NovelToon NovelToon

PENDAKIAN TERAKHIR (EPS.1)

1. Kesepakatan

"Dia sudah kami kuasai, jadi bagaimanapun usaha kalian  menyelamatkannya, itu hanya sia-sia saja."

Suara itu menggema dengan penuh kepuasan melihat Aini yang datang kembali dengan sendirinya pada mereka, tanpa perlu mereka ambil kembali, Aini hanya berdiri mematung dengan tatapan kosong, dia sudah di kuasai sepenuhnya sehingga sekarang sudah seperti robot yg menjalankan apa saja perintah dari programernya.

"Malam ini semuanya harus sempurna, dan aku akan menjadi penguasa hahahaha..."

Tawanya kian pecah membayangkan dirinya sendiri menjadi seorang yang luar biasa setelah persekutuannya dengan iblis telah sempurna.

******

Randy Agusta Alfiano, remaja 19 tahun yang tercatat sebagai salah satu siswa pada SMK swasta disalah satu kota besar di Indonesia, hobinya selalu berhubungan dengan tantangan, hobi yang cukup banyak digemari kaum adam, namun yang paling disukainya adalah petualangan. Mendaki gunung adalah salah satunya, bukan hal baru bagi seorang Randy melakukan pendakian, dalam catatan pribadinya, dia sudah cukup berpengalaman melakukan pendakian bersama teman-teman dari komunitas para pendaki, walaupun gunung yang pernah ditaklukannya tak memiliki reputasi medan yang berbahaya, semuanya hanya gunung-gunung kecil yang masih berada dipulau Jawa. Untuk itu dia berencana untuk melakukan pendakian terakhir sebelum mereka semua menjalani hidup masing-masing, bersama dengan ketiga sahabatnya, yaitu Beni Febrian, Arie Bayu Segara dan Danu Runi Azka. Beni dan Arie tak kalah berpengalamannya dengan Randy karena memang telah beberapa kali melakukan pendakian bersama.

"Yes, akhirnya kita lulus bro."

Randy, Beni, Danu dan Ari bersorak di antara teman mereka yang juga lulus pada hari itu, setelah perjuangan mereka selama tiga tahun berseragam putih abu, tanpa gengsi dengan status mereka yang menganggap diri mereka adalah laki-laki sejati berpelukan layaknya anak kecil yang sedang menang undian dengan hadiah mewah, walaupun nilai mereka tak tergolong istimewa tapi mereka tetap bangga pada hasil yang mereka capai, karena menurut pemikiran mereka sekolah hanyalah tempat untuk mendapat ijazah, tanpa tantangan karena tantangan bagi seorang laki-laki adalah sebuah pendakian. Sebuah pemikiran konyol remaja namun sangat mereka junjung tinggi sebagai ideologi.

"Berarti kita jadi, kan?"

Tanya Beni pada yang lainnya, dan langsung di jawab serentak, walaupun bukan paduan suara tapi untuk urusan pendakian mereka menyuarakan satu suara yang sama.

"Jadi."

Sebelum ujian, bahkan jauh-jauh hari keempat orang sahabat ini sudah menyusun rencana yang sangat matang, setelah mereka lulus mereka berencana melakukan pendakian yang menurut mereka sangat menantang, padahal tak ada yang meminta mereka menantang pendakian tersebut, mereka sangat ingin sekali mendaki salah satu gunung tertinggi di indonesia, pada awalnya rencana mereka adalah menaklukan puncak tertinggi di Papua, namun karena berbagai macam pertimbangan yang pada akhirnya mereka mengurungkan niatnya dan mengalihkan pilihan mereka pada salah satu gunung tertinggi di Pulau Jawa, tapi lagi-lagi rencana mereka harus berubah dikarenakan Beni dan Danu berencana mengajak pasangan mereka masing-masing.

"Yah, gak asik loe bro, masa naik gunung bawa cewek segala."

