"Tidak!" teriak Diska.
Tanpa pikir panjang dia keluar dari restoran mahal itu.
Acara makan malam keluarga yang awalnya terasa begitu menggembirakan hatinya, kini menjadi neraka baginya.
Wanita dengan gaun berwarna merah, dengan hijab hitam itu kini berdiri di luar restoran.
Dia mengabaikan keberadaan putra kecilnya yang kini bersama kakek dan neneknya.
Dia pikir acara makan malam ini, acara yang biasa dilakukan olehnya keluarganya dengan keluarga Rezi, pria yang sudah dianggapnya sebagai sahabat.
Namun, ternyata acara makan malam kali ini, kedua orang tuanya meminta dirinya untuk menikah dengan pria yang sudah dianggap sebagai sahabat dan sebagai sosok kakak laki-laki baginya.
Rezi merupakan sosok pria tampan yang selalu ada di sampingnya selama tiga tahun ini.
Diska pun melangkah menyusuri trotoar jalanan kota Bandung dengan deraian air mata.
Dia yang selama ini berusaha tetap tegar menjalani sulitnya kehidupan yang harus dilalui bersama Rezi, selama ini dia hanya menganggap Rezi sebagai seorang kakak yang akan melindunginya dalam situasi apapun.
Hati Diska kini sudah tertutup untuk pria mana pun, cintanya hanya tertuju pada seorang pemuda desa yang sudah memberikannya seorang pangeran kecil yang menemani kehidupannya.
Diska terduduk di sebuah bangku panjang yang ada di pinggir jalanan yang mulai sepi.
"Aku akan bertanggung jawab atas apa yang sudah aku lakukan padamu," lirih Rama saat pagi datang.
Malam panjang mereka lewati dengan penuh gairah, cinta yang membara membuat mereka lupa akan dosa besar yang tak seharusnya dilakukan oleh seorang hamba.
"Bagaimana dengan pertunanganmu dengan Annisa, Bang?" tanya Diska.
Di saat seperti ini Diska masih memikirkan hati wanita lain, dia tidak ingin pernikahan Rama gagal dengan Annisa.
Diska tidak ingin melukai hati wanita lain demi kebahagiaan dirinya.
"Aku akan batalkan pertunangan itu, tapi kamu harus janji akan tetap berada di sini," ujar Rama ingin bertanggung jawab atas perlakuannya terhadap gadis kota yang sangat dicintainya.
"Tidak, Bang. Aku harus lanjutkan pendidikan kedokteranku, karena itu semua sudah menjadi mimpi dalam hidupku," bantah Diska.
Semua yang sudah direncanakan Diska tidak mungkin dirubah begitu saja.
Rama tertunduk, dia tidak bisa lagi membujuk Diska untuk tetap berada di desa terpencil itu.
Dia sadar diri, gadis yang dicintainya itu bukanlah orang desa, dia biasa hidup di tengah kota dan serba berkecukupan.
Diska menggenggam erat tangan pria yang dicintainya itu.
"Jika kita berjodoh, kita akan bertemu lagi," lirih Diska.
Saat ini dia berharap Tuhan akan mendukung hubungannya dengan pria yang sudah memadu kasih dengannya.
****
"Bang, aku merindukanmu," lirih Diska mengusap buliran bening yang sudah membasahi pipinya.
"Kamu, ngapain di sini?" Tiba-tiba Rezi datang menghampirinya.
Diska mendongakkan kepalanya yang tadi tertunduk menutupi kesedihan yang menyelimuti jiwanya.
Diska pun memalingkan wajahnya saat mengetahui pria yang datang menemuinya adalah Rezi.
"Hei, apa kamu marah padaku?" tanya Rezi pada Diska.
Dia menatap dalam pada gadis yang bertahun-tahun menjadi ratu di hatinya.
Demi dapat terus berada di samping Diska, Rezi rela memendam rasa cinta itu hingga hatinya sempat hancur saat mengetahui Diska mengandung benih cintanya dengan pemuda desa tempat dia mengabdi.
Meskipun dia kecewa dan hancur, dia tetap mendampingi wanita itu hingga 3 tahun berlalu, dengan hati kecewa dan terluka Rezi membesarkan hatinya untuk selalu ada untuk Diska kapan pun dan di mana pun dibutuhkannya.
