Suasana rumah begitu ramai, semua orang sibuk dengan urusannya masing-masing. Walaupun begitu, kebahagiaan terlihat jelas di wajah mereka semua dan mereka sedang berada dalam masa yang penuh suka cita.
Salah satu dari mereka sedang berdebat tentang dekorasi kamar pengantin, sementara yang lain berdebat tentang akan urutan acara pernikahan dua hari lagi. Dan yang lainnya lagi, sedang berdiskusi tentang makanan yang akan mereka sajikan untuk para tamu.
Di usianya yang ke 33, akhirnya Jibril memutuskan untuk menikah dengan wanita pilihan orang tuanya. Sebenarnya ia tidak punya alasan khusus kenapa ia mau menikahi wanita itu, kecuali hanya untuk menyempurnakan separuh agamanya juga agar kedua orang tuanya tak khawatir lagi tentang dirinya yang belum punya pasangan di usia yang tak lagi muda.
Gadis pilihan kedua orang tuanya itu bukanlah gadis biasa, dia lulusan pondok pesantren di Kairo, Mesir. Dia cantik, anggun, sopan dan pemalu. Jibril bertemu dengannya beberapa kali untuk taaruf. Jibril tahu kualitas wanita bernama Shalwa Az-Zahwa itu tak perlu di ragukan lagi, siapapun yang memilikinya akan seperti mendapatkan bidadari dari surga.
Namun...
"Ummi...." Ummi Firda yang saat ini sedang bercengkrama dengan Aira dan Zenwa langsung menoleh saat mendengar suara parau calon pengantin.
"Ada apa, Kak? Mau memastikan pestanya berjalan lancar? Atau ada permintaan khusus?" Goda Aira sambil menikmati buang anggur dengan lahap.
"He'em, atau mau dekorasi kamar khusus? Taburan bunga mawar?" Sambung Zenwa namun seperti biasa, Jibril hanya menanggapinya dengan senyum samar.
"Aku mau bicara sama Ummi dan Abi," kata Jibril lirih. Raut wajahnya tampak tak biasa, dan itu membuat ibunya sedikit cemas.
Ia pun menyuruh Jibril ke kamarnya sementara ia akan memanggil saat Abi. Jibril menunggu kedua orang taunya dengan cemas, ia mondar mandir dan sesekali menarik napas serta membuangnya dengan pelan.
Saat kedua orang tuanya datang, Jibril langsung meminta meraka duduk di tepi ranjang sementara ia duduk bersimpuh di depan mereka. Membuat meraka bingung sekaligus cemas. "Ada apa, Jay?" Tanya sang ibu dengan suara yang rendah, perasaannya mengatakan ada yang tak baik-baik saja dan itu terlihat jelas dari mata Jibril.
"Abi ... Ummi...." Jibril menggengam tangan mereka dengan lembut. "Kalian sering mengingatkanku agar tidak tergesa-gesa saat mengambil keputusan, memikirkan segalanya dengan matang dan hati-hati." Jibril menarik napas panjang, wajah yang biasanya dingin kini terlihat begitu sendu dan tatapannya begitu sayu.
"Langsung pada intinya, Jibril!" perintah sang Abi yang sudah tidak sabar ingin tahu apa yang hendak di ungkapkan oleh putranya ini.
"Abi, dulu aku menerima perjodohan ini begitu saja karena aku yakin pilihan kalian tidak akan salah. Tapi ... setelah aku melakukan sholat istikharah, meminta petunjuk siapa yang akan menjadi teman hidupku. Bukan Shalwa yang hadir sebagai jawaban." kening Abi dan Ummi Jibril mengernyit mendengar penuturan putra mereka.
"Lalu siapa jawabannya?" tanya Ummi Firda dengan suara sedikit gemetar.
"Elizabeth," jawab Jibril sambil tertunduk. Kerutan di dahi kedua orang tuanya semakin dalam karena mereka tak pernah mendengar nama itu sebelumnya.
"Elizabeth siapa, Jay? Orang mana?"
"Aku nggak tahu, kami bertemu saat di Pakistan. Kemudian saat ulang tahun Baby Ali kami juga bertemu, kemudian di susul pertemuan-pertemuan yang tak terduga. Seolah takdir sengaja melakukannya, Ummi. Dan dia ... dia menyukaiku, dia mengajakku menikah. Dia jatuh cinta padaku, namun saat itu aku menolak karena aku sudah di jodohkan dengan Shalwa."
