih yang mendadak sulit untuk ditemukan. Butuh perjuangan bagi Maria agar tak salah tekan. Hingga akhirnya ia menemukan sebuah nama yang dicari. Gegas ia melakukan panggilan dan menempelkan benda pipih itu ke telinga.

"Kanapa tidak diangkat ...?"

"Ayo ... angkat telponnya. Katakan kamu hanya bercanda. Ini semua tidak lucu ..." ucapnya gemetar.

Kurang lebih tiga kali Maria mencoba, tak ada satu pun panggilan yang diterima. Selebihnya nomor itu tidak aktif dan berada di luar jangkauan.

"Apa yang terjadi? Kenapa kamu tega melakukan ini?" Maria menunduk berpegangan pada lantai. Bahunya meluruh seiring isak tangis yang terdengar.

Gemuruh hujan tak mampu menghalangi kepiluan. Maria Pradita Tjandra. Guntur dalam hatinya lebih menggema ketimbang kilat yang menyambar pusat kota.

***

Di luar kamar.

"Kamu pikir apa yang akan kulakukan? Tentu aku akan memarik putriku untuk pulang. Mereka sudah mencoreng wajahku seenak ludah!"

"Tapi, Tuan. Kegagalan pernikahan ini akan menggiring opini publik terhadap Anda. Pada dasarnya hubungan mereka memang cenderung menguatkan kedua belah pihak. Perusahaan Anda maupun Wiranata sama-sama mendapat keuntungan. Meski pernikahan ini terjalin karena cinta dan atas kesadaran diri masing-masing, tapi yang sebenarnya terlihat adalah dua keluarga besar yang menyatukan kekuasaan."

"Jadi, saat pernikahan ini akhirnya dibatalkan, mereka akan menganggap kekuatan kalian tak lagi besar. Ini akan menjadi celah bagi orang-orang yang mengincar Anda maupun Tuan Wiranata."

"Sederhananya, jika pernikahan Nona dan Tuan Muda dibatalkan, bukan hanya berdampak pada saham perusahaan, musuh-musuh Anda juga akan bergerak lebih gencar karena menganggap hal ini adalah celah yang tepat untuk membidik kelengahan Anda."

"Liem. Apa saat ini kamu sedang membicarakan keuntungan?"

Pria yang disebut Liem itu menunduk. "Maaf, Tuan. Saya hanya khawatir pada Nona. Karena setiap Anda bermasalah dengan seseorang, Nona lah yang mereka incar."

"Aku tidak peduli. Aku bisa memperkuat perlindungan. Yang aku pikirkan sekarang adalah keadaan hati dan mentalnya. Apa yang akan terjadi jika dia tahu telah dicampakkan. Aku sama sekali tidak peduli jika mereka ingin menyerang. Aku tidak peduli mereka menarik seluruh sahamnya dari perusahaan."

"Asal kamu tahu, Liem. Aset dan harta tidak ada apa-apanya jika putriku menderita."

"Tuan ...." Liem tak bisa berkata-kata lagi.

Tak ada satu pun yang bisa menentang jika seorang Rayan Adibrata Tjandra sudah memutuskan. Terlebih hal yang menyangkut Maria, putri satu-satunya yang dititipkan mendiang Nyonya Tjandra yang telah lama berpulang.

"Bagaimana dengan tawarannya?"

Rayan mendengus. "Kamu pikir apa? Tentu saja aku menolaknya. Bisa-bisanya mereka mempermainkan pernikahan. Mengganti calon mempelai? Ini sama saja meludahi hidungku di muka umum! Meski yang Wiranata lemparkan adalah putra sulungnya, bahkan kabarnya dia sangat hebat dan mendapat julukan Cheetah Asia. Tetap saja, yang aku pikirkan adalah perasaan Maria. Aku tidak ingin memperlakukan putriku seperti barang yang dapat ditawar. Ini tak ubahnya sebuah penghinaan."

Liem mengangguk. Namun sesaat kemudian ia dibuat tersentak oleh sesuatu. Matanya membelalak dan bergerak mengulang bacaan.

"Tuan ...."

