Selamat membaca!
"Di mana ini? Apa yang aku lakukan? Ke mana semua pakaianku?"
Wanita bernama Zoya itu pun mulai meremas dengan erat selimut putih yang ada di atas ranjang. Menutupi tubuh polosnya yang sudah tak lagi mengenakan pakaian. Tak bisa dipungkiri, hatinya begitu hancur ketika membuka mata ia sudah tak lagi mengenakan pakaian. Belum lagi, rasa sakit pada bagian intimnya. Membuat gadis berusia 22 tahun itu tahu bahwa saat ini ia sudah tak lagi suci.
"Sebenarnya apa yang terjadi? Yang aku ingat, semalam aku sangat mabuk. Terus ...." Zoya tak sanggup melanjutkan perkataannya. Gadis cantik itu tampak meremas rambutnya dengan mata yang mulai basah. "Aku benar-benar tidak ingat apa pun lagi." Sambil mengusap air mata di kedua pipinya secara bergantian, Zoya masih terus mengingat apa yang terjadi saat di Club, tempat di mana ia berada semalam.
Di saat ingatan dalam pikirannya tidak mampu melawan ketidaktahuannya, tiba-tiba suara langkah kaki terdengar dari arah sisi kirinya.
"Siapa itu?" Zoya mulai menajamkan kedua mata. Melihat seorang pria berjalan mendekatinya.
Zoya merasa semakin kesal karena tidak bisa mengingat akan sosok pria yang berada satu kamar dengannya saat ini. Terlebih ketika pertanyaannya sama sekali tak digubris oleh pria itu. Pria yang hanya mengenakan lilitan handuk putih pada pinggangnya. Membuat bulu tipis pada dada bidang pria itu tampak jelas di mata Zoya.
"Hai, kenapa kamu hanya diam dan tak menjawab pertanyaanku?" Suara Zoya meninggi. Amarah mulai merasuki pikirannya. Belum lagi saat ini ia tahu jika kehormatannya mungkin saja sudah tak lagi ia miliki.
Tanpa menjawab, pria itu tampak meraih pakaian formalnya yang tergeletak di atas lantai. Sebuah kemeja berwarna biru tua mulai dikenakannya tanpa memedulikan pertanyaan yang kembali didengarnya.
"Apa yang kamu lakukan padaku?" tanya Zoya kembali dengan suara yang dua kali lebih lantang dari sebelumnya. Menahan kesedihan sambil coba menguatkan diri dalam situasi saat ini.
"Menurutmu apa yang kita lakukan?" Pria itu mulai melirik. Menghentikan gerakan tangannya yang sejak tadi sibuk mengancing kemeja.
"Jadi kita telah melakukan itu?" Zoya tersentak. Dugaannya sejak tadi kini semakin mendekati kenyataan.
"Dua orang yang sangat mabuk di kamar hotel, apa kamu pikir dia hanya akan tidur saja tanpa melakukan apa-apa?" jawab pria itu dengan santai tanpa memikirkan Zoya yang sejak tadi sudah menangis dengan wajah memerah karena menahan amarah.
Mendengar jawaban itu, Zoya pun bangkit sambil terus menggenggam selimut putih yang sejak tadi menutupi tubuhnya. "Kurang ajar! Apa kamu tidak tahu jika aku sudah menjaga kesucianku ini sejak dulu? Tapi kamu malah seenaknya menikmati tubuhku di saat aku sedang mabuk dan tidak berdaya. Pria macam apa kamu ini? Memanfaatkan kesempatan, padahal seharusnya kamu menolongku!" Dengan sekuat tenaga, Zoya mengarahkan tangannya untuk menampar wajah pria itu. Namun tanpa diduga, pria tersebut berhasil menahannya.
"Jauhkan tanganmu dari wajahku!" Pria itu mencengkram erat tangan Zoya. Menghempaskannya dengan kasar hingga membuat tubuh wanita itu jatuh ke atas ranjang.