Ujar Ari mengeluh tentang rencana Beni dan Danu yang menurutnya akan membebani mereka dalam perjalanan nanti.

"Ya habis gimana bro, kalo gak di ajak gua gak di izinin buat ikut kalian."

Ucap Beni beralasan, namun Beni berkata jujur dengan alasannya kali ini.

"Udah biarin aja Rie, yang penting cewek mereka ya tanggung jawab mereka, jangan nyusahin kita nanti."

Randy berusaha netral dan menengahi Arie dan Beni, dan membiarkan mereka membawa pasangan masing-masing dengan kesepakatan bahwa itu tanggung jawab masing-masing.

"Iya, gak akan repotin kalian ko."

Akhirnya merekapun sepakat untuk berangkat berenam, karena bertambahnya dua orang perempuan yang tak lain adalah kekasih Beni dan Danu.

"Terus tempatnya gimana nih? Ke gunung yang deket aja gimana?"

Tanya Danu seraya memberi kode pada yang lainnya tentang gunung yang ia maksud.

"Anjir, horor bro, bahaya." Ari berusaha menolak usul tersebut, karena gunung yang Danu maksud menurut informasi yang beredar terkenal angker dan memang memiliki jalur pendakian yang berbahaya, serta sebagai informasi tambahan pendakian pada gunung tersebut telah beberapa kali memakan korban.

"Ah cemen loe, itu cuma mitos bro, legenda aja, yang penting kita hati-hati aja."

Balas Beni dengan sifat sedikit sombongnya.

Setelah perdebatan kecil, akhirnya Arie harus mengalah karena Beni, Randy dan Danu sepakat bahwa mereka akan mendaki gunung tersebut, jadi mau tak mau Arie setuju dengan hasil dari pilihan suara terbanyak.

Gunung yang akan mereka tuju adalah gunung yang berada di antara dua kabupaten, yaitu Kuningan dan Majalengka, dengan ketinggian lebih dari 3.000 meter di atas permukaan laut, gunung ini adalah gunung tertinggi di provinsi Jawa Barat.

Untuk itulah keempat sahabat ini memutuskan untuk mendaki gunung tersebut, karena kalaupun mereka tak mampu menaklukkan gunung Jaya Wijaya (gunung tertinggi di indonesia) serta Semeru (gunung tertinggi di Pulau Jawa) setidaknya mereka pernah menaklukan gunung tertinggi di Jawab Barat tersebut, sebuah ambisi yang masuk akal bagi para pendaki, namun mereka tak sadar bahwa gunung yang akan mereka tuju di huni berbagai mahluk menyeramkan, walaupun sebenarnya iblis yang berbahaya itu terlihat nyata dan bisa saja ada di sekitar mereka, siapkah mereka menghadapi ke angkeran pada pendakian terakhir mereka?

2. Keberangkatan

Setelah semua keperluan beres seperti kesepakatan sebelumnya, hari ini mereka berkumpul ditempat yang telah ditententukan yaitu di sebuah terminal bus. Beni dan Anita, Danu dan Aini, kemudian Randy yang juga terlihat datang telah menunggu di terminal bus tersebut sesuai dengan rencana, hanya tinggal Arie seorang yang sampai waktu keberangkatan bus hampir tiba pun belum terlihat batang hidungnya.

"Sorry sorry, gua telat."

Arie datang dengan terengah-engah setelah sebelumnya berlari sekuat tenaga berusaha sampai tepat waktu untuk datang, walaupun sebenarnya dia sudah terlambat dari waktu yang telah mereka sepakati sebelumnya.

"Dari mana aja sih loe? Dandan dulu?" Beni dengan nada kesalnya langsung memarahi Arie yang membuatnya semakin merasa bersalah.

"Udah, sekarang kita langsung ke mobil aja, keburu busnya berangkat."