Liem mendongak. "Arsena Group, penyuplai terbesar perusahaan kita mendadak ingin memutus kerja sama," ucapnya sambil menatap Rayan dengan wajah dipenuhi kengerian.

"Apa?"

Liem segera menunjukkan tablet yang dipegangnya. Rayan mematung membaca email resmi yang masuk tepat satu menit yang lalu.

"Apa ini? Para tamu undangan bahkan belum mengendus masalah ini."

"Benar. Seperti aliran listrik yang merambat, hal ini bisa saja meledak dalam beberapa waktu ke depan."

Rayan terdiam.

"Tuan?"

Pria itu menarik nafas sebelum menghembuskannya dengan berat. "Aku sudah menduga cepat atau lambat mereka akan menekan. Sejak mengetahui aku akan berbesanan dengan Wiranata, pihak mereka memang tak tanggung-tanggung menawarkan kerja sama dengan keuntungan besar."

"Tapi, seperti yang sudah kubilang, aku tidak mungkin-"

Klek.

"Papa ...."

Suara Maria melantun seiring terbukanya pintu. Terkejut, dua orang itu menoleh bersamaan.

"Astaga, Nona!" Tanpa sadar Liem berseru ketika melihat riasan mata pada wanita itu.

Maria tak menghiraukan. Ia mendongak menatap sang ayah yang terdiam mematung meneliti penampilannya.

Sejenak ia terdiam. Keraguan muncul saat ia akan membuka mulut. Apa keputusannya sudah benar?

"Kamu ... sudah tahu?" lirih Rayan, datar.

Maria mengangguk. Ia mencoba meneguhkan hati yang berperang dalam kegaduhan. Hujan masih belum reda. Alih-alih berhenti, gemuruhnya semakin kencang dengan angin lebat menggoyangkan pepohonan.

Maria menelan ludah. "Papa. Putra sulung Wiranata ..." Ia mendongak. "Aku bersedia menikah dengannya."

2. Menikah dengan Kakak Ipar

Beberapa menit sebelumnya, Maria masih menunduk, termenung dengan air mata berhamburan saat telinganya menangkap suara Paman Liem dan sang ayah yang tengah berbincang di luar kamar. Maria tak begitu mendengar, pikirannya kacau dengan perasaan carut marut.

Tanpa ia sadari seseorang masuk dari pintu penghubung di belakangnya. Langkahnya sangat pelan hingga hampir tak terdengar. Sesaat kemudian sebuah suara memanggil namanya.

"Maria?" panggil orang itu.

Maria tersentak. Perlahan kepalanya terangkat, lalu menoleh dan mendapati lelaki paruh baya berdiri di sana. Ia mendekat, kemudian berjongkok menyamakan tingginya dengan Maria yang tengah bersimpuh di lantai.

"Papa Abhi ..."

Abhimanyu Wiranata. Dia adalah ayah Gabriel, sekaligus calon mertuanya yang mungkin sebentar lagi akan menjadi mantan calon mertua.

"Nak." Abhimanyu menyentuh bahu Maria. Merangkul dan membawanya ke pelukan.

Lelaki itu berusaha menyalurkan kekuatan dan kehangatan dalam waktu bersamaan. Maria diam dengan tatapan kosong. Kepalanya bersandar di dada bidang yang rasanya hampir menyamai milik sang ayah.

"Atas nama Gabriel, Papa ingin minta maaf. Secara tidak langsung Papa juga ikut andil dalam masalah ini. Papa gagal mendidik Gabriel hingga dia menjadi pria bajingan yang tak bertanggung jawab seperti ini. Papa benar-benar minta maaf," bisik Abhimanyu di atas kepalanya.

Maria memandang sendu ke arah jendela. Langit seolah mengekspresikan kesedihannya. Pagi kelabu menjadi saksi hancurnya harapan dan mimpi. Hatinya direnggut, diremas dan dilemparkan pada kubangan luka yang menganga.

Mulutnya bungkam. Ia tak tahu harus menanggapi bagaimana. Perasaannya remuk redam. Berusaha tegar pun tak ada gunanya. Faktanya, keadaan ini memang sangat menyakitinya.