Diska menatap dalam pria yang sudah dianggapnya sebagai kakak kandungnya.
"Kenapa, kenapa kamu menginginkan aku menjadi istrimu?" tanya Diska kecewa.
"Dis, aku hanya ingin menjadi ayah buat Farel. Aku kasihan padanya, dia butuh sosok seorang ayah," ujar Rezi memberi alasan perjodohan yang dilakukan oleh kedua orang tua mereka.
"Tapi, tidak harus menikah, kan?" ujar Diska tegas.
Dia menunjukkan bahwa dirinya tak menginginkan Rezi menjadi suaminya karena cintanya hanya untuk satu nama yang tidak akan pernah tergantikan oleh siapapun.
"Maafkan aku jika hal ini membuatmu terluka," ujar Rezi pasrah.
Dia tidak ingin memaksa kehendaknya pada Diska, karena rasa cintanya menginginkan dia untuk terus berada di dekat wanita yang dicintainya sudah cukup membuat hatinya bahagia.
"Kak, tolong pahami perasaanku. Kamu sudah mengetahui semua yang selama ini aku rasakan. Aku tidak sanggup menggantikan posisi Rama di hatiku dengan siapa pun," ujar Diska berharap Rezi mengerti dengan luka hatinya.
"Baiklah, aku akan mencoba untuk mengerti perasaanmu. Tapi, aku harap jangan pernah membenciku," lirih Rezi penuh harap.
Demi kebahagiaan Diska dia memilih untuk tidak memaksa pernikahan itu.
"Kak, aku yakin ada wanita yang lebih baik dan lebih pantas untuk mendampingimu," lirih Diska.
Rezi pun mendekati Diska lalu dia merangkul pundak wanita yang dicintainya itu.
"Aku janji, aku tidak akan memaksamu untuk menerima cintaku. Tapi, izinkan aku menunggu hatimu memilih aku untuk mendampingi hidupmu," ujar Rezi.
Diska pun memeluk tubuh kekar Rezi, dia membenamkan wajahnya di dada bidang milik pria yang sudah dianggapnya sebagai kakak.
"Ya udah, aku antar pulang, ya. Sudah malam, kasihan Farel, dia pasti tidak bisa tidur tanpa dirimu," ujar Rezi.
"Mhm," gumam Diska mengangguk.
Akhirnya Rezi pun mengantarkan Diska pulang.
Sesampai di rumahnya, Diska keluar dari mobil Rezi.
"Terima kasih, Kak," lirih Diska sebelum keluar mobil.
Dia sengaja melakukan hal itu agar Rezi tidak turun dari mobil.
"Sama-sama, tidurlah dengan nyenyak. Lupakan apa yang sudah terjadi hari ini," ujar Rezi.
Dia pun kembali melajukan mobilnya setelah memastikan Diska masuk ke dalam rumah.
Setelah masuk rumah, Diska langsung menuju kamar. Dia melihat Farel yang kini berada dalam pelukan mamanya.
"Bunda," lirih Farel dengan manjanya.
Balita yang baru saja berumur 2 tahun lebih itu gembira saat melihat sosok yang dinantinya sudah berada di hadapannya.
Diska menitikkan air matanya, dia pun langsung menghampiri buah hatinya lalu memeluk pangeran kecil yang selalu menjadi pelipur laranya.
"Ya sudah, kamu tidurkan Farel dulu, mama keluar, ya," ujar Ibu Naina, Mama Diska.
"Iya, Ma. Terima kasih," ucap Diska.
Diska pun mendudukkan Farel di atas tempat tidur.
"Kamu tunggu di sini sebentar ya, Sayang. Bunda ganti baju dulu," ujar Diska.
Setelah itu Diska bergegas mengganti gaunnya dengan piyama.
Lalu Diska pun mengelus lembut punggung pangeran kecilnya yang kini berada di dalam pelukannya, hingga si pangeran kecilnya tertidur dengan pulas.
Diska menatap dalam wajah tampan pangerannya yang sudah tertidur dengan lelap.
Wajahnya menuruni wajah sang ayah, ketampanan dan kesederhanaan yang tersirat di wajah Farel sangat mirip dengan sosok Rama.
Diska pun teringat pada sosok pria yang kini sudah memenuhi relung hatinya.