Randy menengahi, bukan karena membela tapi lebih kepada bus yang akan mereka naiki memang sebentar lagi akan berangkat sesuai dengan jadwal keberangkatannya. Mereka pun bergegas menuju ke mobil bus jurusan kota yang akan mereka tuju.

Dalam perjalanan mereka lebih banyak beristirahat agar ketika mereka sampai di kota yang menjadi tujuan, mereka bisa beristirahat sejenak lalu bisa langsung melakukan pendakian di malam hari sesuai dengan rencana yang telah mereka susun sebelumnya.

Dalam perjalanan yang memakan waktu lebih dari setengah hari itu, semuanya lebih banyak diam dan memaksakan diri untuk terlelap agar lebih menghemat tenaga, dengan bantuan AC dalam mobil dan kondisi yang cukup nyaman akhirnya mereka bisa terlelap, hanya Beni dan Danu saja yang masih tetap terjaga dengan pasangan masing-masing bersandar dengan lelap dibahu mereka.

Cuaca cerah pada hari itu sepertinya akan memudahkan mereka melakukan pendakian di malam hari, dipertengahan tahun seperti ini memang intensitas hujan sudah tak terlalu tinggi namun mereka semua selalu membawa jaket khusus untuk pendakian yang melindungi mereka dari dingin serta hujan atau sekedar jas hujan untuk berjaga-jaga ketika kondisi sudah tak memungkinkan.

Setelah lebih dari 8 jam dalam perjalanan, akhirnya mereka sampai pada terminal kota yang menjadi tujuan, perjalanan memakan waktu lebih lama dari yang diperkirakan sebelumnya karena bus sempat terjebak macet pada jalur tol akibat kecelakaan beruntun sehingga memaksa sebagian ruas jalan harus ditutup oleh pihak keamanan

"Akhirnya, sampai juga, pegel pinggang gua kelamaan di mobil."

Danu yang baru saja turun dari bus meluruskan pinggangnya yang terasa kaku, dia turun lebih dulu bersama Anita melalui pintu belakang yang lebih dekat dari tempat duduk Danu dan Aini, yang kemudian di susul Beni serta Anita, lalu Randy dan yang terakhir Arie. berbeda dari yang lainnya yang antusias dan bersemangat serta tak sabar melakukan pendakian terakhir mereka, Arie justru terlihat murung dan lebih banyak diam, seperti sedang memikirkan sesuatu. Untuk sesaat matanya memperhatikan yang lain dengan seksama, dan butuh sepersekian detik untuk berpaling ketika dia menatap Aini.

"Kenapa loe?" tanya Randy melihat Arie yang dirasa tak seperti biasa.

"Gak kenapa-kenapa." Balas Arie dingin dan datar.

"Mereka gak usah di fikirin, sekarang nikmatin aja pendakian bersama kita yang terakhir."

Randy berusaha menenangkan Arie agar bisa fokus selama mendaki dan tak terjadi sesuatu yang tak diinginkan, konsentrasi ketika mendaki sangatlah penting, mendaki tak cukup hanya dengan tenaga tapi juga membutuhkan konsentrasi.

Dari terminal, perjalanan dilanjutkan kembali dengan menggunakan kendaraan umum yang melewati tempat yang mereka tuju, yaitu pos pendaftaran pendakian, jarak dari terminal ketempat itu tak terlalu jauh, hanya membutuhkan waktu tempuh sekitar setengah jam perjalanan saja.

Begitu tiba mereka langsung menuju pos pendaftaran pendakian dan mendaftarkan diri mereka lengkap dengan foto copy identitas yang sudah mereka siapkan, identitas mereka diperlukan agar ketika terjadi sesuatu yang tak diinginkan setidaknya ada petunjuk tentang mereka, kemudian mereka juga harus menentukan lamanya pendakian yang akan mereka lakukan, agar ketika mereka tak kembali dalam waktu yang telah mereka tentukan sendiri, maka tim SAR akan segera mencari mereka.