Kedua orang tua Jibril hanya bisa menahan napas mendengar cerita itu, antara percaya dan tidak percaya. Tentu meraka juga cemas akan kelangsungan pernikahan Jibril dan Shalwa yang hanya tinggal dua hari lagi.
"Sejak saat itu, aku terus memikirkannya. Setiap kali aku menutup mata, aku melihat bayangannya. Saat aku menyendiri, aku seperti mendengar suaranya. Hingga akhirnya aku lakukan sholat istikharah setiap malam. Di malam pertama, dia yang datang. Di malam kedua, dia juga yang datang. Di malam berikutnya, hanya dia yang datang. Aku melihat dia berdiri di tepi sungai yang sangat indah dengan banyak kupu-kupu yang terbang di sekitarnya. Dia memakai pakaian serba putih, rambutnya terurai bebas. Dia menatapku, tersenyum, kemudian mengulurkan tangan padaku seolah menungguku."
Jibril teringat kembali dengan mimpi yang selalu datang setiap kali ia selesai melakukan sholat istikharah, awalnya ia juga tak percaya jika itu adalah jawaban dari kebimbangannya. Namun, mimpi itu selalu datang seolah menekankan bahwa memang itu jawaban yang Jibril butuhkan.
Sementara kedua orang tua Jibril sungguh tak tahu harus menanggapi cerita anaknya bagaimana, di satu sisi mereka ingin yang terbaik untuk kebahagiaan Jibril. Sementara disisi lain, mereka juga memikirkan nama baik dua keluarga yang harus di jaga.
"Jibril, pernikahanmu dua hari lagi, Nak. Lupakan perempuan itu," tegas Abi Gabriel kemudian namun keputusan itu tampaknya tak di setujui oleh sang istri.
"Kenapa kamu tidak bicara dengan Shalwa? Kalau dia mau melepas kamu, pergilah! Tapi jika dia tidak mau melepas kamu, maka lupakan wanita itu, lupakan mimpimu dan hiduplah hanya untuk Shalwa."
Jibril hanya bisa tertunduk, sejenak memikirkan perintah ibunya kemudian ia mendingan, melempar senyum dan mengangguk. "Aku janji, Ummi. Keputusan Shalwa akan menjadi keputusan terkahirku," jawab Jibril penuh keyakinan.
...🦋...
Tiga bulan sebelumnya...
"El, aku yakin kamu bisa melakukannya. Pelan-pelan saja, asal kamu punya keyakinan itu. Kamu kuat, lebih kuat dari yang kamu tahu. Dan move on, El. Kamu harus moved on."
Elizabeth Whitney hanya melirik psikiaternya sekilas kemudian ia mengambil permen karet dari tasnya, mengunyahnya dengan santai sambil tersenyum dan berkata, "Terima kasih, Dok. Sepertinya sesi terapi kita sudah selesai." Eliza beranjak dari tempat duduknya, ia menyambar tasnya kemudian melanggang pergi begitu saja tanpa memperdulikan teriakan dr. Alma, yang merupakan psikiaternya.
Elizabeth berjalan cepat sambil terus memainkan permen karet dalam mulutnya, sesekali ia menyapa beberapa orang yang ia lewati dengan ramah.
Eliza masuk ke mobilnya, kemudian ia menghubungi seseorang dan memberi tahu ia akan segera sampai. "Aku udah di jalan, tadi masih tertahan dengan ritual sakral yang sangat membosankan," kata Eliza pada temannya di seberang telfon.
"Okay, nggak masalah, El. Selama kamu masih hidup, lakukan aja meskipun kamu bosan sampai ke ubun-ubun," ejek temannya yang membuat Eliza tertawa.
Ia melajukan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata, bahkan beberapa kali ia sampai kena tegur oleh orang lain namun Eliza tampak tak perduli.
Setelah menempuh perjalanan beberapa menit, kini Eliza sampai di sebuah mall dimana temannya sudah menunggu.
"Kita ngapain neh?" Tanya Rubby, satu-satunya sahabat Eliza yang sangat mengerti akan karakter Eliza.
"Apa, ya? Dugem?" Gurau Eliza yang seketika membuat Rubby tertawa. "Ya belanja lah, apalagi memangnya," imbuhnya.