"Aku benar-benar tidak rela kamu melakukan ini padaku!" Zoya hanya bisa menangis. Meratapi penyesalan yang menyesakkan dadanya. Ingin rasanya dia memukul pria itu. Namun sayangnya, Zoya tak kuasa melakukan itu. Rasa pedih benar-benar melemahkannya.
"Jangan terlalu menyesali apa yang kamu lakukan! Saya akan memberikan harga yang pantas untukmu. Anggap saja saya membeli kesucianmu!"
"Kamu pikir semua masalah ini akan selesai dengan uang! Aku pasti akan melaporkan apa yang kamu perbuat pada pihak berwajib! Aku tidak akan pernah melepaskanmu! Pria brengsek sepertimu harus mendekam di balik penjara!" kecam Zoya coba menguatkan diri karena ia mulai sadar untuk tidak lemah menghadapi pria yang baru saja dikenalnya. Seorang pria yang telah menodai dan merenggut kesuciannya.
Mendengar ancaman Zoya, pria itu mulai terkekeh. "Coba saja kalau kamu bisa. Mungkin kamu tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa sampai bisa memiliki niat seperti itu? Apa kamu tidak pernah mendengar nama Lucas Dekawistara?" Sambil mengangkat sebelah alisnya, raut wajah Lucas benar-benar terlihat menyebalkan di mata Zoya.
"Aku tidak peduli siapa kamu sebenarnya? Aku tidak takut denganmu! Sama sekali tidak takut!" Zoya kembali bangkit. Berdiri, lalu mendekati Lucas dengan amarah yang kian memuncak.
"Tahan emosimu, Nona! Saya pikir nominal ini pantas untuk membuatmu lupa tentang semua kejadian ini! Coba kamu lihat!" Lucas memberikan sebuah cek setelah menuliskan sejumlah nominal uang di sana.
Melihat cek itu, Zoya seketika teringat akan masalahnya. Langkahnya seketika terhenti tepat di hadapan Lucas yang sudah rapi mengenakan seluruh pakaian.
"Ya Tuhan, apa ini adalah jalan darimu agar aku bisa membawa ibuku lepas dari laki-laki brengsek itu?" gumam Zoya teringat akan alasan kenapa dirinya bisa datang ke sebuah Club hingga mabuk-mabukan di sana.
"Aku tidak punya waktu menunggumu berpikir, ambil cek ini dan lupakan semua yang terjadi semalam! Jalani hidupmu dengan bahagia dan anggap aku tidak pernah ada, oke!" Lucas meletakkan selembar cek di atas meja, lalu mulai melangkah menuju pintu kamar. Meninggalkan Zoya yang masih termangu tanpa dapat mengatakan hal apa pun.
Begitu Lucas keluar, pintu kamar kembali tertutup. Di saat itulah, Zoya mulai sadar dari lamunannya. "Apa ini memang jalan hidupku?" Zoya melangkah perlahan. Pandangannya masih terus menatap selembar cek yang ada di atas meja.
"Maafkan aku, Mah. Maaf karena aku telah melepas pria itu hanya demi uang ini, tapi aku rasa, ini adalah satu-satunya cara agar aku bisa membawamu lepas dari Jonathan. Aku tidak ingin melihat kamu terus disiksa, aku tidak mau kita bergantung hidup dengan pria yang tidak pernah bisa membawa kebahagiaan untukmu." Zoya mengambil cek itu. Menggenggam lembaran itu dengan erat sambil terus memandangi nominal yang tertulis pada kertas itu. Sejumlah uang yang pasti bisa menghidupi ibunya sekalipun lepas dari Jonathan, ayah tirinya.
Setelah memandangi lembaran cek di tangannya selama beberapa detik, Zoya kembali melangkah mendekati ranjang. Seluruh tubuhnya masih terasa sakit, hatinya pun begitu hancur dengan semua yang terjadi. Namun, Zoya tak punya pilihan selain menerimanya.