Setelah selesai dengan administrasi dan telah mendapat izin untuk mendaki, mereka di sarankan untuk menemui juru kunci gunung ini terlebih dulu untuk berkonsultasi agar mereka bisa pergi dan pulang dengan selamat. Dari pos pendaftaran, letak rumah juru kunci itu tak begitu jauh, hanya sekitar 500 meter saja dan tentunya cukup hanya dengan berjalan kaki untuk sampai ke sana.

"Ini rumahnya?"

Arie menatap rumah kecil nan kumuh dihadapannya, dia merasa tak percaya tentang apa yang dibicarakan oleh orang di pos pendaftaran tadi, namun faktanya rumah dihadapan mereka adalah rumah yang mereka cari.

"Kayaknya sih gitu, kalau sesuai petunjuk, ya emang ini tempatnya."

Tanpa menunggu persetujuan yang lainnya, Randy melangkah maju.

Tok tok tok.

Randy mengetuk pintu yang terlihat telah begitu rapuh itu dengan berhati-hati.

"Permisi."

Beberapa kali mereka berusaha mengetuk pintu dan memanggil pemilik rumah namun sepertinya sang pemilik rumah sedang tak ada di tempat, atau mungkin rumah itu memang tak ada penghuninya.

Setelah mereka kira tak ada orang didalam rumah itu karena telah beberapa kali pintu rumah diketuk namun masih tak ada jawaban, akhirnya pintu itu terbuka dengan sendirinya dan menampakkan sesosok pria tua kurus berjanggut putih serta kumis dengan warna senada menyapa mereka.

"Cari siapa?"

Suara serak dan berat dengan intonasi datar membuat Randy dan yang lainnya sungkan. Merasa tak mendapat respon dari Randy dan yang lainnya, kakek itu mengulangi pertanyaannya.

"Ada perlu apa?"

"Begini mbah, saya dan teman-teman saya ini mau minta izin."

Ucap Randy dengan sopan, tapi kakek tua tersebut tak bereaksi, dia menatap dan mengamati mereka satu persatu dengan tatapan tajam, kemudian menghembuskan nafas panjang.

"Silahkan masuk."

Mereka berenam akhirnya dipersilahkan masuk dan duduk diatas tikar kusam yang memang dipersiapkan untuk tamu yang datang, tak ada air minum apapun yang tersaji untuk mereka disana, apalagi jamuan mewah.

"Kalian mau ke gunung itu?"

Tanpa basa basi mbah kuncen langsung menanyakan hal itu, dia sudah terbiasa bertemu dengan orang-orang seperti Randy dan yg lainnya.

"Iya mbah, kami kesini mau..."

Belum selesai Randy dengan kata-katanya, Mbah Kuncen sudah memotong pembicaraannya terlebih dulu.

"Kalau kalian mau pergi ke puncak gunung itu silahkan, tapi ingat, kalian harus hati-hati."

Ucap mbah kuncen seraya pandangannya menatap tajam Arie yang sejak awal kedatangannya sudah merasa tak nyaman serta ketakutan, entah apa salahnya sehingga juru kunci itu seperti membencinya.

"ya Mbah, mereka akan hati-hati dan izin pada penunggu gunung ini."

Randy berusaha meyakinkan juru kunci tersebut, namun juru kunci tersebut justru tertawa sinis mendengar ucapan Randy barusan.

"hahahahaha yang perlu kalian takuti bukan saja mengenai penghuni ghaib gunung ini, namun semua yang ada di sekitar kalian, karena ketika kalian memasuki hutan di gunung tersebut, itu berarti semua berubah menjadi berbahaya, termasuk diri kalian sendiri, karena iblis dalam hati manusia lebih berbahaya daripada setan yang tampak nyata."

Perkataan MbahKuncen semakin membuat Arie beringsut, apalagi kali ini tatapan tajamnya semakin menyeramkan.