Kedua gadis itu pun segera menuju pusat berbelanjaan, membeli beberapa pakaian yang menarik di mata mereka tanpa memperdulikan harga ataupun yang lainnya. "Rub, ini bagus nggak?" Tanya Eliza menunjuk kaos putih polos serta celana jeans pendek yang juga berwarna putih. "Aku nggak punya loh celana pendek yang warna putih," imbuhnya.
"Ya udah, ambil aja tuh. Borong sekalian," saran Ruby. Eliza pun mencoba celana dan baju itu itu ke ruang ganti, ia berputar dan di depan cermin dan tampaknya ia menyukai kedua barang yang simple itu.
Eliza bahkan ingin langsung memakai kedua barang tersebut dan meninggalkan pakaian yang sebelumnya di ruang ganti, tentu ini bukan hal baru bagi Ruby. "Betapa senangnya mereka mengambil celana Zara-mu yang baru sekali pakek itu, El," tukas Ruby yang hanya di tanggapi dengan santai oleh Eliza.
Setelah selesai berbelanja, kini mereka merasa lapar. Eliza mengajak Rubby ke restaurant Jepang yang ada di mall itu, tentu Rubby langsung setuju.
"Aku udah lapar banget, sampai gemetar kakiku neh," ucap Eliza sambil memencet tombol lift, Ruby menatap lutut Eliza dan memang benar lutut sahabatnya itu sedikit gemetar. Seketika Ruby tertawa, begitu juga dengan Eliza. Namun saat lift terbuka...
Ting
Kedua sahabat itu tercengang melihat siapa yang ada di dalam lift, put pupil mata Eliza Bahkan melebar dan ia menahan napas seolah ia tak percaya dengan apa yang di lihatnya. Begitu juga dengan Ruby yang tampak terkejut melihat orang itu.
"Halo..." suara anak kecil itu membuyarkan lamunan Ruby dan Eliza. "Nggak mau masuk, Tante? Kalau nggak mau, ya jangan di pencet tombolnya. Kami buru-buru tahu," tukas anak itu yang membuat Eliza dan Ruby hanya bisa cengengesan. Keduanya pun masuk ke dalam lift.
"Tanvir, lain kali tidak boleh seperti itu." Tanvir langsung mendongak, menatap Om-nya itu dengan serius.
"'Kan Tanvir cuma mengingatkan, Om Jibril. Nanti kita terlambat ke ulang tahun adik bayi," keluh Tanvir.
"Ulang tahunnya nanti malam, ini masih sore." Tanvir membuang napas kasar namun ia tak membantah lagi ucapan pamannya itu.
Sementara Eliza, diam-diam dia memperhatikan wajah Jibril dari pantulan bayangannya di kaca lift. Ia bertanya-tanya apakah pria ini melupakan dirinya? Sedangkan Eliza dan Ruby mengingat jelas wajah pria yang pernah Eliza kerjai di Pakistan itu.
Jibril pun sesekali melirik Eliza karena ia tahu, Eliza adalah gadis yang melamarnya saat di Pakistan. Namun Jibril tak tertarik untuk menyapa gadis itu karena memang ia tak tertarik untuk mengenalnya.
Di pojok lift, Ruby membisikan sesuatu pada Eliza yang membuat Eliza langsung melotot sempurna. "Ingat 'kan?" Tanya Ruby kemudian sambil menaik-turunkan alisnya.
Ruby menagih janji Elizabeth yang pernah mengatakan akan mencium pria itu jika mereka bertemu lagi, dan siapa sangka? Kini takdir kembali mempertemukan mereka di negara mereka sendiri.
"Gila kamu, bisa di tampar aku," desis Eliza.
"Iya juga sih," gumam Ruby. Kini perhatian Eliza tertuju pada dua bocah yang sejak tadi mengoceh tanpa henti, Eliza tidak yakin kedua bocah itu ada hubungan darah dengan Jibril meskipun beberapa kali mereka memanggil Jibril dengan sebutan 'om', karena raut wajah ketiga manusia itu tampak sangat berbeda. Anak-anak yang menggemaskan, terus mengoceh dan raut wajahnya tampak berbinar. Sementara Jibril terus bungkam, tatapannya tajam dan raut wajahnya sangat datar.
Eliza bahkan sempat berfikir mungkin Jibril adalah penculik anak-anak itu, namun melihat dari bagaimana Jibril menggenggam tangan mereka, tampaknya Jibril memang om mereka.
Ting...