"Papa minta maaf, Nak." Berkali-kali Abhimanyu mengucapkan kata maaf dengan raut bersalah.

"Papa sangat menyesalkan apa yang terjadi. Papa juga tidak mengerti apa yang dipikirkan Gabriel sampai bisa setega itu."

"Papa berjanji akan menegur dan menghukumnya jika dia kembali. Asal kamu tahu, Nak. Kamu memang calon menantu. Tapi bagi Papa kamu juga anak perempuan Papa yang perlu Papa jaga. Papa sayang kamu, mau itu dulu atau sekarang. Mau kamu jadi menantu Papa atau tidak, Papa tetap sayang kamu."

"Jadi Papa berharap kamu tidak membenci Papa atas masalah yang terjadi saat ini. Papa betul-betul minta maaf yang sebesar-besarnya sama kamu. Rasa malu ini sungguh mencoreng muka Papa di hadapan kamu dan Papa kamu. Papa minta maaf." Terdengar sebaris getar yang berusaha lelaki itu tahan.

Maria berusaha menelan ludah. Ia menggeleng membalas pelukan Abhimanyu. "Ini bukan salah Papa. Yang seharusnya meminta maaf bukan Papa, tapi Gabriel."

"Gabriel ..." Maria tak bisa melanjutkan kata-katanya. Suara yang tercekat menandakan bahwa satu kata berupa nama itu teramat sulit dilontarkan.

Hatinya sesak sampai rasanya sangat sulit untuk bernafas dengan normal.

"Sudah. Jangan berkata apa-apa lagi. Papa mengerti perasaan kamu. Intinya keluarga kami lah yang bersalah."

Dalam keharuan itu, samar-samar ia kembali mendengar suara sang ayah dari luar. Suasana yang hening membuat percakapannya terdengar cukup jelas.

Maria terdiam di pelukan Abhimanyu. Tampaknya lelaki itu juga mendengarkan perdebatan Rayan dan Liem di balik pintu.

"Sederhananya, jika pernikahan Nona dan Tuan Muda dibatalkan, bukan hanya berdampak pada saham perusahaan, musuh-musuh Anda juga akan bergerak lebih gencar karena menganggap hal ini adalah celah yang tepat untuk membidik kelengahan Anda."

"Tuan ...."

"Arsena Group, penyuplai terbesar perusahaan kita mendadak ingin memutus kerja sama."

Maria tersentak. Apa maksud Paman Liem? Kenapa masalah pernikahan bisa merembet ke perusahaan?

Maria tercenung sesaat. Baru beberapa detik kekeruhan terjadi, tapi perusahaan ayahnya sudah terancam seperti ini. Apa yang harus Maria lakukan.

Gabriel bukan hanya menempatkan kekacauan di hatinya, tapi juga bisnis orang tuanya. Salahkah jika Maria sedikit membenci Gabriel sekarang?

Maria memang mencintai Gabriel, tapi ia tak bisa jika melihat ayahnya hancur. Perusahaan yang dibangun sedemikian rupa dengan keringat dan usaha lelaki itu sejak muda, serta-merta harus pailit hanya karena gagalnya pernikahan Maria.

Ini tidak bisa dibiarkan.

Maria tidak tahu apa pernikahan memang bisa berdampak pada bisnis. Ia dan Gabriel menikah karena keinginan masing-masing. Bukan perjodohan yang bertujuan menyatukan kekuatan.

"Bukan hanya klien, Papa kamu juga terancam kehilangan seluruh vendornya di perusahaan."

"Tapi kamu tidak perlu khawatir, Papa sebisa mungkin akan bantu jika ia kesulitan. Mungkin tak bisa seratus persen, tapi setidaknya Papa bisa bantu sampai keadaan menjadi stabil."

Maria tercenung. Dia tahu apa stabil yang dimaksud Abhimanyu. Stabil yang dimaksud adalah perusahaan tidak lagi menunggak hutang namun sulit untuk menarik pendapatan. Ini sama saja berada di ujung tanduk. Hancur perlahan-lahan.

"Papa ..." Maria mendongak menatap mertuanya.

"Apa ada cara untuk mencegah kekacauan itu? Maria tidak mau Papa Rayan kesulitan karena masalah ini."