Setelah mendapat izin dari juru kunci, mereka segera pergi dari tempat itu. Arie kini bisa bernafas lega setelah dirumah juru kunci tadi seolah-olah dia merasa diintimidasi.

"Gila tuh kuncen, bukannya kita di kasih bekal apa kek, ini malah kita di takut-takutinin."

Ujar Beni dengan kesal.

"Udah, yang penting kita udah izin, terus kita harus hati-hati aja, jangan ngomong sembarangan selama kita di sini."

Randy selalu bersikap tenang, seolah cerita juru kunci tadi hanya sebuah cerita saja, walaupun dalam benaknya selalu terbayang kalimat terakhir dari juru kunci itu.

"Rie, lo gak apa-apa?"

Tanya Danu yang melihat Arie semakin pucat sejak keluar dari rumah juru kunci tadi.

"gua gak apa-apa."

Balas Arie singkat seraya menundukan wajahnya yang semakin muram.

Setelah itu mereka berhenti sejenak untuk memeriksa barang bawaan mereka kembali, agar kalau sampai ada yang tertinggal bisa mencari di daerah ini terlebih dulu. Setelah selesai dan sudah pasti tak ada yang tertinggal termasuk perbekalan makanan, mereka pun berangkat menuju pos pertama.

"Sebelum kita berangkat, alangkah lebih baik kita berdo'a bersama lebih dulu, agar kita selalu mendapatkan perlindungan dari yang maha kuasa."

Randy bertindak sebagai seorang pemimpin walaupun sebenarnya tak ada yang memintanya, namun yang lain pun sepertinya sepakat walau tanpa memberikan suara, karena dalam kegiatan ini memang harus ada yang bertindak sebagai pemimpin yang mampu menuntun dan menengahi mereka.

3. Peringatan.

Setelah selesai berdo'a dan mengecek perlengkapan yang mereka bawa, tepat jam empat sore mereka memulai pendakian menuju posko pertama. Randy berjalan paling depan sementara Beni dan Anita berada di belakangnya, kemudian Danu dan Aini setelah itu Arie berjalan paling terakhir.

Perjalanan baru saja dimulai namun keheningan sudah tercipta sejak tadi, sesuatu yang tak biasa untuk perjalanan kali ini. Jalan setapak yang tak terlalu rimbun oleh semak-semak disamping kiri dan kanan serta medan yang belum terlalu menanjak, membuat mereka bisa melewatinya dengan cukup cepat.

Namun baru menempuh jarak sekitar beberapa ratus meter dari titik awal pendakian, Arie yang berjalan paling belakang sudah meminta beristirahat, nafasnya terengah-engah bahkan wajahnya mulai pucat.

"Bro, berhenti dulu ya, gua capek, nafas gua habis."

Arie sedikit berteriak memanggil mereka yang berjalan didepan, mereka sudah berjalan cukup jauh meninggalkannya namun beruntung mereka masih bisa mendengarkan teriakan Arie. Ia duduk meluruskan kaki bersandar pada pohon besar dibelakangnya seraya memasukan sebanyak-banyaknya oksigen pada paru-paru yang sepertinya sedang tak mendukung kegiatan Arie saat ini.

"yaelah bro,baru bentar doang juga, masa kalah sama cewek."

Ucap Danu dengan nada sinis meledek namun Arie tak menanggapinya, dia sudah terbiasa dengan kata-kata mutiara yang sering diucapkan oleh teman-temannya sendiri.

"iya nih, masa kalah sama kita-kita."

Timpal Aini, dengan nada dan senyum yang berbeda namun hasil yang tetap sama, sama-sama menyakitkan.

"Ya udah, kita istirahat dulu aja, lima menit, kayanya posko pertama juga udah deket, mungkin gak nyampe setengah jaman lagi."

