"Pak Albert tentu saja sangat mengenal kehidupan saya seperti apa, bukan? Sejujurnya tidak ada hal istimewa yang bisa saya berikan untuk menjamin kebahagiaan putri Anda—Claymira," tegas Robbin tidak mau berbasa-basi, dia sudah muak menjelaskan secara halus, menilik kegigihan gadis muda di depannya.
Bukan keraguan yang tampak di wajah pria berusia separuh baya itu, Albert jelas mengangkat dagu tinggi-tinggi sebab tidak memerlukan harta benda apa pun dari Robbin. Sebagai pemilik perusahaan elektronik terbesar di Indonesia jelas mampu mencukupi kebutuhan anak semata wayangnya.
Robbin mengembuskan napas sebelum kembali berbicara, "Saya jelaskan sekali lagi, kalau Clay masih bersikukuh—" jedanya beberapa detik sambil melihat paras tanpa cela gadis itu lekat-lekat, dia sendiri tidak menampik betapa sempurna Clay sebagai perempuan. "Setelah menikah, tidak ada kemewahan yang sanggup saya berikan dan itu berarti—juga menolak semua bantuan dari Anda!" tegas Robbin.
Mata Albert seketika melebar, terkejut atas apa yang barusan dia dengar. Bagaimana mungkin dirinya membiarkan hidup Clay menderita? Ragu-ragu diraih tangan halus dan ramping sang putri.
"Clay—"
"Dad, aku mohon," potong Clay, sorot mata redupnya menyiratkan keinginan yang begitu besar. Sejak mengenal Robbin, dia telah memupuk benih-benih cinta di hati. Tekatnya sudah bulat ingin terus bersama dengan sosok rupawan yang membayangi siang dan malam.
Albert menghela napas dalam lalu memandang pemuda di hadapannya penuh percaya diri. "Apa boleh buat, tapi ingat, setetes saja air keluar dari mata Clay, maka keluargamu binasa!"
Otot-otot Robbin seketika menegang, memang sulit sekali mematahkan kuasa seseorang yang memiliki pengaruh besar. Akan tetapi, bukan saatnya menunjukkan kelemahan, dia harus menegakkan badan.
"Anda pikir saya pe—"
"Peduli! Jelas kamu peduli, Robbin. Kalau tidak mengapa repot-repot ke sini untuk bernegosiasi?" sambar Albert.
Pria paruh baya itu sudah mengetahui semua informasi tentang Robbin, mudah mendapatkan rincian latar belakang pemuda tangguh di depannya. Dia percaya Clay akan aman meski jauh dari keluarga kelak setelah menikah.
"Ronald! Ronald siapkan segala keper—"
"Tidak ada pesta!" sergah Robbin cepat.
Jemari besar Albert mengepal kuat hingga buku-buku jari memutih, sungguh ini di luar rencananya. Harus ada pesta besar-besaran untuk momen penting yang akan dirasakan putrinya sekali seumur hidup.
"Well, sudah diputuskan, Dad. Aku dan Robbin akan menikah di Kapel Santa Maria," celetuk Clay, girang. Baginya tidak penting lagi suatu pesta, dia hanya menginginkan pemuda berkepribadian tegas, meneduhkan itu.
"Apa pun untuk kebahagiaanmu, Sayang," sahut Albert lantas mengusap pucuk kepala sang putri dengan lembut. Seolah-olah Clay guci antik yang rapuh dan mudah pecah.
"Oh, Dad, terima kasih." Clay memeluk erat pinggang Albert begitu kencang lalu menoleh ke arah Robbin sepintas. Wajahnya makin berseri-seri ketika dilanda kebahagiaan.
Karena prosesi pernikahan terbilang mendadak tidak ada pembekalan pranikah. Bahkan bidston yang biasanya dilakukan sehari sebelum pemberkatan pun ditiadakan. Kendati kegiatan ini merupakan ungkapan rasa syukur dan pengharapan agar acara berikutnya berjalan lancar. Dan, memang secara umum bidston sama seperti lantunan doa dan pujian-pujian.