Abhimanyu terdiam. Matanya menatap lekat pada Maria.

"Ada," jawabnya pelan.

"Apa?"

"Kamu menikah dengan putra sulung Papa."

Dan di sinilah ia sekarang, berdiri di atas altar bersama Gibran. Putra sulung Wiranata yang semula adalah calon kakak iparnya.

Maria mematung kala pria itu membuka veil yang menutupi wajahnya dengan perlahan.

Sejenak mata mereka bertatapan. Jujur saja ini pertama kali Maria menatap langsung kakak dari Gabriel setelah sekian lama hanya mendengar namanya.

Dan Maria dibuat tersentak oleh mata setajam elang itu. Pupilnya menyorot datar tanpa ekspresi.

Ya Tuhan, kenapa menyeramkan sekali.

"Dan hari ini, saya sebagai hamba Tuhan menyampaikan kepada saudara-saudara semua. Mereka bukan lagi dua orang yang terpisahkan. Tetapi mereka sudah resmi, sudah sah menjadi suami istri. Tuan dan Nyonya Gibran Wiranata. Untuk kemuliaan Tuhan, mari kita beri tepuk tangan sepuluh kali lebih meriah dari itu. Untuk kebahagiaan mereka dalam nama Yesus. Aamiin ... Aamiin ..."

Gemuruh tepuk tangan memenuhi aula luas tempat berlangsungnya acara. Mereka baru saja selesai melakukan pemberkatan dan tukar cincin.

"Saudara dan saudari mempelai. Silakan ditatap wajah pasangannya. Dan inilah istri tercinta, suami tercinta. Beri ciuman yang paling mesra!"

Seruan itu disusul oleh sorakan para tamu yang meriah.

Jantung Maria kelonjatan. Haruskah seperti ini? Mereka tidak saling mencintai. Kenal saja tidak. Bertemu juga baru sekarang. Apa iya harus berciuman?

Maria meneguk ludah. Ia tersentak karena Gibran tiba-tiba mengikis jarak. Tangan lelaki itu merengkuh pinggangnya. Wajahnya lantas mendekat. Hidung mereka hampir bersentuhan. Tentu Maria semakin kewalahan. Apalagi saat pria itu memiringkan wajah hendak menciumnya.

Apa? Mencium? Astaga, ini gila!

Refleks Maria memejamkan mata. Tuhan, meski bukan Gabriel, setidaknya ia memiliki wajah di atas rata-rata. Baiklah, ini hanya ciuman. Mudah bagi Maria melakukannya.

Namun, hingga beberapa detik berlalu tak ada yang ia rasakan. Alih-alih ciuman, ia malah merasakan hembusan nafas menerpa pipinya.

Maria mengernyit. Tahu-tahu tepuk tangan memenuhi pendengaran. Ia membuka mata. Gibran sudah menjauh. Pria itu tak menciumnya?

Maria hanya merasakan ujung hidung yang menempel di permukaan kulitnya.

Maria berkedip. Dengan sedikit linglung ia berbalik menghadap tamu undangan. Berdiri di samping Gibran dengan senyum canggung sekaligus bingung.

Semuanya mengira mereka berciuman, bahkan pastor yang menikahkan mereka pun tersenyum puas. Bagaimana cara Gibran melakukannya?

Ia menoleh menatap Gibran. Wajahnya yang tanpa ekspresi membuat Maria tergagap, apalagi saat tanpa sengaja mata mereka bertemu.

Maria berdehem kecil untuk menghilangkan kegugupan. Tahu-tahu pria itu mengulurkan tangan.

Maria berkedip. "A-Apa?"

Gibran tak menjawab. Hey, apa pria itu bisu?

Akhirnya mau tidak mau Maria menerima uluran tangan Gibran. Ia tak sejahat itu mempermalukan lelaki yang secara tidak langsung sudah menyelamatkan keluarganya dari rasa malu dan kebangkrutan.

Baiklah. Sepertinya Maria harus bersikap baik pada pria itu. Bagaimana pun dia korban.