"Mama tidak perlu tahu dari mana uang ini aku dapatkan. Setidaknya mulai hari ini, aku tidak akan lagi melihat Mama mendapatkan perlakuan kasar dari Jonathan. Aku bisa hidup bahagia hanya berdua dengan Mama," ucap Zoya sambil menghempaskan tubuhnya dengan duduk di tepi ranjang. Air matanya mulai menetes jatuh bergantian hingga ke pangkuan. Menandakan rasa sakit yang teramat dalam kini tengah dirasakannya.
Bersambung ✍️
Selamat membaca!
Lucas terlihat baru saja tiba di rumah mewahnya, kedatangan pria itu sudah ditunggu sejak tadi oleh asisten pribadinya.
"Tuan, Anda sudah ditunggu oleh tuan besar," ucap Alden begitu Lucas keluar dari mobil mewahnya.
"Pasti yang ingin dibicarakan masalah perjodohan konyol itu. Dia benar-benar tidak mengerti apa yang aku katakan sejak kemarin."
"Bukan hanya itu, Tuan. Kali ini tuan besar juga memberikan ultimatum."
Lucas tercekat. Namun, pria itu tidak gentar menghadapi ancaman sang ayah yang memang sudah terbiasa memaksa apa pun yang tidak ia kehendaki. "Memangnya si tua itu mengancam apalagi?" Lucas mengerutkan keningnya. Menanti jawaban Alden sambil terus melangkah di mana sang asisten terus mengiringinya.
"Sebaiknya Anda mendengarnya langsung dari tuan besar, beliau sudah menunggu Anda bersama Nyonya Belinda."
"Baiklah, Alden. Sepertinya ancamannya kali ini benar-benar serius sampai kamu tidak mau mengatakannya langsung padaku." Lucas semakin mempercepat langkah kakinya setelah memasuki pintu rumah. Tujuannya adalah ruang makan, tempat di mana orang tuanya sudah menunggunya.
Setibanya di sana, Lucas langsung disambut dengan sindiran. "Pagi yang cerah ya, Lucas. Kira-kira wanita mana lagi yang telah kamu tiduri semalam?"
Lucas sedikit terkejut. Namun, keterkejutan itu tak diperlihatkannya. "Bicara apa kau, Dad? Semalaman itu aku mempelajari banyak proposal kerjasama di kantor. Sampai akhirnya, aku lelah dan tertidur di ruang pribadiku."
Mendengar jawaban putranya, Edward seketika terkekeh. Baginya sangat lucu karena Lucas masih mengelak, padahal semua informasi itu telah ia dapatkan dari Alden yang semalam menemani putranya itu ke Club. "Kamu masih saja berbohong. Coba tanya asistenmu itu?"
Lucas seketika menoleh. Menatap Alden dengan sorot mata yang menajam.
"Kurang ajar kau, Alden. Aku sudah bilang jangan katakan tentang hal ini pada Daddy."
Tentu saja hal itu tak dikatakan secara langsung oleh Lucas. Namun, Alden dapat melihat jelas bahwa saat ini Lucas benar-benar marah padanya.
"Ya Tuhan, kira-kira hukuman apa yang nanti akan aku terima di kantor?" gumam Alden mulai merasa ciut setelah melihat tatapan Lucas yang begitu tajam.
"Daddy semakin tidak mengerti denganmu Lucas. Ke mana arah hidup kamu ke depannya? Kamu itu sering sekali tidak fokus dalam bekerja. Bahkan bukan hanya itu saja, beberapa media sering menangkap kamu sedang bersama wanita dan lebih parahnya, bukan hanya satu wanita yang dimuat media itu, tapi berbeda-beda."
Melihat kemarahan suaminya, Belinda coba menenangkan. "Sayang, tenang dulu! Kita bisa bicarakan semua ini baik-baik. Lucas pasti akan mengerti dengan keinginan kita."
"Ini karena kamu selalu memanjakannya. Lucas itu sudah dewasa, aku hanya tidak ingin nantinya dia sampai menghamili wanita yang bisa merusak nama baik keluarga kita. Jadi mulai sekarang, jangan pernah membelanya lagi!" Edward sedikit lebih tegas. Namun, ia tak sampai membentak Belinda. Bagi Edward, istrinya itu adalah wanita yang sangat berharga bahkan lebih ia utamakan dari urusan apa pun.