Clay berhasil meyakinkan orangtuanya, bahwa yang paling penting adalah pemberkatan dari sang pendeta.
Meskipun tanpa pesta meriah, Belle—ibu Clay mengundang penata rias kondang untuk mendandani sang putri. Namun, tidak memanggil desainer karena memimpikan gadis cantiknya memakai gaun pernikahannya dulu. Biar bagaimana pun akan terasa lebih sakral dan mengenang.
Clay mematut-matut penampilannya di depan cermin raksasa, dia amat puas dengan hasil sang tata rias. Gaun putih bermanik ibunya begitu pas di badan. Rambut lurus sepinggangnya sengaja dibentuk gelombang-gelombang besar, lantas diberi hiasan mutiara-mutiara kecil. Selain itu, kerudung putih tersemat di pucuk kepala lengkap dengan mahkota mungil.
"Oh, Mom, aku sungguh bahagia," ungkap Clay sembari tersenyum begitu anggun.
"Kuharap untuk selamanya."
"Apa yang Mommy katakan? Tentu saja. Aku teramat mencintainya, gimana aku tidak bahagia?"
"Oh, Sayang, kamu masih terlalu muda dan usia kalian terpaut jauh. Tidak semestinya terburu-buru! Hanes lebih muda dan kalian sungguh cocok. Umur kalian hampir sepantaran."
"Ayolah, Mom! Kami hanya berteman, tidak mungkin lebih dari itu. Robbin bisa menjagaku, Mom. Dia juga menaruh perasaan terhadapku, hanya saja terlalu takut mengakuinya," papar Clay penuh keyakinan.
Belle memeluk erat anak semata wayangnya. Dia hanya bisa mendoakan saja. Percaya atas segala hal yang telah digariskan, Tuhan tidak akan menyengsarakan umatnya.
"Semua sudah siap, Bu," panggil salah satu pengurus acara.
Kedua wanita memesona itu menyudahi pelukan lantas keluar dari kamar.
Gaun putih yang membalut tubuh mempelai menjuntai sampai menyapu lantai andai tidak diangkat sang penata rias. Dengan langkah gemulai Clay menyusuri koridor rumah megahnya.
Jarak rumah utama dengan Kapel Santa Maria agak jauh walaupun masih berada dalam satu pagar.
Belle membimbing Clay ketika naik ke atas kendaraan listrik beroda empat sejenis mobil golf dengan kapasitas tiga orang—satu pengemudi dan dua penumpang.
"Mom, aku sangat gugup," aku Clay sembari menggenggam erat-erat jemari ibunda.
"Mom dulu juga begitu, lalu mulai berhitung."
Clay pun menutup mata perlahan, dia berusaha menghitung detak jantung yang bertalu-talu. Dia baru membuka mata setelah merasakan tepukan lembut di pundak yang tidak tertutup.
Cuaca siang itu begitu cerah, langit biru membentang bagai samudra berhiaskan buih-buih seputih kapas. Tetumbuhan di sekitar kapel bergoyang-goyang disapa angin. Kuncup bunga merekah bak musim semi.
"Sayang," tegur Albert.
Clay mengulas senyum simpul seraya menerima uluran tangan sang ayah. Perasaan gugup seketika terbang jauh, berganti desir lembut sayap kupu-kupu yang menggelitiki hati. Hampir-hampir air mata menetes karena didera bahagia.
Dengan didampingi orang tuanya, Clay melangkah ke arah mimbar dan di mana sudah ada Robbin. Dia merasakan detak jantung berdegup hebat saat mendapat tatapan tajam calon suaminya. Beruntung keduabelas tulang rusuk ciptaan Tuhan. Seumpama buatan manusia pastilah tidak sanggup menahan gejolak di dalam dada.
Kedua mempelai kini sudah berdiri di area mimbar. Wajah masam Robbin berbanding terbalik dengan seraut paras memukau Clay. Kentara sekali kalau pemuda itu tidak senang, sedangkan sang gadis mengumbar senyum kemenangan.