Rupanya Gibran mengajaknya untuk menyapa tamu. Ternyata begini cara beramah-tamah pria kaku. Wajahnya datar, hanya mengulas senyum tipis sebagai balasan.

Orang berbondong-bondong mengucapkan selamat. Selama itu pula Maria harus berusaha keras mengukir senyum kendati matanya ingin menangis.

Ia masih menyesalkan kejadian ini. Ini bukanlah pernikahan yang ia harapkan.

Kenapa Gabriel sejahat itu? Maria juga tidak peka dengan perubahan pria itu akhir-akhir ini.

Seharusnya ia sadar, Gabriel mulai berubah sejak beberapa minggu lalu. Entah kenapa, tapi Maria merasa pria itu jadi lebih sering melamun dan tak fokus.

Beberapa kali Gabriel juga bersikap gugup di depannya, seolah ia menyembunyikan sesuatu darinya.

Sebenarnya apa yang kamu sembunyikan, El?

Apa yang membuatmu begitu tega meninggalkan hari bahagia kita?

Atau, kamu memang tidak pernah bahagia saat bersamaku?

Maria menunduk mendapati pemikiran itu. Sakit. Hatinya bagai ditusuk ribuan jarum.

Hampir saja air matanya menetes saat sebuah tarikan pelan ia rasakan di tangan. Maria mendongak. Refleks ia mengikuti langkah Gibran yang mengajaknya untuk mendekat pada orang tua mereka.

Maria melihat Papa Abhi yang tersenyum, namun matanya sedikit sendu. Mungkin ia masih menyesali perbuatan putranya.

Lantas Maria menoleh pada Rayan. Sang ayah tak mampu menyembunyikan raut keberatannya. Memang, sejak Maria mengatakan setuju untuk mengganti calon mempelai, pria itu langsung menentang keras pernyataannya.

Tapi, Maria sudah memutuskan. Ia rela mengesampingkan hatinya demi Rayan.

"Papa sudah merawat Maria sejak kecil. Melindungi Maria dari segala marabahaya. Berkat Papa, Maria tak pernah kekurangan kasih sayang meski tak ada Mama. Sekarang izinkan Maria untuk melindungi Papa dari kehancuran," ucapnya kala itu yang membuat seorang Rayan Adibrata Tjandra, pria keras kepala dengan wajah tanpa perasaan, mengeluarkan air mata.

Papa memang seberharga itu bagiku.

3. Tempat Asing

...🍁🍁🍁...

Maria memandang datar jalanan basah di sampingnya. Hujan sudah reda, menyisakan kelembaban serta genangan air yang tersebar di beberapa sisi. Dari balik jendela, ia menatap langit sore yang mendung tanpa lembayung.

Hari ini hujan tak berhenti mengguyur. Sekarang pun rintik gerimis masih kerap sesekali turun.

Maria bersandar, sejenak ia melirik Gibran yang duduk di sampingnya. Pria itu tampak sibuk dengan tabletnya. Enggan ketahuan, ia pun segera mengalihkan pandangan dan kembali menatap ke luar.

Suasana sangat sepi. Mereka bahkan tak menyalakan radio atau televisi. Setidaknya untuk mengisi suara dalam suasana yang dingin ini. Maria sampai menggigil dan membeku dalam kecanggungan. Mau batuk pun rasanya segan.

Maria menguap. Saking sunyinya ia jadi mengantuk. Lelah hati dan fisik turut mendukungnya untuk tidur. Perlahan matanya terpejam, tanpa sadar ia pun terlelap dan jatuh ke alam mimpi.

Sementara itu, Gibran tampak tenang dan tak terusik sekalipun.

"Tuan?" Suara setengah berbisik itu mengalihkan atensi Gibran dari tabletnya.

Pria itu mendongak, menatap sekretaris pribadinya yang duduk di kursi penumpang depan samping sopir.

"Hm?" sahutnya sembari menatap datar.

"Nyonya ..."

"Biarkan saja." Gibran kembali menunduk, menatap angka pada diagram yang sejak tadi menjadi fokusnya.

"Kita ... pulang ke mana?" tanya Nick ragu.

Gibran memutar mata. Ia menghela nafas berusaha sabar. "Kamu sudah lupa rute mansion?"