Lift terbuka, kedua bocah itu segera keluar begitu juga dengan Jibril. Namun entah setan mana yang merasuki Eliza, ia justru mengejar Jibril. Menarik baju Jibril dan dalam hitungan detik...
Cup...
PLAKKK...
Semua mata melotot sempurna saat Eliza mendaratkan kecupan singkat di pipi Jibril yang justru langsung terkena tamparan dari Jibril di detik itu juga.
Eliza terkejut, mulutnya menganga lebar sementara tangannya mengusap pipinya yang terasa sakit, panas dan perih.
Jibril pun tak kalah terkejutnya, selama ini tak ada satupun wanita yang menyentuhnya. Dan sekarang, entah dari mana datangnya wanita gila ini yang langsung menciumnya. Secara spontan, Jibril langsung melayangkan tamparan karena shock.
"Opss..." Ruby, Tanvir dan Via tak kalah terkejutnya melihat kejadian bak fenomena alam itu.
...🦋...
"Di tampar, Rub. Aku benar-benar di tampar dan rasanya sangat..." Eliza mengusap pipinya kirinya yang mendapatkan tamparan dari Jibril, ia memejamkan mata dan mengingat kembali raut wajah Jibril yang sangat tajam, ia tampak sangat marah karena Eliza mencium pipinya tanpa permisi namun itu justru menarik perhatian Eliza. "Menyenangkan juga," gumam Eliza yang membuat Rubby melongo.
"Dia ganteng banget sih, di kasih makan apa ya sama mommynya?" Eliza mesem-mesem seperti orang yang kasmaran.
"Kamu di tampar dan kamu muji dia?" Tanya Ruby tak percaya. "Kamu gila atau udah jatuh cinta sama dia, El? Orang asing itu?"
"Aduh, Rub. Makhluk mana yang nggak jatuh cinta saat mendapatkan tatapan yang begitu, hm ... hmm..." Eliza masih mengusap pipinya seolah ia mengenang tamparan itu.
"Makhluk mana yang jatuh cinta setelah mendapatkan tamparan, tatapan tajam dan murka seperti itu, El?" Ruby sungguh tak habis fikir ada apa dengan sahabatnya ini apalagi ini pertama kalinya Eliza memuji seorang pria.
Saat Eliza hendak menjawab Ruby, pintu kamarnya terbuka dan seketika Eliza serta Ruby langsung terdiam. "Kalian habis belanja?" Eliza hanya bisa mengangguk lemah. " Sudah menemui dr. Alma?"
"Sudah, Mom," jawab Eliza. Ibunya kemudian memeriksa barang belajanjaan Elizabeth satu persatu, seolah ia mencari sesuatu. "Nggak ada apa-apa, Mom. Cuma baju," ujar Elizabeth dengan cepat.
Nyonya Jill, ibu dari Elizabeth itu menatap Elizabeth dengan tajam sebelum akhirnya ia tersenyum dan menepuk pundak Eliza dengan lembut. "Okay, Sayang. Aku pergi dulu, mungkin akan terlambat jadi jangan mengungyuku untuk makan malam." Eliza hanya tersenyum sambil mengangguk.
...🦋...
Jibril sungguh tak habis fikir dengan kelakuan gadis yang asing yang tiba-tiba menarik bajunya kemudian mencium pipinya di depan kedua keponakannya. Padahal selama ini tak pernah ada yang berani menyentuh Jibril selain Ummi dan adiknya, apalagi sampai menciumnya.
Saat menghadiri acara ulang tahun keponakannya, Jibril tak bisa lepas dari bayang-bayang wanita itu. Ia bertanya-tanya, siapa dia?
Bahkan, sampai keesokan harinya pun Jibril masih di hantui wanita asing itu.
"Beneran, Tante. Di cium...." Tanvir bercerita dengan begitu serius pada Aira dan yang lainnya tentang apa yang mereka saksikan saat di mall, bahkan Via juga menceritakan hal yang sama.
"Mau kemana?" Tanya Aira yang melihat Jibril hendak pergi, Jibril memakai kaos hitam dan celana jeans hitam. Penampilan casual namun sangat berkharisma.
"Ke hotel, ada urusan sama abi dan kak Micheal," kata Jibril.
Kini Aira menatap Tanvir dan Via sebelum akhirnya ia kembali menatap Jibril. "Kamu punya pacar?" Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulut Aira.