"Bagaimana kabarmu sekarang, Bang?" lirih Diska mengingat rentetan kenangan indah yang sudah dilaluinya dengan Rama.
Bersambung...
Pukul 04.00
Diska terbangun dari tidurnya, dia menatap wajah tampan sang buah hati yang masih tertidur lelap.
Diska melihat jam di layar ponselnya.
"Udah pukul empat, aku harus bangun," lirih Diska.
Diska bangkit dari tidurnya, sebelum itu dia mengecup puncak kepala Farel.
Diska melangkah menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya, dia bersiap-siap untuk melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslimah.
Diska sadar diri bahwa dirinya seorang pendosa, oleh karena itu dia kini selalu rajin melaksanakan kewajibannya sebagai seorang hamba yang penuh dilumuri dosa.
Sebelum azan subuh berkumandang, Diska menunaikan shalat sunat tahajud serta shalat sunat fajar.
Diska mulai menunaikan ibadah secara rutin sejak dia tahu bahwa dirinya tengah mengandung.
Flash back On.
Diska dan Rezi sedang menikmati santap makan siang di kantin Fakultas kedokteran Universitas Indonesia.
Rezi juga melanjutkan pendidikan kedokterannya sambil bekerja di salah satu rumah sakit ternama di kota Jakarta.
Saat Arumi hendak menyendokkan nasi soto ke mulutnya, tiba-tiba dia merasa aroma nasi soto itu terasa aneh sehingga menyebabkan dia merasa mual.
Akhirnya Diska pun berlari ke toilet yang tersedia di kantin Fakultas.
"Diska, kamu kenapa?" tanya Rezi heran melihat Diska yang tiba-tiba berlari begitu saja.
Diska mengabaikan panggilan Rezi, pria itu khawatir dengan keadaan Diska, dia pun melangkah mengikuti Diska menuju toilet.
"Kamu kenapa?" tanya Rezi saat Diska sudah keluar dari toilet.
"Aku enggak tau, Kak. Tiba-tiba perutku mual saat mau makan nasi sotonya," ujar Diska.
"Ya udah, kalau gitu kita cari makan tempat lain, ya," ajak Rezi.
"Enggak usah, Kak. Aku mau minum teh anget aja," lirih Diska.
"Ya udah, kamu duduk di sini dulu," ujar Rezi menyuruh Diska untuk duduk di sebuah bangku panjang di luar kantin.
Rezi sengaja mengajak Diska keluar kantin, dia takut Diska kembali menghirup aroma nasi soto yang menurutnya tidak enak.
Mereka kini sudah berada di depan gedung Fakultas kedokteran.
"Kamu tunggu di sini, biar aku yang cari teh anget buat kamu," ujar Rezi khawatir.
Diska mengangguk, lalu membiarkan Rezi kembali masuk ke kantin untuk meminta segelas teh panas.
"Nih, kamu minum dulu, tapi pelan-pelan, ya. Masih, panas," ujar Rezi.
Dia pun menyodorkan segelas teh panas pada Diska, berharap Diska akan merasa lebih baik setelah itu.
"Sepertinya kamu masuk angin," ujar Rezi menganalisa penyakit apa yang kini dialami oleh Diska.
"Aku juga enggak tahu kenapa, nih. Kok tiba-tiba pusing gitu," ujar Diska.
"Atau apa perlu kita ke klinik terdekat?" tawar Rezi.
Dia cemas dengan kondisi tubuh Diska yang kini terlihat pucat pasi.
"Enggak apa-apa, mungkin benar aku cuma masuk angin doang," ujar Diska tidak ingin merepotkan Rezi.
"Kamu yakin?" tanya Rezi memastikan keadaan Diska.
Diska menggelengkan kepalanya berusaha untuk meyakinkan pria yang selalu berada di sampingnya bahwa dia baik-baik saja.
"Iya, aku baik-baik saja," ujar Diska.
Diska menyesap teh hangat yang baru saja diberikan oleh Rezi.
Mereka pun beristirahat terlebih dahulu di sana.
Beberapa menit setelah itu.
"Kak, kita pulang, yuk," ajak Diska setelah dia merasa lebih enakan.
"Ya udah, yuk." Rezi pun membantu Diska melangkah menuju parkiran.
Saat Diska hendak membuka pintu mobil, gadis itu pun terkulai lemas, bersyukur Rezi masih berdiri di samping Diska.