"Tentu saja tidak, Tuan. Baik. Berarti kita pulang ke mansion."

"Memang kamu pikir ke mana lagi?"

"Anu ... saya kira Tuan mau ke kediaman Tjandra terlebih dulu. Atau ke hotel seperti pengantin baru lainnya begitu?"

"Tidak perlu. Dan lagi, rumahku sendiri di atas standar hotel."

Nick meringis. "Iya. Tau deh yang kaya," gumamnya sambil menatap ke depan. Namun sesaat kemudian ia meringis saat tanpa sengaja melirik spion. Gibran menatapnya dengan mata elang pria itu.

Astaga, mengagetkan saja.

"Tuan, Derick bilang helikopternya sudah siap."

"Hm."

Dan tak lama kemudian mobil pun berhenti di depan sebuah gendung pencakar langit yang merupakan cabang dari Wiranata Group.

Gibran pun keluar saat sang sopir membukakannya pintu. Lantas berjalan ke sebelah kiri mobil. Tangannya menghentikan Nick yang hendak membungkuk di samping Maria.

"Biar aku saja," ucapnya. Lantas menggendong Maria yang tampak pulas dalam tidurnya.

"Sepertinya Nyonya kelelahan menangis."

Gibran tak menjawab. Mereka berjalan memasuki gedung. Karena ini hari Minggu, gedung itu kosong, tak ada karyawan yang bekerja selain pihak keamanan.

Dengan cekatan Nick menekan tombol lift yang akan membawa mereka ke atap. Angin kencang langsung menyapa begitu pintu lift terbuka di lantai teratas gedung. Sebuah helikopter mewah jenis AugustaWestland AW101 VVIP bertengger di sana. Salah satu jenis helikopter dengan luas kabin terbesar di kelasnya, juga spesifikasi yang sudah dirancang khusus bagi pengguna kelas atas standar dunia, dengan desain interior menyerupai jet pribadi di dalamnya.

Helikopter itu sudah tiba sejak beberapa saat lalu. Dioperasikan oleh pilot dan co-pilot berpengalaman serta jam terbang tinggi. Hebatnya, sapuan baling-baling serta suaranya yang bising tak mampu membangunkan Maria yang kini meringkuk di pelukan Gibran.

"Tuan, mau saya bantu?" Seorang co-pilot menghampirinya menawarkan bantuan untuk menggendong Maria.

"Tidak perlu," sahut Gibran sambil lalu.

Nick berdecak dan berbisik di telinga co-pilot itu. "Lancang sekali. Apa kau tidak tahu siapa wanita itu?"

"Siapa?"

"Dia istri Bos!"

"Apa?"

"Ya. Bos baru saja menikah."

"Bukankah yang menikah adiknya?"

Nick hanya mengangkat bahu. Dia gegas mengikuti Gibran yang sudah lebih dulu naik membawa Maria. Tanpa menjawab keheranan co-pilot tadi, yang kini tengah menggaruk tengkuknya bingung.

"Benar, 'kan? Yang menikah itu adiknya. Kenapa jadi Bos yang gandeng istri?"

***

"Tuan mau makan sesuatu?" Seorang pramugari mendekat. Membuat Gibran mengalihkan sejenak pandangannya dari majalah.

"Tidak," jawabnya singkat.

Pramugari itu mengangguk mengerti. "Baik. Kalau begitu saya permisi. Jika ada yang Anda butuhkan, mohon beritahu kami."

Gibran hanya mengangguk singkat. Pramugari itu pun pergi. Mata Gibran beralih ke depan. Tepatnya pada Maria yang berbaring di sofa panjang dengan nyenyaknya.

Wanita itu belum juga bangun meski sudah setengah perjalanan.

Gibran menunduk membolak-balik majalahnya. Namun, pergerakan Maria membuatnya tak fokus dan menatap lagi ke arah wanita itu.

Maria terus bergerak seolah mencari kenyamanan dalam sempitnya sofa. Hingga lama kelamaan tubuhnya bergeser semakin ke sisi.

Tanpa sadar Gibran menyaksikan itu dengan awas. Lantas menghela nafas saat wanita itu berhenti berasak. Dia bisa saja jatuh kalau bergeser sedikit lagi.