"Sudah, Dad. Jangan berkata seperti itu pada Mommy," timpal Lucas memotong pembicaraan orang tuanya.
"Apa kamu tidak sadar jika ini semua karena sifat kamu yang keras kepala?"
Mendengar pertanyaan lantang dari suaminya, Belinda pun hanya diam menatap Lucas yang saat ini tampak semakin masam wajahnya.
"Aku bosan, Dad. Kenapa selalu tentang perjodohan terus? Aku sudah katakan kalau aku bisa sendiri mencari wanita untuk menjadi istriku. Jadi kau tidak perlu repot-repot memilihkannya." Lucas menunjukkan wajah tegas menolak rencana sang ayah. Menunjukkan bahwa pria itu benar-benar tidak suka dengan hal tersebut.
Mendengar pembelaan Lucas, Edward pun seketika terkekeh. "Bagaimana aku tidak was-was? Putraku setiap malam selalu menghabiskan waktu bersama wanita-wanita malam yang tidak jelas asal-usulnya."
Lucas mengedikkan kedua bahunya dengan kedua tangan yang menengadah. "Ayolah, Dad! Apa kau tidak pernah muda dulu?"
"Aku pernah muda, tapi tidak sepertimu. Kau boleh tanyakan pada ibumu, bagaimana kesetiaanku selama 7 tahun padanya sebelum keluarganya setuju aku menikahinya."
Belinda pun tersenyum sambil mengusap punggung tangan suaminya untuk meredakan amarah yang tengah menguasai pria paruh baya itu. "Sabar, sayang. Kita pelan-pelan bicarakan ini ya!" Setelah melihat senyum simpul di wajah Edward, pandangan Belinda pun mulai beralih menatap putranya. "Apa yang dikatakan Daddy memang benar, seharusnya kamu bisa mencontoh Daddy kamu, Lucas. Sekarang begini saja, kalau benar kamu bisa memilih sendiri wanita untuk menjadi istri kamu. Maka kami akan memberikan kebebasan itu."
"Tapi ada jangka waktunya. Hanya satu bulan. Daddy rasa itu cukup untuk kamu memilih wanita yang sederajat dengan kami," timpal Edward dengan tegas, menambahkan perkataan istrinya hingga membuat Lucas tercekat kaget.
"Ayolah, Dad! Satu bulan itu waktu yang sangat singkat. Ini masalah memilih pasangan hidup, kenapa kau memberikan waktu hanya satu bulan? Jangan kau samakan dengan membeli rumah yang bisa lebih mudah kau pilih," protes Lucas begitu mendengar perkataan ayahnya tentang waktu yang dinilainya terlalu singkat.
"Kalau kau tidak bisa, itu artinya kau harus mengikuti keinginan kami untuk menikah dengan Flora. Dia wanita cantik, lulusan Oxford, dan sekarang sudah menjadi CEO di perusahaannya. Daddy rasa dia pantas untuk menjadi menantu dari seorang Edward Snowden. Lagi pula Flora itu kan teman satu kuliahmu waktu di London."
Lucas yang memang sudah mengenal dekat tentang wanita itu pun tampaknya tidak setuju dengan pilihan ayahnya. Pria itu memang sudah bosan mendengar jika orang tuanya akan menjodohkannya. Namun, baru kali ini Edward mengatakan siapa wanita yang menjadi pilihannya.
"Kenapa harus Flora? Tidak mungkin! Sekarang aku sudah bisa membayangkan kebebasanku pasti sekejap akan hilang, hidupku akan terkekang, dan dunia malam pasti tidak akan pernah bisa aku rasakan lagi," gumam Lucas yang mulai memutar otaknya.
"Bagaimana, Lucas? Dia cantik dan pintar, Mommy rasa keputusan Daddy memilihnya sudah sangat tepat, kecuali, memang kamu bisa mencari wanita yang sepadan dengannya."