Tempat duduk paling depan yang semestinya diisi sanak keluarga tampak lenggang. Pada barisan setelahnya hanya ada beberapa penjaga dan pengurus rumah.
Pujian dilantunkan bersama-sama sebagai awalan prosesi pernikahan, sebelum pemberitaan firman Tuhan. Lalu, upacara peneguhan nikah yang dipimpin langsung oleh pendeta.
Berikutnya kedua mempelai akan mengucapkan janji pernikahan, dipandu langsung oleh pendeta dan harus diucapkan secara jelas dan lantang. Di mana menyatakan kesanggupan untuk mempertanggungjawabkan hubungan suami dan istri seumur hidup.
"Saudara Robbin son Robet bisa menyematkan cincin di jari manis Saudari Claymira Marcusya," titah Pendeta.
"Sayang sekali, saya tidak membawa cincin pernikahan," kata Robbin dengan memasang wajah tanpa dosa.
"Aku membawa cincinnya!"
Suara seseorang dari kejauhan memecah hening, semua yang ada di sana menoleh serempak.
Siku-siku rahang Robbin mengeras, bahkan jari-jemari kokohnya mengepal sampai otot-ototnya terlihat tegas. Dia jelas tidak mengharapkan kehadiran orang itu.
Pemilik suara bariton itu bertubuh jangkung dan tampan meski bahu agak membungkuk seakan-akan memikul beban. Wajah tirusnya mirip sekali dengan sang ayah—Rocky bos Robbin— yang pasti akan tampak menawan apabila memancarkan aura kepribadian yang kuat. Sayangnya, Hanes hanya sekadar tampan. Di dekat Robbin yang berwajah rupawan dan berkulit sawo matang, Hanes itu terkesan lebih lembut.
"Bawa kembali benda itu, aku—"
"Anggap saja ini hadiah pernikahan kalian." Hanes menyela ucapan Robbin, seraya menyerahkan kotak beludru yang berisikan cincin kepada Clay.
Bergegas Clay membuka kotak tersebut, matanya berbinar kala melihat dua benda bertahta berlian di salah satunya.
Clay merasa tersanjung, dia tahu Hanes pasti turut bahagia meski tidak bisa memiliki dirinya. Dia menganggap pria itu sebatas kakak, sebab pertemanan yang terjalin sejak kanak-kanak.
"Terima kasih, Hanes," ucap Clay setelah menerimanya lantas menyerahkan kepada Robbin.
Robbin membuang muka, tidak mau mengambil pemberian itu. Emosi berkecamuk di dalam hati, kalau menerima cincin dari Hanes bukankah seperti pria ingusan itu yang menikahi Clay? Angannya melambung tinggi, ego diri menolak keras bantuan dalam bentuk apa pun.
"Silakan Saudara Robbin," perintah Pendeta.
Lamunan Robbin pun buyar, dia mengulurkan tangan dengan gamang. Lalu, meraih jemari sang istri. Senyum melengkung sempurna di bibir bergincu itu.
Sentuhan Robbin mengirimkan gelombang yang mengejutkan di sepanjang lengan Clay, dia menutup mata sedetik serta menarik napas dalam-dalam. Ujung jemari sang suami menyusuri kulit jari manisnya saat memasangkan cincin.
Aku tidak sedang bermimpi, bukan? Oh, Robbin I need you, batin Clay berbunga.
Robbin mengeram, frustrasi tercetak jelas pada wajah yang mengeras. Akan tetapi, semua orang seolah-olah tidak peduli. Pernikahan ini begitu menekan dirinya. Dia tahu setelah keluar dari kapel jalan hidupnya telah berubah, prinsip yang dipegang teguh selama ini runtuh.
Orang-orang bertepuk tangan, Robbin meradang menyaksikan wajah-wajah bahagia mereka. Bersuka-cita di atas penderitaannya. Dia segera turun dari mimbar, meninggalkan Clay di sana sendirian.
"Robbin!" bentak Albert, tetapi tidak mendapat respons sama sekali.