Rezi langsung menangkap tubuh Diska lalu memasukkan Diska ke dalam mobil.
Rezi mengambil keputusan untuk membawa gadis yang bersamanya menuju ke sebuah klinik terdekat.
Dia panik saat melihat Diska jatuh tak sadarkan diri, dia mencemaskan keadaannya saat ini.
Sesampai di klinik, Rezi mengangkat tubuh Diska dan membawanya masuk ke dalam ruang pemeriksaan.
Diska terlihat masih belum sadarkan diri, dia membaringkan tubuh Diska di atas brangkar lalu mendampinginya masuk ke dalam ruang pemeriksaan.
"Dokter, tolong teman saya, dia tiba-tiba pingsan," ujar Rezi pada sang dokter.
Sebenarnya saat itu, dia sendiri bisa memeriksa keadaan Diska, tapi dia menyerahkan hal itu pada dokter yang bertugas di klinik tersebut.
Si dokter pun mulai memeriksa keadaan Diska, si dokter dapat merasakan denyut nadi Diska yang berbeda dengan seorang wanita yang normal.
Sang dokter terdiam sejenak, dia menghela napas panjang, sang dokter mengoleskan minyak kayu putih ke hidung Diska berharap Diska lekas bangun.
Diska mulai membuka kelopak matanya secara perlahan. Dia dapat melihat sekelilingnya berwarna putih.
"A-aku di mana?" lirih Diska bingung saat tahu dia berada di tempat asing baginya.
Rezi mendengar ucapan Diska, dia pun berdiri menghampiri gadis yang sangat dicintainya itu.
"Kamu udah bangun?" tanya Rezi.
Dia menggenggam erat tangan Diska.
"Aku di mana?" tanya Diska lagi.
"Kamu sedang berada di klinik, ini dokter masih memeriksa keadaanmu," jawab Rezi.
"Dek, saya sudah periksa, Alhamdulillah kondisimu baik-baik saja. Tapi, ada sesuatu yang harus kita periksa," ujar sang dokter.
Diska dan Rezi saling berpandangan.
"Kamu bisa menyimpan urine kamu di sini," pinta sang dokter sambil memberikan sebuah wadah kecil.
"Untuk apa?" tanya Diska heran.
"Untuk memastikan kamu sedang mengalami sakit apa?" ujar sang dokter.
Akhirnya Diska pun turun dari brangkar, lalu dia melangkah menuju kamar mandi yang terdapat di dalam ruangan pemeriksaan tersebut.
"Ini, Dok," ujar Diska sambil menyodorkan wadah yang sudah berisi urine miliknya.
Setelah itu, Diska melihat sang dokter memasukkan tes peck pada wadah tersebut.
Diska menutup mulutnya, saat dia tahu alasan dokter meminta urine-nya.
Rezi mengernyitkan dahinya, dia tak percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini. Dia berharap apa yang diperkirakan oleh Dokter tidak benar.
Tak berapa lama sang dokter mengeluarkan tes peck tersebut.
Rezi membulatkan matanya tak percaya saat melihat garis dua di alat tes peck tersebut.
Dia menatap tak percaya pada Diska, hatinya hancur seketika saat tahu Diska hamil.
Diska terlihat shock dengan apa yang dilihatnya saat ini, dia menggelengkan kepalanya tak percaya.
"Selamat, Nona. Anda positif hamil," ujar sang dokter.
Diska hanya diam, dia masih bingung harus berbuat apa.
"Baiklah, Dok. Kami pamit dulu, terima kasih," ujar Rezi setelah rasa shocknya hilang.
Rezi menarik tangan Diska untuk keluar dari klinik tersebut. Dia pun membawa Diska masuk ke dalam mobil.
"Apakah kamu bisa jelaskan ini semua?" tanya Rezi menahan hatinya yang bergemuruh.
Hatinya hancur berkeping-keping, selama ini dia selalu memendam cintanya terhadap Diska tapi kini dia mengetahui bahwa gadis yang selama ini dicintainya telah hamil, itu artinya Diska telah menyerahkan harta berharga dalam dirinya pada pria lain.
Bersambung...
Diska hanya bisa menunduk, dia menangis. Kenangan pertemuan terakhir mereka menyisakan benih di dalam rahim sang dokter muda.