"Astagfirullah..." gumam Jibril namun saat melihat Tanvir, kini Jibril mengerti kenapa adiknya bertanya seperti itu. "Aku nggak gila yang mau pacaran sama orang gila," tukas Jibril sambil meringis saat mengingat Eliza. "Lagi pula, kalian sedang mempersiapkan pernikahanku dengan Shalwa, mana mungkin aku punya pacar." Aira menghela napas lega mendengar penuturan sang kakak. "Ya udah, aku pergi dulu."
...🦋...
"Jadi kalian mau aku yang ngurus hotel ini juga perusahaan Abi?" Tanya Jibril sedikit kebingungan karena sebelumnya tak pernah ada yang membicarakan tentang pengalihan kuasa atas perusahaan juga hotel.
"Hem," jawab Abi singkat. "Kakakmu sudah menjelaskan semuanya, 'kan? Setelah menikah kamu akan pindah kesini dan mengurus perusahaan Abi termasuk hotel ini."
"Iya, Dek. Aku sudah sibuk dengan perusahaanku sendiri, aku nggak bisa maksimal nanti kalau masih harus pegang perusahaan yang lain."
"Benar," Abi menimpali. "Dan Abi itu sudah tua, Abi ingin menghabiskan waktu bersama ummi di desa, sekarang urusan perusahaan Abi serahkan semuanya pada kalian berdua."
Seperti biasa, Jibril mengangguk setuju, apalagi ia memang tidak punya planning apapun tentang hidupnya. Ia hanya melangkah mengikuti arah angin, bahkan sampai urusan pasanganpun ia tak memikirkannya hingga harus di carikan oleh orang tuanya.
Setelah selesai dengan urusannya, Micheal pergi ke kantornya sementara Abi pulang ke rumah. Dan Jibril memilih menemui teman-temannya yang masih ada di hotel itu.
Sementara itu, Eliza juga berada di hotel Jibril bersama ibunya. Mereka ingin menyewa hotel itu untuk anniversary kedua orang tua Elizabeth bulan depan. Eliza yang merasa bosan pergi ke kolam renang, jernihnya air kolam itu seolah memanggilnya apalagi hari memang sedikit panas.
"Berenang aja ah..." tanpa fikir panjang Eliza melepaskan pakaiannya hingga hanya menyisakan **********, setelah itu ia langsung melompat ke kolam renang. "Huh, segarnya..." Eliza berseru girang hingga tatapannya menangkap sosok yang telah ia cium sekaligus yang menamparnya.
"Hey..." Teriak Eliza sambil berenang ke tepi kolam.
Jibril yang melewati kolam renang langsung menoleh saat mendengar teriakan seseorang, seketika Jibril kembali melotot saat melihat Eliza yang hanya memakai dalaman berjalan ke arahnya.
Eliza mendekati Jibril sambil memeras air dari rambutnya. "Hey, akhirnya kita ketemu lagi. Aku mau..." ucapan Eliza terhenti saat tiba-tiba Jibril menarik taplak meja kemudian menutupi seluruh tubuh Eliza dengan taplak itu, gerakan Jibril begitu cepat dan tak terbaca.
Elizabeth tertegun, jantungnya berdetak lebih cepat dan lidahnya terasa kelu. Tadinya ia datang untuk meminta maaf karena sudah mencium Jibril, namun apa yang di lakukan Jibril padanya membuat ia tak mampu berkata-kata. Eliza menatap mata Jibril namun Jibril menghindari tatapan itu dan bertanya, "Ada yang bisa saya bantu, Nona?"
Eliza hanya bisa menelan ludah, ia mengatur napasnya dan perasaannya yang berkecamuk. "Aku ... aku mau minta maaf soal kemarin," ucapnya kemudian.
"Saya juga minta maaf," kata Jibril setelah itu ia bergegas pergi begitu yang lagi-lagi membuat Eliza melongo.
"Gila!" Pekik Eliza saat Jibril sudah sangat jauh. "Dasar pria es batu, dingin dan kaku. Jangan-jangan juga nggak tertarik sama cewek." gerutunya. "Aku sumpahin kamu jatuh cinta sama aku, Tuan es batu...."
...🦋...
Hai semuanya, selamat datang di ISTIKHARAH CINTA JIBRIL EMERSON. 😍
Jangan lupa tinggalkan jejak serta beri dukungan Vote Gift ya, thank you and I love you all😍
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!