"Dad, biarkan," cicit Clay lalu mengikuti langkah panjang sang suami. Gaun lebar yang membungkus tubuh nyaris membuatnya jatuh ketika menuruni undakan teras.
Insting kuat Robbin menyadari kecerobohan sang istri, jemari kokohnya meraih lengan Clay dengan cekatan sampai tidak sadar wajah saling berdekatan. Selama sepuluh detik bibir keduanya bersentuhan, sama-sama terpaku oleh kejadian itu. Sampai suara tepuk tangan meriah menyadarkannya.
"Ah, romantis sekali. Mari kita pergi, pengantin baru rupanya butuh privasi," celetuk salah satu pengurus rumah.
Buru-buru Robbin menegakkan Clay dan tubuhnya sendiri, lalu menoleh ke arah Albert yang berdiri tidak jauh dari pintu kapel.
"Pak Albert, saya harap Anda tidak mengingkari janji!" dengus Robbin.
"Jangan khawatir, keluargamu aman bersamaku," jawan Albert sambil berlalu.
"Aku ingin bertemu mereka sekarang!"
"Waktunya belum tepat, Robbin, kuharap kamu bisa lebih bersabar," tolak Albert.
Jempol tangan Robbin memijat ringan pelipis kiri sebelum menyusul mertua yang tidak diinginkannya.
"Robbin, tunggu!"
Suara Clay yang mengalun lembut menghentikan langkah suaminya meski tanpa menoleh, dia berujar, "Terima kasih, Kak—Robbin." Keraguan mengiringi kalimat itu.
Kerutan di kening Robbin berangsur hilang, baru kali ini ada yang memanggilnya dengan imbuhan 'Kak' selain Monica—adiknya. Apa gadis konglomerat itu pikir bisa meluluhkan hatiku dengan mengubah sapaan? Tidak semudah itu Clay, sampai mati pun aku menolakmu! batin Robbin.
Pura-pura baik bukanlah sifat alami Robbin, bukan salahnya kalau tidak mengacuhkan gadis itu. Dia sudah menegaskan berkali-kali kepada Clay, bahwa pernikahan ini tidak akan berjalan dengan semestinya.
Clay menatap tajam punggung lebar pria di hadapannya. "Terus saja bersikap begitu! Sifat keras kepalamu terlihat seksi di mataku," gumam Clay dengan mengulum senyum. "Bukankah ini gila?"
"Kurasa tidak," sahut Hanes, tiba-tiba berdiri di belakang Clay.
"Hanes! Kamu tau dari mana kalau hari ini aku menikah?" tanya Clay, merasa heran sebab tidak membocorkan kabar terkait acara penting yang sedang berlangsung sesaat lalu.
"Oh, God!" pekik Clay ketika melihat di kejauhan. "Sungguh tajam intuisi awak media. Coba tengok, Han. Apa di rumahku ada mata-mata?"
"Kalau kamu menginginkan mereka pergi sebaiknya segera membuat klarifikasi," tutur Hanes.
"Ah, biar Daddy yang mengurusnya, yuk!"
Clay pun menuju rumah utama dengan mengendarai mobil milik Hanes. Karena terburu-buru pemuda itu membawa kendaraannya sampai ke depan teras kapel.
Selagi Albert memberijawaban atas beberapa pertanyaan awak media, anggota keluarga yang lain menikmati santap siang di ruang makan.
"Mommy, jahat sekali!" pekik Clay begitu menyadari keberadaan sang ibu di sana. "Dad sedang bertempur di luar, sedangkan—ya ampun, Mom."
"Sejauh yang Mommy tau, Daddy lelaki paling tangguh," sanggah Belle.
"Kak Robbin di mana, Mom?"
Alis Belle yang tertata rapi mengerut sebentar sebelum menjawab pertanyaan. Pasalnya sang putri tidak pernah bertutur semanis ini. "Di lantai atas, mungkin di kamarmu," katanya kemudian.