Dia bingung harus menjelaskan apa pada Rezi, dia juga takut untuk memberitahukan hal ini pada kedua orang tuanya.
Kenangan indah bersama Rama menjadi penyesalan dalam hidupnya.
Flash back off.
Setelah selesai melaksanakan shalat subuh, Diska pun bersiap-siap untuk berangkat ke rumah sakit untuk bekerja.
Saat ini dia sudah bertugas di salah satu rumah sakit ternama di kota Bandung, selama Diska bertugas dia selalu membawa buah hatinya dengan seorang pengasuh yang menemani Farel selama dia bekerja nanti.
Diska sengaja membawa Farel ke mana pun dia pergi karena dia tidak ingin jauh dari putranya.
"Mbak, Farel masih tidur. Mbak siapin bekal dia aja, nanti biar aku yang mandiin dia," ujar Diska pada Mbak Yuyun, sang pengasuh yang selalu menjaga Farel.
Diska berpesan pada Mbak Yuyun saat dia hendak melangkah menuju ruang makan untuk sarapan bersama keluarganya.
"Oh, iya, Nona," ujar Mbak Yuyun.
Mbak Yuyun yang tadinya ingin memandikan Farel, akhirnya putar balik ke dapur untuk menyiapkan makanan bekal Farel selama di rumah sakit nanti.
"Pagi, Ma, Pa," sapa Diska pada kedua orang tuanya saat dia baru saja ikut bergabung dengan kedua orang tuanya di meja makan.
Pak Bayu dan Bu Naina hanya diam saat melihat putri mereka sudah berada di dalam ruangan yang sama dengan mereka.
Mereka menatap tajam pada putri satu-satunya itu, mereka masih belum bisa melupakan apa yang sudah dilakukan oleh Diska kemarin malam saat makan malam bersama kedua orang tua Rezi.
Diska merasa aneh dengan sikap kedua orang tuanya.
"Mama, Papa kenapa?" tanya Diska santai.
Dia sudah melupakan kejadian tadi malam.
"Apa? Kamu malah menanyakan kami ini kenapa?" tanya Pak Bayu pada putrinya menahan emosinya yang mulai memuncak.
Diska mengernyitkan dahinya, dia masih belum mengerti maksud kedua orang tuanya.
"Diska salah apa, Pa?" tanya Diska lagi pada sang papa.
"Salah kamu? Kamu menanyakan apa salahmu? Kamu tidak menyadari kesalahanmu?" ujar Pak Bayu dengan nada yang mulai meninggi.
Bu Naina memegangi pundak suaminya agar sang suami bisa mengontrol emosinya.
Diska pun diam setelah mendengar suara papanya yang mulai meninggi.
Dia memilih untuk mendengarkan apa yang akan dikatakan oleh pria paruh baya yang sudah membesarkan dirinya.
"Kamu sudah salah menolak lamaran Rezi!" Pak Bayu meluapkan emosinya.
"Kamu itu sudah berumur, sudah wajar kamu memikirkan untuk menikah. Sudah jelas-jelas Rezi mau menerima kamu apa adanya, kamu justru menolak lamarannya," ujar Pak Bayu lagi.
Diska kesal mendengar ucapan sang papa.
"Pa, saat ini aku tidak ingin menikah," ujar Diska tegas.
"Lalu? Sampai kapan kamu akan begini?" bentak Pak Bayu mulai emosi saat mendengar bahwa putrinya tidak ingin menikah.
"Aku akan seperti ini sampai aku bisa melupakan Rama," jawab Diska.
Diska pun tak bisa membendung rasa sakit yang harus dirasakannya.
"Rama lagi, Rama lagi. Dia itu hanya pemuda miskin yang bodoh!" bentak Pak Bayu tak bisa lagi menahan emosinya.
Dia mulai berdiri, lalu dia mengacungkan telunjuknya pada sang putri.
"Sampai kapan pun Papa tidak akan pernah mengizinkan kamu berhubungan lagi dengan pria kampungan itu," bentak Pak Bayu lagi.
Buliran bening kini mulai membasahi pipi mulus ibu satu anak itu, dia tidak tahan mendengar cacian dari papanya terhadap pria yang sangat dicintainya.
"Cukup, Pa. Sampai kapan pun aku tidak akan pernah menikah dengan siapa pun," ujar Diska.