Randy selalu menengahi mereka, kemampuanya dalam mengendalikan situasi sangat berguna disaat kondisi seperti itu, dan mereka pun sepertinya tak masalah ketika Randy memposisikan dirinya sebagai leader untuk mengatur mereka, semua demi kelancaran selama pendakian.

Lima menit bukanlah waktu yang lama namun cukup untuk memulihkan sedikit tenaga, setelah beristirahat kembali mereka melanjutkan perjalanan menuju pos pertama yang menurut perkiraan jaraknya sudah tak begitu jauh. Hari sudah semakin gelap namun pos pertama masih belum juga terlihat, padahal kalau sesuai dengan peta petunjuk yang di berikan oleh orang yang di posko pendaftaran tadi seharusnya memang sudah sampai, namun tak berapa lama akhirnya merekapun tiba di pos pertama, Arie yang sudah kelelahan sejak tadi langsung menjatuhkan keril dan semua barang bawaannya kemudian merebahkan diri di atas sebidang tanah berrumput yang berada disamping pos pertama seraya kembali memasukan oksigen sebanyak-banyaknya.

"Baru segitu aja udah tepar lo Rie, ini masih jauh loh."

Beni duduk disamping Arie yang sedang menikmati istirahatnya, dia tak peduli dengan ocehan orang-orang yang mengejeknya, termasuk Beni.

"Sory bro, kayanya gua lagi gak fit."

Arie menanggapi ucapan Beni dengan santai dan dalam posisi yang juga terlihat santai

"Kita istirahat disini cuma satu jam, jadi kayanya gak perlu bikin tenda, cukup bikin api aja buat masak, siapa yang mau nyari kayu atau ranting?"

Randy memberi kode, namun sayang yang lainnya sepertinya tak berniat mengajukan diri, tak ada satupun dari mereka yang menanggapi, jadi dengan terpaksa Randy akan berangkat seorang diri.

"Ok, kalo gak ada, gua yang nyari kayu bakar, kalian tunggu disini."

Dengan sebilah golok yang dibawanya, Randy akan berangkat seorang diri tanpa ada rasa takut tentang apa yang ada dibalik kegelapan hutan yang mungkin bisa saja setiap saat membunuhnya.

"Eh Ran, tunggu, gua ikut."

Beni pada akhirnya bersedia menemani Randy mencari kayu bakar, karena dia fikir tak enak membiarkan Randy mencari kayu bakar sendirian.

"Bentar, gua juga."

Yang kemudin disusul oleh Danu yang sedikit berlari menyusul mereka berdua.

"Ko pada pergi sih? kita sama siapa?"

Aini protes, ditempat yang sebentar lagi akan mulai gelap, dia tak mau ditinggal dengan orang yang saat ini tak bisa diandalkan.

"Kan ada Arie sama Anita, udah ya tunggu di sini aja, sambil nyiapin bahan makanan, biar kalo kita balik bisa tinggal langsung masak."

Aini tak menimpali ucapan Danu, dia sudah berjalan jauh menyusul Randy dan Beni meninggalkan Aini dan yang lainnya disamping pos pertama

Hari sudah mulai gelap hingga Arie, Anita dan Aini tak mampu saling melihat satu sama lain dengan jelas, suasana kini tak lagi hening seiring nyanyian hewan malam yang mulai nyaring, senter kecil yang Arie bawa tak mampu menerangi mereka bertiga di pos itu. Anita dan Aini sibuk menyiapkan bahan masakan untuk makan malam ini, beberapa butir telur dan bumbu-bumbunya, serta beras untuk memasak nasi.

Krek...krek.

Bunyi semak-semak yang terinjak sesuatu tepat dibelakang Arie entah itu hewan atau yang lainnya membuat mereka sedikit merinding, karena bagaimana tidak, di hutan angker di kaki gunung ini apapun bisa saja ada dan terjadi, mereka saling pandang satu sama lain dengan nafas tertahan, menahan ketakutan yang menyerang, lalu tanpa aba-aba, seekor musang berlari di depan mereka, membuat mereka tersentak kaget namun lega karena yang mereka lihat hanya seekor musang, tanpa mereka sadari sepasang mata berwarna merah memandang mereka dengan tajam, mengawasi semua gerak gerik mereka saat ini.