"Baiklah aku—"
"Temani Hanes makan dulu, Sayang, lihat dia hampir layu berdiri di situ," potong Belle sambil menunjuk Hanes.
Wajah berseri Clay berubah muram, dia tidak mau membuat kesalahan pada hari pertama menyandang gelar Nyonya Robbin Son Robet.
"Tidak masalah, Tante, sudah saatnya saya pulang," kata Hanes meski sulit berucap.
"Manis, manis sekali. Kamu saudara terbaikku Hanes," ucap Clay tulus sebelum berjalan menuju ke pintu ruang makan.
Sejauh dua puluh langkah ada tangga, Clay memegang susuran saat melangkah ke tiap-tiap undakan. Semakin dekat dengan kamar semakin menambah rasa tegang di perutnya yang datar. Dia sangat amat gugup sekarang.
Clay mengamati gorden-gorden penutup jendela di koridor lantai dua yang melambai ditiup angin, kain berwarna putih itu mengusap lembut wajah cantiknya.
"Andai ini tangan Kak Robbin, rasanya tentu lebih menyenangkan," celoteh Clay begitu memikirkan sentuhan suaminya.
Kini, Clay sudah berdiri kaku di depan pintu bersepuh emas setinggi dua meter setengah. Hanya dengan membayangkan berada dalam satu ruangan bersama Robbin, seluruh indranya meremang.
Setelah menyemangati diri, Clay membuka pintu dengan pasti.
"Wao! Ini dia tokoh utamanya, coba pikirkan apa yang bisa aku katakan kepada mereka?" tanya Robbin sembari menujuk para awak media.
"Apa pun, tetapi mereka akan menganggapmu pembohong!"
"Gadis kecil yang licik!" hina Robby sebelum mengatakan kalimat yang lebih pedas lagi, "Kamu tentu sadar bahwa ini sebuah pemerasan. Sikapmu ini membuatku mual, wanita yang sudah tidak memiliki harga diri lagi!"
Bukannya emosi justru Clay tertawa keras-keras dan memang terkesan tidak waras. "Oh, jangan menyangkal, Kak. Coba pandang aku dan katakan dengan lantang bahwa Kak Robbin tidak memiliki sedikit pun rasa terhadapku!"
Clay mengambil langkah perlahan, ekor gaun putihnya menyapu lantai marmer bermotif kayu. Kini, jarak di antara dia dan Robbin hanya dua jengkal saja. Lengan yang tidak tertutup kain itu semakin cerah diterpa cahaya dari jendela, Clay mengulurkan tangan lantas jemari telunjuk menyusuri dada bidang di depannya.
Senyum samar tersemat, Clay berbisik penuh goda sembari mengusap lembut bibir Robbin dengan ibu jari, "Sepertinya tubuh ini lebih jujur ketimbang mulutmu."
"Singkirkan tanganmu dari situ!"
"Ha-ha-ha, sungguh suami tidak sabaran. Apa kamu ingin membantuku melepas gaun ini?"
"Segera periksakan otakmu ke dokter!" bentak Robbin sebelum pergi.
"Seksi, seksi sekali," gumam Clay.
Seluruh saraf-saraf Robbin menegang saat dengan sengaja atau tanpa sengaja bersentuhan dengan Clay yang kini resmi menjadi istrinya. Dia merutuk sepanjang koridor rumah megah pengusaha elekronik terbesar sejakarta—secara garis besar kekayaannya tidak bisa ditakar—bisa dikatakan sejagat raya.
"Kapan mimpi buruk ini berakhir?" gerutu Robbin, sambil mengenang pertemuan pertamanya dengan Clay.
Semua terjadi sekitar satu tahun yang lalu, Robbin diminta Rocky untuk mengawal seorang gadis di Aussie. Pada tiga bulan pertama menjalankan tugas, dia diserang rasa jenuh, tidak banyak yang dapat dilakukan. Paling hanya menolong saat gadis itu hampir terjatuh ke jalan, karena sedang asyik bergurau dengan beberapa temannya.
"Terima kasih." Begitu kata Clay kala itu dan Robbin berlalu.