Diska pun berdiri, dia hendak melangkah meninggalkan ruang makan.
Pak Bayu menarik tangan Diska.
"Rezi itu orang baik, dia berasal dari keluarga terpandang. Apa salahnya kamu menerima Rezi sebagai suamimu," ujar Pak Bayu lagi.
Dia mulai menurunkan nada suaranya.
"Pa, aku mohon jangan paksa aku," ujar Diska masih teguh hati mempertahankan cintanya pada Rama.
Plak.
Pak Bayu tak sanggup lagi menahan emosinya, akhirnya dia pun melayangkan tangannya dan menampar pipi putri satu-satunya yang sangat disayanginya.
"Papa!" pekik Naina histeris.
Diska merasakan panas di wajahnya, tapi keras hatinya membuat tamparan itu sama sekali tidak terasa sakit baginya.
Diska mengangkat wajahnya.
"Aku tidak percaya papa akan melakukan hal ini demi menuruti kemauan papa," lirih Diska.
Diska sangat kecewa dengan apa yang sudah dilakukan oleh papanya.
Diska berlari menuju kamarnya, dia mengusap air matanya yang sejak tadi terus mengalir begitu saja.
"Diska, berhenti!" bentak Pak Bayu lagi.
Namun, Diska mengabaikan panggilan papanya.
"Nona, kenapa?" tanya Mbak Yuyun saat berpapasan dengan Diska.
Diska hanya diam, lalu masuk ke dalam kamarnya.
Diska menatap sendu ke arah putranya. Lukanya yang selama ini dengan susah payah dihapusnya kembali terasa sakit.
"Bang, seandainya kita bisa hidup bersama kita pasti akan bahagia," lirih Diska.
Perlahan Diska menghapus air matanya yang terus saja mengucur deras.
Rasa sakit kehilangan pria yang sangat dicintainya terus menggerogoti hatinya.
"Nona," panggil Mbak Yuyun sambil mengetuk pintu kamar Diska.
"Iya, Mbak," sahut Diska dengan suara serak.
Mbak Yuyun membuka pintu kamar secara perlahan.
"Nona," lirih Mbak Yuyun.
Mbak Yuyun menghampiri Diska. Wanita yang sudah 2 tahun bekerja dengan Diska itu sangat mengerti bagaimana hati Diska saat ini.
Selain Rezi, hanya Mbak Yuyun yang mengetahui masalah dalam hidupnya.
"Ada apa, Nona?" tanya Mbak Yuyun pada Diska sambil mengajak Diska duduk di tempat tidur.
"Mbak, hiks," tangis Diska pecah.
Diska tak sanggup lagi menahan rasa sakit yang dijalaninya, selama ini dia terus tetap bertahan dan berusaha untuk kuat meskipun hatinya sangat rapuh.
Mbak Yuyun memeluk Diska dengan erat membiarkan majikannya itu untuk meluapkan rasa sesak di dadanya.
"Istighfar, Nona. Serahkan semuanya pada Allah. Hanya Allah yang bisa memberikan kekuatan pada kita di saat kita rapuh," nasehat Mbak Yuyun pada Diska.
"Mbak, hari ini kita tidak usah ke rumah sakit." Diska tidak mungkin pergi ke rumah sakit dengan kondisi hatinya yang tengah kacau.
"Ya sudah, kalau begitu. Lebih baik Nona menenangkan diri terlebih dahulu," ujar Mbak Yuyun.
"Mbak," lirih Diska lagi.
Tiba-tiba dia teringat sesuatu.
"Iya, Nona," ujar Mbak Yuyun.
"Mhm, kalau aku bawa Mbak Yuyun pergi berlibur. Mbak Yuyun mau, enggak?" tanya Diska pada pengasuh putranya.
"Liburan ke mana, Nona?" tanya Mbak Yuyun semangat.
"Mhm, tapi Mbak Yuyun jangan bilang siapa-siapa," ujar Diska meminta Mbak Yuyun merahasiakan rencananya.
"Siap, Nona." Mbak Yuyun setuju.
"Ya sudah, kalau gitu mbak Yuyun siapkan barang-barang Mbak Yuyun, kita akan pergi selama satu Minggu," ujar Diska.
"Kita berangkat sekarang?" tanya Mbak Yuyun tak percaya.
"Iya," lirih Diska mengangguk.
Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!