Baru ia hendak merasa lega, tiba-tiba saja tubuh itu kembali berangsur dan hampir terguling dari sofa. Refleks Gibran bangkit menahan bahu dan kepalanya yang hendak jatuh.

Ia berdecak. "Menyusahkan saja," gumamnya dalam hati.

Gibran menunduk menatap wajah itu. Sesaat ia terdiam meneliti kekasih sang adik yang kini malah resmi diperistri olehnya.

Cukup lama, hingga sebuah deheman berhasil menarik atensi Gibran dari raut jelita itu.

"Ehem."

Gibran menoleh. Nick yang duduk di kursi agak depan mencondongkan tubuh untuk melihat ke belakang.

"Tuan, saya sudah meminta pada Marta untuk menyiapkan kamar."

"Hm." Gibran hanya menggumam. Ia membenarkan posisi Maria, lantas kembali ke tempat duduknya.

Sekitar 1 jam lebih 50 menit, helikopter itu mendarat di sebuah lahan hijau yang luas. Mansion megah berdiri di tengahnya.

Gibran menatap datar Maria yang tak kunjung bangun. Bahkan sedetik pun tak ada tanda-tanda wanita itu terusik.

Ia mengernyit. Bukankah ini sudah sangat lama? Maria tertidur layaknya dalam pengaruh obat bius.

"Tuan, mau saya saja yang gendong?" tanya Nick ketika melihat Bosnya hanya diam saja. Duduk bersidekap dengan mata memandang lurus ke depan.

"Tidak perlu."

Setelah mengatakan itu, Gibran menghela nafas. Lantas bangkit dan mengangkat Maria dari sofa. Ia berjalan melewati Nick yang seketika menyingkir dari ambang pintu.

Pria itu menggeleng melihat Gibran menuruni tangga saat keluar.

"Kenapa tidak dibangunkan saja?" gumamnya heran.

Di koridor, beberapa pelayan sudah menyambut kedatangannya. Mereka tampak heran melihat Gibran yang pulang membawa seorang wanita. Kecuali Marta, sang kepala pelayan yang tadi sempat diminta menyiapkan kamar oleh Nick.

Ia pun terkejut saat pria itu bilang majikannya telah menikah. Karena setahunya Gibran terbang ke Jakarta untuk menghadiri pernikahan sang adik. Entah apa yang terjadi di sana hingga pria itu pulang-pulang membawa istri.

Marta tersenyum saat Gibran sampai di hadapannya. Ia menunduk hormat sebelum bergeser memberikan jalan.

"Mari, Tuan. Kamarnya sudah kami siapkan."

***

Siulan burung terdengar merdu menyapa telinga. Menghadirkan sensasi damai di tengah sejuknya udara.

Kelopak mata itu berkedut, sebelum kemudian membuka perlahan.

Maria menyipit menghalau sinar yang serta merta menerpa wajahnya. Ia mengernyit berusaha membiasakan pandangan setelah sekian lama terpejam.

Desir angin menyapa kulitnya hingga merinding. Rasa dingin jelas terasa ketika ia mengambil nafas. Maria menoleh ke samping. Pantas, jendelanya sudah terbuka.

Namun sesaat kemudian ia berkedip. Sebentar. Ada yang aneh. Ini bukan rumahnya. Maria tahu betul kediamannya yang terletak di tengah hiruk pikuk kota Jakarta tak akan memiliki udara sedingin ini.

"Nyonya sudah bangun?"

Sebuah suara mengejutkannya. Maria terlonjak setengah duduk dan berbalik ke belakang. Seorang wanita paruh baya dengan seragam layaknya pelayan tengah tersenyum dan menatapnya teduh.

"Si-Siapa?" Ia tergagap.

"Perkenalkan. Saya Marta, kepala pelayan di rumah ini."

Kepala pelayan? Rumah?

Maria masih linglung. Ia menatap sekeliling. Ini bukan kamarnya. Astaga, apa yang sebenarnya terjadi?

"I-ini .... Di mana ini?"

--------------------

Helikopter Gibran Wiranata

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!