Sampai suatu kejadian benar-benar mengancam keselamatan kalau saja Robbin tidak bertindak cepat. Entah apa yang dilakukan gadis itu, sehingga memancing amarah seekor kanguru. Robbin menduga, mamalia itu kaget mendengar teriakannya.
"Oh, God, Help me!" Clay berlari zig-zag serta menjerit-jerit ketakutan, salah satu temannya terlihat berlari untuk memanggil petugas tempat wisata.
"Diamlah!" teriak Robbin seraya menambah laju larinya untuk melindungi gadis itu, dia tidak mau dipecat gara-gara hal remeh seperti ini.
Robbin akhirnya bisa menggapai tubuh kecil Clay. Dengan jantung bergedup kencang keduanya berguling ke tanah. "Demi Tuhan, kumohon diamlah, Nona!" bentaknya, sebab gadis yang ada di dekapannya masih meraung-raung histeris. Dia tahu dengan berpura-pura mati hewan itu akan berhenti menyerang.
Namun, Clay belum ingin berhenti menjerit-jerit, terlebih kini tubuh rampingnya gemetaran. Sampai gadis itu merasakan lengan berotot seorang pria memeluk kuat-kuat, menjadi perisai untuknya. Dia lebih tenang sebab merasa terlindungi, lalu menarik napas dalam-dalam.
Dekapan Robbin memengaruhi kinerja tubuh Clay, jantungnya semakin berpacu cepat. Aroma maskulin yang tercium begitu memabukkan sampai tanpa sadar menutup mata. Ketakutannya berangsur sirna.
Namun, kanguru pemarah itu tidak bisa berhenti karena berlari terlalu kencang, Robbin merasakan kuku-kuku tajam mencabik lengan kanan. Dia berusaha bersikap setenang mungkin meski perih menyengatnya. Binatang itu pun pergi begitu tidak mendapatkan perlawanan. Bersamaan seorang pertugas datang untuk memberibantuan.
Jari tangan Robbin berlumuran darah saat terulur untuk membantu Clay berdiri. "Apa kamu tidak apa-apa?"
"Aku—kulihat kamu yang tidak baik-baik saja," jawab Clay, raut wajahnya tampak kacau, basah oleh keringat dan debu akibat berguling-guling di tanah tadi. "Permisi, Pak, di mana bisa kami dapatkan perawatan?" tanya Clay kepada petugas yang baru tiba, karena melihat darah segar mengalir di lengan Robbin.
"Mari ikut kami. Oh, Nona, kami sungguh meminta maaf atas kejadian ini. Pihak wisata akan memberikan kompensasi," jawab sang petugas penuh rasa bersalah.
Ketiganya menuju bangunan yang tidak terlalu jauh dari pintu keluar tempat wisata. Bangunan itu tampak bersih dan terawat, ada seorang petugas wanita berambut pirang di sana.
Begitu sampai di klinik, suasana agak muram lalu petugas itu menyalakan lampu. "Kami menyesali ini, Tuan," kata perawat wanita, memasang wajah sedih.
"Keadaanku tidak terlalu berbahaya, tetapi itu hampir melukainya!" jawab Robbin seraya menoleh sekilas ke Clay, lalu melanjutkan ucapan, "Tidak usah terlalu cemas, Miss, ini tidak terlalu parah, kok."
"Apa Anda sudah mendapat suntikan anti tetanus?"
"Ya, sekitar tujuh bulan yang lalu," sahut Robbin.
Clay hanya menatap kedua orang itu tanpa melakukan apa pun sampai petugas yang mengantar tadi masuk dan menawarinya minum. Terlepas dari itu semua, dia seperti mengingat sesuatu. Pertemuan dengan penyelamatnya ini sudah terjadi beberapa kali, mungkin empat atau—lebih dari itu. "Ah, bukannya ini sungguh luar biasa?" pekik Clay tiba-tiba, hingga tiga pasang mata menoleh secara bersama-sama.