"Tentu saja aku bisa." Dengan cepat, Lucas yang tersadar dari lamunannya langsung menjawabnya.
"Oke, satu bulan, kamu harus mengenalkan wanita itu pada kami! Kalau sampai batas waktunya nanti kamu masih tidak bisa menentukan pilihanmu sendiri. Maka, mau tidak mau, kamu harus menerima perjodohan itu dan kalau kamu menolak, Daddy akan bertindak tegas dengan menurunkan jabatanmu sebagai CEO di perusahaan dan Alden yang akan menggantikanmu."
Seketika Lucas tercekat lebih kaget dari sebelumnya. Ancaman itu benar-benar terdengar konyol untuknya. Bayangan di saat Alden memerintahnya ini dan itu mulai terbesit dalam pikiran hingga membuatnya semakin tak punya pilihan selain harus menuruti keinginan dari Edward.
"Baiklah, aku akan bawa wanita itu ke hadapan kalian. Satu bulan, oke! Apakah sekarang kalian puas?"
"Mommy ikut senang mendengarnya, sayang. Pokoknya Mommy dan Daddy benar-benar tidak sabar ingin melihat wanita pilihan kamu. Sebenarnya selain ingin menjaga nama baik keluarga kita, kami juga ingin segera menimang cucu. Kamu anak satu-satunya, Lucas, hanya kamu harapan kami. Jadi Mommy harap, kamu mau mengerti mengapa kami sampai mendesak kamu seperti ini."
Lucas tidak mendengarkan perkataan Belinda sepenuhnya. Kedua matanya saat ini tengah melirik ke arah Alden dengan sorot yang tajam.
"Pantas saja kau tidak ingin mengatakan ancaman itu. Dasar, Alden. Awas kau!" batin Lucas yang kembali merasa kesal pada asistennya itu.
Bersambung ✍️
Selamat membaca!
Satu bulan sudah berlalu, kini kehidupan Zoya tampak lebih bahagia dari sebelumnya. Wanita itu berhasil mewujudkan impiannya untuk tinggal hanya berdua dengan sang ibu tanpa Jonathan, ayah tirinya.
Selain membeli sebuah rumah, Zoya juga membuka usaha toko bunga. Menggunakan uang yang diperolehnya dari Lucas. Zoya memutuskan untuk tinggal jauh dari kota yang sama dengan ayah tirinya. Hal ini dimaksudkan agar pria temperamen itu tak lagi menemui ibunya. Zoya benar-benar ingin mengubur semua cerita kelam tentang kekejaman Jonathan. Tak hanya sering menghabiskan malam dengan wanita lain, beberapa kali pertengkaran dengan sang ibu pun sampai berujung tindak kekerasan.
"Zo, waktu itu kamu sudah janji sama Mama, 'kan?"
"Janji apa, Mah?" tanya Zoya. Menghentikan tangannya yang tengah merangkai sebuket bunga.
"Janji jika kamu ingin memberitahu Mama soal dari mana kamu mendapatkan uang itu. Kamu bukan hanya bisa membelikan rumah untuk Mama, tapi usaha ini. Mama tahu untuk memperolehnya pasti memerlukan uang yang banyak. Rumah ini saja kamu beli seharga 500 juta, belum lagi modal untuk toko bunga ini."
Zoya tercekat. Ia pun ingat saat janji itu terucap ketika sang ibu terus mendesaknya. Namun, Zoya masih bergeming untuk tak menjawab. Bahkan hingga detik ini, Zoya benar-benar ragu untuk menceritakan semua yang telah terjadi padanya.
"Mama, apa Mama harus tahu tentang itu?" Zoya coba menawar karena ia merasa tidak sanggup untuk berkata jujur kepada sang ibu. Wanita cantik yang memiliki lesung pipit di kedua pipinya itu tak bisa membayangkan jika hati ibunya pasti akan hancur kalau sampai mengetahui kenyataan bahwa dirinya sudah tak lagi suci. Lebih tepatnya ternoda karena kejadian malam itu.