"Sial, hewan sialan, gak tau orang lagi takut apa."

Arie mengumpat, tubuhnya kini terasa lemas setelah tadi sempat menegang menahan takut.

"Mereka lama banget sih."

Aini sudah mulai gusar setelah kejadian tadi, perasaannya mulai tak enak.

"Bentar lagi mereka dateng ko."

Anita berusaha menenangkan Aini walaupun dia sendiri tak yakin dengan ucapannya. Namun tak berapa lama, Randy, Beni dan Danu pun telah kembali dengan membawa kayu dan ranting yang tak terlalu banyak namun dirasa cukup untuk sekedar menemani mereka selama berada di pos pertama itu.

"Kalian lama bener sih? Nyari ranting apa tidur?"

Tanya Arie dengan ketus karena dia merasa ketakutan setelah kejadian tadi, perasaannya pun mulai tak enak setelah adanya kejadian itu.

"Tadi kita nyari kayunya aga jauh, lumayan susah nyarinya. Udah sekarang kita langsung masak aja, biar cepet ngelanjutin perjalanan lagi."

Randy mulai menumpuk kayu dan ranting yang telah mereka dapatkan tadi, dibantu oleh Danu, sedangkan Beni sejak baru kembali dari mencari kayu bakar, dia hanya diam saja tak sekalipun bicara, bahkan dia pun duduk sedikit menjauhi mereka.

"Ran, si Beni kenapa tuh? Kayak aga aneh."

Randy menoleh, namun dia masih berfikir positif setelah sejenak mengamati Beni duduk dengan posisi tertunduk.

"Mungkin dia kecapean kali, biarin aja, biar dia istirahat dulu."

Tak ingin berdebat, dalam hatinya Danu membenarkan apa yang Randy katakan, mungkin dia memang sedang kelelahan. Sampai akhirnya mereka dikejutkan dengan sesuatu yang tak mereka duga.

"Ggggrrrrrmmmmmhhhhhhh."

Randy dan Danu saling pandang sebelum akhirnya mereka secara bersamaan menoleh kearah suara geraman itu berasal, yaitu dari arah dimana Beni berada. Beni langsung mengamuk tak terkendali membuat Aini, Anita dan Arie beringsut ketakutan, sementara Randy dan Danu dengan sigap mennangkap dan mengunci gerakan Beni yang sepertinya telah dirasuki.

"Kalian harus pergi, jangan ganggu mereka."

Benie berusaha melawan dan meronta dengan nada suara yang berbeda, dan jelas sekali bahwa itu bukan suara dari Beni.

"Kami datang kesini tak bermaksud mengganggu, kami hanya numpang beberapa hari saja."

Beni yang kesurupan tak menanggapi ucapan Randy, justru dengan sekuat tenaga dia melepaskan diri dari kuncian Danu dan Randy hingga mereka berdua terpental, lalu dengan sekejap menyerang Arie dan berusaha mencekiknya, Arie tak mampu menghindar dari serangan tak terduga itu, lehernya langsung berada dalam genggaman kedua tangan Beni, Aini dan Anita menjerit histeris melihat Arie yang dicekik tanpa bisa melakukan perlawanan, namun itu tak berlangsung lama karena Randy dan Danu berhasil melepaskan cekikan Beni dari leher Arie dan kembali mengunci gerakannya.

"Hahahaha, kalau kalian melanjutkannya kalian akan mati."

Tubuh Beni ambruk bersamaan dengan hilangnya kesadarannya. Melihat itu Randy dan Danu langsung mengangkatnya ketempat yang lebih datar dan dekat dengan api unggun.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!