Setelahnya, Clay berbicara panjang lebar dan mengatakan semua kebetulan-kebetulan yang terjadi selama ini. Dia menyadari betul bahwa Robbin selalu ada di kala dirinya dalam bahaya. Dan, sekeras apa pun Robbin menyangkal, Clay tidak percaya itu.
Kejadian nahas membongkar identitas Robbin yang sebenarnya, Clay telah mendapatkan cara untuk memojokkannya sampai membuka mulut. Dari situ juga, gadis konglomerat itu mencari-cari kesempatan untuk bisa berdekatan dengan Robbin.
Namun, sayang hati Robbin sekeras batu. Dia kerapkali menjaga jarak aman. Yah, walaupun tetap saja harus muncul di saat-saat yang dibutuhkan seperti sekarang.
Dua bulan berikutnya, Clay memutuskan pulang ke Jakarta karena telah lulus kuliah. Dia mendarat setelah terbang selama kurang lebih 6 jam 35 menit. Gadis itu terlihat menunggu di depan bagasi untuk mengambil kopernya. Kemudian, melakukan panggilan telepon entah dengan siapa. Robbin hanya mengawasinya dari kejauhan.
Alis tebal Robbin mengerut serta mata tajamnya memicing begitu insting menangkap sinya-sinyal mencurigakan, dia melihat dua orang mengikuti langkah si gadis yang senantiasa dijaganya selama ini.
Sebagai agen rahasia yang terlatih, Robbin memantau pergerakan kedua orang itu tanpa dicurigai. Orang-orang itu menggiring Clay keluar dari area bandara hingga ke tempat sepi. Mata tajamnya melihat kilau belati di balik punggung gadis konglomerat itu.
"Sial! gimana bisa aku kecolongan," umpat Robbin lirih, dia tidak mau orang-orang menyadari peristiwa yang sedang terjadi, karena hal itu akan membahayakan kliennya.
Siang itu terik matahari begitu menyentak kulit, terlebih lagi padatnya Jakarta membuat udara makin panas saja. Angin pun tidak mampu menyejukkan suasana.
Hilir-mudik orang-orang yang keluar-masuk bandara sesekali merusak konsentrasi Robbin. Dia hampir kehilangan jejak Clay.
Ketika melihat gadis itu pasrah di dekat sebuah mobil hitam, Robbin bergegas mendekat setelah menyembunyikan wajah di balik topi dan masker. "Permisi, Pak?" tegurnya.
Salah satu dari mereka terkejut, wajahnya tampak kecut lantas menjawab teguran Robbin dengan mengetatkan rahang. "Ya, Mas, ada apa?"
"Begini, Pak, saya mau—" Sengaja Robbin mengulur-ulur waktu, menunggu suasana tempat parkir agak sepi. "Emm, saya bingung mencari alamat ini," tanyanya saat menunjukkan ponsel.
Orang bertubuh tidak terlalu tinggi itu menyiratkan keraguan, dia sepertinya enggan atau menyadari kejanggalan.
Robbin bergeser ke sisi kiri, mengurangi jarak lebih banyak supaya mudah dalam taktik melumpuhkan. Dia berdeham beberapa kali saat mengamati perubahan wajah kedua orang itu, juga gadis yang masih berdiri kaku di samping pintu.
Wajah Clay yang biasanya bersemu merah kini tampak pucat pasi, bulir keringat bergulir dari dahi melewati pelipis. Sulur-sulur anak rambut yang keluar dari jepitan melekat di pipi.
"Saya—" Sekilas Bahu Clay berjingkat begitu membuka suara.
Perkataan Clay segera dipotong oleh salah satunya. "Oh, kamu bisa ambil jalan—"
Belum rampung ucapan, Robbin telah melayangkan tendangan hingga mengejutkan keduanya. Pisau yang sedari tadi berada dalam genggaman terlepas.
"Kurang ajar!" sergah salah satunya sambil menyerang.
Sepinya lokasi memudahkan Robbin saat beraksi, Clay yang ketakutan berlari untuk mencari pertolongan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!