"Sayang, sampai kapan kamu terus menyembunyikan semuanya? Sejak kamu punya uang, setiap malam kamu selalu mengalami mimpi buruk, tapi Mama sama sekali tidak tahu apa yang membuatmu bisa seperti itu. Tolong, Zo, cerita sama Mama!"
"Maafkan aku, Mah. Aku rasa semua itu tidak penting lagi untuk dibahas. Hidup kita sekarang sudah jauh lebih tenang tanpa Jonathan. Jadi aku mohon, Mah, Mama tidak perlu tanyakan itu lagi!" Sambil berpindah posisi Zoya coba menjauh dari sang ibu. Menghindar adalah jalan ninja yang dipilihnya. Bagi Zoya, kejujurannya hanya akan membuat ibunya bersedih dan itu yang tidak ingin Zoya lihat. Sudah banyak kesedihan yang dialami oleh ibunya, maka itu Zoya tak ingin menambahkannya lagi. Situasi yang benar-benar sangat dibencinya.
Penolakan Zoya tak membuat Adeline berhenti memburu jawaban dari putrinya. "Zo, apa pun cerita kamu, Mama siap. Mama hanya tidak ingin kamu menyimpan masalah kamu sendirian."
Tiba-tiba desakan itu membuat kepala Zoya mulai berdenyut. Ia seperti merasakan ada sesuatu yang mendesak pada kerongkongannya dan itu hampir keluar dari mulutnya. Zoya pun berlari sambil menahan rasa mual. Meninggalkan sang ibu ke sudut ruangan di mana sebuah wastafel tersedia di sana.
"Kamu kenapa, Zo? Apa kamu sakit?" Wanita berusia 50 tahun itu dengan cepat menghampiri putri semata wayangnya. Ada rasa khawatir yang seketika timbul dalam pikirannya.
Zoya tampak masih sibuk memuntahkan isi perutnya. Membuat sang ibu merasa iba karena putrinya begitu kerja keras menjadi tulang punggung untuk menghidupinya. "Zo, kamu sebaiknya istirahat di rumah! Biar Mama saja yang jaga toko. Kamu itu sepertinya kecapekan, Zo." Sambil mengusap tengkuk Zoya, Adeline terus membantu putrinya. Memuntahkan rasa mualnya hingga Zoya menjadi lemah tak bertenaga.
"Enggak apa-apa, Mah. Ini cuma masuk angin saja, minum obat juga sembuh. Nanti aku beli deh ke apotik."
"Kamu enggak boleh menyepelekan sakit kamu ini! Pokoknya kita harus berobat! Sementara kita tutup dulu saja toko ini!" Adeline pun berinisiatif membawa Zoya ke rumah sakit setelah melihat wajah putrinya yang berubah pucat.
"Ya sudah, biar aku berobat sendiri saja ya, Mah. Soalnya satu jam lagi akan ada jasa pengiriman yang akan ngambil buket bunga, bukan cuma satu, tapi 5. Jadi harus ada orang di toko, Mah."
"Kamu yakin bisa sendiri?" tanya Adeline sambil mengusap wajah putrinya dengan lembut. Ada rasa khawatir yang besar, tapi wanita paruh baya itu tak mungkin bisa menolak karena usaha ini adalah sumber penghasilan untuk mereka hidup.
"Iya, Mah. Aku kuat kok. Nanti aku pesan taksi online saja ke rumah sakit. Jadi Mama enggak perlu khawatir ya."
Adeline tersenyum getir, melepas kepergian putrinya yang mulai melangkah pergi keluar dari toko.
***
Zoya masih tak menyangka dengan apa yang dibacanya. Kedua matanya terus menatap hasil diagnosa dari sang dokter dengan nanar. Hancur hatinya, membuat mata indah miliknya tak henti-hentinya basah oleh air mata. Tak tertahan, wanita cantik itu terus merintih di dalam kamar mandi rumah sakit. Hanya itu tempat satu-satunya untuk melampiaskan kesedihannya.
"Bagaimana ini? Kenapa aku bisa hamil? Kenapa, Tuhan?" batin Zoya tak kuasa menahan tangisannya.
Butuh waktu sekitar 30 menit untuk Zoya dapat berpikir. Menguatkan hati bahwa hidup tidak akan menunggunya bangkit dari keterpurukan. Zoya sadar betul jika dirinya harus bertindak. Bukan diam menerima takdirnya, tapi meminta pertanggungjawaban kepada ayah dari janin yang dikandungnya.
"Pria seperti dia pasti tidak akan mau bertanggung jawab dengan kehamilanku," batin Zoya masih ragu untuk menemui pria itu.
Di tengah rasa bimbangnya, Zoya kini mulai melangkah keluar dari kamar mandi. Berjalan dengan penuh kalut, menatap kosong sekelilingnya hingga kedua matanya terhenti tepat di satu titik. Seorang pria di kursi roda itu seketika membawa ingatannya jauh ke belakang.
"Dia ...." Zoya mengusap kedua matanya. Langkahnya berangsur cepat menghampiri pria yang ada di depan sana. Pria yang tak mungkin dilupakannya, pria yang dulu ia lepas begitu saja hanya demi uang, walau telah merenggut mahkotanya. Namun, keyakinannya berubah seketika. Lidahnya kelu membisu, mematung di belakang kursi roda tanpa berkata apa-apa.
"Tidak, pria ini tidak boleh tahu jika aku hamil. Lagi pula waktu itu aku sudah mengiyakan untuk menerima uangnya. Aku tidak mau dia sampai merendahkan derajatku yang jauh berbeda dengannya, apalagi sampai menghina anak yang aku kandung ini," batin Zoya mulai berbalik membelakangi pria itu.
Sampai akhirnya, panggilan dari Lucas membuat langkah Zoya yang hendak pergi terhenti.
"Ada apa, Nona? Sepertinya ada yang ingin Anda bicarakan dengan saya." Lucas memutar kursi rodanya menghadap Zoya yang masih membelakanginya.
"Sekarang bagaimana ini?" gumam Zoya ragu untuk menjawabnya.
Belum sempat keyakinan terkumpul, suara seorang wanita yang tiba-tiba hadir dari sisi berlawanan dengan Zoya kembali membuatnya ragu.
"Sayang, maaf ya telah membuatmu menunggu." Wanita bernama Flora itu mulai melihat Zoya dengan penuh tanda tanya. "Apa kamu mengenal wanita ini, Lucas?"
Lucas pun berpaling dari menatap punggung Zoya. Pandangannya beralih melihat Flora yang kini sudah berada tepat di samping kursi rodanya. "Aku tidak tahu, wanita ini belum menjawabnya."
"Apa wanita itu adalah istrinya?" batin Zoya merasa keputusannya menghampiri Lucas adalah sebuah kesalahan besar.
Tadinya ia merasa harus melampiaskan rasa kecewa tentang kehamilannya pada Lucas, tapi saat ini, ia merasa semua itu tidak lagi penting. Zoya tak ingin menjadi pengganggu di tengah hubungan kedua orang yang masih menanti jawabannya.
"Aku akan menjalani kehamilan ini sendirian, tidak boleh ada yang tau, baik pria ini ataupun Mama sekalipun." Tekad Zoya di dalam hatinya.
Menahan rasa sesak yang mulai mengeratkan napasnya. Zoya tak ingin menangis, sekuat hati ia menahan air mata untuk tak menetes. Tanpa berkata, Zoya berlari pergi. Meninggalkan Lucas dan Flora dalam kebingungan tentangnya.
"Tuhan, kuatkan aku dalam menjalani hidup yang aku tahu jauh dari impianku. Sesungguhnya aku hanya ingin bahagia, tapi jika kesedihan ini adalah jalan awal untukku dapat merasakan itu. Maka dengan senang hati, aku akan menjalaninya," gumam Zoya yang terus berlari tanpa menoleh sedikit pun ke belakangnya.
Bersambung ✍️
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!